أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Tuesday, January 31, 2012

Ngunci Kamar

Apa kabar kawan?
Wah, ternyata saya masih belum diberi kesempatan dan keinginan untuk nge-blog. Tapi semoga tulisan ini bisa jadi penebusan kecilnya. Yap, sekarang musim dingin, masih dalam suasana pameran buku. Talaqqi (kajian kitab) baik di Masjid al-Azhar maupun di Madhyafah (depan al-Azhar) yang sepat libur selama ujian musim dingin sudah dimulai lagi. Sedihnya, saya  ketinggalan kajian kitab ilmu hadis Tadrîb al-Râwi bersama salah satu dosen favorit saya di jurusan hadis, Prof. DR. Mustafa Abu Imarah karena tidak tahu kalau kemarin beliau sudah memulai kembali kajiannya.

Yap, kali ini temanya adalah “Ngunci Kamar”. Bahasa seorang senior yang saya pinjam. Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan program yang harus saya lalui dalam masa setahun ini. Weh? Saya belum cerita ya? Kalau saya memutuskan untuk ikut ujian masuk s2 Februari, yang berarti menunda setahun masuk S2. Karena ujian Februari sebenarnya adalah gelombang pertama untuk tahun ajaran depan. Singkat cerita, keputusan ini saya ambil melalui pertimbangan yang matang dan semoga berjalan sesuai rencana. Banyak hal yang masih harus saya install demi berhasilnya studi pascasarjana.

Sebelumnya mari menyamakan istilah terlebih dahulu:
1.       Ngunci kamar    : total membaca buku, tidak harus di kamar sih sebenarnya, perpus ok
2.       Berbicara            : berdiskusi, kajian, makalah
3.       Bersosialisasi      : organisasi yang bersifat non keilmuan
4.       Bisa/menguasai   : pintar, menguasai bidang keilmuan tertentu
5.       Berkumpul          : perkumpulan, organisasi

Akhir-akhir ini saya banyak mengumpulkan data. Lebih tepatnya menginterogasi senior-senior yang sedang atau telah menamatkan s2/s3. Pertanyaannya sebenarnya hanya ada tiga. Kenapa anda berhasil? Kenapa orang bisa gagal? Mohon nasehat. Jawabannya hanya satu. Saya coba paparkan dengan sebuah kata mutiara yang pertama kali saya baca di diktat tambahan materi Tafsir Tematik tingkat 4 yang lalu, tentang adab menuntut ilmu. “Ilmu tidak akan menyerahkan sebagian dari dirinya kalau kita tidak menyerahkan sepenuh diri anda untuknya”. Cukup kan? Penjelasannya yang sedikit panjang, pelaksanaannya yang butuh perjuangan keras.

Ok, ini Mesir kawan, tepatnya komunitas mahasiswa (baca: orang) Indonesia di Mesir. Salah satu tabiat orang Indonesia adalah senang berkumpul. Mau tidak mau harus senang berkumpul, kalau tidak, anda bukan orang Indonesia. Satu hal yang secara pribadi saya tidak setuju tapi saya sering bersinggungan dengannya. Sering terjadi, “misi lain jadi ada dengan mencari justifikasi dari misi utama berangkat ke Mesir”. Kalau benar-benar tepat, katakanlah tidak akan merugikan. Tapi kalau tidak tepat, inilah yang akan bertentangan dengan motto ‘dedikasi terhadap ilmu’ di atas.

Memang benar, misi lain itu ada yang sama jenisnya dengan misi utama di Mesir (baca: ilmu), tapi beda macamnya. Menurut saya, misi semacam inilah yang terbaik diantara yang jelek. Salah satu alasannya adalah, al-Azhar merupakan sebuah lembaga pendidikan formal yang menuntut satu pertanggungjawaban terhadap mahasiswa dengan nama ujian, lulus, nilai bagus, kenaikan jenjang, dan sebagainya. Kalau latarnya Indonesia, saya ingat teman saya ketika masih di Indonesia dulu pernah bisa mengatakan,” Ah, yang penting dapat ilmu (bisa), nilai jelek gak apa”. Tapi ini al-Azhar kawan, saya termasuk orang yang mengakui bahwa ujian di al-Azhar benar-benar bisa menyeleksi mana orang yang serius belajar dan bisa dengan mana yang tidak.

Kembali ke senior yang saya bajak kata-katanya tadi. Dulu selama s1, beliau “ngunci kamar” (baca: jelas baca buku) selama beberapa tahun, setelah itu baru ‘berbicara’ dengan orang lain. Itu baru satu contoh. Saya kenal dengan orang yang tidak banyak kenal orang Indonesia, pekerjaannya hanya kuliah dan ngunci kamar. Setelah dia matang, dia bisa melakukan hal besar terhadap mahasiswa Indonesia di Mesir dan orang Indonesia di tanah air setelah dia pulang. Dan semua orang yang telah saya interogasi secara umum bertipe sama.

Ekstrimnya, subyektifitas saya mengatakan salah besarlah pendapat bahwa kita di Mesir ini kita harus menyeimbangkan antara ngunci kamar dengan berkumpul. Ok kalau pendapatnya tidak sesat, tapi (sekali lagi) subyektifitas saya mengatakan bahwa tidak orang yang tersesat karena pendapat itu. Banyak yang masih bertanya,"Apa yang harus dipersiapkan? Saya sudah mau pulang" karena disorientasi (dengan kadar yang berbeda tentunya). Sering disalah artikan bahwa perkumpulan harus selalu non-keilmuan, kalau masih keilmuan itu masih dianggap tidak seimbang antara ngunci kamar dengan berkumpul. Ok, silahkan kawan menilai, setuju dengan saya atau tidak itu terserah masing-masing. Tidak masalah kalau yang setuju ternyata hanya saya sendiri. Pendapat saya, kuliah dan ngunci kamar adalah nomer satu, bersosialisasi adalah tempat menyalurkan keindonesiaan kita dan saya tidak mengatakan bahwa bersosialisasi itu tidak penting.

Bicara teknis, saya sedang membaca Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts karya Syeikh Nuruddin Itr. Tidak ada maksud merendahkan, tapi memang buku itu dibuat untuk membentuk frame/kerangka berpikir ilmu mustalah hadis. Kau tahu kawan? Hal ini seharusnya sudah dilakukan menjelang lulus s1, buku itu seharusnya sudah selesai dikuasai dari dulu. Tapi saat ini saya masih merasa perlu. Masih ada rasa syukur karena saya baca buku itu bukan untuk mengerti istilah-istilah dalam ilmu hadis tapi untuk menata kerangka berpikir ilmu mustalah hadis saya. Yah, kalau boleh mengandai, seharusnya saya sedang mencerna pemikiran DR. Hamzah Abdullah al-Malibari dan lain-lain. Tapi, itulah gunanya ‘setahun’. Bismillah.

Saya punya pikiran kawan, Tadrîb al-Râwi-nya Imam al-Suyuthi dan Muqaddimah-nya Ibn Salah idealnya sudah dijelajahi selama pendidikan s1 meskipun belum menguasai totoal, tapi sekali lagi, ‘setahun’.

Manusia memang berkebutuhan untuk dinilai dan mendapat pengakuan. Semoga cerita ini bisa memberi gambaran. Saya sedikit lupa, antara Prof. DR. Ali Farahat ketika pelajaran Mustolah Hadis atau DR. Abdul Muhsin Nuruddin ketika pelajaran Mukhtalif al-Hadis )oh ya Duktur Abdul Muhsin), beliau meminta kami untuk menyebutkan pujian ulama lain ketika ada soal yang meminta untuk menyebutkan biografi seorang ulama hadis. Salah seorang teman mesir nyletuk setengah bercanda, “Kalau kita tulis misalnya al-‘Allâmah (sebutan untuk ulama besar) bagaimana Pak?” Gerrr....semua yag di ruangan tertawa. “Hehe, ya disebutkan pujian dari ulama lain lah..”jawab dosen. Paham maksud saya kawan?

Bentuk tanggungjawab seorang penuntut ilmu adalah menguasai bidang keilmuannya, khususnya bagi mahasiswa adalah berhasil dalam ujian atau tingginya strata akademisnya. Kalau berbicara pengakuan, jelas berbeda kan? Antara yang mendapat pengakuan dari lembaga pendidikan dengan pengakuan rekan-rekannya bahwa dia orang keren; pandai berbicara, (dianggap) banyak ilmunya, dan lain-lain. Sekali lagi ini kalau berbicara pengakuan. Tolong tidak dikaitkan dengan visi utama seorang penuntut ilmu dan keikhlasan.