أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, January 18, 2016

Menghidupkan Sunnah a.k.a Nyunnah

Tulisan di bawah ini sebenarnya perasan dari kajian kitab atau lebih tepatnya disebut ensiklopedi ilmu mustalah hadis Fathu’l Mughits-nya Imam al-Sakhawi (902 H). Biasa diampu oleh Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim, ulama hadis dan anggota dewan ulama senior al-Azhar, tiap Sabtu pagi di Masjid al-Azhar. Edisi kali ini pun saya sedang tidak hadir, hanya menyimak dari youtube  (https://www.youtube.com/watch?v=eAVnDwa9Wps&feature=share).

Nama Husain bin Mas`ud bin Muhammad al-Farra’ al-Baghawi (selanjutnya disebut al-Baghawi) sejujurnya masih belum sefamiliar al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Mizzi, al-Dzahabi atau Ibnu Hajar bagi pelajar seperti saya. Dalam Siyar A`lâm al-Nubalâ’ (19/439) pun kesan saya biografinya tidak panjang-panjang amat. Meskipun bukan berarti diceritakan sebagai ulama biasa saja karena al-Dzahabi (748 H) dikenal sebagai biografer yang sportif. Penyematan sebutan al-Syaikh al-Imam al-`Allâmah al-Qudwah al-Hâfizh Syaikhu’l Islâm Muhyi al-Sunnah bagi al-Baghawi tetap dipertahankan oleh al-Dzahabi. Santri beliau Tajuddin al-Subki (771 H) dalam Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra (6/75), kesan saya, tidak jauh beda paparannya. Maksud saya, coba bandingkan, misalnya dengan biografi Abu al-Hasan al-Asy`ari (324 H) dalam dua literatur biografi tersebut. Akan ada dialog yang cukup sengit antara murid (al-Taj al-Subki) dan guru (al-Dzahabi). Mereka yang berdebat, kita yang memetik faidahnya. Sungguh nikmat menyimak diskusi yang tidak seperti ‘diskusi’ jejaring sosial seperti ini.

Bagi Syekh Ahmad Ma`bad, penyebutan Muhyi al-Sunnah (dia yang menghidupkan sunnah) ini sangat perlu mendapat garis bawah. Salah satu alasannya adalah, al-Baghawi (516 H) memang salah satu penggerak tajdid di zamannya. Berdasarkan pembacaan berkualitas Syekh Ahmad Ma`bad atas karya al-Baghawi ‘Syarh al-Sunnah’, beliau menyimpulkan bahwa al-Baghawi punya definisi tentang tajdid (pembaharuan), ialah ‘mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama’.

Tuntutan Tajdid Kekinian

Syekh Ahmad Ma`bad juga mengiyakan bahwa zaman sebebas sekarang tuntutan tajdid juga berasal dari cendekiawan non-studi agama. Aneh bukan? Lebih aneh lagi, berbagai konsep tajdid yang diajukan sampai menabrak hal-hal paten (tsawâbit) dalam agama. Al-Azhar sebagai otoritas keilmuan muslim sunni tidak tinggal diam. Berbagai konferensi diadakan untuk merespon fenomena ‘tajdid’ semacam ini. Saking pentingnya, Grand Imam sendiri yang memimpin konferensi  tersebut. Misalnya konferensi yang diadakan di Al-Azhar Conference Center, 22 April 2015 lalu. Hasilnya bisa dinikmati dalam kompilasi tulisan Maqâlât fî al-Tajdîd yang diterbitkan lux oleh Dâr al-Quds dan dihargai sangat mahasiswa, 6 pound Mesir.

Kesimpulannya, tajdid (sekali lagi) adalah mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama...`alâ Bashîrah...atas landasan ilmu yang kokoh.

Kata kedua yang digarisbawahi Syekh Ahmad Ma`bad adalah `alâ Bashîrah/atas landasan ilmu yang kokoh. Selain tantangan konsep tajdid agama yang diajukan cendekiawan non-agama, tantangan selanjutnya datang dari kaum muslim sendiri. Mereka memiliki semangat tinggi untuk melakukan apapun demi tegaknya agama Allah di muka bumi dan demi diterapkannya syariat Islam. Akan sangat positif apabila semangat tersebut dilandasi dengan ilmu yang kokoh. Hanya saja, ketika semangat dilandasi dengan al-Jahl alias ketidaktahuan justru akan menjadi bumerang bagi Islam sendiri.

“Hal yang paling berbahaya bagi Islam atau madzhab apapun adalah, tergabungnya orang yang sebenarnya masih tersifati dengan al-Jahl. Mereka semangat tapi sebenarnya masih belum paham secara baik dan utuh akan ajaran mereka sendiri. Terkadang teman yang bodoh itu lebih berbahaya daripada musuh yang berakal. Meskipun musuh, setidaknya akal yang dia miliki masih menjaga dia berada dalam koridor saling menghormati denganmu”,  begitu komentar Syekh Ahmad Ma`bad.

Beliau melanjutkan, “Sekali lagi kata `alâ Bashîrah ini sangat penting. Karena ada orang yang maunya nyunnah tapi tanpa dasar ilmu yang kokoh. Sehingga suatu saat dia jatuh dalam kesalahan tapi dia tidak sadar. Lebih repot lagi terkadang dia tidak mempan diluruskan. Bahkan ketika kita coba mengingatkan untuk memahami sunnah secara lebih dalam, langsung kita dituduh ‘Kamu nggak nyunnah!’ atau ‘Kamu ini A`dâ al-Sunnah/musuhnya sunnah!’ Padahal, maksud kita mengingatkan adalah supaya nyunnah-nya itu dengan dasar ilmu yang mantap seperti penjelasan al-Baghawi tadi.”

Proyek Besar Nyunnah ala al-Baghawi

Kitab Syarh al-Sunnah karya al-Baghawi

Melalui Syarh al-Sunnah (dicetak 14 jilid), al-Baghawi yang dalam fikih bermadzhab Syafi`i ini ingin membuka dialog dengan masyarakat di zamannya bagaimana sebenarnya nyunnah. Beliau ingin menjelaskan bahwa nyunnah yang sebenarnya adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah! Menurut al-Baghawi dalam mukadimah Syarh al-Sunnah, beliau hidup di zaman ‘agama hanya sekedar simbol dan ilmu hanya sekedar nama’.

Syekh Ahmad Ma`bad menafsirkan agama hanya sekedar simbol dengan: dijalankan bentuk, zahir atau ritualnya saja. Misalnya kalau sudah bicara duit, ‘agamanya’ bisa hilang. Sedangkan ilmu yang disebut hanya tinggal nama maksudnya, “Saya sudah baca kitab ini-dan kitab itu!” Tapi sudahkah benar-benar mengambil manfaat atau manfaati orang banyak dengan studi kitab tersebut? Atau jangan-jangan hanya sekedar khatam baca saja? Padahal al-Baghawi hidup di akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6. (Kalau tulisan ini dibuat di abad ke-15 Hijriyah).

Tantangan beliau cukup berat dalam mengusung megaproyek yang satu ini. Syekh Ahmad Ma`bad mencatat ada dua tantangan yang kesemuanya kembali kepada kondisi zaman:

Pertama, al-Baghawi hidup di masa sanad (rangkaian perawi hadis) semakin panjang. Hal ini tentu menyulitkan para ulama hadis dalam menuliskan kitabnya apabila hendak mencantumkan hadis yang notabene sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran. Bahkan mulai banyak yang memikirkan untuk menulis hadis tanpa mencantumkan sanad.

Kedua, para pemimpin muslim lebih memilih untuk mengucurkan dana menyeponsori kampanye perebutan maupun mempertahankan kursi kekuasaan. Karena, kata Syekh Ahmad Ma`bad,“Kalau kamu membaca buku sejarah...”, zaman itu wilayah umat Islam sudah terbagi menjadi negara-negara kecil (meskipun kepala negaranya belum disebut Presiden). Apalagi di zaman itu sampai kepada kekuasaan cara populernya adalah angkat senjata yang jelas butuh didanai besar-besaran. Jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap kaum akademisi seperti al-Baghawi. Riset ilmiah selalu butuh pendanaan.

Tapi di sinilah hebatnya al-Baghawi. Beliau tidak kalah oleh keadaan. Sanad yang dianggap sebagai senjata untuk mempertahankan otentisitas ajaran agama Islam tetap beliau pertahankan seberapapun panjangnya. Jadilah Syarh al-Sunnah yang 14 jilid itu salah satu kitab hadis bersanad. Sanad al-Baghawi dari gurunya sampai kepada sumber hadisnya.

Al-Baghawi juga lebih memilih hidup sangat sederhana. Beliau hanya makan roti gandum tanpa lauk selama bertahun-tahun kalaupun ditambah sesuatu hanya sekedar minyak. Biasanya, siapapun yang menjalani pola hidup demikian akan mudah terserang penyakit, tapi beliau dikaruniai umur panjang sekitar 80 tahun.

Murid Qadhi Husain (ulama besar madzhab Syafi`i) ini termasuk yang produktif. Selain Syarh al-Sunnah, ada juga karya lainnya seperti Ma`âlim al-Tanzîl (tafsir),  Mashâbih al-Sunnah (hadis), al-Tahdzîb (fikih Syafii) yang sering dirujuk oleh Imam al-Nawawi (676 H) dan lain-lain. Kitab-kitab beliau Allah izinkan untuk beredar dinikmati oleh umat Islam sampai di abad ke-15 ini. Padahal beliau ulama dari daerah Khurasan, bukan kota seperti seperti Baghdad. Bahkan menurut Tajuddin al-Subki, al-Baghawi tidak pernah ke Baghdad (ibukota kekhilafahan Abbasiyah). Al-Subki mengatakan, “Kalau al-Baghawi masuk Baghdad, biografinya akan lebih panjang dari ini”.

Bisa jadi ada yang berpikiran bahwa manusia hebat seperti al-Baghawi hanya ada di zaman dulu. Oleh karenanya Syekh Ahmad Ma`bad sejenak menyelingi dengan cerita dari zaman ini di Mesir. Bumi para Nabi ini memang menakjubkan. Apa yang dianggap hanya legenda bisa jadi nyata di atas tanahnya. Dulu saya kira anak kecil dibawah 10 tahun sudah hafal al-Quran itu hanya ada di zaman Imam al-Syafi`i, tapi di Mesir bocah-bocah semacam itu banyak di jumpai.

“Dulu...”, lanjut Syekh Ahmad Ma`bad, “Salah satu kakek Syekh Ahmad Toyyib (Grand Imam al-Azhar saat ini) adalah pelajar al-Azhar. Di zaman beliau, al-Azhar menjatah pelajarnya dengan satu lembar roti gandum (`isy) dengan lauk bubur kacang (fûl) dan bawang untuk makan setiap hari. “Tidak!”, jawab kakek Syekh Ahmad Toyyib, “Saya tidak akan mengumpulkan dua lauk dalam satu waktu, jadi saya hanya makan roti dengan bubur kacang saja atau roti dengan bawang saja”.

Sehingga persoalan fasilitas, beasiswa dan sebagainya bukan penentu utama keberhasilan menuntut ilmu. Menurut saya lebih kepada faktor kejiwaan. Hujjatu’l Islâm Imam al-Ghazali (505 H) bercerita, “Dulu kami mencari ilmu tidak karena Allah, tapi ilmu itu sendiri yang menolak untuk dicari kecuali hanya karena Allah!”. Beliau menceritakan masa kecilnya yang hidup di sebuah sekolah yang cukup makmur. Siapa yang tidak ada uang, bisa ikut hadir di kelas-kelas belajar sedikit ilmu ini dan sedikit ilmu itu, sudah dapat beasiswa.

Tantangan Umat Islam Kekinian

Syekh Ahmad Ma`bad melanjutkan nasehat plus peringatan soal tajdid ini dengan cerita di Mesir. Anak-anak Mesir dulu belajar agama (menghafal al-Quran dan calistung) di kuttâb yang dikelola oleh pemerintah Mesir. Saat ini, kuttâb secara resmi dihilangkan karena metode talqin yang digunakan dianggap tidak update. Syekh Ahmad Ma`bad sendiri yang kelahiran tahun 30-an ini adalah alumni terakhir kuttâb resmi yang dikelola oleh kementrian pendidikan Mesir! Waktu itu, Menteri Pendidikan yang baru pulang dari Amerika Serikat-lah yang menghilangkan kuttâb yang berjasa mengajarkan anak-anak dasar agama dan mencetak penghafal al-Quran usia dini.

Menurut Syekh Ahmad Ma`bad, “Sehingga persoalan tajdid (mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama) dan menanamkan agama dalam diri umat adalah tanggungjawab kita sebagai individu. Tanggung jawab ini hanya akan selesai ketika ruh terpisah dari jasad!”

Ruh Surat al-Mâ`ûn

Saya kaget ketika Syekh Ahmad Ma`bad sampai membahasakan, “Allah itu sudah menyiapkan satu tempat di neraka Jahannam bagi orang-orang yang solat!” Beliau melanjutkan, “Tentu bukan karena solatnya, karena dalam surah tersebut Allah melanjutkan bahwa yang celaka adalah orang yang solat tapi lalai, riya’ dan menahan harta yang seharusnya disedekahkan. Mungkin dia sudah berwudhu, pakai jubah dan lain-lain ketika solat, tapi uang yang ada di kantongnya tidak dia keluarkan dan nafkahkan untuk keluarganya! Inilah namanya solat tapi lalai! Kalau ada yang mengatakan, ‘Berarti anda mengutuk saya ini Syekh?’ Bukan, saya bukan mengutuk anda, tapi memang firman Allah seperti itu! Jadi kita juga ingin supaya harta orang-orang yang solat itu juga dikeluarkan kepada orang yang berhak, ini baru namanya solat yang sebenarnya!”

Epilog

Saya memahami kesan loncat-loncat tema yang mungkin ditangkap oleh pembaca dari tulisan di atas. Namun sebenarnya ada satu kalimat yang bisa kita jadikan kunci untuk memahami apa maksud Syekh Ahmad Ma`bad menyelingi kajian kitab Fathu’l Mughits dengan nasehat soal tajdid dan perenungan kisah hidup Imam al-Baghawi. Menurut saya kalimat kunci itu adalah konsep tajdid ala Imam al-Baghawi itu sendiri...

Nyunnah yang sebenarnya adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah (dengan dasar ilmu yang kokoh)!”

Artinya, tanggungjawab insan muslim saat ini adalah mengamalkan sunnah dengan cara  mentransformasikannya menjadi program-program kehidupan yang praktis/`amaliyah atas dasar pemahaman yang berasal dari bangunan keilmuan yang kokoh dan bersanad.

Masih hidupkan sanad? Dalam sebuah majelis riwayat di Masjid al-Azhar beberapa waktu lalu Syekh Ahmad Ma`bad menegaskan,”Sanad adalah senjata umat Islam, tradisi sanad in syâ’a Allah akan terus berlanjut sampai hari akhir nanti. Sanad di sini bukan sebatas ritual pengijazahan kitab, melainkan ‘sanad maknawi’. Artinya, mempelajari agama melalui guru yang dapat dipertanggungjawabkan keilmuannya”.

Dalam kesempatan lain beliau menyampaikan, “Ada yang mengatakan bahwa sanadnya orang-orang mutaakhirin/yang datang belakangan fungsinya hanya sekedar meraih keberkahan dengan tradisi keilmuan tersebut. Maka kami katakan bahwa: ini tidak menafikan ’kritik sanad’, karena keberkahan yang sesungguhnya tidak akan diraih kecuali dengan perantaraan orang yang diketahui kesalehan dan ketaqwaannya serta kebenaran dalam periwayatannya dengan berbagai cara belajar yang dapat dipertanggungjawabkan”.

WalLâhu a`lamu bi al-Shawâb...