أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, February 15, 2016

Al-Jam`iyyah al-Syar`iyyah (JS)


Tepatnya kemarin, Mesir dan dunia Islam berduka karena kehilangan salah satu ulamanya, Prof. Dr. Muhammad Mukhtar al-Mahdi (1939-2016), profesor bahasa Arab, anggota Badan Ulama Senior al-Azhar dan Ketua al-Jam`iyyah al-Syar`iyyah (JS). Mulai dari teman-teman sesama mahasiswa sampai Institusi al-Azhar menyatakan berduka dan mendoakan semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya dan menempatkan beliau bersama para Nabi, syuhada, ulama dan orang-orang soleh di surga.

Syekh Muhammad Mukhtar al-Mahdi kaya pengalaman dalam dunia keilmuan. Selain menjadi dosen di al-Azhar, beliau juga pernah mengajar di Universitas Islam Libiya, Universitas Ummu’l Quraa Mekah dan Universitas Islam Madinah. Karya tulis beliau dalam bidang keilmuan dan dakwah Islam belasan. Beberapa amanah yang pernah beliau emban:

1.    Anggota Dewan Pers Mesir
2.    Pimpinan Redaksi Majalah al-Huda al-Islami di Libiya
3.    Pimpinan Redaksi Majalah al-Tibyan terbitan JS Mesir
4.    Editor Harian al-Ahram Mesir
5.    Anggota tim penyeleksi pembaca al-Quran di televisi Mesir
6.    Dekan Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar
7.    Ketua al-Jam`iyyah al-Syar`iyyah (JS) sejak 2002

Amanah yang disebut terakhir ini akan saya perkenalkan secara singkat. al-Jam`iyyah al-Syar`iyyah li Ta`awun al-`Amilin bi’l Kitab wa al-Sunnah al-Muhammadiyah (Organiasi Syariah Gotong Royong Para Pengamal al-Quran dan al-Sunnah->Terjemahanku kok aneh ya?) bisa dibilang organisasi tertua di Mesir (berdiri pada bulan Muharram 1331 H yang bertepatan dengan 1912 M), bahkan lebih tua dari al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan tahun 1928 M. Pendirinya adalah Syekh Mahmud Khathab al-Subki, (1858-1933 M) seorang ulama besar al-Azhar, sekaligus menjabat sebagai ketua pertama. Syekh Muhammad Mukhtar al-Mahdi sendiri adalah ketua yang ketujuh.

JS bergerak di bidang dakwah dan sosial. Ada beberapa poin menarik dari JS:
1.    Ikut menghimpun para dai dan khotib lulusan al-Azhar dan menyalurkannya ke lapangan dakwah. Lebih dari 2000 da`i pria dan 200 da`i wanita.
2.    Membangun masjid-masjid yang diaktifkan sebagai pusat dakwah Islam.
3.    Ikut menyelenggarakan program hafal al-Quran.
4.    Membangun banyak panti asuhan.
5.    Mendirikan puskesmas di berbagai wilayah di Mesir.
6.    Memberikan santunan terhadap jutaan fakir miskin di Mesir.
7.    Membangun asrama mahasiswa, memberikan beasiswa bahkan membayarkan uang registrasi tahun ajaran baru bagi mahasiswa asing.
8.    Ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 90-an, banyak yang kirimannya macet karena harga dolar yang melonjak. JS kemudian turun tangan sampai dalam hal menyediakan sembako dan membayarkan uang sewa rumah!
9.    JS adalah satu-satunya yayasan sosial yang boleh mengibarkan bendera organisasi di Gaza ketika menyalurkan bantuan!

Rumah Sakit JS Gratis
Mesir memang menakjubkan. Alamnya tidak sesubur Indonesia pun bukan negara kaya. Tapi banyak pengusaha Muslim yang dermawan! Melalui mereka-mereka inilah rezeki Allah bagi para fakir miskin disalurkan.

Menggambarkan kondisi sosial Mesir saya meminjam perkataan seorang senior yang sudah belasan tahun di Mesir, “Mesir bukan negara kaya tapi rakyatnya tidak ada yang kena busung lapar....”

Monday, January 18, 2016

Menghidupkan Sunnah a.k.a Nyunnah

Tulisan di bawah ini sebenarnya perasan dari kajian kitab atau lebih tepatnya disebut ensiklopedi ilmu mustalah hadis Fathu’l Mughits-nya Imam al-Sakhawi (902 H). Biasa diampu oleh Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim, ulama hadis dan anggota dewan ulama senior al-Azhar, tiap Sabtu pagi di Masjid al-Azhar. Edisi kali ini pun saya sedang tidak hadir, hanya menyimak dari youtube  (https://www.youtube.com/watch?v=eAVnDwa9Wps&feature=share).

Nama Husain bin Mas`ud bin Muhammad al-Farra’ al-Baghawi (selanjutnya disebut al-Baghawi) sejujurnya masih belum sefamiliar al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Mizzi, al-Dzahabi atau Ibnu Hajar bagi pelajar seperti saya. Dalam Siyar A`lâm al-Nubalâ’ (19/439) pun kesan saya biografinya tidak panjang-panjang amat. Meskipun bukan berarti diceritakan sebagai ulama biasa saja karena al-Dzahabi (748 H) dikenal sebagai biografer yang sportif. Penyematan sebutan al-Syaikh al-Imam al-`Allâmah al-Qudwah al-Hâfizh Syaikhu’l Islâm Muhyi al-Sunnah bagi al-Baghawi tetap dipertahankan oleh al-Dzahabi. Santri beliau Tajuddin al-Subki (771 H) dalam Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra (6/75), kesan saya, tidak jauh beda paparannya. Maksud saya, coba bandingkan, misalnya dengan biografi Abu al-Hasan al-Asy`ari (324 H) dalam dua literatur biografi tersebut. Akan ada dialog yang cukup sengit antara murid (al-Taj al-Subki) dan guru (al-Dzahabi). Mereka yang berdebat, kita yang memetik faidahnya. Sungguh nikmat menyimak diskusi yang tidak seperti ‘diskusi’ jejaring sosial seperti ini.

Bagi Syekh Ahmad Ma`bad, penyebutan Muhyi al-Sunnah (dia yang menghidupkan sunnah) ini sangat perlu mendapat garis bawah. Salah satu alasannya adalah, al-Baghawi (516 H) memang salah satu penggerak tajdid di zamannya. Berdasarkan pembacaan berkualitas Syekh Ahmad Ma`bad atas karya al-Baghawi ‘Syarh al-Sunnah’, beliau menyimpulkan bahwa al-Baghawi punya definisi tentang tajdid (pembaharuan), ialah ‘mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama’.

Tuntutan Tajdid Kekinian

Syekh Ahmad Ma`bad juga mengiyakan bahwa zaman sebebas sekarang tuntutan tajdid juga berasal dari cendekiawan non-studi agama. Aneh bukan? Lebih aneh lagi, berbagai konsep tajdid yang diajukan sampai menabrak hal-hal paten (tsawâbit) dalam agama. Al-Azhar sebagai otoritas keilmuan muslim sunni tidak tinggal diam. Berbagai konferensi diadakan untuk merespon fenomena ‘tajdid’ semacam ini. Saking pentingnya, Grand Imam sendiri yang memimpin konferensi  tersebut. Misalnya konferensi yang diadakan di Al-Azhar Conference Center, 22 April 2015 lalu. Hasilnya bisa dinikmati dalam kompilasi tulisan Maqâlât fî al-Tajdîd yang diterbitkan lux oleh Dâr al-Quds dan dihargai sangat mahasiswa, 6 pound Mesir.

Kesimpulannya, tajdid (sekali lagi) adalah mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama...`alâ Bashîrah...atas landasan ilmu yang kokoh.

Kata kedua yang digarisbawahi Syekh Ahmad Ma`bad adalah `alâ Bashîrah/atas landasan ilmu yang kokoh. Selain tantangan konsep tajdid agama yang diajukan cendekiawan non-agama, tantangan selanjutnya datang dari kaum muslim sendiri. Mereka memiliki semangat tinggi untuk melakukan apapun demi tegaknya agama Allah di muka bumi dan demi diterapkannya syariat Islam. Akan sangat positif apabila semangat tersebut dilandasi dengan ilmu yang kokoh. Hanya saja, ketika semangat dilandasi dengan al-Jahl alias ketidaktahuan justru akan menjadi bumerang bagi Islam sendiri.

“Hal yang paling berbahaya bagi Islam atau madzhab apapun adalah, tergabungnya orang yang sebenarnya masih tersifati dengan al-Jahl. Mereka semangat tapi sebenarnya masih belum paham secara baik dan utuh akan ajaran mereka sendiri. Terkadang teman yang bodoh itu lebih berbahaya daripada musuh yang berakal. Meskipun musuh, setidaknya akal yang dia miliki masih menjaga dia berada dalam koridor saling menghormati denganmu”,  begitu komentar Syekh Ahmad Ma`bad.

Beliau melanjutkan, “Sekali lagi kata `alâ Bashîrah ini sangat penting. Karena ada orang yang maunya nyunnah tapi tanpa dasar ilmu yang kokoh. Sehingga suatu saat dia jatuh dalam kesalahan tapi dia tidak sadar. Lebih repot lagi terkadang dia tidak mempan diluruskan. Bahkan ketika kita coba mengingatkan untuk memahami sunnah secara lebih dalam, langsung kita dituduh ‘Kamu nggak nyunnah!’ atau ‘Kamu ini A`dâ al-Sunnah/musuhnya sunnah!’ Padahal, maksud kita mengingatkan adalah supaya nyunnah-nya itu dengan dasar ilmu yang mantap seperti penjelasan al-Baghawi tadi.”

Proyek Besar Nyunnah ala al-Baghawi

Kitab Syarh al-Sunnah karya al-Baghawi

Melalui Syarh al-Sunnah (dicetak 14 jilid), al-Baghawi yang dalam fikih bermadzhab Syafi`i ini ingin membuka dialog dengan masyarakat di zamannya bagaimana sebenarnya nyunnah. Beliau ingin menjelaskan bahwa nyunnah yang sebenarnya adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah! Menurut al-Baghawi dalam mukadimah Syarh al-Sunnah, beliau hidup di zaman ‘agama hanya sekedar simbol dan ilmu hanya sekedar nama’.

Syekh Ahmad Ma`bad menafsirkan agama hanya sekedar simbol dengan: dijalankan bentuk, zahir atau ritualnya saja. Misalnya kalau sudah bicara duit, ‘agamanya’ bisa hilang. Sedangkan ilmu yang disebut hanya tinggal nama maksudnya, “Saya sudah baca kitab ini-dan kitab itu!” Tapi sudahkah benar-benar mengambil manfaat atau manfaati orang banyak dengan studi kitab tersebut? Atau jangan-jangan hanya sekedar khatam baca saja? Padahal al-Baghawi hidup di akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6. (Kalau tulisan ini dibuat di abad ke-15 Hijriyah).

Tantangan beliau cukup berat dalam mengusung megaproyek yang satu ini. Syekh Ahmad Ma`bad mencatat ada dua tantangan yang kesemuanya kembali kepada kondisi zaman:

Pertama, al-Baghawi hidup di masa sanad (rangkaian perawi hadis) semakin panjang. Hal ini tentu menyulitkan para ulama hadis dalam menuliskan kitabnya apabila hendak mencantumkan hadis yang notabene sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran. Bahkan mulai banyak yang memikirkan untuk menulis hadis tanpa mencantumkan sanad.

Kedua, para pemimpin muslim lebih memilih untuk mengucurkan dana menyeponsori kampanye perebutan maupun mempertahankan kursi kekuasaan. Karena, kata Syekh Ahmad Ma`bad,“Kalau kamu membaca buku sejarah...”, zaman itu wilayah umat Islam sudah terbagi menjadi negara-negara kecil (meskipun kepala negaranya belum disebut Presiden). Apalagi di zaman itu sampai kepada kekuasaan cara populernya adalah angkat senjata yang jelas butuh didanai besar-besaran. Jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap kaum akademisi seperti al-Baghawi. Riset ilmiah selalu butuh pendanaan.

Tapi di sinilah hebatnya al-Baghawi. Beliau tidak kalah oleh keadaan. Sanad yang dianggap sebagai senjata untuk mempertahankan otentisitas ajaran agama Islam tetap beliau pertahankan seberapapun panjangnya. Jadilah Syarh al-Sunnah yang 14 jilid itu salah satu kitab hadis bersanad. Sanad al-Baghawi dari gurunya sampai kepada sumber hadisnya.

Al-Baghawi juga lebih memilih hidup sangat sederhana. Beliau hanya makan roti gandum tanpa lauk selama bertahun-tahun kalaupun ditambah sesuatu hanya sekedar minyak. Biasanya, siapapun yang menjalani pola hidup demikian akan mudah terserang penyakit, tapi beliau dikaruniai umur panjang sekitar 80 tahun.

Murid Qadhi Husain (ulama besar madzhab Syafi`i) ini termasuk yang produktif. Selain Syarh al-Sunnah, ada juga karya lainnya seperti Ma`âlim al-Tanzîl (tafsir),  Mashâbih al-Sunnah (hadis), al-Tahdzîb (fikih Syafii) yang sering dirujuk oleh Imam al-Nawawi (676 H) dan lain-lain. Kitab-kitab beliau Allah izinkan untuk beredar dinikmati oleh umat Islam sampai di abad ke-15 ini. Padahal beliau ulama dari daerah Khurasan, bukan kota seperti seperti Baghdad. Bahkan menurut Tajuddin al-Subki, al-Baghawi tidak pernah ke Baghdad (ibukota kekhilafahan Abbasiyah). Al-Subki mengatakan, “Kalau al-Baghawi masuk Baghdad, biografinya akan lebih panjang dari ini”.

Bisa jadi ada yang berpikiran bahwa manusia hebat seperti al-Baghawi hanya ada di zaman dulu. Oleh karenanya Syekh Ahmad Ma`bad sejenak menyelingi dengan cerita dari zaman ini di Mesir. Bumi para Nabi ini memang menakjubkan. Apa yang dianggap hanya legenda bisa jadi nyata di atas tanahnya. Dulu saya kira anak kecil dibawah 10 tahun sudah hafal al-Quran itu hanya ada di zaman Imam al-Syafi`i, tapi di Mesir bocah-bocah semacam itu banyak di jumpai.

“Dulu...”, lanjut Syekh Ahmad Ma`bad, “Salah satu kakek Syekh Ahmad Toyyib (Grand Imam al-Azhar saat ini) adalah pelajar al-Azhar. Di zaman beliau, al-Azhar menjatah pelajarnya dengan satu lembar roti gandum (`isy) dengan lauk bubur kacang (fûl) dan bawang untuk makan setiap hari. “Tidak!”, jawab kakek Syekh Ahmad Toyyib, “Saya tidak akan mengumpulkan dua lauk dalam satu waktu, jadi saya hanya makan roti dengan bubur kacang saja atau roti dengan bawang saja”.

Sehingga persoalan fasilitas, beasiswa dan sebagainya bukan penentu utama keberhasilan menuntut ilmu. Menurut saya lebih kepada faktor kejiwaan. Hujjatu’l Islâm Imam al-Ghazali (505 H) bercerita, “Dulu kami mencari ilmu tidak karena Allah, tapi ilmu itu sendiri yang menolak untuk dicari kecuali hanya karena Allah!”. Beliau menceritakan masa kecilnya yang hidup di sebuah sekolah yang cukup makmur. Siapa yang tidak ada uang, bisa ikut hadir di kelas-kelas belajar sedikit ilmu ini dan sedikit ilmu itu, sudah dapat beasiswa.

Tantangan Umat Islam Kekinian

Syekh Ahmad Ma`bad melanjutkan nasehat plus peringatan soal tajdid ini dengan cerita di Mesir. Anak-anak Mesir dulu belajar agama (menghafal al-Quran dan calistung) di kuttâb yang dikelola oleh pemerintah Mesir. Saat ini, kuttâb secara resmi dihilangkan karena metode talqin yang digunakan dianggap tidak update. Syekh Ahmad Ma`bad sendiri yang kelahiran tahun 30-an ini adalah alumni terakhir kuttâb resmi yang dikelola oleh kementrian pendidikan Mesir! Waktu itu, Menteri Pendidikan yang baru pulang dari Amerika Serikat-lah yang menghilangkan kuttâb yang berjasa mengajarkan anak-anak dasar agama dan mencetak penghafal al-Quran usia dini.

Menurut Syekh Ahmad Ma`bad, “Sehingga persoalan tajdid (mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama) dan menanamkan agama dalam diri umat adalah tanggungjawab kita sebagai individu. Tanggung jawab ini hanya akan selesai ketika ruh terpisah dari jasad!”

Ruh Surat al-Mâ`ûn

Saya kaget ketika Syekh Ahmad Ma`bad sampai membahasakan, “Allah itu sudah menyiapkan satu tempat di neraka Jahannam bagi orang-orang yang solat!” Beliau melanjutkan, “Tentu bukan karena solatnya, karena dalam surah tersebut Allah melanjutkan bahwa yang celaka adalah orang yang solat tapi lalai, riya’ dan menahan harta yang seharusnya disedekahkan. Mungkin dia sudah berwudhu, pakai jubah dan lain-lain ketika solat, tapi uang yang ada di kantongnya tidak dia keluarkan dan nafkahkan untuk keluarganya! Inilah namanya solat tapi lalai! Kalau ada yang mengatakan, ‘Berarti anda mengutuk saya ini Syekh?’ Bukan, saya bukan mengutuk anda, tapi memang firman Allah seperti itu! Jadi kita juga ingin supaya harta orang-orang yang solat itu juga dikeluarkan kepada orang yang berhak, ini baru namanya solat yang sebenarnya!”

Epilog

Saya memahami kesan loncat-loncat tema yang mungkin ditangkap oleh pembaca dari tulisan di atas. Namun sebenarnya ada satu kalimat yang bisa kita jadikan kunci untuk memahami apa maksud Syekh Ahmad Ma`bad menyelingi kajian kitab Fathu’l Mughits dengan nasehat soal tajdid dan perenungan kisah hidup Imam al-Baghawi. Menurut saya kalimat kunci itu adalah konsep tajdid ala Imam al-Baghawi itu sendiri...

Nyunnah yang sebenarnya adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah (dengan dasar ilmu yang kokoh)!”

Artinya, tanggungjawab insan muslim saat ini adalah mengamalkan sunnah dengan cara  mentransformasikannya menjadi program-program kehidupan yang praktis/`amaliyah atas dasar pemahaman yang berasal dari bangunan keilmuan yang kokoh dan bersanad.

Masih hidupkan sanad? Dalam sebuah majelis riwayat di Masjid al-Azhar beberapa waktu lalu Syekh Ahmad Ma`bad menegaskan,”Sanad adalah senjata umat Islam, tradisi sanad in syâ’a Allah akan terus berlanjut sampai hari akhir nanti. Sanad di sini bukan sebatas ritual pengijazahan kitab, melainkan ‘sanad maknawi’. Artinya, mempelajari agama melalui guru yang dapat dipertanggungjawabkan keilmuannya”.

Dalam kesempatan lain beliau menyampaikan, “Ada yang mengatakan bahwa sanadnya orang-orang mutaakhirin/yang datang belakangan fungsinya hanya sekedar meraih keberkahan dengan tradisi keilmuan tersebut. Maka kami katakan bahwa: ini tidak menafikan ’kritik sanad’, karena keberkahan yang sesungguhnya tidak akan diraih kecuali dengan perantaraan orang yang diketahui kesalehan dan ketaqwaannya serta kebenaran dalam periwayatannya dengan berbagai cara belajar yang dapat dipertanggungjawabkan”.

WalLâhu a`lamu bi al-Shawâb...

Tuesday, December 8, 2015

Berharap Sekaligus Getir

Seorang kawan bertanya kepada saya mana cetakan terbaik untuk sebuah kitab klasik karya seorang ulama. Teman yang satu ini sedang semangat berburu kitab. Saya senang lagi bersyukur hidup di sekitar orang-orang semangat seperti dia, saya berharap bisa ketularan gairahnya. Saya hanya bisa mendoakan semoga gairahnya tidak hilang untuk menggelontorkan ratusan pound demi mengumpulkan buah pena para ulama. Tak apa sekarang jor-joran membeli kitab tanpa perlu khawatir kalau misalnya suatu saat hendak kawin dibayar pakai apa. Allah Maha Kaya.

Saya pun menunjukkan jilid pertama dari terbitan pemerintah Mesir, Maktabah Usrah. Dia kaget dengan harganya yang cuma 5 Le. Terbahak saya merespon kagetnya. Tapi saya pun segera ngeh dia termasuk yang datang ke Mesir di tahun-tahun sekarang. Negeri ini juga makhluk, normal kalau ada perubahan. Untuk kali ini, perubahan yang ingin saya curhatkan adalah soal penurunan kesaktian dari beberapa lembaga pencetak kitab klasik murah seperti Maktabah Usrah di atas. Dulu, Maktabah Usrah dan sejenisnya termasuk toko buku yang paling ditunggu kabarnya oleh teman-teman al-Azhar. Betapa tidak? Kitab-kitab penting seperti Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, al-I`tishâm dan al-Muwâfaqât-nya Imam al-Syathibi, Kumpulan Tulisan Muhammad Abduh, sampai al-Hayawân-nya al-Jâhizh dicetak dengan harga murah bahkan tidak masuk akal. Per jilidnya tidak lebih dari 8 Le.

Agak lucu sebenarnya memegang buku terbitan Maktabah Usrah. Di sampul depan tertera judul buku, di sampul belakang ada foto (mantan) ibu negara Mesir yang menjadi penggerak ‘Festival Membaca untuk Semua’ sebagai syiar dari pencetakan kitab-kitab murah tersebut.

Sekarang beda, lembaga-lembaga di atas tidak lagi heboh dengan penerbitan kitab klasik versi murah. Asumsinya, subsidi yang awalnya disalurkan untuk mencetak kitab klasik habis atau dialihkan untuk menopang negara yang sedang penyembuhan. Sehingga lebih banyak buku-buku tulisan cendekiawan kontemporer itupun tidak murah. Tidak jelek kontemporer, toh kita juga orang zaman ini. Tapi, bukankah mereka bisa jadi cendekiawan kontemporer salah satunya karena membaca kitab klasik? Sekarang buku-buku rata-rata mahal. Menyesuaikan dengan cost hidup di timur tengah yang merangkak naik menyesuaikan dengan keramaian yang terjadi.

Saya hanya bisa berharap untuk esok yang lebih murah. Menurut media, banyak saudara muslim di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia yang sekarang bangkit melawan membuktikan diri bahwa mereka juga layak menjadi pemimpin dan memberi solusi kehidupan. Menurut hemat saya, ketika mengatasnamakan Islam sudah seharusnya juga memperhatikan serius pencetakan kitab-kitab klasik ulama supaya mudah diakses masyarakat wa bi’l khusus para pelajar agama yang nantinya akan jadi inspirator masyarakat. Dalam hadis masyhur, di akhirat tinta ulama lebih berat daripada darah syuhada. Padahal pangkat syuhada sudah sedemikian agungnya. Perlengkapan yang mereka butuhkan di medan laga juga dituntut untuk selalu diperbaharui. Berarti ada sesuatu yang tak kalah agung dalam kitab-kitab klasik itu.

Karena orang muslim berjuang bukan sekedar untuk membangun jembatan, terowongan dan gedung-gedung baru. Sebenarnya ia berjuang untuk sesuatu yang lebih besar, ialah membangun peradaban yang inspirasinya adalah al-Quran dan Sunnah. Sementara kitab-kitab klasik itu selain membantu orang muslim meraih pemahaman al-Quran dan Sunnah yang sahih, ia juga merekam perjuangan umat selama berabad-abad dalam memberikan jawaban atas persoalan yang bermunculan, berdasarkan kacamata Islam.

Ekstrimnya, katakanlah nanti kita sudah menang perang melawan Amerika, sekutunya, dan yang sepertinya bukan tapi aslinya juga sekutunya. Sehari kita bersuka cita, esok hari gantian kita yang saling tusuk sesama muslim memperdebatkan siapa yang selanjutnya jadi pemimpin dan pendapat siapa yang dipakai. Itu ditakutkan terjadi ketika orang Islam sudah tidak lagi punya bukti tertulis bahwa Imam Ahmad bin Hanbal selalu mendoakan Imam al-Syafi`i usai salat dan menyebut beliau layaknya mentari bagi bumi. Yap, Imam al-Syafi`i yang juga mengakui kepakaran Imam Ahmad dalam hadis.

Kalaupun ada kitab-kitab itupun langka, cetakan Brill[1] pula...

Umat Islam tidak boleh tidak unggul dari Brill Publisher

#save_our_kitab





[1] Penerbit yang dikelola orang kafir (https://en.wikipedia.org/wiki/Brill_Publishers)

Sunday, June 21, 2015

Pemuda Melawan Chaos

Ini sekedar berandai-andai ya...

Coba tutup mata dan bayangkan satu nama. Nama sebuah kota besar di negara muslim di dunia sekarang ini. Saya sampaikan pertanyaan silahkan anda renungkan, “Apa yang akan anda lakukan ketika kota tersebut digempur habis-habisan oleh tentara Amerika?” Na`ûdzu bilLâh min Dzâlik...

Tulisan kali ini mengajak para pembaca sekalian untuk merefleksi diri. Meskipun judulnya pemuda dan anda di atas 40 tahun tidak mengapa. Siapa tahu ini bisa bermanfaat untuk pemuda yang menjadi tanggungjawab anda. Kalau anda belum ‘pemuda’, tak apalah. Toh sesuai dengan kelaziman, tak lama lagi anda akan menjadi pemuda.

Renungan kali ini dibantu oleh seseorang yang menginspirasi. Imam al-Nawawi (631 H - 676 H), Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, seorang ulama asal Syiria. Kita pasti kenal dengan beliau melalui karya-karyanya. Kita yang berada jauh dari Syiria, buku-buku beliau seperti hadis arba`in dan Riyâdh al-Shâlihîn pasti tersimpan di rak satu dari beberapa rumah warga muslim di seluruh dunia.

Ketika Imam al-Nawawi berusia 25 tahun, (656 H) sebenarnya ada kejadian horor, runtuhnya Baghdad, gara-gara digempur oleh cucu-cucu Genghis Khan dari Mongolia. Lebih horor lagi, dua tahun sebelumnya (654 H) muncul api di dataran Hijaz. Api yang menerangi punuk-punuk unta di Bashrah (Irak) inilah yang disebut sebagai salah satu tanda kiamat. Demikian yang diceritakan Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah.[1] Jadilah umat muslim apalagi yang berada di TKP (Baghdad) berfikir bahwa inilah kiamat akhir zaman.

Ilustrasi Penyerangan Baghdad
Imam al-Nawawi kala itu masih jadi mahasiswa di Syiria. Sebentar, kita kembali ke renungan awal tadi. Apa yang bakal kita lakukan kalau anda ada di situ? Panik? Atau malah gabung ke Baghdad ikut mengusir cucu-cucu Genghis Khan?

Kalau Imam al-Nawawi, tidak keduanya. Kalau dianggap kiamat, Imam al-Nawawi mungkin sadar betul kalau matahari belum terbit dari barat. Kalau ingin ikut gabung ke Baghdad mengusir Mongol? Pilihan yang ini mungkin dijalani, tapi ternyata Imam al-Nawawi tidak demikian. Ia tetap fokus pada perannya ketika itu. Menjadi pelajar di Syiria. Dalam sebuah riwayat, saking rajinnya Imam al-Nawawi, setiap hari beliau rutin ikut 12 mata kuliah. Kalau waktu itu sistemnya adalah talaqqi, rata-rata talaqqi berlangsung selama 2 jam. Okey, ambil saja satu setengah jam. Berarti, ada berapa jam yang Imam al-Nawawi gunakan untuk kuliah?

Ketika menganalisa cerita ini, Syekh al-Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi yang sampai sekarang mengajar saya fikih madzhab Syafi`i mengatakan, “Lihatlah betapa efektif dan efisien waktunya, Ada keberkahan waktu, tempat dan juga otaknya. Kalau kita, setiap habis pelajaran masih butuh untuk mengulang-ulang supaya tidak lupa. Mungkin beda dengan Imam al-Nawawi”.

Singkat kata, sikap Imam al-Nawawi adalah positif. Beliau sadar betul akan perannya sebagai pelajar. Beliau tetap bersikap profesional sebagai mahasiswa. Hasilnya?

1.      Beliau akhirnya diangkat menjadi rektor Universitas/Dâru’l Hadîts al-Asyrafiyyah di Syiria. Imam al-Nawawi dikenal sebagai manusia langka karena menggabungkan kepakaran dalam hal fikih sekaligus hadis. Di antara karya beliau adalah Syarah Shahih Muslim yang terkenal. Dalam bidang metodologi ilmu hadis, ada kitab al-Irsyâd yang merupakan ringkasan dari Muqaddimah Ibnu al-Shalah (643 H), guru Imam al-Nawawi sendiri. Kitab Muqaddimah inilah buku pokok metodologi ilmu hadis. Kitab al-Irsyâd diringkas lagi menjadi al-Taqrîb yang nantinya akan diberi syarah oleh Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Kitab itu dinamai Tadrîb al-Râwi yang telah diajarkan sampai khatam oleh dua ulama al-Azhar sekaligus selama beberapa tahun, Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim dan Prof. Dr. Muhammad Mushthafa Abu Imarah.

2.      Imam al-Nawawi produktif menulis buku. Meskipun umurnya pendek (45 tahun), namun Imam al-Nawawi memiliki banyak karya.

3.      Dalam ilmu fikih, beliau berjasa besar terhadap madzhab yang beliau anut, Syafi`iyyah. Setelah Imam al-Syafi`i wafat (204 H), murid-muridnya mengembangkan ilmu yang mereka dapat dari Sang Imam dan ini berlangsung selama berabad-abad. Akhirnya banyak pendapat yang dianggap sebagai pendapat madzhab Syafi`i meskipun belum tentu berasal dari metodologi Syafi`iyah.

Imam al-Nawawi kemudian menyeleksi pendapat-pendapat tersebut di seluruh kitab karya ulama Syafi`iyyah, mana yang benar-benar menjadi representasi madzhab Syafi`i. Kriterianya adalah, pendapat tersebut sesuai dengan metode madzhab. Hasil penelitian beliau dituangkan dalam dua kitab. Pertama, Kitab Raudhat al-Thâlibîn yang merupakan ringkasan dari kitab (Fath) al-`Azîz karya Imam al-Rafi`i. Kedua, kitab Minhâj al-Thâlibîn wa `Umdatu’l Muftîn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar karya al-Rafi`i.[2]

Proyek Imam al-Nawawi ini sebenarnya menyempurnakan apa yang telah dilakukan oleh al-Rafi`i. Melalui proyek kedua imam ini, segala pendapat yang muncul dari ulama sebelum al-Rafi`i dan al-Nawawi, tidak dapat dikatakan sebagai representasi madzhab Syafi`i kecuali setelah diseleksi oleh keduanya. Dengan kata lain, pendapat-pendapat madzhab Syafi`i dapat diketahui melalui kitab-kitab karya al-Rafi`i dan al-Nawawi.[3]

4.      Kitab hadis arba`in termasuk karya Imam al-Nawawi yang terpenting. Beliau mengumpulkan 40 hadis yang sedikit lafaz kaya makna dan berisi tentang pokok-pokok ajaran agama Islam mulai dari akidah, syariah maupun akhlaq. Semua muslim nampaknya sulit untuk melewatkan kitab ini ketika ingin mengetahui ajaran agamanya. Kitab inilah yang dikaji oleh banyak pejuang Islam di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan Riyâdh al-Shâlihîn, yang dimiliki oleh keluarga-keluarga muslim di seluruh dunia. Betapa harumnya ilmu Imam al-Nawawi.

Keteguhan Imam al-Nawawi berbuah lebat dan manis. Beliau termasuk ulama yang dikenal oleh umat Islam manapun. Waktu itu, beliau sadar betul bahwa Allah menempatkan beliau sebagai seorang pelajar. Maka beliau terima dan bersikap profesional. Tidak sebaliknya, meninggalkan tugas atau malah panik.

Sikap inilah yang seYOGYAnya kita miliki bersama apalagi di zaman fitnah saat ini. Menimjam judul buku Abu al-Hasan al-Nadawi, “Kemunduran dunia karena kemunduran Islam”, maka profesionalisme, kualitas dan dedikasi dalam peran yang seorang muslim jalani saat ini di dunia adalah tuntutan zaman. Karena membangun peradaban tidak hanya membutuhkan prajurit. Ada ahli fikih, hadis, tafsir, bahasa, ekonom, teknokrat, filosof, enterpreneur, astronom, desainer dan profesional lainnya yang dibutuhkan.

Oh ya, apa kabar Mongol? Singkat cerita beberapa tahun setelah menggempur Baghdad, keturunan mereka malah masuk Islam! Hal ini disebabkan karena mereka melihat profesionalisme, kualitas dan dedikasi yang ada dalam diri setiap muslim. Hal ini mereka simpulkan setelah menjadikan beberapa orang muslim sebagai penasehat kerajaan dan melihat kualitas mereka.

Sebagai saksi bisu masuknya orang Mongol ke agama Islam adalah Taj Mahal karya Shah Jehan, salah seorang raja dari kerajaan Mughal (dalam bahasa Arab Mongol disebut Mughal).


Uniknya makam Imam al-Nawawi: dari posisi jantungnya tumbuh pohon besar


Makam di Syiria itu dihancurkan oleh orang tidak beradab


Kajian dan perbedaan pendapat tentang makam memang ada, tapi apakah seperti ini terpuji?
Coba kalau tempat peristirahatan sanak familinya yang dihancurkan, tersinggungkah?


[1] Ibnu Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, ed. Abdullah al-Turki, vol. XVII, Dâr Hajr, Giza, Mesir, cet. I, 1419 H/1998 M, hal. 328
[2] Akram Yusuf al-Qawasimi, al-Madkhal ilâ Madzhabi’l Imâm  al-Syâfi`i, Dâr al-Nafâ’is, Amman, Yordania, cet. II, 1434 H/2013 M, hal. 355.
[3] Ahmad bin `Alawi bin Abdurrahman al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 120

Perangkat Ilmu (4) al-Mudâwamah wa al-Ilhâh (Selesai)


Ada beberapa sebutan yang tidak asing dalam dunia keilmuan Islam namun belum tentu maknanya diserap dengan baik oleh umat.

1.      Ulama (العلماء): sekilas orang akan mengira bahwa kata tersebut adalah bentuk plural atau jamak dari kata (العالم). Padahal bukan, ia adalah jamak dari (العليم). Sedangkan (العالم) jamaknya adalah (العالمون). Bedanya, yang pertama hanyalah ism fa`il dari kata `alima yang artinya mengetahui sehingga ia berarti orang yang mengetahui. Sedangkan yang kedua adalah sîghah mubâlaghah. Singkat cerita, ia merupakan sifat bagi orang yang ilmu sudah menyatu dalam darah dagingnya.

2.      Al-`Allâmah: Syekh Fauzi al-Kunati, guru tempat kami penulis bertalaqqi nahwu-sharaf, pernah menyampaikan bahwa kata tersebut hanya untuk menyebut mereka yang menguasai ilmu manqul (ilmu riwayat seperti  hadis dll) dan ma`qûl (ilmu logika)

Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim, di sela-sela mengajar kitab ilmu hadis, Tadrîb al-Râwi karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H), pernah memberikan komentar yang sangat menarik mengenai pelajar-pelajar instan. “Dahulu, orang belajar selama dua tahun untuk berbicara dua jam. Sekarang sebaliknya, orang baru belajar dua jam sudah ingin berbicara selama dua abad”.

Ilmu tidak mungkin menyatu dalam darah dan daging seseorang kecuali ia menempuh apa yang telah ditempuh oleh para ulama selama berabad-abad.

Usaha Keras

Benar, sahabat muda Abdullah bin Abbas didoakan oleh Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama supaya Allah jadikan sebagai fakih dan diajarkan ilmu tafsir. Akan tetapi, doa tersebut salah satu jalan terkabulnya doa itu adalah ketekunan Ibnu Abbas untuk mengumpulkan riwayat-riwayat para sahabat yang tersebar. Salah seorang sahabat Anshar yang baru bangun tidur siang kaget ketika membuka pintu rumahnya, didapati seorang pemuda yang pakaiannya sudah kotor terkena debu padang pasir. Lebih kaget lagi, ternyata pemuda itu adalah Ibnu Abbas. “Kenapa tidak panggil saja? Nanti saya datang kepada anda wahai sepupu Rasulullah!” Namun bagi Ibnu Abbas, dirinyalah yang lebih pantas untuk mendatangi karena dahaga akan hadis Rasulullah yang ada pada sahabat Anshar tersebut. Beberapa waktu kemudian sahabat Anshar tersebut mendapati dirinya berada di tengah-tengah halaqah ilmu Ibnu Abbas.[1]

Ulama generasi setelahnya juga tidak jauh beda. Ulama hadis Ibnu Abi Hatim (327 H) menceritakan perjuangan ayahnya Muhammad bin Idris bin al-Mundzir Abu Hatim al-Razi (277 H). Makkah, Madinah, Bahrain, Mesir, Ramallah, Baitul Maqdis, Asqalan, Thabariyyah, Damaskus, Homs, Antokiya, Tharsus dan masih banyak lagi kota yang disinggahi Abu Hatim al-Razi selama bertahun-tahun. Termasuk ceritanya terkatung-katung di laut dan padang pasir. Allah berikan kehidupan kepada beliau yang tidak Allah berikan kepada teman seperjalanannya.[2]

Mungkin ada yang menganggap bahwa mati-matian menuntut ilmu adalah legenda orang dulu. Padahal di abad ini ada seorang pemuda Syiria yang nekat masuk Mesir, tertangkap dan tertahan di penjara perbatasan kemudian dibebaskan, mati-matian menego panita penerimaan mahasiswa supaya bisa mendaftar, hidup dari sisa-sisa roti di Masjid al-Azhar dan menyalin semua buku pelajaran karena kehabisan uang. Jelaslah, karena ayahnya tidak setuju dia pergi ke al-Azhar, ia juga sudah diterima sekolah teknik di Jerman. Tapi ia tetap kabur ke Mesir berbekal tekad kuat dan inspirasi dari ulama-ulama al-Azhar yang datang ke kampungnya di Syiria. Singkat cerita beliau menjadi doktor di bidang syariah, ayahnya akhirnya ridha kepadanya. Saat ini beliau adalah satu ulama syariah terbaik di tanah Syam. Beliau adalah Syekh Muhammad Hasan Haito yang masih hidup sampai tulisan ini dikerjakan.

Sistem Pembelajaran ala Ulama

Selain belajar keras dan ikhlas, salah satu kesuksesan belajar juga ditentukan dengan belajar cerdas. Maksudnya, sistem belajar yang rapi, bukan asal baca buku. Dalam istilah pendidikan masa kini, hal tersebut dikenal dengan nama kurikulum.

Keilmuan Islam sudah berabad-abad memiliki kurikulum pembelajarannya. Dalam ilmu nahwu misalnya, kitab untuk pemula yang paling terkenal adalah matan al-Âjurrûmiyyah karya Ibnu Ajurrum berikut penjelasannya al-Tuhfah al-Saniyyah karya Syekh Muhyiddin Abdul Hamid, seorang ulama al-Azhar. Ada pula kitab dasar ilmu nahwu Qathr al-Nada dan syarahnya karya Ibnu Hisyam al-Anshari, ulama nahwu asal Mesir. Pelajar yang menamatkan dan menguasai Qathr al-Nada, bisa melangkah ke Syudzûr al-Dzahab beserta syarahnya karya ulama yang sama. Selanjutnya, ia bisa masuk ke bait-bait syair Alfiyyah karya Ibnu Malik, dilanjutkan dengan berbagai syarahnya. Puncaknya adalah Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyam. Setelah menguasai kitab-kitab tersebut, ia bisa melatih penerapan kaidah nahwu dengan membaca Mughni al-Labîb atau syarah-syarah kasidah Arab seperti syarah kasidah Bânat Su`âd, lagi-lagi karya Ibnu Hisyam. Setelah itu, ia bisa menyamuderakan ilmunya sampai kepada al-Kitâb-nya Imam Sibawaih.[3]

Dalam ilmu fikih, karena meresapi syiar ‘kembali ke al-Quran dan Sunnah’, seorang pelajar jadi lebih cenderung untuk langsung mempelajari kitab-kitab hadis hukum atau Fiqh Sunnah. Melihat keragaman madzhab, hasratnya pun menggebu untuk langsung mempelajari fikih perbandingan.

Padahal belajar fikih pun ada prosesnya. Sejak berabad-abad umat Islam dijaga pemahamannya terhadap syariat Islam oleh para ulama madzhab. Merekalah yang memberikan pelayanan yang tiada terkira kepada umat Islam untuk memahami syariatnya. Kesimpulannya, mempelajari fikih diawali dengan mempelajari satu fikih madzhab sampai betul-betul menguasai. Maksudnya menguasai bukan sekedar menguasai materinya, melainkan juga memahami bagaimana produk hukum fikih tersebut keluar dari metode madzhab tersebut. Setelah itu barulah ia menoleh kepada literatur fikih madzhab lain. Sedangkan fikih dalil, fikih sunnah dan sebagainya, sebenarnya adalah bacaan mereka yang sudah mencapai derajat ijtihad.

Metode matan->syarah (penjelasan)->hâsyiyah (catatan pinggir) adalah metode yang sudah terbukti melahirkan para ulama. Metode semacam ini membentuk bangunan keilmuan di otak. Dimulai dengan membangun fondasi dengan mempelajari kitab-kitab matan yang pendek-pendek. Setelah menamatkannya, seorang pelajar memperoleh gambaran tentang apa saja pembahasan yang terdapat dalam sebuah disiplin ilmu. Setelah gambaran tersebut utuh dalam otaknya, ia mulai merambah ke kitab-kitab syarah untuk memperluas dan memperkaya pemahaman. Dalam fase ini, ia seperti meninggikan bangunan. Buku-buku hasyiyah (catatan pinggir), biasanya berisi tentang kajian mendalam terhadap permasalahan-permasalahan dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya, ia dibaca oleh mereka yang sudah memiliki bangunan keilmuan tersebut dalam otaknya.

Sedangkan metode belajar dengan caplok sana-sini dari berbagai buku sebenarnya tidak efektif. Di zaman sekarang, meskipun pengajaran sudah menggunakan sistem perkuliahan, sistem talaqqi yang kontennya adalah hal-hal di atas masih digandrungi. Bahkan para dosen sering memotivasi untuk tidak mencukupkan dengan materi perkuliahan. Jadilah muncul istilah “al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan”, al-Azhar itu ya masjidnya (maksudnya adalah talaqqi-talaqqi yang diselenggarakan di masjid maupun tempat-tempat di sekitar al-Azhar), ya kampusnya...

Sehingga, seseorang yang ingin menpersembahkan hidupnya untuk mendalami ilmu di al-Azhar, tidak cukup hanya menempuh perkuliahan bahkan sampai meraih gelar tertinggi sekalipun. al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan...

Bagaimana Tekunnya Ulama?

Imam Syafi`i menulis ‘al-Risâlah’ yang berisi rumus-rumus untuk memahami al-Quran dan hadis. Sudah menjadi keniscayaan murid-muridnya begitu bersemangat untuk mengkajinya. Salah seorang murid senior Imam Syafi`i, Ismail al-Muzanni selama 50 tahun tidak pernah lepas dari mengkaji al-Risalah. Beliau mengatakan, “Setiap kali saya mempelajarinya, selalu ada faidah baru yang belum muncul dalam bacaan sebelumnya”. Dalam riwayat lain, al-Muzanni membaca al-Risalah sampai 80 kali. Tidak heran, murid yang tekun seperti ini dipuji oleh Imam Syafi`i, “Umpamanya dia berdebat dengan setan, pasti setannya yang kalah”.[4]

Saking tekunnya ulama dalam mengkaji sebuah buku, sampai-sampai ada beberapa ulama yang digelari dengan nama buku tersebut. Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin Sulaiman (879 H) digelari dengan al-Kafiyaji karena seringnya menelaah kitab nahwu al-Kâfiyah (Kâfiyat Dzawi’l Arib fî Ma`rifat Kalâmi’l `Arab) karya Ibnu al-Hajib (646 H). Ada juga yang digelari dengan al-Minhaji karena menggeluti kitab fikih Minhâj al-Thâlibîn-nya Imam al-Nawawi.

Ulama zaman sekarang juga memelihara ketekunannya dalam ilmu. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim sudah meneliti tuntas setiap perawi hadis yang ada di dalam kitab al-Jarh wa al-Ta`dîl-nya Ibnu Abi Hatim yang tebalnya 11 jilid itu. Begitu juga dengan yang terdapat dalam Tahdzîb al-Tahdzîb-nya Ibnu Hajar al-Asqalani yang tebalnya 15 jilid.[5] Ini diceritakan oleh murid beliau, Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari dalam buku biografi ulama Mesir, Asânîdu’l Mishriyyîn. Dr. Usamah sendiri sedang menggarap sebuah megaproyek Jamharat `Ulamâ al-Azhar, membiografikan semua ulama al-Azhar dari berbagai belahan dunia dari masa ke masa.

Siapa yang tidak kenal dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi? Hampir semua persoalan keumatan beliau tawarkan solusinya di buku-buku tulisannya. Dalam autobiografinya, Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb, beliau menceritakan bahwa beliau memanfaatkan waktu dengan baik. Bahkan di dalam pesawat pun tetap menulis. Beliau juga selalu berdoa supaya waktunya diberkahi.

Para santri al-Azhar harus berjuang keras untuk mengikuti ketekunan gurunya dalam hal mengajar. Prof. Dr. Ridha Zakaria, guru besar hadis al-Azhar, setiap Sabtu mulai dari pukul 8.30 sampai 17.30 petang membacakan Shahih Bukhari. Akhirnya Allah mengizinkan untuk mengkhatamkannya dalam 25 majelis.

Syekh Sayyid Syaltut, ulama dewan fatwa Mesir, dalam waktu setahun mengkhatamkan pelajaran kitab syarah al-Waraqat-nya Imam al-Haramain yang bernama Ghâyatu’l Ma`mûl karya Imam al-Ramli. Ketika beliau melapor kepada gurunya, Syekh Ali Jum`ah, beliau diminta untuk mengulang lagi. Jadilah tahun ini (2015) adalah pembacaan kelima!

Itulah ilmu, seperti kata Abu Bakar al-Nazham, kita tidak akan mendapat sebagian ilmu kecuali kita serahkan seluruh jiwa raga kita untuknya. Salah satu alatnya adalah al-Mudâwamah (kontinyu) dan al-Ilhâh (diulang-ulang). WalLâhu a`lam bi al-Shawâb....




[1] Ibnu Hajar al-`Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah,ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, vol. VI, Dâr Hajr, Kairo, Mesir, cet. I, 1428 H/2008 M, hal. 235
[2] Simak kisah perjuangan tersebut dalam: Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta`dîl, ed. Da’iratu’l Ma`ârif al-Hindiyyah, vol. I, Dâru’l Kitâb al-Islâmi, Kairo, Mesir, t.t., hal. 349
[3] Faidah ini penulis dapat ketika talaqqi dengan Syekh Fauzi al-Kunati, ulama muda dari Pantai Gading.
[4] Tajuddin al-Subki, Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra, ed. Abdul Fattah Muhammad al-Hilwa & Mahmud al-Thanahi , vol. II, Dâr Hajar, Giza, Mesir, cet. II, 1413 H/1992 M, hal. 99
[5] Usamah al-Sayyid al-Azhari, Asânidu’l Mishriyyîn, Dâru’l Faqîh, 1435 H/2014 M, hal. 305

Monday, May 11, 2015

BUbuR kacang iJO

Bubur kacang ijo selanjutnya disebut burjo saya akui saya menggemarinya cukup berat. Menggemari atas dasar rasa, bukan semata indera kelima-lima. Bentuk burjo tak cukup indah kalau dilihat. Perhatikan saja warnyanya yang suram itu. Aromanya? Dia tidak dikenal wangi, beda dengan nasi gosong. Kalau soal rasa sebenarnya nanggung. Maksudnya, di satu sisi burjo itu menyegarkan tapi masih kalah segar dengan es teh Indonesia (saya sebut Indonesia karena ada teh Mesir dalam hidup saya). Ia juga mengenyangkan, tapi dengan gado-gado yang tidak pakai nasi saja kalah. Menggunakan indera peraba? Masak mau dimasukkan mulut dipegang-pegang dulu? Indera apa yang kurang? Pendengaran? Ampun deh...Tapi itulah namanya rasa, tidak melulu alasannya indera kelima-lima.

Meskipun penggemar burjo, tapi tidak semua burjo itu layak digemari. Biasanya burjo-burjo liar yang buka dipinggir jalan. Mereka mengaku dari Jawa Barat, tapi seperti halnya es Bandung dan martabak Mesir, menurut saya di Jawa Barat tidak seheboh itu. Beda ceritanya dengan siomay Bandung yang nyata wujud dan enaknya.

Lebih mengecewakan lagi, sebagian yang menjajakan burjo di pinggir jalan itu kurang dedikasinya. Karena niat awalnya hanya membuat tempat nongkrong anak muda, atau tempat penyaluran hasrat makan akhir bulan mahasiswa. Jadilah burjo yang terlalu encer de el el de el el. Burjo bukan soal uang semata.
Saya masih tinggal di Kairo, orang Mesir tidak kenal burjo. Jelas tidak masuk makanan rakyat, beda sama batotis (kentang!). Untuk memenuhi keinginan terhadap burjo, saya hanya bisa pasif, dibuatkan. Saya tidak bisa bikin burjo saya akui. Dulu pernah mencoba, tapi pandannya terlalu banyak sehingga rasanya malah mint, bukan kuah burjo.

Adik kelas saya ada yang sering dan cukup pandai memasak burjo kalau main ke rumah. Dia mahasiswa sejarah, saya ingin bertanya apakah bangsa Mesir kuno, eropa kuno atau peradaban mana saja lah yang punya sejarah dengan burjo. Tapi saya masih punya malu bertanya seperti itu.

Sekali! Burjo pernah mengecewakan saya. Waktu itu kakak kelas saya merendam kacang hijau yang masih keras semalam, tapi rendamannya itu tidak dilanjutkan dengan direbus diatas kompor, rendamannya sampai berhari-hari. Jadilah biji-biji kacang hijau itu mengeluarkan ekor. Kecambah deh!

Seperempat abad lebih sedikit saya hidup, saya mencatat ada empat burjo yang berkesan dalam hidup saya. Supaya lebih dramatis, saya sebutkan tiga dulu dan ternyata ketiganya bukan yang saya benar-benar rindukan.

1.      Burjo Muallimin. Selama enam tahun saya menghabiskan masa remaja di sana. Pada jam istirahat di sela-sela proses pengkaderan (yidii...) rutin 24/7 ada kakek penjual burjo yang mangkal di madrasah. Burjo ini moderat. Dia tidak menghegemoni seperti bakwan kawi tapi juga tidak medioker seperti pempek imitasi yang orang Sumatera asli[1] mungkin berlepas diri darinya. Kehadirannya adalah penyegar bagi kerongkongan yang baru saja dimasuki bakwan kawi atau cilok yang membuat seret kalau tidak dikasih minum. Setelah burjo, kembali ke kelas siap belajar ushul fikih supaya besok besar tidak cuma bisa taqlid. Apalagi sekedar berteriak “Kembali ke al-Quran dan Sunnah!” Tapi...ah sudahlah...

Satu hal memang yang membuat saya respek. Penjualnya adalah kakek tua sabar yang tidak bermental kompeni (sekali lagi) seperti bakwan kawi atau lebay urusan costumer service-nya seperti cilok. Bapak itu sabar meskipun gerobaknya pernah ngglimpang tanpa alasan ketika berjualan.

2.      Burjo Nitikan. Nitikan adalah nama sebuah kampung dekat rumah saya. Setiap Ramadan, pimpinan ranting Muhammadiyah setempat selalu membuat heboh dengan program berjualan jajanan buka puasa yang dinamai JALUR GAZA! JAjanan Lauk sayUR Gubuk Ashar Zerba Ada (tepuk tangan untuk kreativitas bahasa warga Jogja). Penjual burjo yang satu ini sepertinya franchise ala Madura. Saya perlu bertanya kepada sahabat-sahabat dari Madura apakah benar di sana ada makanan khas berupa burjo? Karena setahu saya baru muncul beberapa tahun belakangan, beda dengan sate madura yang cukup melegenda.

Burjo yang satu ini saya sebut inovatif karena berani out of box. Selain santan, ia berani mencampurkan sirup, susu kental dan roti sebagai teman kacang hijau dan ketan hitam. Es nya pun es gosok tidak prongkolan yang kadang membuat menderita kalau sudah suap terakhir. Segarnya luar biasa. Selepas sore bersepeda menikmati cahaya senja kota Jogja, sambil basuh keringat menikmati burjo madura.

Penjualnya adalah seorang bapak ramah yang nampaknya benar asli Madura.[2] Sudah beberapa tahun beliau berjualan di Rafah (plakk...karena mangkalnya di perbatasan ‘Jalur Gaza’ ). Meskipun sepertinya franchise, tapi punya bapak yang satu ini enaknya beda. Istilahnya sudah Talaqqathu al-Ummatu bi’l Qabûl. Saya pernah mencoba burjo semacam itu di tempat lain, ternyata rasanya beda jauh! 

3.      Burjo lari pagi. Ayah saya rutin lari pagi dan selalu memotivasi anak-anaknya untuk rajin olahraga. Supaya besok besar tidak penyakitan. Hampir setiap pulang beliau bawa burjo, kalau tidak ya bolang-baling. Saya tidak tahu burjo itu beli dimana, tapi rasanya enak sekali. Kacang hijaunya sudah menjadi bubur sehingga tidak memunculkan gap antara air dan kacang hijau di mulut yang kadang mengacaukan sensasi. Hanya saja, burjo itu sepertinya hanya tersedia panas, atau memang hanya dibelikan yang panas. Sehingga harus ditunggu supaya dingin di lemari es. Ini yang kadang butuh waktu, kadang terlupakan karena semua orang rumah sibuk beraktifitas.

Bukan salah satu dari ketiganya yang nomer wahid. Ada satu penjual burjo yang selalu ibu stop setiap siang ketika saya masih belum sekolah dulu. Ini merupakan bagian dari usaha ibu saya untuk meningkatkan gizi putra putrinya. Alhamdulillah dua anaknya sudah jadi sarjana, satu baru masuk kuliah tapi tidak di Indonesia. Sekarang semua sudah tumbuh besar-besar meskipun besar itu relatif.

Burjo yang satu ini beda. Sampai sekarang hidung saya masih bisa samar-samar membayangkan aromanya. Rasanya pun masih terkenang di pertemuan lidah dengan kerongkongan. Penjualnya nampak berdedikasi, terbukti dari es batu yang sudah benar-benar dihancurkan. Itulah bedanya, es batu yang bisa disendok dari termos seperti nasi lebih bisa mengupgrade kualitas sebuah burjo. Jadilah segala kekurangan di awal bersatu menjadi kenangan.

(Maaf tidak pakai foto, selamat menikmati burjo walau hanya dalam bayang)




[1] Saya menghargai perbedaan pendapat di kalangan orang Sumatera mengenai siapakah yang pertama kali membuat pempek
[2] Perhatian: sekarang bapak itu sudah bisa bahasa Jawa meskipun agak kaku