أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Tuesday, December 3, 2013

Urgensi Sejarah dan Kritik Sejarah Perspektif Ibn Khaldun

Tulisan ini merupakan pesan, agar kita lebih arif membaca sejarah. Agar kita 
tidak memandang apa yang terjadi di masa lalu dengan kacamata masa kini

A. Latar Belakang

Menurut Ibn Khaldun (808 H), sejarah merupakan ilmu yang kaya manfaat dan urgen mengingat perannya sebagai proyektor keadaan bangsa terdahulu. Membaca sejarah berarti membaca tata laku manusia di masa lampau, kisah para Nabi, strategi para raja dalam berpolitik dan bernegara. Apabila hal di atas dilakukan, manusia akan dapat menjadikannya sebagai bahan pelajaran dalam meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Ibnu Khaldun (Ilustrasi)
Sejarah membutuhkan berbagai sumber, kelengkapan data, serta analisa yang mendalam. Apabila hanya mengandalkan nukilan-nukilan, bagaimana ia akan terbebas dari kerancuan bahkan kebohongan? Oleh karenanya sejarah membutuhkan kajian mengenai norma yang berlaku di suatu kelompok masyarakat, teori politik, karakteristik peradaban, dan lain sebagainya yang dengan kata lain, disebut kritik sejarah.

B.  Studi Kasus

Menurut al-Masudi, jumlah tentara Bani Israel pada zaman Nabi Musa As. ada 600.000 orang, bahkan lebih. Menurut Ibn Khaldun jumlah ini tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin jumlah tersebut bisa cukup tertampung di Tih (tempat mereka ketika dikutuk Allah Swt. selama 40 tahun). Alasan kedua, mereka selalu kalah oleh Persia. Tercatat, Nebukadnezar pernah dengan mudah menaklukkan mereka di Yerusalem. Pada masa perang Qadisiyah misalnya, ketika tentara Persia berada di salah satu masa kejayaan, tentara Persia berjumlah 120.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 60.000. Memang, menurut Ibn Khaldun banyak sejarawan di masanya yang lebay ketika berbicara masalah jumlah tentara sampai jumlah pajak. Hal ini tidak lain hanyalah untuk menarik pembaca.

Kritik sejarah juga berperan vital dalam penafsiran al-Quran. Misalnya ketika menafsirkan al-Fajr ayat 6-7.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ { 6 } إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ {7}

Tidak sedikit ahli tafsir yang ketika menafsirkan Iram, mensifatinya dengan kota yang memiliki bangunan/tiang yang tinggi. Alkisah, `Âd bin `Aush bin Iram memiliki dua orang putra, Syadid dan Syadad. Setelah Syadid meninggal, kerajaan diambil alih oleh Syadad yang terobsesi membangun istana megah ketika mendengar cerita tentang surga. Dibangunlah istana tersebut di gurun `Adn selama 300 tahun.[1] Setelah istananya jadi, Syadad beserta segenap jajarannya menuju ke sana, tapi mereka dihancurkan oleh Allah Swt. setelah menempuh perjalanan sehari semalam. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Thabari, al-Tsa`alabi, al-Zamakhsyari, dan ahli tafsir lainnya.

Menurut Ibn Khaldun, kisah ini tidak pernah diceritakan di semua belahan dunia. Penduduk gurun `Adn (ada di tengah Yaman) yang merupakan setting kisah ini, juga tidak pernah menceritakan kisah ini. Selain itu juga terdapat pertentangan mengenai setting istana tersebut. Ada pula yang mengatakan ada di Damaskus yang notabene daerah kekuasaan kaum `Ad.

Menurut Ibn Khaldun, para ahli tafsir memasukkan kisah ini dalam penafsiran ayat tersebut dikarenakan konsekuensi linguistik ayat tersebut. Dzâtu `Imâd adalah sifat dari kaum `Ad. Mereka mengartikan al-`Imâd sebagai tiang-tiang. Padahal, bisa saja itu adalah tiang-tiang tenda. Bisa juga diartikan bangunan secara umum karena memang kaum `Ad terkenal ahli bangunan.

Demikianlah, sejarah hanya akan menjadi data tanpa memperhatikan apa yang ada di balik peristiwa. Hanya akan menjadi cerita tanpa mengkaji karakter sebuah bangsa, etika, bahkan aliran kepercayaan. Selain itu sebab kemajuan dan keruntuhan suatu bangsa mutlak menjadi kebutuhan kajian sejarah. Hal-hal diatas dapat digunakan ketika menganalisa kebanaran sebuah fakta sejarah. Sejarawan yang meninggalkan aspek-aspek di atas bisa saja tergelincir, apalagi pembaca dari kalangan awam.

C.  Sejarah yang Berputar

Tidak perlu heran dengan keaadan suatu bangsa yang silih berganti seperti roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada kalanya mengalami masa keemasan, ada kalanya harus jatuh berkubang lumpur. Tidak perlu heran, karena itu adalah sunnatullah yang ada pada suatu bangsa, masa, maupun manusia.

Dunia memiliki varian kisah kejayaan peradaban. Mulai dari Persia (generasi pertama), Suryani, Nabth, kaum Tubba’, Bani Israel, dan Qibthi. Mereka memiliki kisah masing-masing dengan berbagai episode; politik, kenegaraan, industri, bahasa, sampai sumbangan terhadap dunia. Setelah era mereka berakhir, protagonis dari drama kolosal dunia beralih pada Persia (generasi kedua), Romawi, dan Arab. Berbeda pemeran, tapi alur cerita masih sama. Begitu juga ketika peradaban Islam berperan sebagai protagonis. Bahkan ketika bangsa non-Arab seperti Turki di sebelah timur, Barbar di sebelah barat, dan Prancis di sebelah utara naik ke atas panggung peradaban. Kisahnya tetap sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal di atas adalah pemimpin. Seperti kata-kata hikmah,”Manusia itu beragama seperti agama rajanya.”

D. Memandang Sejarah

Satu hal yang sebenarnya merupakan sebuah kesalahan adalah melihat sejarah dengan kacamata masa kini. Contoh kasus ketika membaca sejarah al-Hajjah. Disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang guru. Padahal guru di zaman Ibn Khaldun berbeda dengan guru di zaman al-Hajjaj dari segi strata sosial. Pada masa generasi awal termasuk masa Umawiyah dan Abbasiyah, orang-orang kalangan atas-lah (Ahlu’l `Ashabiyyah) yang menjadi guru, mengajarkan Islam sampai ke berbagai wilayah futûhât. Ilmu-ilmu pun berkembang dalam perannya berkhidmah terhadap nash. Zaman kemudian beralih, Ahlu’l `Ashabiyyah lebih tertarik untuk menekuni dunia politik. Sehingga yang menjadi guru adalah orang-orang yang berada di bawah mereka. Sehigga profesi guru menjadi tidak lebih hanya sekedar mata pencaharian. Hal serupa juga terjadi pada jabatan hakim (al-Qadhi) yang di masa lalu lebih otoritatif.

Dalam penulisan sejarah juga tidak lepas dari hal ini. Sejarawan masa Ibn Khaldun banyak terpengaruh metodologi penulisan sejarah dari para sejarawan Umawiyah dan Abasiyah tanpa memahami landasan filosofis metodologi tersebut. Para sejarawan di dua masa itu ketika menyebutkan biografi seorang raja, turut menyebutkan nasab, keluarga, gelar, menteri, dan lain sebagainya. Agar para pembaca bisa meneladani kisah sukses mereka. Apa kerja keras mereka dibalik semua pencapaian tersebut. Menurut Ibn Khaldun, hal ini tidaklah tepat apabila diterapkan pada penulisan biografi para pemimpin di masanya. Ketika menceritakan kehidupan seorang hakim di masa lampau, tentunya akan berbeda dengan hakim di masa sekarang yang sangat jauh kualitas dan otoritasnya.

Sejarawan al-Masudi yang hidup pada tahun 300-an dalam Murûj al-Dzahab memaparkan keadaan bangsa-bangsa di barat dan timur, kondisi geografis, politik, sampai ideologi. Al-Masudi menjadi rujukan para sejarawan. Al-Bakri yang datang setelahnya mengikuti jejak al-Masudi, hal ini tidak mengapa karena keadaan pada masa al-Bakri tidak jauh berbeda. Apabila data yang diperolah al-Masudi masih digunakan pada masa Ibn Khaldun (tahun 800-an), apakah valid mengingat berbagai perubahan yang terjadi?

E.   Transliterasi dan Terjemah

Buku ‘Muqaddimah’ Ibn Khaldun sebenarnya merupakan mukadimah dari kitab al-`Abar fî Dîwâni’l Mubtada’ wa’l Khabar, fî Ayyâmi’l `Arab wal’l `Ajam wa’l Barbar, wa man `Âsharahum min Dzawi al-Sulthân al-Akbar, karya besar beliau dalam bidang sejarah. Dalam Muqaddimah, beliau juga membahas tata cara penulisan mengingat kitab al-`Abar membahas bangsa non Arab[2] yang tidak bisa dilepaskan dari istilah asing.

Huruf-hurus sebenarnya adalah bagaimana keluarnya suara-suara dari tenggorokan melewati anak tekak kemudian berproses melalui gigi, rahang, dan organ bciara lainnya. Inilah yang menyebabkan perbedaan huruf. Tidak hanya itu, masing-masing bangsa memiliki hurufnya sendiri, bahkan beda cara pengucapan huruf yang sama. Selanjutnya, mereka yang ahli dalam menulis membuat simbol setiap huruf.

Oleh karena kitab al-`Abar juga mencantumkan istilah asing, maka Ibn Khaldun membuat aturan, di antaranya huruf asing ditulis dalam dua huruf yang apabila diucapkan, maka pertengahannya adalah huruf asing tersebut. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.

Musa Al Azhar
Mahasiswa Universitas al-Azhar
Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis 

:Dipresentasikan pada
Kajian AFDA (Bedah Buku)
PCIM Kairo-Mesir
Kamis, 24 Rabiul Akhir 1434 H
7 Maret 2013 M





[1] Syadad berusia 900 tahun
[2] Pada awalnya, Ibn Khaldun hanya berniat menulis sejarah wilayah barat (Maghrib), akan tetapi pembahasannya kemudian meluas sampai ke daerah timur.

Friday, November 29, 2013

Dalil Aqli dan atau Dalil Naqli

“Kalau menghadapi orang sekular, gunakan dalil aqli. Jangan gunakan ayat al-Quran dan Sunnah. Lha bagaimana? Mereka kan tidak percaya dengan al-Quran dan Sunnah”. Kata Prof. DR. Ahmad Thaha Rayyan, pakar fikih Maliki dunia, anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar.'
Prof. DR. Ahmad Thaha Rayyan,
dalam kajian Shahih al-Bukhari di Masjid al-Azhar setiap Ahad ba`da Dzuhur
_________________________________
Menggunakan logika akal untuk mencapai sebuah kebenaran tidak sama dengan menentang al-Quran dan Sunnah. Kebenaran dapat dicapai dengan tiga hal yang masing-masing sudah memiliki lahannya. Tidak sampainya sebuah proses berpikir terhadap hasil yang seharusnya salah satunya disebabkan oleh menggunakan salah satu dari tiga hal tersebut bukan pada lahannya. Atau, menafikan salah satu dari ketiga hal tersebut dan hanya mengandalkan sebagian yang lain.

Ketiga hal tersebut adalah:
1.  Berita dari sumber yang valid. Dari mana kita tahu bahwa besok di akhirat akan ada timbangan yang digunakan untuk menimbang amal perbuatan manusia? Percayalah dengan berita dari Rasulullah Saw. yang diberi wahyu oleh Allah Swt. Pertanyaan selanjutnya, apakah al-Quran yang kita kenal sekarang sama dengan al-Quran yang dulu turun kepada Rasulullah Saw.? Al-Quran diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabat yang dinilai oleh para ulama sebagai orang yang adil, artinya bukan kaum yang berpotensi berdusta apalagi atas nama Rasulullah Saw. Selanjutnya diturunkan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Artinya, dari orang banyak ke orang banyak, yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Inilah yang membuat kita semakin percaya bahwa al-Quran yang berada di antara kita sekarang ini adalah al-Quran yang dulu diajarkan Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya.

Realitanya manusia sulit mengingkari legalitas berita dari sumber yang valid sebagai salah satu sumber kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu mudah percaya bahwa ada kebakaran, kerabatnya diterima di sekolah favorit, koleganya berpindah kantor, hanya dengan mendengar dari orang yang ia percaya.

Orang percaya bahwa Galileo Galilei adalah salah satu pendukung teori heliosentris.  Pertanyaannya, apakah kita punya sanad yang tersambung kepada Galileo? Cukup dengan mendengarkan penjelasan dari guru, kita percaya. Sekali lagi, berita bisa jadi sumber kebenaran selama sumbernya valid. Terlebih, umat Islam memiliki sistem ‘sanad’ sebagai perwujudan penjagaan Allah Swt. atas keaslian ajaran Islam.

2. Eksperimen berulang-ulang. Biasanya digunakan untuk mengungkap hukum alam. Misalnya mengetahui bahwa air akan mendidih ketika dipanaskan 100 derajat celcius. Merupakan hasil eksperimen berulang-ulang. Thomas Alva Edison ketika menemukan bola lampu listrik juga telah melakukan berkali-kali eksperimen untuk menemukan kawat yang cocok digunakan pada bola lampu.

Justru menjadi sebuah kesalahan ketika memaksakan semua hal yang berhubungan dengan hukum alam (misalnya) harus ditegaskan oleh teks al-Quran dan Sunnah. Jadinya akan memaksakan penafsiran terhadap ayat yang semestinya tidak mengandung makna tersebut. Tidak perlu khawatir, toh Rasulullah Saw. secara tersirat mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak tercantum sebagai teks al-Quran atau Sunnah, namun bisa dipastikan kebenarannya melalui metode lain. Kasus yang terkenal masalah cara berkebun kurma yang melahirkan statemen, “Antum a`lamu bi Umûri Dunyâkum, Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”[1] Para petani kurmalah yang sudah banyak makan asam garam dalam eksperimen menanam kurma.

3. Logika akal. Satu lebih sedikit dari dua. Ayah lebih tua dari anak. Alam ini berubah, setiap yang berubah membutuhkan yang merubahnya, maka alam ini membutuhkan kepada yang merubahnya. Kedua hal yang bertentangan tidak mungkin bersatu dalam suatu kondisi. Kesemua hal di atas adalah hukum akal.

Allah Swt. mengajarkan Nabi Nuh As. bagaimana menghadapi kaumnya yang tidak mau beriman kepadanya. Mulailah memikirkan Surah Nuh ayat 15 dan seterusnya. Bagaimana bisa ada langit yang bertingkat-tingkat? Ada bulan dan matahari? Tanaman? Semua hal yang ada di hamparan bumi? Ada rangsangan kepada umat Nabi Nuh As. untuk berpikir. Karena tidak mungkin sesuatu yang ada di dunia ini terjadi dengan sendirinya. Ada Dzat di luar alam yang disifati dengan kesempurnaan yang menciptakan semuanya. Tidak ada lain bagi seluruh makhluk selain menyembah-Nya.
__________________________________________________
Ada sebuah cerita menarik disampaikan oleh Syekh Ahmad Thaha Rayyan mengiringi nasehat di awal. Tersebutlah Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H) hidup di Baghdad pada masa keemasannya. Masa-masa dimana ajaran-ajaran di dunia ini diperjuangkan dengan argumentasi di arena debat, bukan dengan pedang di medan laga. Salah satu aktor di arena debat itulah al-Baqillani. Kemasyuhran dan pengakuan ulama membawanya ke Konstantinopel, ibukota negara adidaya di masa itu. Ia ditantang debat oleh para pemuka agama Nasrani di sana, di pusatnya.

Sesampai di lokasi, al-Baqillani menyalami para pemuka agama Nasrani satu persatu. “Gimana kabarnya Pak? Sehat ya?” Di tengah-tengah ramah tamah tersebut al-Baqillani juga menanyakan, “Gimana kabar keluarga? Sehat? Anak-anak baik-baik aja ya?” Kontan para hadirin kaget dengan ramah tamah ala al-Baqillani. Salah seorang berkomentar, “Bapak (al-Baqillani) kan sudah tahu kalau para pendeta dilarang menikah, kok Bapak menanyakan anak gimana?” Simak komentar epic al-Baqillani, “Kalian bisa mengkultuskan para pendeta dari urusan menikah dan punya anak, tapi kenapa tidak bisa melakukan hal tersebut terhadap Tuhan Penguasa alam raya?”


[1] HR. Muslim, Kitab al-Fadhâ’il, No. 6277 (ed. Makniz Islami) dari Anas bin Malik Ra.

Wednesday, October 2, 2013

Berbahasa untuk Memahami

Manusia sekaliber Ahmad bin Hanbal (241 H) saja pernah memujinya sebagai matahari yang mencerahkan dunia. Pasti dia bukan orang sembarangan. Jelas, ialah manusia pertama yang merumuskan bagaimana memahami al-Quran dan hadis nabi. Beberapa kalangan sampai menyebutnya Sang Pembaharu yang hanya lahir 100 tahun sekali. Ia adalah Muhammad bin Idris atau yang populer dengan panggilan Imam al-Syafi`i (204 H).
 
Imam al-Syafi`i bukanlah malaikat, ia manusia biasa yang pernah bayi, remaja, tua dan akhirnya meninggal. Tapi melihat pencapaian yang ia raih, menarik rasanya untuk mencari tahu bagaimana ia mencapainya. Mencari tahu ini masih realistis selama masih percaya akan pilihan Tuhan akan Sang Pembaharu per satu abad. Masih realistis karena sisi ‘manusia’ yang tidak mungkin lepas dari Imam al-Syafi`i. Sehingga jalan yang sama bisa kita lalui, meskipun level yang sama menjadi mission impossible untuk digapai.

Salah satu sisi yang menarik untuk diketahui adalah masa-masa kursus bahasa Arab di Bani Hudzail, salah satu suku di Arab. Pada masa ini, Imam al-Syafi`i menghafalkan semua syair Bani Hudzail. Menghafal bukan perkara yang sulit buat Imam al-Syafi`i, ia dianugerahi kemampuan menghafal semua yang ia dengar dan lihat. Bekal kursus inilah yang membentuk kemampuan berbahasa Imam al-Syafi`i yang nantinya menjadi bekal ketika ia hendak mengambil mutiara-mutiara hukum dari al-Quran dan hadis. Karena al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, hadis pun dituturkan oleh orang Arab terfasih, Nabi Muhammad Saw. yang langsung dibina adab lisan dan jiwanya oleh Allah Swt. Addabanî Rabbî fa Ahsana Ta’dîbî. Prof. DR. Ali Jum`ah, mantan mufti Mesir, pernah bercerita, saking fasihnya Imam al-Syafi, perkataannya bisa menjadi patokan dalam bahasa Arab.

Semua bahasa mengalami proses pembentukan dan pengembangan. Menurut Prof. DR. Ahmad Fuad Basya, seorang pakar fisika Mesir yang juga concern dalam bidang Islamisasi ilmu pengetahuan, bahasa Arab yang digunakan masyarakat pada masa turunnya al-Quran adalah kombinasi antara bahasa Nabi Ismail As.,bahasa Ibrani, dengan bahasa kabilah Jurhum yang datang untuk minum air zam-zam dan akhirnya kerasan di sekitar sumurnya. 

Prof. DR. Fathi Hijazi, seorang pakar balaghah dunia dari Universitas al-Azhar, menyampaikan bahwa bahasa Arab ini akhirnya sempurna 150 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ia menjadi keunggulan masyarakat Arab ketika itu dan menjadi bukti kecemerlangan akal mereka meskipun tidak memiliki keunggulan di bidang ilmu eksak seperti bangsa Yunani, India, dan lainnya. Orang Romawi yang hidup di perkotaan membanggakan gladiator, adu manusia sampai mati. Tapi orang Arab yang hidup di tengah padang pasir atau gunung batu Makkah punya festival syair di Pasar Ukazh, lebih manusiawi dan lebih elegan. Tujuh buah syair terbaik ditulis dengan tinta emas dan dipajang di dinding tempat termulia, Kabah.

Syekh Fathi menambahkan, setelah bahasanya mapan, masyarakat Arab siap untuk menerima wahyu yang disampaikan orang terfasih diantara mereka. Mereka paham bahasa al-Quran, dan tahu bahwa gaya bahasa al-Quran lebih unggul dari bahasa keseharian mereka. Sehingga mereka sadar bahwa al-Quran bukan rekaan manusia, melainkan kalam Tuhan. Dengan ini, seharusnya mereka langsung beriman.

Setelah menghafal al-Quran, kemampuan dasar yang menjadi harga mutlak harus dimiliki ulama adalah bahasa Arab meskipun yang bersangkutan bukan orang Arab, dan memang yang bisa menguasai bahasa Arab tidak harus orang Arab. Imam Sibuyah yang menulis al-Kitab, buku suci kaidah bahasa Arab juga bukan orang Arab (Maaf, saya mahasiswa jurusan hadis, diajarkan untuk tidak suka menyebut wayh yang konon salah satu nama setan. Jadi ketika menyebut Sibawaih jadi Sibuyah, Ibnu Rahawaih jadi Rahuyah, mohon dimaklumi).

Sebelum berbicara maqashid syariah, istihsan, maslahat, dan lain-lain, untuk memahami al-Quran dan hadis, ulama harus melalui fase pemahaman bahasa. Mulai dari makna teks perkata, kalimat, dan seterusnya. 
 
Musthafa Shadiq al-Rafi`i, sastrawan Mesir
Orang boleh membaca karya-karya Fikih Zakat, Fikih Prioritas, Fikih Jihad, dan fikih-fikih lainnya tulisan Syekh al-Qaradhawi, tapi jangan lupa, Syekh al-Qaradhawi pernah bercerita dalam Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb-nya bahwa ia sudah unggul dalam bahasa Arab ketika masih berstatus pelajar SMA al-Azhar. Ramadhan al-Bouti juga tidak jauh berbeda. Penulis Kubra Yaqiniyyât, al-Salafiyyah, dan buku-buku lain pembantah materialisme ini  pernah mengalami masa-masa ngefans dengan tulisan Mushthafa Shadiq al-Rafi`i, sastrawan Mesir. Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi sama, bekal ilmu balaghah-lah yang membantunya untuk memetik mutiara-mutiara al-Quran yang menyinari penduduk Mesir. Siapa orang Mesir yang tidak kenal dan tidak cinta dengan Syekh al-Sya`rawi? Oh ya, Syekh al-Qaradhawi pernah bercerita bahwa Syekh al-Sya`rawi adalah guru bahasa Arabnya di SMA al-Azhar.

Meneruskan pesan Syekh Fathi Hijazi ketika daurah ilmu balaghah di Madhyafah depan al-Azhar, apapun disiplin ilmu kita, peganglah pohon bahasa Arab dengan segala cabangnya terlebih dahulu sekuat tenaga.
Syekh Fathi Hijazi: kata Prof. DR. Ridha Zakaria, pakar hadis al-Azhar, Syekh Fathi yang juga guru SMA-nya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ilmu balaghah.



Tuesday, October 1, 2013

Al-Qur’an; Turun di Hijaz, Dibaca di Mesir


Agak gimana, gitu kalau mengaku mendalami agama tapi tidak hafal al-Quran. Meskipun Imam al-Ghazali (505 H) tidak mempersyaratkan harus hafal al-Quran kalau mau jadi mujtahid, cukup mengetahui ayat-ayat hukum saja. Tapi sekarang, siapa ulama yang tidak hafal al-Quran?

Meskipun –sependek pengetahuan saya- al-Quran tidak pernah turun di Mesir, tapi Mesir ini istimewa. Mesir adalah negeri para qurrâ’ alias ahli baca al-Quran. Salah seorang dai dari Arab Saudi, Syekh Muhammad al-Uraifi dalam sebuah khutbahnya pernah mengatakan bahwa siapapun ahli baca al-Quran di dunia ini, sanadnya pasti bersambung ke salah satu ulama al-Quran di Mesir. Salah seorang senior saya pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang sampai sekarang saya masih berharap bisa menemukan siapa yang mempopulerkannya, “al-Quran itu diturunkan di Hijaz, ditulis di Iraq (mungkin maksudnya zaman Khalifah Ali ketika menambahkan titik dalah tulisan al-Quran yang dulu tak perlu bertitik), dan dibaca di Mesir”.

Banyak pakar qira’at di Mesir, misalnya Syekh Abdul Basith Abdul Samad, kemudian Syekh Ahmad Isa al-Ma`sharawi, dan ada juga yang (katanya) termasuk paling senior di dunia, Syekh Abdul Hakim Abdul Latif. Oh ya, Universitas al-Azhar membuka fakultas al-Quran di kota Thantha. Bagi yang ingin belajar di sana, harus lulus dulu Ma`had Qira’at di Syubra al-Khaima.
 
Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif (jubah coklat) & Syekh Ahmad Isa al-Ma`sharawy (putih)
Sanad? Bukannya itu dipakai di hadis saja? Tunggu dulu, tunggu dulu, sanad atau rangkaian periwayatan merupakan keistimewaan umat ini. Ingat bahwa agama Islam ini diajarkan secara turun temurun, dari mulut ke mulut, akal ke akal, dan hati ke hati. Termasuk al-Quran, Rasulullah Saw. talaqqi al-Quran dari malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah Saw. menjadi mentor para sahabat yang menjadi mentor para tabi`in, dan seterusnya sampai generasi kita, sampai kiamat. Memang sekarang ada mushaf, tapi belum tentu orang yang punya mushaf bisa baca al-Quran. Simpelnya, orang yang membaca al-Quran tanpa guru akan membaca Âlâmâ ketika menemukan huruf alif, lam, dan mim di awal al-Baqarah.

Sejak pertama datang, saya terus mencari guru al-Quran. Mulai dari salah seorang Syekh di Masjid Faidhurrahman, 8th district, Nasr City. Hanya karena sebatas menyimak, tidak ada aturan khusus, saya kalah oleh inkonsistensi.

Pernah juga setoran dengan Syekh Abdullah di masjid al-Azhar. Beliau sangat ramah ketika bertemu di jalan, tapi galak ketika setoran. Saya pernah dikeplak gara-gara kurang satu kata ketika baca al-Quran (saya bangga dengan itu, pernah dikeplak oleh ahli al-Quran dari al-Azhar). Adek-adek kecil yang juga setoran ketika musim panas kadang juga tidak lepas dari belaian sayang rotan beliau. Tapi, banyak orang yang setoran dengan beliau di Masjid al-Azhar. Bahkan mahasiswi yang tinggal jauh dari al-Azhar pun sampai dibela-belain jauh-jauh ke al-Azhar untuk setoran dengan beliau. Lagi-lagi saya tidak bertahan lama dengan beliau, bukan karena dikeplak, tapi saya akui, memang untuk sukses butuh tekanan dan disiplin. You know what I mean.

Kemudian ketika pindahan ke Abbasea, saya pernah mencoba ngaji dengan Syekh Asyraf, muadzin Masjid al-Azhar di Masjid al-Ja`fari di dekat terminal Darrasah. Syekh Asyraf orangnya baik, kebiasaan beliau suka memotret muridnya ketika sudah lama bergabung. Selain itu, beliau sering memberi hadiah jus kotak, roti, bahkan pernah mengajak murid-muridnya untuk nyate ketika Idul Adha. Hanya metodenya kurang cocok. Selain karena harus setiap hari (kecuali Selasa dan Jumat) dan itu tidak cocok dengan saya yang mudah bosan, dan saya sering mengeluhkan perbedaan instruksi bacaan para guru. Maklum, setelah nyetor dengan Syekh Asyraf, kita dioper ke murid-muridnya yang bermacam-macam karakter dan penekanan tajwidnya. Maaf ya Syekh, kayaknya saya belum bisa konsisten setoran dengan hadratak...
Tidak lama menghayati keramahan Syekh Asyraf
Salah seorang kawan yang baik hati menunjukkan tempat ngaji Syekh Nabil di dekat Masjid Husein. Setor seminggu dua kali dan  ada muraja’ah yang termanhaj, cocok buat saya. Saya memang tidak nyetor dengan Syekh Nabil, tapi dengan murid beliau, Syekh Zaid yang baik hati. Beliaulah yang mencoba untuk saya teladani.

Syekh Zaid tidak pernah marah apalagi ngeplak. Bahkan menurut saya, beliau terlalu baik. Karena terlalu baik itulah justru yang memberikan tekanan lebih untuk perfect ketika setoran dan muraja`ah. Pernah suatu ketika, karena memang kurang persiapan, saya glagapan ketika setoran sehingga harus mengulang di pertemuan berikutnya, bahkan muraja’ahnya tidak jauh berbeda. Tapi waktu itu saya putuskan untuk mencoba lagi setelah seorang kawan nyetor. Adzan dhuhur berkumandang, di ruangan tinggal saya dan Syekh Zaid. Beliau mengajak saya salat di Masjid Husein. Ketika salat, hati ini rasanya tidak enak, merasa bersalah kenapa kurang persiapan, dan pasrah bagaimana nanti ketika setoran setelah salat. Seusai berdoa, “Masih ada muraja’ah (yang tadi harus diulang) ya? Gimana kalau pertemuan depan saja?” Itulah kata-kata yang keluar dari senyum Syekh Zaid. Ampun deh, senyummu menyanyat hatiku Syekh.

Tekad untuk selalu siap dan tidak glagapan lagi akhirnya cuma musiman. Terkadang bisa nyetor dan muraja`ah lancar, tapi masih beberapa kali terulang yang namanya glagapan. Suatu ketika, saya mencoba curhat ke beliau. Nah, inilah yang saya suka dari semua guru di Mesir. Tidak ada namanya belas kasihan (baca: pemakluman) untuk setiap kelemahan dalam proses belajar. Menjadi seorang pakar agama berarti menjadi manusia sejati yang mempunyai sifat tegar dan tidak banyak alasan. Karena memikul risalah itu tidak ringan kawan, hanya jiwa yang kuatlah yang bisa memikulnya. Semua kesempatan adalah kesempatan terakhir karena setiap kesempatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Alasan studi s2 pun saya sadari tidak boleh diajukan untuk dapat kemakluman. Mau apalagi kalau tidak hafal? Bagaimanapun ketika sudah bertekad menghafal al-Quran tidak ada kata mundur. Karena mundur berarti menolak membuka pintu hati untuk menjadi jalur periwayatan kalam Allah yang sudah tersambung dari Rasulullah Saw., sahabat, dan seterusnya.

Berulang-ulang! Itulah satu-satunya solusi usaha manusia untuk menghafal al-Quran. Itulah mengapa Syekh Zaid tidak pernah meminta banyak-banyak setoran, yang penting setiap pertemuan ada hafalan baru dan muraja`ah hafalan lama. Dalam hal muraja`ah yang kata beliau tidak kalah penting, ketika muraja`ah sudah menyamai hafalan baru, ulang lagi dari awal al-Fatihah. “Kamu harus baca semua yang kamu hafal dalam waktu seminggu.” Itu pesan beliau di salah satu setoran glagapan saya. Metode berulan-ulang ini sangat manjur. Salah satu bukti suksesnya ada pada Syekh Ramadan al-Buthi. Menurut salah satu sumber riwayat hidup beliau, karena beliau sering khatam al-Quran, beliau sampai tidak perlu susah-susah ikut program tahfidz untuk bisa hafal al-Quran.

Dua pertemuan lalu, Syekh Zaid izin sakit. Ahad kemarin, beliau sudah masuk, tapi ada yang tidak beres dengan pipi beliau yang membengkak. Ya Allah, dalam keadaan seperti itu beliau masih kuat bertugas menyimak jam pagi. Saya sampai tidak tega untuk melanjutkan sesi muraja`ah, karena takut beliau harus banyak berkata untuk membetulkan bacaan saya. “Minggu depan aja ya Syekh...”.”Iya, Jazakumullah Musa..” 

Hafal al-Quran itu bukan hasil usaha manusia. Karena al-Quran adalah kalam Allah, sesuai kehendak-Nya al-Quran mau ditanamkan di hati siapa. Ya Allah, kondisikan hamba untuk layak menerima dan membaca al-Quran...

Saturday, September 7, 2013

Dicabutnya Ulama Dicabutnya Ilmu

Sepulang salat Isya, saya terkejut ketika membuka fb. Di beranda, ada tautan yang dibagi oleh akun pribadi Prof. DR. Abbas Syuman, Sekjen Dewan Ulama Senior al-Azhar. Mengabarkan tentang wafatnya salah seorang ulama besar al-Azhar, Prof. DR. Abdul Fattah Syekh pada hari ini, Sabtu, 7 September 2013. Beliau adalah anggota Dewan Ulama Senior, Islamic Research Center, Mantan Rektor, dan guru besar usul fikih Universitas al-Azhar.

Secara pribadi, saya memang tidak pernah mengikuti kuliah beliau karena memang beliau mengajar di fakultas syariah sedangkan saya adalah mahasiswa fakultas usuluddin. Tapi, beliau memang terkenal. Salah satunya karena ketegasannya, terutama dalam hal meluluskan mahasiswa dari ujian. Selain itu, ada beberapa cerita menarik tentang beliau yang saya dapat dari rekan-rekan mahasiswa fakultas syariah atau yang lain.
  1. Beliau pernah berkata, "Sebelum kalian belajar usul fikih, kalian harus tahu sejarah al-Azhar!" Kira-kira, apa maksudnya ya?
  2. Suatu hari ada mahasiswa Mesir yang terlambat mengikuti pelajaran beliau. Mahasiswa ini memakai jubah lengkap dengan janggut tebal yang memenuhi dagunya. Prof. DR. Abdul Fattah Syekh menegurnya,"Harusnya kamu malu sama janggutmu!" Beliau mengajarkan bahwa kualitas tidak bisa ditentukan semata hanya dari penampilan.
  3. Beliau pernah ditanya tentang standar soal beliau yang terkenal sulit, "Duktur, soal seperti ini apa sudah sesuai dengan peraturan/standar di Mesir?" Apa jawab beliau, "Lha yang menentukan peraturan/standar itu saya kok!"
  4. Salah seorang mahasiswa menanyakan kenapa beliau sampai bisa dikenal 'pelit' dalam meluluskan mahasiswa ketika ujian. Jawab beliau, "Kamu pernah lihat tv kan? Di tv itu banyak orang ngawur berfatwa. Saya nggak pengen, orang-orang yang ngawur itu ternyata pernah jadi murid saya/saya luluskan ujiannya!" (Padahal di Mesir tidak ada namanya ustadz entertainment...)
Semoga Allah menempatkan beliau bersama para nabi, syuhada, dan orang-orang saleh...
Ada kisah lain?

(Teriring doa, semoga lahir Abdul Fattah Syekh2x yang baru...)

Thursday, August 8, 2013

Kejayaan; dari Siapa untuk Siapa?



Malam Satu Syawal 1434 

Kalau diukur menurut kesepakatan dua kali setahun berlibur, malam ini mungkin saya sedang berjalan-jalan di alun-alun bersama kedua orang tua dan kedua adik saya. Sebelumnya menyantap hidangan buka puasa terakhir keluarga besar ibu yang besoknya setelah salat idul fitri akan kembali berkumpul bersama. Acaranya mulai dari sungkem, bincang-bincang, sampai tentunya bagi-bagi wisit alias angpau lebaran. Tapi untuk tahun ini, saya harus mempersiapkan ujian tamhidi I yang akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 2013 besok insya’a4Wl.

Di bawah memang ramai, maklum, pasar. Ditambah dengan adanya pembukaan warung Kusyari (pasta Mesir) yang menggantikan warung Kusyari yang lama. Tak apa, maka untuk mengisi kesendirian ini saya memutuskan untuk merenung dan menulis. Merenung untuk diri sendiri, menulis untuk membayar hutang tulisan yang sudah lama saya janjikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik saya khususnya.

Banyak hal yang bisa direnungi. Tapi malam ini, satu tema yang kebetulan sudah saya temukan keterkaitannya dengan tema hutang tulisan saya, “kejayaan”. Berapa banyak kita dengar, orang berkarya di dunia untuk meraih kejayaan. Namun, (untuk mempersingkat) mari kita renungi, sejalankah cita-cita kejayaan itu dengan tugas hidup kita?

Sulit menjawabnya, tapi tenanglah, Allah sudah menyiapkan para ulama pewaris Nabi yang bisa menjawab berbagai pertanyaan hidup kita. Mereka memang manusia biasa, bukan nabi. Namun, mereka telah melalui proses pendidikan jiwa, akal, dan hati dengan sebaik-baik cara. Setidaknya, kita bisa mencontoh mereka dalam hal menjalani hidup.

Guru para Ahli Hadis Dunia

Siapakah ahli hadis terhebat di dunia saat ini? Terlalu hiperbolis ya? Saya ganti dengan, siapakah guru dari para ahli hadis dunia saat ini? Pertanyaan tentang siapakah ulama paling brilian, bahkan dalam bidang tertentu, sulit dijawab. Apalagi oleh orang awam seperti kita yang baru mulai belajar agama belum masuk ke dunia keulamaan. Tapi bukan berarti jawabannya tidak ada sama sekali. Pada abad ketiga hijriyah, masa kejayaan ilmu hadis, ada perkataan begini, “Huffazh (salah satu gelar ahli hadis) dunia ada empat: Abu Zur`ah di Rayy, Imam Muslim di Nisapur, Abdullah bin Abdurrahman al-Darimi di Samarkand, dan Imam al-Bukhari di Bukhara.” Ini kata Muhammad bin Basyar, seorang ahli hadis abad ketiga. Imam al-Bukhari sendiri pernah mengatakan,”Saya tidak pernah merasa inferior dihadapan siapapun kecuali Ali bin al-Madini (salah satu gurunya)”. Kesimpulannya, penilaian ‘terhebat’ bukanlah hal yang aneh. Hanya tentunya, keluar dari mereka yang berhak menilai, yaitu sesama ulama. Kita cukup jadi pendengar saja.

Prof. DR. Ahmad Ma`bad Abdul Karim. Nama yang mungkin tidak setenar nama-nama yang masih hidup seperti Prof. DR. Ali Jum`ah (mantan mufti Mesir), Prof. DR. Ahmad al-Thayyib (Grand Syekh al-Azhar), DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Abdul Azis Alu Syaikh (mufti Kerajaan Saudi Arabia), Syekh Sudais, Syekh al-Ghamidi, dan lain-lain. Namun jasa beliau terhadap umat Islam, terutama dalam ilmu hadis, sangat besar dan tidak banyak orang yang tahu.

Saya pernah mendengar Prof. DR. Ridha Zakaria, salah seorang ulama hadis al-Azhar (guru majelis riwayat kutub sittah hari Sabtu) mengatakan bahwa,”Saya belum pernah melihat yang sehebat beliau sekarang, bahkan mungkin beliau sendiri juga belum pernah melihat yang sehebat dirinya sekarang”. Murid Syekh Ahmad Ma`bad, DR. Usamah al-Sayyid al-Azhari, seorang ulama muda al-Azhar yang disertasinya dibimbing oleh Syekh Ahmad Ma`bad, direktur kantor Risalah al-Azhar (lembaga dakwah dan syiar al-Azhar) mengakatan hal senada, “Beliau adalah gurunya seluruh ahli hadis dunia saat ini”. Pada Muktamar Hadis di al-Azhar Conference Center 2012 lalu (ketika itu Syekh Ahmad Ma`bad juga sibuk keliling-keliling memakai name-tag ketua panita memastikan acara berjalan lancar), dekan fakultas hadis Universitas Islam Madinah juga mengungkapkan kekagumannya terhadap beliau. Katanya, ketika memoderatori salah satu sesi,”Beliau tidak perlu diperkenalkan lagi.” Bukan bermaksud membandingkan satu dengan yang lain karena saya pribadi tidak punya kapasitas untuk itu, hanya memaparkan beberapa pengakuan ulama tentang Syekh Ahmad Ma`bad (kadang dipanggil Ahmad Ma`bid).

"Allah akan membuat mencerahkan wajah mereka yang mendengar hadis, menghafalnya, kemudian mengamalkannya..." (HR. Abu Daud)
Perjalanan Intelektual

Layaknya anak Mesir lainnya, beliau menjalani pendidikan dasar di sekolah dasar di kota kelahirannya, Fayoum, Mesir. Beliau yang lahir pada tanggal 6 November 1939 (1359 H) ini menamatkan hafalan al-Quran pada usia delapan tahun. Pada tahun 1961, beliau menamatkan pendidikan menengah di sekolah al-Azhar kemudian melanjutkan ke bangku universitas dan lulus pada tahun 1966 (usia 27 tahun) dari fakultas ushuludin jurusan tafsir-hadis (sekarang dipisah menjadi jurusan tafsir dan ilmu al-Quran, dan hadis dan ilmu hadis).

Menyandang gelar Lc, seperti kebanyakan pemuda Mesir lainnya, beliau menjadi imam dan khatib kementerian wakaf (seperti depag di Indonesia) sekaligus guru agama dan bahasa Arab. Sambil melanjutkan s2 mengambil spesialis tafsir, hanya ia lulus tamhidi (pendidikan teori) dengan predikat cukup. Kuatnya tekad menuntut ilmu membawanya masuk lagi ke bangku s2 dengan spesialisasi hadis yang akhirnya menjadi jalan hidup yang Allah tentukan baginya. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1971.

Syekh Ahmad Ma`bad banyak menjalani hidupnya di dunia pendidikan. Seperti menjadi dosen di almamaternya, Universitas al-Azhar. Juga berkesempatan untuk membagi ilmunya di Arab Saudi, tepatnya di Universitas Muhammad bin Su`ud fakultas ushuluddin, jurusan aqidah dan aliran kontemporer, tafsir dan ilmu tafsir, dan jurusan sunah dan ilmunya sejak tahun 1399 H sampai 1417 H (18 tahun). Sudah banyak karya tulis (tesis maupun disertasi) yang beliau bimbing dan uji. Dari kawah pembinaannya pula lahir banyak ulama baik dari Mesir maupun negara timur tengah lainnya seperti Arab Saudi,tempat 18 tahun beliau mengajar, seperti Syekh Salman Fahd al-Audah, Syekh Abdul Wahab al-Thariri, dan lain-lain. Sampai sekarang, murid-muridnya yang sudah pada menjadi orang besar keep contact dengan beliau.

Tashnîf al-Kutub (Karya-Karya Beliau)

Selain membina manusia, tugas dari ulama adalah melakukan pengkaderan ulama. Bahkan tashnîfu’l kutub (menulis buku) juga merupakan bagian dari keduanya. Kalau ditanya mengenai karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad, mungkin jawabannya akan berbeda dengan karya tulis Syekh al-Qaradhawi yang kebanyakan juga bisa dinikmati orang awam. Karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad lebih banyak dalam lingkup spesialisasi seperti:

1.      al-Nafh al-Syadzi yang merupakan penjelasan dari Jami` al-Tirmidzi karya Ibnu Sayyid al-Nas (karya tahkik/filologi dan kajian), dicetak di Daru’l `Ashimah, Arab Saudi.
2.      Alfâzh wa `Ibârâtu’l Jarh wa al-Ta`dîl baina al-Ifrâd wa al-Takrîr wa al-Tarkîb wa Dilâlat kullin minhâ `alâ Hâl al-Râwi wa’l Marwi (Lafaz-Lafaz Penilaian Negatif dan Positif dalam Bentuk Tunggal, Pengulangan, dan Rangkaian, Serta Petunjuk dari Masing-Masing Lafaz Tersebut tentang Keadaan Rawi maupun Riwayatnya)
3.      Al-Hâsib al-Âli wa Istikhdâmuhû fî Majâl al-Sunnah al-Nabawiyyah (Penggunaan Komputer dalam Bidang Hadis)
4.      Buku Kajian Tokoh Ahli Hadis (Imam Zainuddin al-`Iraqi)
5.      Tahdzîb al-Tahdzîb (Buku biografi perawi hadis dari enam kitab hadis standar karya Ibnu Hajar al-Asqalani) (Karya Filologi, belum dicetak).
6.      Kumpulan Fatwa (diterbitkan Harian al-Ahram, Mesir)
7.      Dan lain-lain...

Kesibukan ulama hadis bermazhab fikih Hanafi ini (sependek pengamatan saya) banyak yang berkisar di tema mengkader ulama dan penelitian hadis. Selain mengajar di Universitas dan Masjid al-Azhar (talaqi), beliau juga membimbing dan menguji berbagai karya tulis berbentuk tesis dan disertasi (beliau pernah bercerita di kelas bahwa beliau sedang mengoreksi 15 karya tulis saat ini), mengisi seminar di berbagai negara timur tengah, menjadi ketua Yayasan Makniz Islami yang bergerak dalam bidang hadis, dan menyusun kurikulum berbagai universitas.

Talaqqi Kitab Tadrib al-Rawi di Masjid al-Azhar, 
kebanyakan pesertanya adalah peneliti hadis



Selain itu, beliau adalah salah satu anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ’ (Badan ulama senior) al-Azhar. Sebuah lembaga yang menjadikan al-Azhar bisa maksimal melaksanakan misinya. Di antara fungsi dari lembaga ini adalah menjadi rujukan pemerintah Mesir tentang syariat Islam (lihat pasal 2 UU Mesir). Dipimpin oleh Grand Syekh al-Azhar. Di antara anggotanya adalah Syekh Ali Jum`ah, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Muhammad Imarah (pemikir Islam), Syekh Ahmad Thaha Rayyan (pakar fikih mazhab Maliki dunia), dan lain-lain. Beberapa waktu lalu, Dewan Ulama Senior banyak memberikan koreksi tentang Obligasi ‘Syariah’ yang diajukan oleh pemerintah Mesir. Konsep yang diharapkan bisa memulihkan perekonomian Mesir ternyata ada beberapa poin yang dianggap Dewan Ulama Senior tidak sesuai syariat dan jelas merugikan. Misalnya, salah satu poinnya menyebutkan bahwa jaminannya berupa BUMN Mesir. Kasus ini cukup ramai di media Mesir beberapa bulan lalu. 

Selain itu, tugas Dewan Ulama Senior adalah memilih Grand Syekh al-Azhar (apabila ada pergantian suatu hari nanti) juga merekomendasikan mufti Mesir untuk diberi SK oleh kepala negara. Pernah suatu ketika, beliau izin tidak bisa mengajar, alasannya? Beliau sedang rapat merekomendasikan mufti Mesir yang baru, menggantikan Syekh Ali Jum`ah. Akhirnya terpilih mufti yang sekarang DR. Syauqi Ibrahim `Allam yang bermazhab Maliki.

Secara pribadi, saya belum pantas mengatakan sudah mengambil banyak ilmu dari beliau. Jujur, saya baru mengenal beliau awal 2012 lalu ketika Muktamar Hadis yang diselenggarakan oleh Yayasan Makniz Islami di Cairo, dimana beliau menjadi ketua panitianya. Selebihnya hadir di mata kuliah takhrij dan ilal (ilmu mencari kecacatan hadis) di s2 dan talaqi kitab ilmu hadis Tadrîb al-Râwi karya Imam al-Suyuthi yang beliau ampu di masjid al-Azhar (sayang, yang kedua ini harus ditinggalkan karena hadir di majelis riwayat hadis bersama Syekh Ridha Zakaria di waktu yang sama, semoga Allah ganti dengan yang lebih baik).

Pertemuan yang singkat ini banyak pelajaran yang dapat diambil dari beliau. Kaitannya dengan pendidikan ulama hadis, beliau sering mewanti-wanti bahwa karakter ilmu hadis adalah teorinya diambil dari buku. Mengapa? Karena semua hal yang dibutuhkan dalam kajian hadis mulai dari teks sampai perawi hadis sudah selesai dibukukan oleh para ulama terdahulu. Misalnya dalam takhrij hadis, setelah kita selesai mengumpulkan berbagai jalur periwayatan sebuah hadis, ada sebagian ulama yang menyusunnya dalam urutan kitab tersahih, jadi selalu mulai dari al-Bukhari, Muslim, dst. Syekh Ahmad Ma`bad tidak setuju karena yang dilakukan oleh para ahli hadis zaman dahulu tidak seperti itu. Mereka menyusunnya urut dari jalur yang termirip kemudian yang berbeda guru di atasnya dan seterusnya (al-Mutâba`ah al-Atamm fa’l Aqal) dalam satu sahabat. Baru jalur sahabat lain. Jadi, tidak mesti dimulai dari al-Bukhari. Hal ini bisa dilihat dari metode Imam Muslim dalam Shahih-nya, Imam al-Zaila`i dalam Nashb al-Râyah ketika mentakhrij hadis dalam kitab fikih hanafi al-Hidâyah, dan lain-lain. 

Suasana belajar di kelas: Syekh Ahmad Ma`bad (kiri) Syekh Muhammad Mushtafa Abu Imarah (Kanan)


Ketika berteori pun, Syekh Ahmad Ma`bad selalu membawa hasil penelitiannya yang kadang berupa copy-an kitab maupun kertas kecil yang berusia belasan tahun. Bahkan kata seorang kawan, kertas kecil itu kadang berupa slip bank yang beliau manfaatkan untuk menuliskan kesimpulan dari penelitian beliau terhadap sebuah hadis atau buku bertahun-tahun lalu. Kertas-kertas yang selalu beliau sebut kuftah (makanan Mesir terbuat dari daging), bathothis (kentang, biasanya digoreng), dan lain-lain yang membuat murid-muridnya grrr...

Sekali lagi bukan sembarang kertas. Beliau tidak sependapat dengan ulama lain yang mengatakan bahwa hadis dha`if hanya bisa naik ke hasan (terlebih dahulu atau mentok), tidak bisa langsung ke shahih. Menurut beliau, hadis dha`if bisa menjadi shahih li ghairihi. "Kalau gak percaya baca Hady al-Sari (mukadimah Fathu'l Bari-pen)".

Kesimpulannya, kajian hadis lebih mengandalkan studi pustaka daripada sekedar logika akal atau silogisme belaka. Simpelnya, ilmu dan kematangan ulama hadis berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas bacaan.

Buku apa? Syekh Ahmad Ma’bad sering mewanti-wanti untuk memilih membaca buku para ulama terdahulu (mutaqaddimin) daripada kontemporer. Beliau menukil nasehat dari guru beliau, Prof. DR. Muhammad Abu Syahbah, ulama al-Azhar yang pernah mengajar di Arab Saudi:
إذا قرأت للمتقدمين صرت سابقًا للمتأخرين، وإذا قرأت للمتأخرين، جعلوك وراءهم
Artinya: Kalau kamu baca bukunya ulama mutaqaddimin, kamu akan mengungguli yang kontemporer, tapi kalau kamu baca buku kontemporer, kamu akan jadi manusia di belakang orang kontemporer.

Bukan berarti meremehkan karya kontemporer. Tapi begitulah perkataan ulama, harus dipahami dengan cermat. Pertama, siapa sasaran ucapan tersebut? Perkataan itu adalah nasehat dari guru beliau yang diteruskan kepada para mahasiswa sekarang, kepada para calon ulama. Kedua, kalau hanya mengandalkan silogisme, jelas yang terbaik adalah menggabungkan antara mutaqaddimin dan kontemporer karena tuntutan zaman. Tapi sekali lagi, ada kenyataan karakter kitab-kitab para ulama yang berfungsi sebagai sarana memahami al-Quran dan Sunnah. Setelah zaman Imam al-Syaukani (1250 H) (ada yang mengatakan al-Bajuri, seperti Syekh Ali Jum`ah), proses penyempurnaan bangunan keilmuan Islam bisa dikatakan selesai. Setelahnya, nyaris tidak ada perumusan teori baru, kebanyakan hanya kontekstualisasi dengan zaman sekarang, itupun selalu merujuk ke kitab-kitab babon para mutaqadimin. Kenapa? Simpelnya begini, ada berapa cara yang bisa dilakukan A-B-C untuk duduk di tiga buah kursi? Enam atau sembilan? Yap, enam. Nah, tidak mungkin ada cara ketujuh dan seterusnya. Keenam cara tadi, apabila diumpamakan seperti penyempurnaan bangunan keilmuan Islam, sudah selesai pada abad ke 13 hijriyah.

“Coba kamu baca sepuluh halaman saja sebelum tidur, sebulan kamu bakal khatam satu jilid kitab.” Itu nasehat Syekh Ahmad Ma`bad yang kata seorang senior, kitab-kitab hadis dan ilmu hadis yang berjilid-jilid itu tidak hanya beliau baca 100-200 halaman, melainkan semua sampai khatam. Makanya beliau bisa memahami metode kitab-kitab dan para ulama hadis, dan dari situlah jalan untuk menjadi “gurunya para ahli hadis dunia” karena sekali lagi, karakter kajian hadis yang sangat bergantung kepada kitab.

Selain itu, yang tidak boleh dilupakan dalam kajian hadis adalah berguru. Dalam dunia hadis dan ilmu hadis, pelajar otodidak sulit mendapat tempat (ini tidak bertentangan dengan ‘membaca’ seperti di atas). Syekh Ahmad Ma`bad pernah berguru kepada Syekh Muhammad al-Samahi, ulama hadis al-Azhar, yang juga guru dari Syekh Nuruddin Itr (ulama hadis Syiria) ketika menjadi mahasiswa di al-Azhar. Ada juga Muhammad Abu Syahbah seperti tersebut di atas, Syekh Abdul Wahab Abdul Lathif, filolog terkenal, yang juga pembimbing beliau. Selain itu beliau juga pernah mendapat ijazah dari Syekh Hammad al-Anshari, Syekh Ismail al-Anshari, Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari (ahli hadis terkenal dari Maroko), Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah (ulama hadis terkenal Syiria), Syekh Abdul Ghaffar al-Pakistani, juga ulama kebanggaan nusantara, Syekh Yasin al-Faddani, dan lain-lain.

Sebenarnya, beliau punya keinginan yang belum kesampaian, yaitu berguru kepada Syekh Ahmad Syakir (ulama hadis al-Azhar terkenal, juga merupakan filolog terkenal, di antara karyanya adalah al-Ba`its al-Hatsîts yang merupakan penjelasan dari kitab Ikhtishâr `Ulûmi’l Hadîs karya Ibnu Katsir). Juga keinginan berguru kepada Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang terkenal.

Humoris

Bagi yang pernah berguru kepada beliau, pasti terkenang akan joke-joke ringan yang berkesan dari Syekh Ahmad Ma`bad. Pernah beliau ditanya kenapa masih berkutat menjelaskan mukadimah kitab Tadrîb al-Râwi dan kapan masuk ke isi kitab? Dengan enteng beliau menjawab, “Tenang aja, sebelum kiamat insya’a4wl”. Grrr.... Ketika ditanya kapan kitab Tahdzîb al-Tahdzîb yang beliau teliti diterbitkan? Untuk menjawabnya, beliau meminjam kata-kata Imam Malik ketika ditanya soal arti al-Istiwâ’ (sifat bersemayam Allah), “Assu’âlu `anhu bid`ah! (Tanya tentang itu bid’ah) :D “. Pelajaran takhrij di al-Azhar berpedoman kepada tiga buku karya Prof. DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir, kepala jurusan hadis Universitas al-Azhar. Sebenarnya kita dibebaskan memilih buku apapun juga selain ketiga buku itu, yang penting paham teori takhrij. “Kalian baca buku apa aja silahkan, isinya sama saja kok, kalau di satu buku namanya Abu Daud di buku lain juga Abu Daud, nggak mungkin jadi `ammu (paman) Daud”. 

Oh ya, beliau penggemar teh susu. Setiap mengajar di kuliah, selalu datang `Ammu Ahmad, karyawan di al-Azhar yang usianya sudah separuh baya, membawa segelas teh, kemudian Syekh Ahmad Ma`bad tinggal menungkan susu bubuk yang beliau bawa sendiri. Ketika proses itu terjadi, `Ammu Ahmad selalu dibuat kikuk mati gaya karena dicandai Syekh Ahmad Ma`bad di depan puluhan mahasiswa dari berbagai negara. Misalnya dengan didoakan “Ammu Ahmad ini, semoga Allah berkahi dia, keluarganya, termasuk juga makanan dan minumannya”.

Bagi yang tidak paham bahasa `ammiyah Mesir, akan sulit menangkap humor, bahkan pelajaran Syekh Ahmad Ma`bad karena beliau lebih sering menggunakan `ammiyah, bahkan ketika mengisi pelatihan di negara timur tengah lain seperti Pelatihan Takhrij di Kuwait.

Anti Pengkotak-Kotakan

Zaman sekarang, banyak ditemukan budaya tahdzîr. Alias mencap ulama atau kitab tertentu dengan cap negatif agar orang menjauhi. Sayangnya, kebanyakan hal ini dipengaruhi perbedaan kelompok. “Saya menentang pengkotak-kotakan! Hikmah itu barang yang hilang dari kaum muslimin, dia bisa didapat dari mana saja! (Ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra.-pen)”.  Makanya, Syekh Ahmad Ma`bad menasehatkan untuk banyak belajar dari kitab para mutaqaddimin, karena di masa mereka lah bangunan keilmuan Islam dibangun. Manusia langka seperti Syekh Ahmad Ma`bad ini bisa membuat orang merasa diayomi. Kehadirannya selalu membawa manfaat di setiap tempat dan komunitas yang didatangi. Tentunya hal ini terwujud karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau juga karena kelapangan dada beliau. Kedalaman dan keluasan ilmu membuat orang paham di sisi mana bisa memaklumi perbedaan pendapat orang lain, kelapagan dada membuat orang mudah bergaul dengan orang lain.

Manusia Memiliki Peran Masing-Masing

Kata orang Jawa, “Urip iku sawang sinawang”. Terkadang kita merasa orang lain lebih beruntung daripada kita, padahal bisa jadi orang lain juga memandang kita lebih beruntung. Terkadang posisi orang lain tampak lebih prospek daripada kita bahkan dalam hal berkhidmah terhadap ajaran Islam.

Dari perjalanan hidup beliau dan para ulama lainnya, kita dapat mengambil pelajaran yang mudah diucapkan dan dituliskan, susah dilakukan dan dirasakan. Allah menempatkan posisi masing-masing hamba-Nya. Ada Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang menjadi ketua persatuan ulama dunia, namun ia juga menjadi anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar yang dipimpin Syekh Ahmad al-Thayyib. Ada yang mendapat peran seperti Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi yang terkenal dengan mutiara-mutiara pemahaman al-Qurannya sehigga begitu membekas di hati rakyat Mesir. Ada juga mereka yang tampil di garda depan di medan perang. Nama mereka harum dengan kisah heroik kepahlawanan mereka. Namun ada juga orang yang tidak banyak dikenal orang, yang mengenalnya adalah para ulama dan para penuntut ilmu. Perannya tidak bisa diremehkan. Sekilas terlihat yang dikerjakan simpel, hanya menyampaikan apa yang dia ketahui. Tapi dari yang simpel ini lahir ide-ide besar untuk mengarahkan manusia, menjaga otentisitas ajaran agama, dan para kader pekerjaan mulia ini. Kehadirannya selalu dinanti, bahkan umurnya selalu diharapkan untuk dipanjangkan, dan kesehatannya selalu didoakan agar ditetapkan. Kejayaan itu dari Allah, kapan dan tempat terserah Allah, yang jelas untuk Allah. Yang penting, selalu menjalani sebab dengan mengoptimalkan segala potensi ketika ikhtiar, dan doa.  Semoga kita termasuk orang-orang al-Shâdiqûn...

Karena ada manusia yang tidak terkenal di bumi, tapi namanya harum di langit....

Musa Al Azhar, Lc.
(Mohon doanya, mau ujian...)