أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Tuesday, December 3, 2013

Urgensi Sejarah dan Kritik Sejarah Perspektif Ibn Khaldun

Tulisan ini merupakan pesan, agar kita lebih arif membaca sejarah. Agar kita 
tidak memandang apa yang terjadi di masa lalu dengan kacamata masa kini

A. Latar Belakang

Menurut Ibn Khaldun (808 H), sejarah merupakan ilmu yang kaya manfaat dan urgen mengingat perannya sebagai proyektor keadaan bangsa terdahulu. Membaca sejarah berarti membaca tata laku manusia di masa lampau, kisah para Nabi, strategi para raja dalam berpolitik dan bernegara. Apabila hal di atas dilakukan, manusia akan dapat menjadikannya sebagai bahan pelajaran dalam meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Ibnu Khaldun (Ilustrasi)
Sejarah membutuhkan berbagai sumber, kelengkapan data, serta analisa yang mendalam. Apabila hanya mengandalkan nukilan-nukilan, bagaimana ia akan terbebas dari kerancuan bahkan kebohongan? Oleh karenanya sejarah membutuhkan kajian mengenai norma yang berlaku di suatu kelompok masyarakat, teori politik, karakteristik peradaban, dan lain sebagainya yang dengan kata lain, disebut kritik sejarah.

B.  Studi Kasus

Menurut al-Masudi, jumlah tentara Bani Israel pada zaman Nabi Musa As. ada 600.000 orang, bahkan lebih. Menurut Ibn Khaldun jumlah ini tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin jumlah tersebut bisa cukup tertampung di Tih (tempat mereka ketika dikutuk Allah Swt. selama 40 tahun). Alasan kedua, mereka selalu kalah oleh Persia. Tercatat, Nebukadnezar pernah dengan mudah menaklukkan mereka di Yerusalem. Pada masa perang Qadisiyah misalnya, ketika tentara Persia berada di salah satu masa kejayaan, tentara Persia berjumlah 120.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 60.000. Memang, menurut Ibn Khaldun banyak sejarawan di masanya yang lebay ketika berbicara masalah jumlah tentara sampai jumlah pajak. Hal ini tidak lain hanyalah untuk menarik pembaca.

Kritik sejarah juga berperan vital dalam penafsiran al-Quran. Misalnya ketika menafsirkan al-Fajr ayat 6-7.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ { 6 } إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ {7}

Tidak sedikit ahli tafsir yang ketika menafsirkan Iram, mensifatinya dengan kota yang memiliki bangunan/tiang yang tinggi. Alkisah, `Âd bin `Aush bin Iram memiliki dua orang putra, Syadid dan Syadad. Setelah Syadid meninggal, kerajaan diambil alih oleh Syadad yang terobsesi membangun istana megah ketika mendengar cerita tentang surga. Dibangunlah istana tersebut di gurun `Adn selama 300 tahun.[1] Setelah istananya jadi, Syadad beserta segenap jajarannya menuju ke sana, tapi mereka dihancurkan oleh Allah Swt. setelah menempuh perjalanan sehari semalam. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Thabari, al-Tsa`alabi, al-Zamakhsyari, dan ahli tafsir lainnya.

Menurut Ibn Khaldun, kisah ini tidak pernah diceritakan di semua belahan dunia. Penduduk gurun `Adn (ada di tengah Yaman) yang merupakan setting kisah ini, juga tidak pernah menceritakan kisah ini. Selain itu juga terdapat pertentangan mengenai setting istana tersebut. Ada pula yang mengatakan ada di Damaskus yang notabene daerah kekuasaan kaum `Ad.

Menurut Ibn Khaldun, para ahli tafsir memasukkan kisah ini dalam penafsiran ayat tersebut dikarenakan konsekuensi linguistik ayat tersebut. Dzâtu `Imâd adalah sifat dari kaum `Ad. Mereka mengartikan al-`Imâd sebagai tiang-tiang. Padahal, bisa saja itu adalah tiang-tiang tenda. Bisa juga diartikan bangunan secara umum karena memang kaum `Ad terkenal ahli bangunan.

Demikianlah, sejarah hanya akan menjadi data tanpa memperhatikan apa yang ada di balik peristiwa. Hanya akan menjadi cerita tanpa mengkaji karakter sebuah bangsa, etika, bahkan aliran kepercayaan. Selain itu sebab kemajuan dan keruntuhan suatu bangsa mutlak menjadi kebutuhan kajian sejarah. Hal-hal diatas dapat digunakan ketika menganalisa kebanaran sebuah fakta sejarah. Sejarawan yang meninggalkan aspek-aspek di atas bisa saja tergelincir, apalagi pembaca dari kalangan awam.

C.  Sejarah yang Berputar

Tidak perlu heran dengan keaadan suatu bangsa yang silih berganti seperti roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada kalanya mengalami masa keemasan, ada kalanya harus jatuh berkubang lumpur. Tidak perlu heran, karena itu adalah sunnatullah yang ada pada suatu bangsa, masa, maupun manusia.

Dunia memiliki varian kisah kejayaan peradaban. Mulai dari Persia (generasi pertama), Suryani, Nabth, kaum Tubba’, Bani Israel, dan Qibthi. Mereka memiliki kisah masing-masing dengan berbagai episode; politik, kenegaraan, industri, bahasa, sampai sumbangan terhadap dunia. Setelah era mereka berakhir, protagonis dari drama kolosal dunia beralih pada Persia (generasi kedua), Romawi, dan Arab. Berbeda pemeran, tapi alur cerita masih sama. Begitu juga ketika peradaban Islam berperan sebagai protagonis. Bahkan ketika bangsa non-Arab seperti Turki di sebelah timur, Barbar di sebelah barat, dan Prancis di sebelah utara naik ke atas panggung peradaban. Kisahnya tetap sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal di atas adalah pemimpin. Seperti kata-kata hikmah,”Manusia itu beragama seperti agama rajanya.”

D. Memandang Sejarah

Satu hal yang sebenarnya merupakan sebuah kesalahan adalah melihat sejarah dengan kacamata masa kini. Contoh kasus ketika membaca sejarah al-Hajjah. Disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang guru. Padahal guru di zaman Ibn Khaldun berbeda dengan guru di zaman al-Hajjaj dari segi strata sosial. Pada masa generasi awal termasuk masa Umawiyah dan Abbasiyah, orang-orang kalangan atas-lah (Ahlu’l `Ashabiyyah) yang menjadi guru, mengajarkan Islam sampai ke berbagai wilayah futûhât. Ilmu-ilmu pun berkembang dalam perannya berkhidmah terhadap nash. Zaman kemudian beralih, Ahlu’l `Ashabiyyah lebih tertarik untuk menekuni dunia politik. Sehingga yang menjadi guru adalah orang-orang yang berada di bawah mereka. Sehigga profesi guru menjadi tidak lebih hanya sekedar mata pencaharian. Hal serupa juga terjadi pada jabatan hakim (al-Qadhi) yang di masa lalu lebih otoritatif.

Dalam penulisan sejarah juga tidak lepas dari hal ini. Sejarawan masa Ibn Khaldun banyak terpengaruh metodologi penulisan sejarah dari para sejarawan Umawiyah dan Abasiyah tanpa memahami landasan filosofis metodologi tersebut. Para sejarawan di dua masa itu ketika menyebutkan biografi seorang raja, turut menyebutkan nasab, keluarga, gelar, menteri, dan lain sebagainya. Agar para pembaca bisa meneladani kisah sukses mereka. Apa kerja keras mereka dibalik semua pencapaian tersebut. Menurut Ibn Khaldun, hal ini tidaklah tepat apabila diterapkan pada penulisan biografi para pemimpin di masanya. Ketika menceritakan kehidupan seorang hakim di masa lampau, tentunya akan berbeda dengan hakim di masa sekarang yang sangat jauh kualitas dan otoritasnya.

Sejarawan al-Masudi yang hidup pada tahun 300-an dalam Murûj al-Dzahab memaparkan keadaan bangsa-bangsa di barat dan timur, kondisi geografis, politik, sampai ideologi. Al-Masudi menjadi rujukan para sejarawan. Al-Bakri yang datang setelahnya mengikuti jejak al-Masudi, hal ini tidak mengapa karena keadaan pada masa al-Bakri tidak jauh berbeda. Apabila data yang diperolah al-Masudi masih digunakan pada masa Ibn Khaldun (tahun 800-an), apakah valid mengingat berbagai perubahan yang terjadi?

E.   Transliterasi dan Terjemah

Buku ‘Muqaddimah’ Ibn Khaldun sebenarnya merupakan mukadimah dari kitab al-`Abar fî Dîwâni’l Mubtada’ wa’l Khabar, fî Ayyâmi’l `Arab wal’l `Ajam wa’l Barbar, wa man `Âsharahum min Dzawi al-Sulthân al-Akbar, karya besar beliau dalam bidang sejarah. Dalam Muqaddimah, beliau juga membahas tata cara penulisan mengingat kitab al-`Abar membahas bangsa non Arab[2] yang tidak bisa dilepaskan dari istilah asing.

Huruf-hurus sebenarnya adalah bagaimana keluarnya suara-suara dari tenggorokan melewati anak tekak kemudian berproses melalui gigi, rahang, dan organ bciara lainnya. Inilah yang menyebabkan perbedaan huruf. Tidak hanya itu, masing-masing bangsa memiliki hurufnya sendiri, bahkan beda cara pengucapan huruf yang sama. Selanjutnya, mereka yang ahli dalam menulis membuat simbol setiap huruf.

Oleh karena kitab al-`Abar juga mencantumkan istilah asing, maka Ibn Khaldun membuat aturan, di antaranya huruf asing ditulis dalam dua huruf yang apabila diucapkan, maka pertengahannya adalah huruf asing tersebut. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.

Musa Al Azhar
Mahasiswa Universitas al-Azhar
Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis 

:Dipresentasikan pada
Kajian AFDA (Bedah Buku)
PCIM Kairo-Mesir
Kamis, 24 Rabiul Akhir 1434 H
7 Maret 2013 M





[1] Syadad berusia 900 tahun
[2] Pada awalnya, Ibn Khaldun hanya berniat menulis sejarah wilayah barat (Maghrib), akan tetapi pembahasannya kemudian meluas sampai ke daerah timur.