أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, May 9, 2012

Mengembalikan Ulama ke Hati Umat (Part-I)

Sudah lama saya nggak bikin tulisan di blog. Maklum, selama beberapa bulan internet rumah mati. Sebagai tanda syukur atas terhubungnya kembali koneksi internet...hmmm,intinya saya nulis lagi :D

Sebenarnya tulisan ini akan banyak berbicara mengenai ulama dan umat. Mulai dari siapa sih ulama itu? Bagaimana perannya dalam kehidupan manusia? Bagaimana sikap umat seharusnya dalam berinteraksi dengan ulama? Maksud saya bukan hanya dalam soal tata krama, tapi lebih ke 'bagaimana memanfaatkan ilmu mereka dan menyikapi pendapat mereka'. Oh ya, tulisan ini lebih saya tujukan buat rekan-rekan di tanah air, klo yang lagi (sudah pernah) belajar di Kairo atau negara timur tengah lainnya, kayaknya sudah jadi santapan sehari-hari.:) Ok, sebelum kita berdiskusi panjang, mari kita simak cerita di bawah ini....

Ada sebuah pengalaman menarik dari Prof. DR. Ridha Zakaria[1] (selanjutnya disebut Ustadz Ridha). Suatu ketika beliau ikut salat tarawih di sebuah masjid besar di Mesir dengan delapan rakaat dan bacaan satu juz al-Quran. Selepas salat, ada seorang makmum yang ingin komplain karena membaca satu juz dalam delapan rakaat itu memberatkan. Penanggungjawab (selanjutnya disebut Mr. PJ) di masjid tersebut mengetahui bahwa Ustadz Ridha hadir ketika itu, kemudian dimintalah beliau untuk memberikan nasehat. Ust. Ridha berkata, “Mengapa anda membaca satu juz al-Quran dalam delapan rakaat? Salatlah dengan 23 rakaat, itu akan lebih ringan”. Mr. PJ kemudian membantah Ustadz Ridha, “Salat tarawih lebih dari delapan rakaat itu bidah dan haram! Begitu kata seorang ahli hadis kontemporer [2]”. Mr. PJ berdalil dengan hadis Aisyah Ra.[3].

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً 
Artinya: “...tidaklah Rasulullah Saw. itu menambah (rakaat-ed) lebih dari sebelas baik ketika Ramadan maupun selainnya...”

Ustadz Ridha pun membantah dengan argumen bahwa salat tarawih 23 rakaat itu pendapatnya para imam empat mazhab. Bersikukuh dengan pendiriannya, Mr. PJ mengatakan,”Wah, kita ini mengikuti dalil, kalau anda taklid dengan mazhab fikih dong”. Ustadz Ridha pun memutuskan untuk tidak melayani Mr. PJ yang keras kepala itu.[4] Silahkan pembaca merenungi kisah tersebut kemudian putuskan keberpihakan pembaca sekalian, apakah bersama Ustadz Ridha atau Mr. PJ.

Baik, untuk memudahkan kita semua, saya mencoba merangkum bahwa ada dua sikap di sini:
1. Sikap Mr. PJ yang menyalahkan Ust. Ridha yang 'dianggap' taklid dengan ulama, dalam hal ini ulama 4 mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Menurut Mr. PJ, kan ada hadis yang jelas menceritakan perbuatan Rasulullah Saw. Kenapa harus ikut taklid dengan pendapat ulama?
2. Sikap Ust. Ridha yang mengambil pendapat para ulama. Mereka yang paham bagaimana menyimpulkan hukum dari dalil al-Quran dan Sunnah.

Yah, perkataan paling mudah dalam beragama Islam ini adalah, "Mari kita kembali kepada al-Quran dan Sunah".

Hmm tapi apakah semudah itu? Bukan berarti pesimis apalagi menganggap 'kembali' tersebut adalah sebuah utopia. Tapi, ada sebuah kehati-hatian dari para sahabat, tabi'in, maupun para penerusnya (baca: para ulama) dalam hal 'kembali kepada al-Quran dan Sunah'. Singkat cerita, kehati-hatian itulah yang nantinya akan memunculkan kitab-kitab yang bertumpuk-tumpuk, metode penyimpulan hukum dari teks syariat, atau lebih mudahnya memunculkan universitas-universitas di berbagai belahan dunia Islam (di masa sekarang ini), seperti Qairawan di Tunisa, Jami'ah Islamiyah di Madinah, Univ. Damaskus di Syiria, dan Universitas al-Azhar di Mesir :)

Ok, kembali ke pertanyaan, anda ikut Mr. PJ atau Ust. Ridha, berikan alasannya...(Oh ya, pertanyaan bukan masalah berapa rakaa't salat tarawih yang afdhal, tapi lebih ke masalah sikap. Kaitannya dengan persoalan, dalil, dan ulama)


[1] Profesor Hadis dan Ilmu Hadis Fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar

[2] Sebenarnya Mr. PJ menyebutkan salah seorang ulama. Tapi maaf, saya gak mau nyebut merek, agar tidak ada kesan ingin menjatuhkan golongan tertentu. Allah Merahmati semuanya

[3] Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari, Kitab Tahajud, Bab Bangun Malamnya Nabi Saw. ketika Ramadan dan Selainnya, No. 1155; Kitab Salat Tarawih, Bab Keutamaan Orang yang Salat Tarawih, No. 2052; Kitab al-Manâqib, Bab Rasulullah Saw. Itu Tidur Matanya tapi Tidak Tidur Hatinya, No. 3601; Shahih Muslim, Kitab Salatnya Musafir, Bab Salat Malam dan Jumlah Rakaat Salatnya Nabi

[4] Ridha Zakaria, al-Ahkâm al-Muftarâ ‘alaihâ fî Ahâdîts mina’l Muttafaq ‘alaihi, Maktabah al-Îmân, Mesir, cet. I, 1433 H/2011 M, hal. 9