أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Thursday, April 30, 2015

Madzhab Syafi`i dan Ilmu Hadis

Ilmu hadis adalah ilmu yang sangat penting, betapa tidak? Melalui penguasaan terhadap ilmu tersebut, seorang peneliti dapat membedakan mana hadis yang sahih, hasan maupun dhaif. Induk dari buku ilmu hadis adalah Ma`rifat `Ulûmi’l Hadîts atau yang populer dengan nama Muqaddimah Ibnu al-Shalah (643 H). Beliau adalah ulama asal Irak yang bermadzhab Syafi`i. Dalam buku itu, Ibnu al-Shalah banyak merujuk dari karya-karya al-Khathib al-Baghdadi (463 H), ulama besar dari Irak yang pindah ke madzhab Syafi`i.

Muqaddimah Ibn al-Shalah ed. Bintu Syathi`
Kemudian para ulama yang datang setelahnya berkhidmah terhadap Muqaddimah Ibnu al-Shalah. Diantara khidmah tersebut yang terkenal diantaranya:

1.   Meringkas:
a.      Muhyiddin al-Nawawi (686 H) ulama madzhab Syafi`i asal Syiria, yang meringkasnya menjadi Irsyâd Thullâbi’l Haqâ’iq ilâ Ma`rifat Sunan Khairi’l Khalâ’iq yang masih diringkas menjadi al-Taqrîb wa al-Taisîr fî Ma`rifat Sunani’l basyîr al-Nadzîr. Kitab al-Taqrîb tersebut diberi penjelasan (syarah) oleh Jalaluddin al-Suyuthi (911 H), seorang ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam Tadrîb al-Râwi
b.      Badruddin Ibn Jama`ah (733 H) ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam al-Manhal al-Rawi fî `Ulûmi’l Hadîts al-Nabawi
c.       Ibnu Katsir (774 H) penulis tafsir yang terkenal, seorang ulama madzhab Syafi`i asal Syiria dalam Ikhtishâr `Ulûmi’l Hadîts
d.      Sirajuddin al-Bulqini, ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam Mahâsinu’l Ishthilâh wa Tadhmîn Kitâb Ibn al-Shalâh

2.   Me-nazham (disusun dalam bait-bait syair)
a.      Syihabuddin al-Khuwayyi (693 H) ulama madzhab Syafi`i asal Syiria dalam Aqshâ al-Amal wa al-Sûl fî `Ulûmi Ahâdîts al-Rasûl
b.      Zainuddin al-`Iraqi (806 H) ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam Alfiyahnya. Kemudian bait-bait terebut beliau syarah sendiri. Selain beliau, ada juga Syamsuddin al-Sakhawi (902 H) ulama madzhab Syafi`i asal Mesir yang mensyarahnya dalam Fathu’l Mughîts.

3.   Memberikan komentar-komentar
a.      Zainuddin al-`Iraqi (806 H) dalam al-Taqyîd wa’l Îdhah
b.      Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), seorang ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam kitabnya al-Nukat `alâ Kitâb Ibn al-Shalâh. Ibnu Hajar sendiri juga menulis buku mustolah hadis seperti Nukhbatu’l Fikr yang beliau beri penjelasan sendiri, kemudian dinamai Nuzhat al-Nazhar.
c.       Badruddin al-Zarkasyi (794 H), seorang ulama madzhab Syafi`i asal Mesir dalam al-Nukat `alâ Muqaddimah Ibn al-Shalâh

Dalam disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu hadis seperti al-`Ilal, tersebutlah karya al-Daraquthni (385 H) ulama madzhab Syafi`i asal Iraq. Ibnu Abi Hatim (327 H) yang kitab al-`Ilal dan al-Jarh wa al-Ta`dîl-nya sama-sama menjadi induk buku-buku sejenis yang datang setelahnya, juga menulis Âdâb al-Syâfi`i wa Manâqibuhu.

“...dan masih banyak lagi yang lainnyaaa...”

#Syafiiyah_rules

Saturday, April 11, 2015

Sportif Ala Ulama (1)


Semakin lama zaman bergulir semakin banyak muncul karya yang dihasilkan oleh manusia. Hal ini menunjukkan dijalankannya misi-misi untuk menyokong visi besar memakmurkan bumi yang sudah menjadi tugas manusia.

Dalam perjalanannya pujian atas keberhasilan datang silih berganti dengan kritikan bahkan celaan atas kegagalan. Hal ini menjadi sangat biasa.

Namun ada hal yang nampaknya perlu direnungi lebih dalam. Ialah sikap ketika menerima pujian dan kritikan/celaan. Bagaimana sikap positif kita sebagai manusia dan muslim secara khusus?

Apakah muslim menjadi haus pujian dan anti kritik? Apakah dengan menyandang status muslim secara otomatis menjadi ma`shûm (terjaga dari kesalahan)? Apakah dengan dicapnya orang kafir sebagai ahli neraka secara otomatis menjadikan muslim sebagai ‘yang tidak bisa dan tidak boleh salah’?

Padahal tidak ada satu muslim pun yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa salah dan lupa. Pun, tidak ada yang berani berikrar secara lisan bahwa dirinya ma`shûm? Namun bagaimana yang ada di hati kecilnya?

Mari kita belajar dari para ulama pewaris nabi dalam hal bagaimana mereka menanggapi kritik.

Tersebutlah Abu Abdullah al-Hakim (wafat 405 H), seorang ahli hadis dari Naisabur. Beliau termasuk ulama yang produktif menulis buku diantaranya al-Madkhal ilâ al-ShahîhKita bergerak ke barat mengunjungi Mesir. Ada ulama hadis bernama Abdul Ghani bin Sa`ad al-Azdi al-Mishri (409 H).

Ceritanya, Syekh Abdul Ghani punya tulisan yang isinya memberikan kritikan dan tanggapan atas apa yang ditulis oleh Syekh al-Hakim dalam al-Madkhal ilâ al-Shahîh. Bagaimana tanggapan Syekh al-Hakim ketika mengetahui ada yang mengkritik dan menanggapi tulisan beliau? Tersinggungkah beliau?

Ternyata tidak! Abdul Ghani menceritakan sendiri bahwa dengan kritikan dan tnaggapan yang beliau sampaikan, Syekh al-Hakim malah berterimakasih. Tidak hanya itu, bahkan Syekh al-Hakim mendiktekan kritikan dan tanggapan Syekh Abdul Ghani kepada muridnya tanpa merasa malu bahwa kedudukannya sebagai alim akan tergoyahkan dengan kritikan Syekh Abdul Ghani.

Sebenarnya bisa saja Syekh al-Hakim menyampaikan kritikan dan tanggapan tersebut tanpa menyebut si empunya sehingga sakan-akan kritikan dan tanggapan tersebut berasal dari Syekh al-Hakim sendiri. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, secara terang-terangan Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa kritikan dan tanggapan tersebut berasal dari Abdul Ghani al-Azdi al-Mishri. Sportif namanya!

Demikianlah pelajaran yang dapat diambil dari para ulama. Perkataan dan perbuatan mereka memang bukanlah sumber hukum dengan sendirinya. Hanya, kita dapat mengetahui bagaimana mengamalkan Islam secara tepat dengan belajar dari perkataan dan perbuatan ulama.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai umat yang senantiasa legowo mendengar berbagai masukan dan ikhlas mengikuti mana yang terbaik darinya.

Disarikan dari buku Qîmat al-Zamân `inda’l Ulamâ’ karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ahli hadis al-Azhar asal Suriah.