أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Sunday, January 18, 2015

Konten Pernyataan Badan Ulama Senior al-Azhar Terkait Tragedi “Paris” Beberapa Waktu Lalu


1. Beberapa media barat tidak henti-hentinya melakukan serangan yang provokatif terhadap agama Islam dan Nabi Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa Sallama. Seperti yang pernah terjadi di Denmark maupun yang baru-baru ini dilakukan oleh media cetak Charlie Hebdo di Paris.
2. Demonstrasi di Paris yang dilakukan sebagai respon terhadap tragedi “Charlie Hebdo” dihadiri oleh beberapa teroris besar seperti Benjamin Netanyahu. Di dalam arak-arakan tersebut juga terdapat orang-orang berpakaian seperti tentara salib. Ini menunjukkan bahwa Barat masih saja membakar api permusuhan terhadap kaum muslimin. Mereka tidak konsisten dengan prinsip persaudaraan dan perdamaian yang juga mereka yakini.
3. Oleh karenanya al-Azhar menyeru kepada Barat untuk konsisten dengan kebebasan pers yang bertanggungjawab (tanpa penghinaan terhadap siapapun), persaudaraan dan perdamaian antar umat manusia. Juga menyeru untuk menghilangkan sikap diskriminatif terhadap umat Islam tak bersalah yang hidup di negara-negara Barat dalam kehidupan sehari-hari exp: pendidikan, kompensasi kerja, hak politik dan lain-lain.
4. Umat Islam pun punya prinsip persaudaraan antar umat manusia, persamaan, dan kebebasan tanpa pandang agama, warna kulit, dan lain-lain. Kita menginginkan kehidupan yang damai dan menolak segala bentuk terorisme.
5. Al-Azhar juga menyeru kepada seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia bahwa tindakan bodoh seperti menghina agama dan rasul tidak perlu dibalas dengan tindakan sejenis. Al-Quran memerintahkan kita untuk merespon dengan cara yang lebih elegan dan bijaksana. Umat Islam sendirinya adalah teladan dan risalah bagi dunia.
https://www.facebook.com/OfficialAzharEg/photos/a.981948061819287.1073741828.978594902154603/1013866748627418/?type=1&fref=nf

Wednesday, January 14, 2015

Piranti Ilmu (2) `Aqlun Râjih

Dalam sebuah bait, Imam Haramain al-Juwaini (478 M) berkata[1]:

أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتّةٍ # سَأُنْبِئْكَ عَنْ تَفْصِيْلهَا بِبَيَانِ[2]
ذَكَاءٌ وَ حِرْصٌ وَ اجْتِهَادٌ وَ بُلْغَةٌ # وَ إِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَ طُوْلُ زَمَانِ
“Wahai Saudaraku kamu tidak akan pernah mendapat ilmu kecuali dengan enam perkara # Akan saya sampaikan rinciannya kepadamu
(1)Kecerdasan,(2)Ambisi,(3)Usaha(4)Totalitas # (5)Bimbingan guru dan (6)Lamanya waktu.”

Kecerdasan adalah salah satu bekal utama seorang penuntut ilmu. Seorang slow learner akan kesulitan dalam mengikuti proses belajar. Kecerdasan letaknya di akal. Bukan sembarang akal, melainkan akal yang râjih. Ialah akal yang tenang. Sehingga selalu menjalankan fungisnya untuk berpikir mencari kebenaran. Manfaatnya, ia akan terhindar dari kesalahan. Selalu punya pertimbangan sebelum bertindak/berbicara.



Kata al-`Aqlu sendiri dalam bahasa Arab artinya al-Man`u (mencegah), akal-lah yang menjaga si empunya dari berbuat jelek.[3]

Ibrahim al-Baijuri[4] (1277 H) mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai dimana letak akal. Ada yang mengatakan, akal ada di kepala. Sedangkan pendapat yang dianggap lebih sahih menyebutkan bahwa akal ada di dalam al-Qalb (hati) kemudian ia memiliki sambungan ke otak. Makanya ada sebuah perkataan berbunyi, “Akal ibarat pohon yang tumbuh dari dalam hati, cabang-cabangnya ada di kepala.”[5]

Usaha keras nampaknya bukan satu-satunya faktor kesuksesan mencapai target menuntut imu. Para ulama adalah orang-orang yang brilian. Amirul Mukminin fil Hadits Imam al-Bukhari (256 H) sudah terkenal akan kecerdasannya sejak muda. Sejak usia 11 tahun beliau sudah bisa menyampaikan koreksi terhadap gurunya dalam masalah periwayatan hadis.[6] Imam al-Bukhari juga bisa diajak diskusi soal nama-nama perawi sampai `ilal[7] hadits sambil berjalan-jalan santai. Itupun dilakukan seperti membaca Qul HuwalLâhu Ahad.[8] Kisah yang cukup masyhur tentang beliau adalah ketika diuji dengan pertanyaan mengenai 100 hadis yang diacak sanad dan matannya dan dibagikan kepada 10 orang untuk ditanyakan kepada Imam al-Bukhari. Ternyata Imam al-Bukhari mampu mengembalikan semua sanad ke matannya. Tidak hanya itu, sebelumnya beliau juga mampu mengulang hadis yang matan dan sanadnya diacak![9]

Syekh Ahmad Syakir[10] (1377 H) dalam kata pengantarnya terhadap Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang beliau teliti mengatakan bahwa karena penertiban hadis di Musnad Ahmad berdasarkan sahabat yang meriwayatkan, sulit untuk merujuk hadis ke sana. Orang dulu ketika ingin mengetahui apakah sebuah hadis ada di Musnad Ahmad kebanyakan hanya berdasar keterangan dari guru yang pernah menemukan hadis tersebut di Musnad. Kecuali beberapa orang yang hafal semua hadis di Musnad Ahmad. Setahu beliau ada tiga orang yang  hafal Musnad Ahmad di ujung lidahnya, “Ibnu Taimiyyah dan kedua muridnya, Ibnu Katsir dan Ibnu’l Qayyim.”[11]
Syekh Ahmad Muhammad Syakir
Sambil tersenyum, Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim[12], bercerita, “Dulu waktu saya mengajar di Arab Saudi pernah menantang murid-murid saya, ada nggak yang hafal satu hadis saja dari Musnad Ahmad di ujung lidahnya hehe...”

Selain kekuatan hafalan yang terknela dimiliki orang Arab, ternyata ulama juga kuat dan cepat dalam menganalisa sekaligus memecahkan persoalan. Imam al-Sanusi (895 H) ketika membantah orang-orang yang mencukupkan belajar akidah sebatas taklid saja dengan alasan para sahabat juga tidak pernah belajar dengan teori-teori akidah yang rumit mengatakan bahwa mereka salah besar. Karena mereka menganggap bahwa kualitas akal kita sama dengan akal sahabat yang masih sangat murni dan jernih, berbeda dengan kita sehingga butuh teori-teori semacam itu untuk memahami akidah. Beliau memberikan contoh. Ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mengadu kepada Imam Ali bin Abu Thalib RadhiyalLâhu `anhu wa Ardhâhu karena hanya mendapat bagian waris satu dirham padahal peninggalan suaminya 600 dirham.[13] Spontan Imam Ali menjawab bahwa suaminya pasti punya ahli waris ini dan itu. Perempuan itu menjawab iya. “Ya sudah memang itu jatah warisan buatmu, kamu tidak dizhalimi kok”.[14]

Bagaimana caranya menjaga akal? Atau bagaimana meningkatkan kecerdasan. Menjaga pola hidup adalah usaha realistis yang bisa dilakukan. Ibnu al-Jauzi (597 H) memberikan tips soal makanan yang dapat meningkatkan kemampuan akal seperti delima manis, susu, kismis, madu dan lain-lain.[15]

Sebenarnya ada yang lebih penting dari sekedar menjaga pola hidup. Sebuah bait syair yang dinisbatkan kepada Imam al-Syafi`i[16] (204 H) dapat menjelaskan semuanya:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعِ سُوْءَ حِفْظِي # فَأَرْشَدَنِيْ إِلى تَرْكِ المَعَاصِى
فَأَخْبَرَنِيْ فَإِنَّ العِلْمَ نُوْرٌ # فَنُوْرُ اللهِ لَا يُهْدَى للعَاصِى
Artinya:
Aku mengadu kepada Waki` (guruku) tentang buruknya hafalanku # Ia menasehatiku untuk meninggalkan maksiat
Ia pun mengabarkanku kalau ilmu itu cahaya # dan Cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat

Bergabung dalam sebuah lingkungan ilmiah dan mengikuti sistem belajar adalah kesimpulan cara terbaik menjaga akal dan meningkatkan kecerdasannya. Bangunan keilmuan Islam tidak meninggalkan hal-hal semacam ini. Dimulai dari mengajarkan adab menuntut ilmu sampai kepada sistem pembelajarannya. Ulama muta’akhirin dikenal mengembangkan sistem matan-syarah-hasyiyah yang sudah teruji. Dimulai dengan menghafal bait-bait matan pendek disiplin ilmu tertentu sampai tuntas. Setelah menguasai seluruh persoalan, baru beranjak ke kitab-kitab syarah. Pada level expert, baru masuk ke hasyiyah (catatan pinggir). Syekh Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi menyampaikan bahwa hasyiyah diperuntukkan bagi pelajar level expert.

Kelebihan lain dari bergabung dengan sebuah madrasah keilmuan adalah meminimalisir masuknya pemikiran-pemikiran yang menyimpang yang makin membabi buta di zaman ini. Karena madrasah keilmuan memiliki guru yang siap membimbing, murid yang siap dibentuk, literatur yang luas, manhaj yang kokoh serta lingkungan keilmuan yang mendukung.

Sebagai kalam akhir dari part ini, ada sebuah nasehat dari Prof. Dr. Ahmad Ma`bad dalam talaqqi kitab ilmu hadis Fathu’l Mughîts karya Imam al-Sakhawi (902 H), “Bagian tubuh manusia yang paling harus dijaga adalah akalnya, termasuk dijaga dari pemikiran penyimpang yang bertentangan dengan pemahaman para ulama”.


Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim


[1] Lihat: Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 101. Lihat rujukan asli (dengan perbedaan beberapa kalimat karena perbedaan naskah): Tajuddin al-Subki, al-Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubrâ, vo. V, ed. Abdul Fattah Mahmud Hilwa & Mahmud Muhammad Thanahi, Hajar li al-Thibâ`ah, Giza, Mesir, cet. II, 1413 H/1992 M, hal. 208
[2] Bait ini banyak yang menisbatkan kepada Imam Syafi`i (204 H), Dr. Usamah Sayyid al-Azhari, ulama hadis al-Azhar, dalam sebuah pembekalan di asrama al-Azhar yang mengingatkan hal tersebut dan menganjurkan untuk merujuk ke al-Thabaqât al-Syâfi`iyyah.
[3] Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf. Op. Cit., hal. 84
[4] Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Syafi`i al-Azhari adalah Grand Syekh al-Azhar ke-19. Beliau sangat produktif menulis dalam berbagai disiplin ilmu.
[5] Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiyah Fathi’l Qarîb, vol. I, Mathba`ah Mushthafa al-Bâbi al-Halabi wa Aulâduhu, Mesir, 1343 H, hal. 71
[6] Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Madînat al-Salâm, ed. Basyar `Awwadh Ma`ruf, vol. II, Dâru’l Gharb al-Islâmi, Beirut. Lebanon, cet. I, 1422 H/2001 M, hal. 324
[7] Kecacatan tersembunyi dalam hadis yang hanya bisa dipahami oleh ulama hadis yang handal
[8] Muhyiddin al-Nawawi, Mâ Tamassu ilaihi Hâjatu’l Qâri li Shahîhi’l Bukhâri, ed. Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Dâru’l Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t., hal. 27
[9] Al-Khathib al-Baghdadi, Op. Cit., hal. 340
[10] Ulama hadis al-Azhar, seorang filolog besar, salah satu karyanya adalah tahkik Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (sampai 16 jilid).
[11] Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, vol. I, ed. Ahmad Muhammad Syakir, Dâru’l Ma`ârif, Mesir, 1373 H/1954 M, hal. 4.
[12] Ulama hadis senior al-Azhar yang juga anggota dewan ulama senior. Banyak yang menyebut bahwa beliau adalah pakar hadis nomer satu yang hidup di bumi saat ini.
[13] Penulis belum menemukan rujukan asli dari kisah ini. Akhirnya penulis nukilkan dari Imam al-Sanusi. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.
[14] Abu Abdullah al-Sanusi, Syarh al-Sanûsiyyah al-Kubrâ, ed. Abdul Fattah Barakah, Dâru’l Bashâ’ir, Kairo, Mesir, cet. I, 1434 H/2013 M, hal. 52
[15] Ibnu al-Jauzi, al-Hats `alâ Hifzhi’l `Ilm, ed. Muhammad Shalih Ibrahim Farahat, Dâru’l Fârûq, Manshurah, Mesir, cet. I, 1431 H/2010 M, hal. 11
[16] Beliau diakui kekuatan hafalannya. Bahkan dikatakan bahwa ketika membaca buku beliau menutup sisi halaman yang lain karena beliau mampu menghafal dengan sekali lihat tulisan.

Thursday, January 8, 2015

Piranti Ilmu (1) Syaikhun Fattâh

Banyak manusia yang sadar akan pentingnya menuntut ilmu. Banyak pula yang membulatkan tekad untuk mengemban status sebagai penuntut ilmu. Hanya saja ilmu tidak bisa diraih dengan sembarang usaha dan modal semangat semata. Betapa banyak yang mengeluhkan target yang sulit dicapai setelah mengerahkan segenap daya. Mereka yang mengeluh sebenarnya masih layak mendapat penghargaan karena merasa ada yang tidak beres dengan prosesnya. Sebagaian manusia tersesat melangkah entah kemana, tapi justru mengecam siapapun yang mencoba membenarkan karena dianggap menertawakannya. Oleh karenanya, piranti ilmu adalah sebuah keniscayaan demi tercapainya tujuan utama menuntut ilmu: meninggalkan status tidak tahu untuk mencapai predikat mengenal Allah Subhânahu wa Ta`âla.


Piranti ilmu ada empat yang dirumuskan oleh para ulama:

A.   Syaikhun Fattâh
Menurut Syekh Sayyid Syaltut[1], secara bahasa, yang disebut syaikh adalah orang yang mencapai usia 40 tahun. Sedangkan secara istilah, syaikh adalah siapapun yang memiliki keistimewaan dalam hal ilmu dan pengamalan beragama. Secara khusus, seseorang disebut syekh setelah benar-benar matang ketiga ilmu pokok agama Islam; aqidah, fikih dan akhlak atau suluk. Syaikh yang fattâh adalah seorang guru yang mampu membuka gembok pengunci pintu hati yang menghalangi masuknya ilmu.[2] Seorang penuntut ilmu dari seorang syekh yang fattâh akan mendapat dua hal yaitu ta`lîm (pengajaran materi) dan tarbiyah (didikan). Sehingga tercapailah syarat diterimanya amalan yaitu pas dengan tuntunan dan keihklasan.
 
Syekh Sayyid Syaltut
Semua ulama lahir dari guru yang memiliki silsilah keilmuan (sanad) sampai kepada Rasulullah Saw. Berbagai buku biografi ulama mengarsip daftar guru dan murid dari para ulama. Imam al-Mizzi (742 H) dalam Tahdzîbu’l Kamâl-nya bahkan berazam untuk mengarsip semua guru dari semua rawi yang ia tulis biografinya. Perkara sanad inipun disebut sebagai bagian dari agama selain materi pelajaran agama itu sendiri. Tidak ada seorang pun muslim yang berani berbicara atas nama agama apabila belum pernah belajar dari ulama. Tabi`in besar, Ibnu Sirin (110 H) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Mukadimah Shahih-nya memberi nasehat:[3]
إنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْحُذُونَ دِيْنَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya ilmu ini bagian dari agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama.

Abdullah bin Mubarak (181 H) dalam riwayat Imam Muslim juga menyampaikan hal senada:[4]
الإِسْنَادُ مِنْ الدِّيْنِ لَوْلا الإِسْنَادُ لَقاَلَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Artinya: Sanad (silsilah keilmuan) itu bagian dari agama, tanpa sanad siapapun akan berbicara seenaknya.

Dalam sebuah syair dikatakan:[5]
مَنْ يَأْخُذَ العِلْمَ عَنْ شَيْخٍ مُشَافَهَةً # يَكُنْ مِنْ الزَّيْغِ و التَّحْرِيْفِ فِيْ حَرَمِ
وَ مَنْ يَكُنْ آخِذًا لِلْعِلْمِ عَنْ صُحُفٍ # فَعِلْمُهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْعَدَمِ
Artinya:
Siapa yang mengambil ilmu dari seorang syekh # dia akan terbebas dari penyimpangan dan penyelewengan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku # maka menurut ulama dia seakan tak berilmu

Seorang Tuma melegenda karena buta kena racun ular akibat coba-coba baca sendiri tanpa guru. Teks “al-Habbah al-Saudâ’ (jinten hitam) adalah obat berbagai penyakit” ia baca al-Hayyah al-Saudâ’ (ular hitam).  Sebuah titik tinta yang menipunya sehingga huruf bâ’ menjadi yâ’. Ia tangkap ular hitam kemudian oleskan racunnya untuk obati sakit matanya. Jadilah ia Tuma al-Hakim atau “Si Bijaksana”. Siapa yang mengaku sudah belajar agama hanya dengan modal baca-baca, ia berada di jalannya Tuma “Si Bijaksana”.

Syekh yang bisa didatangi bukanlah sembarang orang saleh. Dulu, di tiang-tiang Masjid Nabawi di Madinah banyak bersandar orang-orang soleh yang dikatakan andai mereka berdoa pasti dikabulkan dan apabila dipercaya soal urusan keuangan negara pasti mereka amanah. Namun karena mereka bukan ahli hadis, Imam Malik (179 H) tidak silau dengan hal-hal tersebut. Tetaplah hadis dipelajari bersama ahlinya.

Begitu juga dengan orang alim yang diragukan keberagamaannya. Badruddin Ibn Jama`ah (733 H), seorang ahli fikih madzhab syafi`i yang juga khatib Masjid al-Azhar dalam Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim-nya menegaskan bahwa seorang pelajar harus memperhatikan dua hal sekaligus dalam memilih seorang syekh untuk berguru. Pertama, sudah mapan ilmunya. Kedua, kepribadiannya dihiasi dengan sifat murû`ah (meninggalkan segala hal yang kurang pantas meskipun tidak haram).

Ibnu Jama`ah juga memperingatkan agar tidak silau dengan nama besar seseorang. Beliau menukil dari Imam al-Ghazali yang mengatakan, apabila seorang pelajar memilih syekh hanya dengan pertimbangan ketenaran, ia termasuk sombong dan bodoh sebenarnya.[6] Ketika menjelaskan kitab ini, Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi[7] memperingatkan agar tidak salah paham. Tidak ada yang salah dari terkenalnya seorang syekh yang alim, bagaimanapun itu adalah penempatan dari Allah. Namun yang menjadi masalah adalah perasaan dari pelajar tersebut sehingga ia disebut ‘muridnya syekh fulan’.
Habib Ahmad al-Maqdi
Pelajaran agama bukanlah semata menamatkan bacaan sebuah buku. Ada penjagaan keaslian pemahaman yang hanya dapat diwarisi apabila berguru dari seorang syekh yang fattâh.




[1] Dalam talaqqi kitab Ghâyatu’l Ma’mûl karya seorang ahli fikih madzhab syafi`i, Imam al-Ramli, yang merupakan penjelasan/syarah kitab usul fikih al-Waraqât karya Imam al-Haramain. Syekh Sayyid Syaltut adalah seorang ulama Darul Ifta’ Mesir.
[2] Lihat: Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 76
[3] Muhyiddin al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol. I, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t., hal. 84
[4] Ibid, hal. 87
[5] Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf, Op. Cit., hal. 76
[6] Badruddin Ibn Jama`ah, Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim fî Âdâbi’l `Âlim wa’l Muta`allim, ed. Abdul Salam Umar Ali, Maktabah Ibn Abbas, Samanud, Mesir, cet. I, 1425 H/2005 M, hal. 186
[7] Seorang ulama muda Hadrami (Yaman) yang sedang menempuh pendidikan hadis dan ilmu hadis di al-Azhar. Beliau disebut sebagai ahli fikih dari Hadramaut. Cerita tentang Tuma Si Bijaksana disampaikan oleh beliau dalam majelis tersebut.