أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, December 17, 2014

Ini Ada Hadis Shahihnya. Lalu?

“Ini ada hadisnya lho.”
“Amalan semacam itu ada hadisnya gak?”
“Hadisnya sahih gak?”

Pertanyaan seperti di atas sering muncul dalam sebuah percakapan di tengah masyarakat ketika membahas soal agama. Sisi positifnya, hal ini menunjukkan akan kesadaran umat Islam bahwa hadis adalah sumber tuntunan syariat selain al-Quran. Di sisi lain, apabila menggunakan kedalaman kajian para ulama pertanyaan seperti di atas sebenarnya masih mengandung persoalan besar. Bahkan bisa jadi beresiko.

Pertanyaan semacam itu keluar dari akal yang berpikir bahwa setiap amalan yang berkaitan dengan agama Islam mesti ditegaskan oleh sebuah hadis sahih. Sekilas memang pertanyaan dan pernyataan di atas mengandung spirit kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pun mengandung sebuah ajakan secara tersirat untuk memperhatikan hadis sahih demi menjaga kemurnian ajaran agama. Hanya dalam urusan agama, bukan emosi dan semangat semata yang diandalkan. Apalagi Islam disifati dengan agama ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia akhirat, maka ilmu kuncinya. Darimanakah kita mendapatkan ilmu?

Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama mewasiatkan untuk mengikuti ulama sepeninggal beliau. Mereka yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan tuntunan al-Quran dan Sunnah sekaligus mengawal operasionalnya dalam ranah praktis. Mereka yang lahir dari proses berguru dari ulama dan seterusnya sampai kepada sahabat yang berguru kepada Rasulullah. Sehingga merujuk kepada metode mereka adalah sebuah keniscayaan bagi setiap muslim. Apa yang dijadikan ulama sebagai ukuran bahwa sebuah amalan ada tuntunannya? Bagaimana para ulama memandang hadis sahih? Melalui poin-poin di bawah ini semoga bisa memberikan gambaran:

1. Dalam kitab-kitab usul fikih, disebutkan bahwa dalil-dalil syar`i yang disepakati ulama sebagai sumber hukum tidak hanya al-Quran dan Sunnah. Ada juga ijmak (konsensus para ulama) dan qiyas (menganalogikan sebuah hukum dari persoalan yang tidak secara tegas disebutkan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah kepada persoalan yang disebutkan secara tegas hukumnya) sehingga genap menjadi empat dalil yang disepakati.
Selain itu ada dalil-dalil syar`i yang digunakan oleh para ulama seperti `urf (adat), maslahat, Sadd al-Dzarâ’i` (menutup pintu madharat) dan lain-lain. Meskipun masing-masing madzhab berbeda dalam keabsahan penggunaan dalil-dalil selain yang empat di atas.

2. Keberadaan sebuah teks al-Quran dan Sunnah atau dalil-dalil lain tidak cukup untuk menjadikan sesuatu dikatakan “dituntunkan oleh syariat”. Selain keberadaan sebuah teks, ada dua komponen lain yaitu metode penyimpulan sebuah dalil dan standar kompetensi orang yang berhak menggunakan metode pengambilan hukum dari dalil.

3. Terhadap hadis shahih sendiri ulama Mesir Imam al-Sakhawi (902 H) yang merupakan murid dari Ibnu Hajar al-`Asqalani (852 H) menukil pernyataan dari guru besar ilmu mustolah hadis Abu `Amr Ibnu al-Shalah (643 H).

Pertama, apabila seorang mujtahid mengamalkan sebuah amalan yang sesuai dengan sebuah matan hadis, maka tidak serta merta menunjukkan bahwa hadis tersebut pastilah sahih. Karena bisa jadi dia beramal demikian karena faktor lain, misalnya berdasar matan hadis dari jalur lain. Bisa juga karena amalan tersebut sesuai ijmak, berdasarkan qiyas, kehati-hatian, atau karena ia termasuk orang yang berpendapat bahwa berhujjah dengan hadis dhaif lebih dikedepankan daripada qiyas.

Kedua, apabila ada seorang mujtahid mengamalkan sesuatu yang berbeda dengan sebuah matan hadis maka tidak menunjukkan bahwa hadis tersebut dhaif. Al-Khathib al-Baghdadi (463 H) mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan ada faktor lain yang menyebabkan ulama tidak mengamalkan matan hadis tersebut. Misalnya, hadis tersebut mansukh (digantikan hukumnya dengan hadis atau ayat lain yang datang belakangan), dikhususkan, atau faktor lainnya.[1]

4.  Mengapa ulama membagi hukum hadis menjadi tiga; sahih, hasan dan dhaif? Padahal bisa saja dicukupkan menjadi dua; sahih yang diartikan sebagai apa yang benar-benar berasal dari Rasulullah dan dhaif yang diartikan apa yang tidak benar-benar berasal dari Rasulullah.

Dr. Usamah al-Azhari, ulama hadis al-Azhar,  mengatakan bahwa studi hadis bukan soal bermain dengan benar atau salah. Studi hadis adalah soal periwayatan yang didalamnya mendalami karakter rawi yang juga seorang manusia dengan berbagai kualitasnya. Oleh karenanya, lahirlah hukum hadis yang tiga.[2]

a) Sahih: hadis yang bersambung sanadnya dari orang yang `âdil (lurus agamanya) dan sempurna dhabth-nya (kekuatan hafalan ataupun catatannya) dari awal sanad sampai akhir. Dengan tidak ada pertentangan dengan hadis lain (syudzûdz) juga tidak ada kecacatan (`illah). Kita bisa menerima bahwa matan hadis tersebut berasal dari Rasulullah karena terpenuhinya syarat-syarat tersebut.

b) Dhaif: hadis yang tidak memenuhi sebagian atau keseluruhan syarat tersebut. Tidak terpenuhinya syarat tersebut menjadi faktor tidak dapat digunakannya hadis tersebut sebagai dalil syar`i.

c) Hasan: hadis yang kesemua syarat sahihnya terpenuhi, hanya bedanya urusan dhabth kurang sempurna. Karena demikianlah perbedaan kualitas para manusia perawi. Hadis hasan dan sahih keduanya tidak masalah untuk dijadikan sumber hukum, hanya saja ketika ada pertentangan antar keduanya didahulukan hadis sahih.

5. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad, guru besar hadis al-Azhar, menambahkan bahwa karena salah satu faktor penyimpulan hukum sebuah hadis adalah para rawi yang berbeda-beda kualitasnya, hadis dhaif sendiri pun bermacam-macam: ada yang bisa dikuatkan dengan hadis dari jalur lain sehingga bisa diamalkan terutama hadis tentang motivasi beramal. Biasanya karena rawinya hanya bermasalah soal dhabth. Ada pula hadis dhaif yang tidak dapat dikatrol karena rawinya sudah bermasalah kepribadiannya seperti dicurigai berdusta. Ada pula hadis palsu (maudhû`) yang statusnya bukan hadis, namun meminjam istilah hadis untuk memudahkan pembahasan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah amalan bisa dikatakan ‘ada tuntunannya’ setelah melalui proses: adanya dalil (tidak hanya teks hadis, namun bisa juga dalil-dalil lain seperti di atas), dipahami dengan metode tertentu dan prosesnya pun dilakukan oleh ulama yang jelas kompetensinya, bukan sembarang orang. Urusan hadis sendiri, hukum dari ulama berasal dari ijtihad para ulama berdasarkan syarat-syarat di atas.

Sehingga pertanyaan pun tidak terbatas pada, “Apakah ada hadisnya?”. Namun bagaimana kualitasnya? Apakah hadis itu sudah dikumpulkan dari berbagai jalur? Bagaimana kualitas rawinya? Bersambung kah sanadnya? Bagaimana metodenya penyimpulan hukumnya? Apa hadis itu ada yang mengkhususkan atau menggantikan hukumnya? Siapa yang berpendapat demikian dalam penyimpulan hukumnya?

Tidak mudah bukan? Demikianlah karena memang hal-hal tersebut sebenarnya adalah wilayah garap para ulama. Sebagai umat, cukuplah kita mengikuti tuntunan ulama, percayakan kepada mereka bahwa apa yang mereka ajarkan adalah “tuntutnan agama”. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.


[1] Syamsuddin al-Sakhawi, Fathu’l Mughîts bi Syarh Alfiyati’l Hadîts, ed. Abdul Karim al-Kudhair & Muhammad bin Abdullah Alu Fahd, vol. II, Maktabah Dâru’l Minhâj, Riyadh, Arab Saudi, cet. II, 1432 H, hal. 198
[2] Untuk lebih memperkaya lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, ed. Mazin al-Sirsawi, Dâr Ibnu’l Jauzi, al-Dammam, Arab Saudi, cet. I, 1431 H, hal. 132 & Syamsuddin al-Sakhawi, Op. Cit., vol. I, hal. 29

Thursday, October 16, 2014

Tips Membaca Buku Efisien untuk Pemula dari Syekh Saed Fodeh

Buat (adek-adek-pen) yang masih pemula (tahap belajar matan ilmu syar`i) memang sebaiknya fokus saja di matan, bahkan tidak usah melirik ke hasyiyah kecuali kalau memang butuh. Terutama ketika membaca sebuah buku untuk kali pertama. Lirak-lirik matan-hasyiyah ini malah menjadikan yang bingung tambah bingung, maunya nyambung antara matan-hasyiyah malah jadi tidak nyambung. Nanti saja ketika memang benar-benar butuh penjelasan dari hasyiyah atau setelah mengkhatamkan dan paham buku yang dibaca.

Membaca buku untuk kedua bahkan ketiga kalinya itu sangat bermanfaat sebagaimana nasehat para ulama. Mereka mengulang-ulang khatam baca buku sebelum pindah ke buku lain. Al-Sayyid al-Syarif al-Jurjani misalnya, beliau membaca Syarhu’l Mathâli` fiî `Ilmi’l Mantiq lebih dari 14 kali sebelum ngaji dengan penulisnya langsung al-`Allamah al-Quthb al-Razi. Cerita-cerita lain tentang baca bukunya para fuqaha lebih banyak dan lebih heboh lagi. Sebagian fuqaha malah sampai mendapat gelar al-Minhaji karena sedemikian fokus dan intesnya dengan al-Minhaj (Minhâh al-Thâlibîn-pen), kitab fikih mazhab al-Syafi`i karya al-Imam al-Nawawi. Ada juga yang membaca al-Risâlah-nya al-Imam al-Syafi`il lebih dari 30 kali, hebatnya setiap bacaan selalu memunculkan inspirasi yang belum muncul pada bacaan sebelumnya.

So, mengulang-ulang bacaan itu sangat dibutuhkan mereka yang masih berada di tahap ini. Banyak orang yang diparingi taufiq oleh Allah Swt. kemudian jadi punya gairah untuk belajar tapi belum tahu metode belajar. Sehingga sekedar pindah-pindah buku padahal belum benar-benar mencapai target pemahaman buku itu dan belum juga paham persoalan-persoalannya. Hasilnya adalah pemahaman buku yang tidak komplit dan tidak mantap. Belum lagi bicara soal efektifitas waktu dan usaha, konsentrasi malah buyar kemana-mana.
al-Mutakallim Saed Fodeh
Makanya para ulama selalu menganjurkan untuk fokus dan intens dengan satu kitab terlebih dahulu ketika masih tahap pemula. Kemudian setelah mantap baru pindah ke kitab lainnya. Pindah ke kitab lain (sekali lagi setelah mantap-pen) dalam sebuah disiplin ilmu bahkan menjadi tuntutan kalau ingin benar-benar mantap keilmuannya.

Akhir kalam, taufiq hanya datang dari Allah Ta`ala...

-----------------------------------------------------

Said Abdul Lathif Faudah, kelahirn Yordania 1967 M, adalah seorang pakar ilmu tauhid. Keluarganya meninggalkan tanah leluhurnya, Palestina, karena penjajahan Israel. Sejak kecil sudah dididik untuk fokus belajar ilmu-ilmu agama dengan ngaji langsung kepada para ulama. Beliau yang bergelar doktor ilmu aqidah ini juga seorang sarjana teknik elektero, bahkan pernah bekerja di sebuah perusaan di Amman, Yordania. Beliau juga seorang ulama produktif menulis buku tentang aqidah yang dengannya ikut berkontribusi mengokohkan aqidah umat dan membentenginya dari berbagai aliran kepercayaan dan pemikiran yang lalu lalang di dunia, dari peradaban timur maupun barat.
Mengunjungi kami di Madhyafah Syekh Ali Jum`ah, 22 September 2014

“Mari kita evaluasi bangunan keilmuan aqidah dalam diri kita. Seorang muslim WAJIB mempelajari ilmu aqidah, tidak boleh mencukupkan, “Kata ustadz saya begini”) Bahkan ketika ada orang umum yang menjumpai persoalan dalam masalah keyakinan, ia wajib untuk membereskannya dengan cara BELAJAR sampai keyakinannya benar-benar terbangun atas dasar ilmu. Kata Ibnu Asyur, “Sekarang sudah bukan zamannya berilmu yang global-global saja, sekarang berilmu harus rinci”. Itu di zaman beliau, apalagi zaman sekarang”.

Wednesday, September 17, 2014

Buku Ayahku, Buku Keluargaku

Saya patut bersyukur. Di rumah Jogja, ada rak-rak buku raksasa yang menghiasi dinding rumah dan tidak ada yang kosong dari buku-buku ayah saya (masih di urutan pertama terbanyak), juga buku-buku milik ibu dan ‘anak-anak’ (saya dan kedua adik saya). Waktu kecil dulu (alhamdulillah sekarang saya sudah besar) saya sering melihat-lihat buku-buku ayah. Di antara buku-buku tersebut, ada yang isinya masih terekam baik di memori. Ini saya kisahkan, kisahkan dengan makna seperti riwâyah bi’l ma`na. Ada sedikit penyesuaian bahasa karena tuntutan zaman.

Kasykul. Judul dari sebuah buku kecil bersampul merah, isinya cerita-cerita unik. Salah satu kisahnya tentang ‘Konspirasi Yahudi’. Alkisah, ada seorang Yahudi yang kebetulan namanya sama dengan saya, Musa. Ia hidup di tengah kaum muslimin. Tentunya, ia selalu dapat mengamati kegiatan kaum muslimin sehari-hari termasuk solat berjamaah.

Mendengar suara adzan, bukannya hatinya tercerahkan. Tumbuh niat untuk menjalankan salah satu protokol zion (entah nomer berapa), membuat makar terhadap harta milik kaum muslimin. Kali ini salah satu pasal protokolnya berbunyi, “Nyolong sendal (mencuri sandal-Jw) milik kaum muslimin”. Dia memutuskan untuk menyerang ketika kaum muslimin sedang solat, karena ia tahu umat Islam bakal konsentrasi ibadah dan sandal-sandal ada di luar masjid. Tak lama kemudian, ia mendengar sang imam mengumandangkan takbir dan membaca bacaan tertentu. Musa pun mulai beraksi.

Ketika di tangan kanannya sudah tergenggam beberapa pasang sandal milik kaum muslimin, ia mendengar sang imam melantunkan. “Wa mâ tilka bi yamînika yâ Mûsâ...” (Apa yang ada di tangan kananmu Wahai Musa?). Kontan ia kaget bukan kepalang sekaligus merinding buah dari ke-GeeR-annya. Bagaimana mungkin sang imam tahu apa yang ia perbuat padahal ia berada di barisan terdepan dan menghadap ke arah yang berlawanan?

“Wah hebat juga umat Islam ini, ternyata setingkat itu kemampuannya!”, pikirnya. Selang beberapa waktu, ia dapat hidayah dan masuk Islam. Sekian ceritanya, karena memang ‘Kasykul’ isinya cerita pendek.


|Nikmati cerita ini dengan pikiran sederhana, tak perlu penafsiran macam-macam apalagi hermeneutika. Karena saya hanya ingin bernostalgia dengan buku-buku ayah saya, buku-buku keluarga saya. Juga ingin mohon doa, supaya terlecut untuk lebih rajin, efektif dan ikhlas baca|






Class is Permanent


Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi dalam kata pengantar kitab Nashb al-Râyah-nya al-Zaila`i  (Takhrij hadis-hadis kitab fikih madzhab Hanafi al-Hidâyah karya al-Marghainani) pada part al-Ra’yu wa’l Ijtihâd menyebutkan tentang Ibrahim al-Nazham yang kata beliau (al-Kautsari) tidak percaya dengan metode qiyas (analogi) sebagai salah satu sarana penyimpulan (istinbâth) hukum, bahkan al-Nazham mencacatkan para sahabat karena menggunakan metode tersebut (Nashb al-Râyah 1/20). Padahal jumhur ulama mengakui legalitas qiyas. Meminjam bahasa Cak Lontong, “Saya terhenyak!”. Sehingga saya pun memutuskan untuk melakukan survey...pustaka:

Ibrahim bin Sayyar bin Hani’ al-Bishri Abu Ishaq (231 H [al-A`lam 1/43] Om Wiki bilang 221 H) atau lebih familiar dengan nama al-Nazham (النظّام). Seorang pembesar Muktazilah dan pakar ilmu kalam yang dikaruniai kecerdasan luar biasa. Penulis Tarikh Baghdad, al-Khathib al-Baghdadi (463 H) pun mengakui kemampuan al-Nazham sebagai debator Muktazilah. Konon, al-Nazham hafal al-Quran, Taurat, Injil dan Zabur plus tafsir-tafsirnya. Belum lagi urusan sastra bahkan sains juga ditekuninya. Otaknya dibekali dua senjata/elemen penting berpikir; keraguan (al-Syakk) dan eksperimen (al-Tajribah).

Al-Nazham lebih memilih untuk mengisi otaknya dengan hal-hal yang didapat dari tenang berpikir. Maklum, ia sangat benci hal-hal berbau khurafat (apalagi gosip–pen).

Selain itu, beliau juga diakui kemampuannya dalam bidang bahasa. Konon, panggilan ‘al-Nazham’ didapat karena hal ini. Khalil bin Ahmad, perumus ilmu `Arûdh, pernah memuji al-Nazham kecil dengan ungkapan, “Yâ Bunayya, nahnu ilâ al-Ta`allum minka ahwaj!” (Hai anakku, kami lebih butuh belajar darimu).

Sastrawan dan pemikir besar Muktazilah, al-Jahizh, yang pernah berguru kepadanya melontarkan sanjungan, “Orang-orang terdahulu mengatakan bahwa setiap 1.000 tahun sekali muncul seorang manusia yang kehebatannya tak tertandingi. Kalau memang itu benar, maka orang itu Abu Ishaq al-Nazham!”.

Tunggu sebentar, kalau al-Nazham disebut sebagai ustadznya al-Jahizh dan konon beliau mati muda usia 36 tahun. Sedangkan al-Jahizh hidup antara tahun 159 H – 255 H, pada usia berapa al-Nazham sudah jadi ‘guru’? Bagaimana suasana hati mereka ketika proses berguru?

Doa al-Nazham:
اللهم إنك تعلم أني لم أقصر في نصرة توحيدك و لم أعتقد مذهبا من المذاهب اللطيفة إلا لأشد به التوحيد, فما كان منها ما يخالف التوحيد فأنا منه بريئ...فاغفر لي ذنوبي و سهل علي سكرة الموت

---------------------------------------------------------------------------------

Bukan masalah keberpihakan, sekali lagi ini soal ‘kelas’. Perdebatan soal agama selalu menjadi rekaman sejarah dari zaman dahulu sampai kiamat nanti. Hanya yang perlu dilihat adalah, siapa dan sekualitas apa aktornya? Zaman dahulu, perdebatannya antar orang-orang ‘seperti itu’. Sehingga generasi kemudian bisa mengambil manfaat dari perdebatan itu.

Sama-sama memakan waktu, bukankah lebih bermanfaat melengkapi dan memperindah bangunan keilmuan dalam diri. Daripada sibuk membenturkannya dengan bangunan milik orang lain tanpa sadar akan seberapa kekuatan dan tentunya, apa manfaatnya?

Soal ini, al-Nazham punya nasehat yang cukup populer di kalangan pelajar:

"العلم لا يعطيك بعضَه حتى تعطيه كلَّك"

Artinya : “Ilmu tidak akan memberikan sebagiannya kepadamu, sampai kamu mempersembahkan seluruhmu untuknya”.




|Tulisan ini terinspirasi dari pengamatan akan banyaknya diskusi agama di jejaring sosial|

Thursday, February 6, 2014

Sibawaih; Aroma Apel Terharum

Siapakah ulama nahwu terhebat yang pernah ada? Ibn Khillikan dalam Wafayâtu’l A`yan-nya menyebut Sibawaih. Amr bin Utsman bin Qanbar al-Haritsi Abu Bisyr. Sibawaih adalah gelar dalam bahasa Persia, apabila diarabkan artinya menjadi ‘aroma apel’. Sebagian kalangan suka memanggilnya Sibuyah, mereka kurang suka menyebut waih. Menurut orang non-Arab, artinya kurang baik. Ulama hadis beralasan, karena waih itu salah satu nama setan.

Sibawaih yang lahir di Syiraz, salah satu kota di Persia, lama berguru kepada Khalil bin Ahmad (100-170 H) di Bashrah, bahkan ia disebut sebagai muridnya yang paling unggul. Konon, Sibawaih itu gantengnya minta ampun. Gurunya sendiri pun sampai membuat tabir ketika mengajar Sibawaih.

Salah satu episode terkenal dalam hidup sibawaih adalah debatnya dengan ulama Kufah al-Kisa’i (119-189 H ), yang ketika itu menjadi guru dari putra Khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin, tentang kalam Arab yang lebih fasih. Sayang waktu itu dialog berakhir dengan kurang sehat meskipun menghadirkan orang Arab asli. Dia dipaksa untuk mengakui bahwa al-Kisa’i yang benar. Sibawaih tahu ia dicurangi, maka ia pergi ke luar kota.

Masterpiece Sibawaih adalah al-Kitab, yang disebut sebagai buku nahwu yang tidak ada tandingannya, dari buku sebelum maupun setelahnya. Ia yang menjabarkan semua masalah nahwu di al-Kitab. Para ulama yang datang setelahnya, tidak ada satupun yang bisa menemukan persoalan nahwu apa yang belum dibahas Sibawaih dalam al-Kitab.

Dalam sebuah majelis, Prof. Dr. Fathi Hijazi, pakar balaghah al-Azhar, pernah menceritakan bahwa, “Dengan usia yang sangat pendek saja, kami (para ulama bahasa Arab di al-Azhar) sudah dibuat memeras otak dan tenaga, bagaimana kalau ia berumur panjang?”. Benar, Sibawaih meninggal dalam usia muda, 34 tahun. Namun begitulah, Allah yang menentukan peran hamba di dunia, dan menaikkan posisinya.

Meskipun terdapat perbedaan tentang kapan dan dimana Sibawaih meninggal, namun sumber yang bisa dipercaya menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 170 H.

Sumber:
1. al-A`lam (5/81)
2. Wafayatu'l A`yan (3/463 no. 504)

Lokasi makam Imam Sibawaih
(karena tidak ada foto beliau, makam pun jadi)

Sunday, January 12, 2014

El-Sharaawy; The Chosen One

Bulan-bulan pertama di Mesir, saya penasaran dengan gambar orang tua berpeci putih khas Mesir (mirip topi kelasi), fotonya dipampang di mana-mana. “Itu namanya Syekh Sya`rawi, beliau adalah dai yang selalu dinanti pengajian tafsirnya. Beliau pernah menjadi Menteri Wakaf (semacam Menteri Agama di Indonesia). Meskipun pernah menjadi orang pemerintah, tapi beliau sangat merakyat dan rendah hati, makanya rakyat Mesir cinta Syekh Sya`rawi.” Begitu penjelasan seorang senior. Selama beberapa waktu terkadang memori akan (gambar) Syekh Sya`rawi kembali terngiang. “Oh ya, ada salah satu koleksi buku ayah saya berjudul ‘Anda Bertanya Islam Menjawab’, karya Muhammad Mutawally al-Sya`rawy, ternyata beliau orangnya”. Ingat sudah saya.

Entah kenapa sejak lama saya ingin menulis tentang Syekh Sya`rawi. Puncaknya ketika mendengarkan rekaman sebuah talkshow di salah satu tv Mesir membicarakan Syekh Sya`rawi. Waktu itu, ditemani seorang host, pematerinya adalah Syekh Usamah Sayyid al-Azhari yang terkenal ensiklopedis ketika membahas sebuah tema disampaikan dengan fasihnya bahasa dihiasi dengan suara beliau yang khas. Klop sudah.

Padahal saya belum pernah baca tafsir atau karya-karya beliau yang terpampang di toko-toko pinggir jalan, belum juga mendengarkan rekaman video beliau. Tapi secara bertahap, cerita tentang Syekh Sya`rawi selalu datang. Anehnya, tidak ada cerita tentang beliau yang tidak mengena! Tak apalah, maka kali ini saya akan berbagi cerita tentang Syekh Sya`rawi. Kalau sekedar biografi, browsing di internet sudah mencukupi.

El-Sharaawy Si Anak Petani

Ayahnya adalah seorang petani Mesir yang sederhana. Sya`rawi kecil yang dipanggil Amin pun seperti anak-anak sebayanya. Pergi ke sekolah, kemudian ikut membantu berladang. Cita-cita Amin kecil pun sebatas ‘meneruskan perjuangan ayahnya’ alias jadi petani. Tapi, Amin punya bakat sastra. Maklum, sejak kecil ia sudah mengikuti sayembara ayahnya, menghafal syair-syair Ahmad Syauqi, Si Raja Syair asal Mesir. Setiap satu syair, berhadiah beberapa keping qirsy (piaster, seperti sen, pecahan dari pound). Lumayan, tambahan uang jajan. Ketika masuk SMA al-Azhar di Zaqaziq, ia pun terpilih menjadi Ketua OSIS dan Ketua Perkumpulan Sastrawan Zaqaziq.

Amin sudah lulus SMA, waktunya jadi mahasiswa. Di dalam pikiran ayahnya sang petani sederhana itu, anak Mesir kalau sudah hafal al-Quran dan lulus sekolah ya masuk Universitas al-Azhar, untuk jadi orang benar. Amin ternyata masih bersikukuh dengan impian lamanya melanjutkan perjuangan ayahnya di ladang. Bahkan malam tes masuk al-Azhar, Amin mengoleskan merica ke matanya untuk mengelabui ayahnya. Dia pura-pura sakit. Apes, ketahuan.

Ketika tes pun dia tak kehilangan akal. Pengujinya dipermainkan dengan menjawab asal-asalan ketika diminta melanjutkan ayat al-Quran. Tapi yah, begitulah, mungkin di sinilah letak The Choosen One-nya. Pengujinya tahu kalau anak ini sebenarnya hafal al-Quran, tapi sengaja disalah-salahkan. Akhirnya, “Lancang kau bocah! Sudah sana masuk al-Azhar!” Amin diterima masuk al-Azhar, fakultas bahasa Arab.

Ayahnya datang ke Kairo untuk memastikan keadaan Amin, siapkah ia mengikuti pelajaran. Ternyata ia belum punya buku diktat (muqarrar). Berangkatlah mereka berdua ke toko buku. Lagi-lagi Amin berulah. Kitab-kitab yang berjilid-jilid dengan berbagai tema mulai dari bahasa, ilmu al-Quran, tafsir, dan lain-lain ditunjuknya asal-asalan. “Kali ini harus berhasil!” Begitu pikiran Amin. Ia berharap agar ayahnya menyerah ketika tahu bahwa ‘diktat’ al-Azhar besar-besar dan pasti mahal-mahal. “Berapa?” “Satu pound Pak.” Jawab pemilik toko. “Silahkan Pak, ini saya bayar satu pound.” Tanpa menawar, ayahnya langsung membayar semua kitab yang ditunjuk Amin. Padahal satu pound Mesir (Le) zaman segitu, mungkin sama nilainya dengan 800 pound zaman sekarang. 800 pound itu kalau dirupiahkan 1,5 juta untuk kurs saat ini.

Amin ikut ke stasiun kereta api melepas ayahnya pulang ke Mit Ghamr, kampung halamannya. Menjelang keberangkatan kereta, ayahnya berkata, “Nak, ayah tahu kok kalau kitab-kitab itu sebenarnya bukan diktatmu, tapi gak apa-apa. Semoga kitab-kitab itu membuat kamu tambah semangat belajar, semoga Allah membukakan pintu-pintu ilmu kepadamu melalui kitab-kitab itu”.

Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi

Amin yang bandel sekarang sudah jadi Muhammad Mutawalli al-Sya`rawy yang berusia 60 tahun. Saya merasa penting memulai dari titik ini. Di usia ini Syekh Sya`rawy baru muncul di depan rakyat Mesir mengajarkan tafsir al-Quran. Mesir tak pernah langka ulama. Tapi Syekh Sya`rawy beda. Meminjam istilahnya Syekh Usamah Sayyid al-Azhari, Syekh Sya`rawi berhasil membangun madrasah rakyat dengan mutiara-mutiara tafsir al-Qurannya. Bukan sembarang menafsir, Syekh Sya`rawi punya modal bahasa Arab dari studinya di al-Azhar, juga dari ‘bakat’ yang Allah berikan kepadanya. Klop dengan al-Quran yang turun dengan bahasa Arab, maka untuk dapat menggapai makna-maknanya, kunci pertama adalah bahasa Arab dengan segala cabangnya. Seterusnya baru berbagai ilmu penunjang lainnya.

Kenapa baru muncul ketika sudah 60 tahun? Kemana saja sebelumnya? Ketahuilah bahwa yang memunculkan dan meredupkan orang adalah Allah. Guru-guru saya di al-Azhar pun sering menasehatkan untuk tidak keburu tampil, biarkan Allah yang mengatur dan menempatkan kita di posisi yang Ia Ridhai. Syekh Sya`rawi menempuh jalur yang sama dengan kebanyakan pemuda Mesir lainnya. Lulus al-Azhar, jadi guru SMA al-Azhar di berbagai kota. Ada yang menarik di sini. Saya pernah mendengar bahwa  yang pernah menjadi salah satu murid SMA-nya adalah Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Ketika itu, al-Qaradhawi muda juga sangat unggul di bidang bahasa Arab. Syekh al-Qaradhawi sangat hormat dengan Syekh Sya`rawi, “Kalau saya bertemu Syekh Sya`rawi, saya cium tangan beliau!”

Syekh Sya`rawi yang ‘hanya’ lulus s1 al-Azhar ini karirnya dilancarkan oleh Allah. Ia juga pernah menjadi dosen di Universitas Ummu’l Qura, Mekah. Waktu itu dia diminta mengajar aqidah, padahal spesialisasinya adalah bahasa Arab. Tapi Syekh Sya`rawi memang dikaruniai kecerdasan oleh Allah, jadi hal itu tak menjadi masalah besar buat beliau.Tahun 1963, ada konflik antara Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser dengan Raja Su`ud, Syekh Sya`rawi dilarang kembali ke Saudi. Sekembalinya dari Saudi, beliau ditunjuk menjadi direktur kantor Syekh al-Azhar, Syekh Hasan Ma’mun.

Kemudian beliau kembali berpetualang, kali ini menjadi ketua rombongan delegasi al-Azhar ke Aljazair. Syekh Sya`rawi diizinkan kembali mengajar di Arab Saudi, kali ini di Universitas King Abdul Azis.

Ketika Mamduh Salim menjadi perdana menteri Mesir, Syekh Sya`rawi ditunjuk menjadi Menteri Wakaf dan Urusan al-Azhar sampai Oktober 1978. Selama menjabat sebagai menteri, di antara prestasinya adalah menggolkan Bank Islam pertama di Mesir, Bank Faishal.

Syekh Sya`rawi, Teladan Soal Ihsan

Mesir adalah pusat keilmuan Islam. Konsekuensinya, akan terjadi banyak kajian sampai kepada perdebatan. Terkadang, cacian terhadap pihak lain tidak dapat dihindari. Tapi rasanya ini tidak berlaku bagi Syekh Sya`rawi. Saya pribadi belum pernah menemukan orang Mesir yang tidak cinta dengan Syekh Sya`rawi, apalagi sampai mencaci beliau! Semua orang silahkan mencinta, tapi Syekh Sya`rawi tetap pada kerendahan hatinya, tetap pada ihsan-nya.

Seorang senior pernah bercerita kepada saya. Waktu itu beliau diminta menjadi penerjemah seorang doktor Mesir yang berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan di tanah air. Doktor tersebut menyampaikan sebuah cerita tentang Syekh Sya`rawi yang sangat menyentuh. Senior saya sampai menitikkan air mata ketika harus menerjemahkan cerita tersebut.

Ceritanya, Syekh Sya`rawi tergeletak di ranjang karena sakit di akhir hayatnya. Murid-muridnya berkumpul di sekelilingnya. Menyemangati beliau dan mendoakan kesembuhan bagi beliau. Tapi apa jawab Syekh Sya`rawi? “Kalian ini bagaimana? Kok malah ngomong begitu? Kalian ingin ‘kenikmatan’ yang saya dapat ini dicabut?”

Begitulah Syekh Sya`rawi, seorang manusia Qur’ani. Tidak hanya buku dan ceramahnya yang menginspirasi, namun juga setiap tutur kata dan perilaku hidupnya. Beliau adalah teladan dalam berihsan, menyembah Allah seakan kita melihat-Nya. Kalaupun kita tidak melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Ia melihat kita. Ihsan tak bisa berbohong, karena berhadapan dengan Yang Maha Tahu. Untuk apa memamerkan amalan di depan manusia, padahal Allah melihat ke dalam hati terdalam manusia.

Syekh Sya`rawi pulang mengajar diantar supirnya. “Berhenti sebentar di masjid depan ya.” Supirnya heran,”Ini kan belum masuk waktu solat?” Ia pun setia menunggu Syekh Sya`rawi yang masuk ke dalam masjid. Tapi kenapa lama sekali? Ia pun memutuskan ikut masuk ke dalam. Ternyata Syekh Sya`rawi tidak ada di setiap ruangan masjid. Ia terus mencari, ternyata Syekh Sya`rawi sedang berada di tempat wudhu, sedang ngosek (membersihkan/menyikat-jw) bak air! “Lho Syekh! Kenapa kok malah ngosek bak air?” Syekh Sya`rawi menjawab, “Tadi ketika saya mengajar, terlintas ujub dan berbangga diri di hati. Makanya saya begini supaya rendah diri dan menghinakannya.”
Mohamed Metwally el-Sharaawy

Perjalanan Talaqqi dari Masa ke Masa

Betapa berharganya ilmu dalam kehidupan manusia. Lebih khusus seorang mukmin. Entah bagaimana menyembah Allah, memakmurkan bumi, dan menyucikan diri tanpa arahan ilmu? Bukan sembarang ilmu. Hanya ilmu yang merupakan buah dari pengamalan rukun ilmu yang lima: guru, murid, buku, metode, dan lingkungan ilmiah.

Al-Azhar selalu menjaga agar kelima rukun ilmu ini terpenuhi sehingga dapat menghasilkan manusia yang dapat membimbing manusia-manusia lain di muka bumi dalam melaksanakan tugasnya.

Talaqqi. Meskipun sejak lama tersistem menjadi sebuah universitas, talaqqi tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam pendidikan al-Azhar. Ada jargon "al-Azhar jâmi`an wa jâmi`atan" artinya "al-Azhar itu ya masjid (talaqqi)-nya, ya juga universitasnya".

Di bawah ini tulisan Syaikh Ali Jum`ah, mufti Mesir yang lalu sekaligus anggota dewan ulama senior al-Azhar, yang ikut pontang-panting menghidupkan talaqqi di al-Azhar, dalam menghidupkan manhaj al-Azhar. Tulisan tentang perjuangan para ulama al-Azhar dalam mewujudkan pola pendidikan agama yang ideal.

Memang, mereka yang membaca buku dan mengajar bisa jadi tak sekeren mereka yang tampil di atas panggung orasi atau di depan pasukan. Tapi itu di mata manusia. Di mata Allah? Sama! Silahkan telaah tafsir Surah al-Taubah ayat 120 dan 122. Sebagai kata kunci, Prof. Dr. Abdul Fattah Abdul Ghani  selama masa perkuliahan tamhidi I yang lalu menjelaskan bahwa awal kedua ayat ini sama-sama menggunakan lâm juhûd. Ada pula riwayat yang menjelaskan bahwa di hari kiamat nanti, tinta ulama akan ditimbang dengan darah syuhada dan yang lebih berat ternyata tinta ulama. (Hadis terakhir yang dicantumkan oleh al-Ajluni dalam Kasyfu'l Khafâ' wa Muzîlu'l Ilbas. Diriwayatkan oleh al-Syirazi dari Anas, Ibnu Abdi'l Barr dari Abu Darda' dan lain-lain. Menurut al-Munawi, sanad-sanadnya memang daif, namun saling menguatkan satu sama lain.)


Dengan beberapa penyesuaian dari penukil agar lebih manis dibaca. (Sejujurnya juga disesuaikan dengan kapasitas terjemah penukil) :P

Selamat menyelami!
------------------------------------------------------------------------------------

Selama berabad-abad, al-Azhar adalah menara ilmu yang diwariskan dari generasi ke genarasi selanjutnya. Ahmad Syauqi, si Raja Syair asal Mesir, sampai bersyair khusus tentang al-Azhar. Isinya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada al-Azhar dan memotivasi para Azhari (orang-orang al-Azhar) untuk tetap menyebarkan ilmu yang didapat dari al-Azhar di berbagai belahan dunia. Talaqqi pun tidak ketinggalan disebut dalam bait syairnya. Syauqi mengatakan bahwa talaqqi-talaqqi tersebut seakan menghadirkan Imam al-Syafi`i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad kembali ke zaman ini ditengah-tengah kita.

1. Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Azhar selalu berkembang. Namun hal ini ternyata tidak dapat membendung pemikiran "merindukan kejayaan masa lalu" yang selalau menjangkiti para Azhari. Gejalanya, para Azhari akan selalu punya mimpi agar al-Azhar seindah dulu. Kembali kepada manhajnya yang terbukti berkualitas mencetak ulama berkualitas. Hal-hal semacam ini tidak baru muncul belakangan. Grand Syekh Hasan al-Athar punya perhatian khusus terhadap barat (dlam hal ini kolonialisme Perancis). Dialog antara peradaban timur dan barat tidak dapat dihindari (karena semua berada di satu bumi yang sama-pen).

Oleh karenanya, beliau menjadikan hal ini sebagai salah satu proyek peradaban al-Azhar, "Dialog antara tradisi keilmuan Islam (turats) dan realita zaman sekarang". Beliau juga mengirimkan muridnya, Rifa`at al-Thahthawi, ke Paris bersama dengan delegasi kiriman Muhammad Ali Pasha, pemimpin Mesir waktu itu. Al-Thahthawi mengemban misi khusus untuk merekam semua yang dilihat di Paris dengan tulisan. Mulai dari kuliner, fashion, budaya, sampai pemikiran. Kumpulan tulisan beliau diterbitkan dengan judul al-Ibrîz fî Mahâsini Bârîs.

2. Medio 60-an, lagi-lagi para Azhari terjangkit pemikiran "merindukan kejayaan masa lalu". Efeknya, lahirlah fakultas Islamic and Arabic Studies di Masjid al-Azhar. Mereka tetap mengkaji literatur klasik dengan metode talaqqi sampai selesainya pembangunan komplek tiga fakultas agama pada tahun 1936. Baru pada tahun 1980, fakultas Islamic and Arabic Studies ikut pindah ke kampus baru (di daerah Nasr City-pen) yang berdekatan dengan fakultas perdagangan. Akibatnya, Masjid al-Azhar kosong karena tidak ada talaqqi yang berjalan.

Grand Syekh Jadd al-Haq Ali Jadd al-Haq berpikir untuk menghidupkan kembali talaqqi di Masjid al-Azhar, idenya pun terealisasikan. Ditunjuklah Dr. Muhyiddin Shafi, dekan fakultas ushuluddin waktu itu sebagai direktur program talaqqi di Masjid al-Azhar. Terpilihlah beberapa ulama untuk menghidupkan kajian-kajian di sana. Talaqqi dimulai sebelum asar dan dibuka untuk umum. Kemudian terjadi renovasi Masjid al-Azhar yang tentunya mempengaruhi kelangsungan talaqqi. Renovasi baru selesai pada tahun 1997.

3. Saya (Dr. Ali Jum`ah-pen) meminta izin kepada Menteri Wakaf (seperti Menag di Indonesia-pen), Dr. Hamdi Zaqzuq untuk menghidupkan kembali iklim keilmuan ala al-Azhar seperti sebelumnya. Keluarlah izin berkhutbah di Masjid/Madrasah Sultan Hasan (yang gedhe/tingginya Mâ Syâ'a 4Wl) sekaligus izin mengajar di Masjid al-Azhar. Saya meminta agar pelajaran diadakan di Ruwaq al-Atrak (basecamp mahasiswa Turki di masa perkuliahan al-Azhar diadakan di masjid). Tidak tanggung-tanggung, talaqqi diadakan rutin enam hari seminggu dimulai sejak terbit matahari! Materinya pun bermacam-macam, ada hadis, kaidah fikih, usul fikih, tauhid, mantiq (ilmu logika), ilmu hadis, dan tafsir.

Untuk kajian hadis, saya membacakan Shahih al-Bukhari, kemudian dilanjutkan Shahih Muslim, kemudian Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Muwaththa' Malik, sampai kepada setengah Sunan al-Nasa'i. Sedangkan materi kaidah fikih saya mengajarkan al-Asybah wa al-Nazha'ir karya Imam al-Suyuthi. Materi usul fikih ada Jam`u'l Jawami`, Tasynifu'l Masamih, Minhaju'l Ushul karya al-Baidhawi, dan al-Tamhid karya al-Isnawi selama beberapa kali. Saya juga mengajarkan kitab al-Sullam untuk materi mantiq. Sedangkan ilmu tauhid, ada al-Kharidah al-Bahiyyah dan Jauharat al-Tauhid sekaligus syarah keduanya. Saya juga mengajarkan tafsirnya al-Zamakhsyari. Untuk materi fikih, ada matan Abu Syuja`dan matan zubad Ibnu Ruslan. Kitab al-Hikam-nya Ibnu Atha'illah sebagai bagian ihsan pelengkap bangunan, diiringi Manazil al-Sa'irin karya al-Harawi dan ringkasan Ihya Ulumiddin part ibadah.

Semua ini berlangsung dari tahun 1998 sampai 2004!

4. Pada fase ini, banyak juga ulama al-Azhar yang ikut bergabung seperti Syekh Iwadhullah Hijazi, rektor al-Azhar di masa itu yang mengajar tauhid sebanyak dua kali. Jug Syekh Musthofa Imran yang mengajar mantiq selama beberapa kali dengan berbagai kitab. Syekh Muhammad Ahmad Sahlul ikut mengajar nahwu. Syekh Muhammad Thail, anggota Komite Bahasa Arab Mesir, mengajarkan beberapa hal dari masterpiece Ibnu Jinni, al-Khasha'ish. Ada juga Syekh Mukhtar al-Mahdi, ketua Jam`iyyah Syar`iyyah dan profesor nahwu di Universitas al-Azhar. Tidak ketinggalan Syekh Barakat Abdul Fatah Dwidar yang mengajar tauhid.

Pesertanya membludak! Lebih dari 200 mahasiswa/i dengan berbagai kebangsaan dan bidang studi masing-masing. Bahkan orang-orang non al-Azhar pun ikut bergabung (Penukil pernah bertemu calon dokter yang aktif talaqqi hadis, fikih, dan sebagainya. Ada juga Syekh Yusri, dokter bedah yang akhirnya menjadi pengisi talaqqi-pen). Program talaqqi itu sendiri terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung menuntut ilmu. Dalam program talaqqi, ada pembacaan kitab, ada pula sesi dialog yang didalamnya sering mendiskusikan antara materi dengan realita kekinian. Inilah keistimewaan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah dalam memahami teks, realita, dan kaitan antara keduanya.

5. "Wah, bagus juga ini kalau bisa diadakan di tempat lain selain al-Azhar!" Insiatif dari Dr. Hasan al-Syafi`i, ulama al-Azhar yang juga menjabat sebagai wakil Daru'l Ulum Universitas Kairo dan rektor IIU-Pakistan di Islamabad. Hal ini diusulkan kepada rektor al-Azhar kala itu, Dr. Ahmad el-Tayyeb dan Menteri Wakaf Hamdi Zaqzuq. Keduanya menjawab, "Setuju!" Kementrian wakaf bahkan ikut menjadi sponsor program talaqqi dengan kucuran dananya. Meeskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa para ulama yang mengajar murni karena dedikasi yang tinggi terhadap ilmu dan kesadaran akan wajibnya "Ballighû annî wa lau âyah."

Posisi sebagai rektor tidak menghalangi Dr. Ahmad el-Tayyeb untuk terjun langsung ke medan laga. Hal ini sangat menggembirakan mengingat kapasitas beliau yang tidak perlu dipertanyakan lagi dalam ilmu tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu logika dan riwayat.

Sang wakil rektor tidak mau ketinggalan, Dr. Muhammad Abdul Fadhil juga ikut mengajar. Dr. Hasan al-Syafi`i yang disebutkan di atas juga ikut mengajar, bahkan memahami setiap persoalan yang ada. Beliau juga kaya akan wawasan berbagai kebudayaan. Sedangkan hamba yang fakir ini (Dr. Ali Jum`ah-pen) mengajar usul fikih dengan kitab Lubb al-Ushul di Ruwaq al-Abbasi. Selain yang disebutkan di atas, banyak juga ulama lain yang ikut berkontribusi menghidupkan talaqqi.

6. Selain materi-materi di atas, ada juga materi qira'at, tajwid, nahwu, fikih, hukum waris, dan hadis. Diampu oleh para lulusan al-Azhar yang dulunya konsisten talaqqi sejak awal dibuka kembali. Jadilah mereka memiliki kapasitas untuk mengajarkan kembali apa yang dulu mereka pelajari dari para ulama besar.

7. Program ini tidak luput dari pengamatan ulama lain dari berbagai belahan dunia yang mengunjunginya. Banyak juga ulama dari berbagai madzhab sunni, bahkan syiah dan ibadhiyyah yang angkat surban (aslinya angkat topi, idiom untuk respek/salut-pen :P ) kepada program talaqqi di atas. Menurut mereka al-Azhar sudah kembali kepada metode yan bsia memberikan kemerdekaan bagi ilmu. Sehingga para pelajar asing dari negara-negara Arab maupun negara-negara Islam di Asia dan Afrika, termasuk pelajar dari Amerika dan London (Eropa-pen) bisa memahami manhaj yang moderat (al-Wasathiyyah), harta karun keilmuan Islam (turats), termasuk memahami gerakan anti kemapanan (teroris) dan sumbangsih negatifnya terhadap umat Islam. Akhirnya mereka pun dapat memahami jalan yanglurus dan terang. Sungguh benar sabda Rasulullah Saw. tentang sekelompok umat yang tetap berpegang teguh terhadap kebenaran sampai akhir masa nanti.

-Prof. Dr. Ali Jum`ah-

-----------------------------------------------------------------------------------

Mungkin sebagian pembaca akan menganggap bahwa tulisan ini hanyalah data pelaksanaan talaqqi di al-Azhar. Mari kita berpikir, banyak tanggung jawab yang diemban oleh para ulama besar mulai dari urusan akademis sampai keumatan. Tapi, mengapa mereka begitu bersemangat menghidupkan talaqqi yang hanya sekedar 'ngaji kitab'? Nampaknya mereka melihat sesuatu yang berharga dari talaqqi. Ada sebuah sumbangan peradaban nantinya, karena Islam adalah agama ilmu yang membutuhkan kelima rukunnya seperti yang tersebut diatas. Siapa yang ingin memakmurkan dunia, ilmulah bekalnya. Siapa yang ingin memakmurkan akhiratnya, ilmulah bekalnya. Begitu juga kaum muslimin yang tentu menginginkan keduanya.