أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, October 1, 2012

تخريج حديث "مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُسَمِّ لَهُ أُجْرَتَه"



مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُسَمِّ لَهُ أُجْرَتَه
أخبرنا معمر و الثوري عن حماد (بن أبي سليمان) عن إبراهيم (النخعي) عن أبي هريرة و أبي سعيد الخدري – أو أحدهما – أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: من استأجر أجيرا فليسم أجرته[1]
هذا الحديث رواه:
1.    عبد الرزَّاق في المصنف, كتاب البيوع, 15023 واللفظ له وفيه انقطاع و وصله البيهقي من طريق أبي حنيفة
2.    محمد بن الحسن في كتاب الآثار, أخبرنا أبو حنيفة عن حماد عنه به بنحوه
3.    إسحاق بن راهويه في مسنده, أخبرنا عبد الرزَّاق حدثنا معمر عنه به بنحوه[2]
4.    (وغيرهم منهم أحمد و أبو داود في المراسل بنحوهم )

· قال عبد الرزَّاق : قلتُ للثَّوري : أسمعتَ حمادا يحدث عن إبراهيم عن أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه و سلم قال من استأجر أجيرا فليسم أجرته؟ قال نعم, وحدث به مرة أخرى فلم يبلغ به النبي صلى الله عليه و سلم (المصنف, كتاب البيوع, 15024)[3]
· قال إبن أبي حاتم في كتاب العلل: سألت أبا زرعة عن حديث رواه حماد بن سلامة عن حماد بن أبي سليمان عن إبراهيم النخعي عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه نهى أن يستاجر حتى يعلم أجره, و رواه الثورى عن حماد عن إبراهيم أبي سعيد موقوفا, فقال أبو زرعة : الصحيح موقوف, فإن الثورى أحفظ[4]
· قال محقق سبل السلام أن الحديث ضعيف بعد نقل كلام إبن أبي حاتم[5]




[1] عبد الرازق إبن الهمام الصنعاني, المصنَّف, ت. حبيب الرحمن الأعظمي,الجزء الثامن, المجلس العلمي, كاراتشي, باكستان, 1392 ه/ 1972 م, ص. 235
[2]   جمال الدين الزيلاعي, نصب الراية لأحاديث الهداية مع حاشيته بغية الألمعي في تخريج الزيلعي, ت. محمد عوامة, الجزء الرابع, مؤسسة الريان, ص. 131
[3]  عبد الرازق إبن الهمام الصنعاني, المصنَّف, ص. 235
[4]  جمال الدين الزيلاعي, نصب الراية, ص. 131
[5]  محمد بن إسماعيل الأمير الصنعاني, سبل السلام الموصلة إلى بلوغ المرام, ت. محمد صبحي حسن حلاق, الجزء الخامس, دار إبن الجوزي, الدمام, KSA, ط.1, 1429 ه, ص. 212

Ijtihad dalam Timbangan al-Qaradhawi



Ijtihad dalam Timbangan al-Qaradhawi
Oleh : Musa Al Azhar, Lc.[1]
I. Pendahuluan

Ijtihad sebenarnya adalah metode penyelesaian persoalan transformasi teks syariat menjadi sebuah hukum aplikatif. Ibarat sebuah industri, ijtihad adalah sebuah proses pengolahan bahan baku (dalil) menjadi sebuah produk hukum. Kenyataannya, dari sebuah bahan yang sama, dapat dihasilkan produk yang berbeda. Ini adalah persoalan pertama. Kedua, mesin atau metode pengolahan juga beragam. Persoalan yang tidak kalah penting adalah standar kompetensi pelaku pengolahan dalil (mujtahid). Ketiga hal ini merupakan perosalan sepenjang zaman. Dari sinilah muncul berbagai mazhab. Apabila tidak dipahami secara tepat, perbedaan ini tidak menjadi rahmat, justru dapat menjadi laknat.

Bagaimana seorang muslim memandang ijtihad? Di bawah ini penulis mencoba menggambarkan pemikiran DR. Yusuf al-Qaradhawi[2] dalam buku al-Ijtihâd fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah. Menurut hemat penulis, buku ini seyogyanya melengkapi perpustakaan pribadi setiap muslim, terkhusus bagi para pelajar agama. Buku ini membantu memetakan dan mengarahkan pembaca dalam memahami ijtihad.

Satu hal yang patut dipahami, tidak sedikit orang yang sinis terhadap beliau. Mengecap beliau sebagai seorang liberal yang suka mempermainkan dalil sehingga dapat dimunculkan hukum yang mudah (al-Taysîr). Mengenai manhaj al-Taysîr, al-Qaradhawi sering menjelaskan sikap tersebut. Tidak asal mempermudah, tapi tetap berpegang kepada prinsip tegas dalam persoalan pokok agama dan bersikap mempermudah pada persoalan furu’ agama selama tidak keluar dari koridor nash yang muhkam atau konsensus ulama. Ketika memandang 2 persoalan yang kontradiktif. Beliau akan mengambil yang mudah daripada yang lebih hati-hati. Sikap ini pun berdasar pada hadis Nabi Saw.[3] dari Aisyah Ra. bahwa Nabi Saw. ketika dihadapkan pada dua pilihan, Beliau akan mengambil yang paling mudah selama tidak mengandung konsekuensi dosa.[4]

Beliau juga dipandang sering mengada-ada atau membuat bidah. Padahal, apa yan diungkapkan al-Qaradhawi sering berupa hasil interaksi dengan turâts Islam, bahkan merupakan kutipan langsung dari turâts. Dalam buku al-Ijtihâd misalnya, ketika membahas kompetensi mujtahid, beliau banyak terinspirasi dari al-Mustashfa-nya al-Ghazali (505 H), al-Muwâfaqât-nya al-Syathibi (790 H), Irsyâdu’l Fuhûl-nya al-Syaukani (1250 H), dan sebagainya.

Dalam sebuah kesempatan, Prof. DR. Mustafa Abu Imarah[5] berkata bahwa tidak ada manusia yang selamat dari al-Jarh wa al-Ta’dîl sekaligus. Bahkan Rasulullah Saw. sendiri. Oleh karenanya diperlukan standar, sikap obyektif dan sportif dalam menilai orang.

II.    Definisi Ijtihad

Secara etimologi, ijtihad berarti mengerahkan segala potensi dalam sebuah usaha, sedangkan secara terminologi berarti mengerahkan segala potensi untuk mendapatkan sebuah hukum syariat praktis dengan metode inferensi (al-Istinbâth) hukum.[6]

Dari definisi diatas, diketahui bahwa ijtihad berlaku pada masalah hukum syariat praktis. Ia tidak akan terjadi tanpa metode inferensi hukum. Seorang mujtahid juga harus menyandang gelar al-Faqîh[7], karena hanya seorang fakihlah yang mampu merealisasikan ijtihad.[8]

III. Kompetensi Mujtahid

A.    Kompetensi yang disepakati

1)   Mengetahui al-Quran. Tidak ada seorang muslim pun di jagad raya yang meragukan otentisitas dan otoritas al-Quran sebagai sebuah sumber hukum. Oleh karenanya, al-`Ilm bi’l Qurân menjadi harga mati bagi setiap mujtahid. Al-Ghazali memberikan dua keringanan. Pertama, ia cukup mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Kedua, tidak diharuskan menghafal al-Quran, cukup mengetahui letak ayat yang dibutuhkan. Hanya saja, al-Qaradhawi tetap mengutamakan hafal al-Quran sebagai syarat seorang mujtahid meskipun di zaman sekarang sudah banyak indeks al-Quran.

Mengetahui Asbâb al-Nuzûl juga tidak dapat ditinggalkan. Meskipun para ulama telah bersepakat bahwa al-`Ibratu bi `Umûmi al-Lafzhi lâ bi Khushûshi al-Sabab[9], Asbâb al-Nuzûl tetap memegang peranan penting dalam ijtihad. Dengan Asbâb al-Nuzûl dapat diketahui Muqtadha al-Hâl dan terhidar dari syubhat dalam memahami sebuah ayat.[10]

Hal yang tidak kalah penting adalah al-Nâsikh wa’l Mansûkh, atau mengetahui mana hukum yang menggantikan posisi hukum yang datang sebelumnya. Kasus yang paling sering digunakan sebagai contoh pembahasan al-Nâsikh wa’l Mansûkh  adalah proses pengharaman khamar. Banyak ulama yang memperluas radius pembahasan al-Nâsikh wa’l Mansûkh sehingga pembahasan umum dan khusus, al-Muthlaq wa’l Muqayyad, dan sebagainya masuk ke dalam ranah al-Nâsikh wa’l Mansûkh.[11]

2)   Mengetahui Sunah. Tidak seperti al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan lebih dari 6000 ayat, Sunah jauh lebih banyak. Karena ia adalah segala hal yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sirah, maupun sifat jasmani dan akhlaq beliau. Ini adalah definisi dari para ahli hadis, sedangkan para ahli usul fikih membatasi sunah kepada perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi Saw. [12]

Tiga hal yang penting dalam konteks al-`Ilm bi al-Sunnah adalah membedakan antara sunah yang makbul dengan yang mardud, al-Nâsikh wa’l Mansûkh mina’l Hadîts, dan Asbâb Wurûdi’l Hadîts.[13]

3)   Mengetahui Bahasa Arab. Sungguh aneh seseorang yang mengaku mujtahid tetapi tidak menguasai bahasa Arab. Pertanyaannya, sejauh mana seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab? Al-Syaukani menyatakan seorang mujtahid harus mampu memaknai bahasa-bahasa yang gharîb dalam al-Quran dan Sunah, tidak harus menghafal seluruhnya, cukup dengan mampu memanfaatkan buku-buku para ahli bahasa Arab.[14]

Al-Ghazali menjelaskan hal ini dengan kemampuan untuk membedakan mana perkataan yang zhâhir, mujmal, haqîqah, majaz, `âm, khash, dan sebagainya.[15]

4)   Mengetahui Konsensus (Ijmak) Ulama. Sekali lagi al-Ghazali memberikan keringanan tidak harus menghafal seluruh ijmak, cukup bagi seorang mujtahid untuk berfatwa dengan tidak menyalahi ijmak, atau dengan kata lain mengetahui bahwa sebuah pendapat adalah pendapat dari mazhab tertentu. Hal yang urgen dalam persoalan ini adalah mampu membedakan mana pendapat yang sudah menjadi konsensus para ulama dengan mana pendapat yang hanya didukung oleh dugaan ijmak. Selain itu, terkadang hal yang sudah menjadi ijmak masih membuka pintu ijtihad.[16]

5)   Mengetahui Usul Fikih. Al-Baidhawi (685 H) mendefinisikan usul fikih sebagai:[17]
معرفة دلائل الفقه إجمالا و كيفية الإستفادة منها و حال المستفيد
Qiyas merupakan salah satu pembahasan terpenting dalam usul fikih. Ketika seorang mujtahid menjumpai sebuah persoalan yang tidak ada dalil khusus yang menghukumi masalah tersebut maka qiyas menjadi solusinya. Qiyas memiliki empat rukun[18]; Permasalahan yang dihukumi secara tegas oleh syariat (al-Ashl) seperti khamar, hukum dari persoalan tersebut yaitu haram, persoalan yang diqiyaskan (al-Far`) seperti narkoba, dan sifat yang sama-sama dimiliki oleh al-Ashl dan al-Far` (al-`Illah) seperti memabukkan.

6)   Mengetahui Maqâshid al-Syariah. Hal ini sebenarnya sudah sangat dipahami oleh para sahabat. [19]Dibuktikan dengan beberapa ijtihad sahabat yang terlihat berbeda atau belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. seperti pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar Ra., sikap Umar bin Khatab Ra. yang tidak memotong tangan pencuri saat paceklik dan lain-lain.

7)   Mengetahui Kondisi Manusia. Imam Ahmad (241 H) memaparkan bahwa seseorang tidak layak untuk berfatwa kecuali setelah memenuhi beberapa hal, di antaranya adalah Ma`rifat al-Nâs. Ingatlah bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan tempat dan waktu.

Al-Qaradhawi juga menafsirkan Ma`rifat al-Nâs dengan pemahaman terhadap ilmu kontemporer yang berkaitan. Meskipun tidak dipersyaratkan menjadi seorang pakar di dalamnya. [20]

8)   Sifat `Âdil dan Taqwa. Sifat yang pertama ini menjadi standar ahli hadis dalam penerimaan sebuah berita dari Rasulullah Saw. selain al-Dhabt.

B.   Kompetensi yang Masih Mukhtalaf fî hâ

1)      Mengetahui Ushûl al-Dîn atau ilmu kalam. Al-Qaradhawi sendiri lebih menekankan pada lurusnya aqidah seorang mujtahid.
2)      Mengetahui ilmu mantik. Sebenarnya mantik adalah ilmu untuk menata bangunan pemikiran. Di antara pembahasannya adalah definisi, al-Kulliyyah al-Khamsah, qiyas, dan semacamnya. Al-Qaradhawi sendiri lebih menekankan pada tercapainya tujuan dari ilmu mantik sendiri yaitu sistematisasi pikiran seroang mujtahid. Agar tidak terjadi al-Qiyâs ma`a’l Fâriq.
3)      Mengetahui Furû`u’l Fiqh. Memang tidak dipersyaratkan harus mengetahui seluruh cabang fikih. Hanya dengan mengetahui berbagai pendapat ulama dalam persoalan fikih sangat membantu seorang mujtahid dalam inferensi hukum, yaitu dengan berkaca pada metode ulama terdahulu dalam mentransformasi sebuah dalil menjadi sebuah produk hukum atau sebaliknya.

IV.    Beberapa Persoalan Ijtihad

A.    Ijtihad Parsial

Sulit untuk meraih derajat mujtahid mutlak. Tapi persoalan hidup senantiasa datang dan tidak boleh tidak dihukumi, oleh karenanya ijtihad dalam beberapa bab fikih diperbolehkan dengan syarat:
1)      Memiliki kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan persoalan
2)      Menguasai bidang garap yang ingin dihukumi secara baik

Memang model ijtihad semacam ini jauh dari kesan ideal, tapi banyak pertimbangan yang melegalkan metode semacam ini selama berpegang kepada sebuah metode yang tepat. Realita seperti tesis.desertasi pasca sarjana, Majma`u’l Fiqh di beberapa negara, dan semacamnya berkontribusi besar dalam ijtihad.

B.   Pembagian Ijtihad[21]

1)      Al-Ijtihâd al-Intiqâ’iy. Ialah mengambil salah satu pendapat dari para ulama terdahulu yang dipandang Arjah. Ada beberapa hal yang menuntut model ijtihad semacam ini. Pertama, perubahan kondisi masyarakat. Kedua, berkembangnya ilmu dan teknologi. Ketiga, tuntutan zaman.
2)      Al-Ijtihâ al-Insyâ’iy. Ialah menyimpulkan hukum baru dari permasalahan yang ada, baik yang telah dibahas oleh para ulama sebelumnya atau benar-benar baru.
3)      Penggabungan di antara keduanya.

C.  Kendala Ijtihad[22]

1)      Tidak mengetahui dalil
2)      Pemahaman yang buruk terhadap nash
3)      Menyalahi ijmak
4)      Qiyas tidak pada tempatnya
5)      Tidak memahami persoalan kontemporer
6)      Liberal dalam memahami sebuah kemaslahatan

V.    Penutup

Semoga bedah buku yang singkat ini dapat memberikan gambaran mengenai problematika ijtihad atau dengan bahasa yang lebih rendah hati, memberikan gambaran mengenai buku al-Ijtihâd fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah karya Yusuf al-Qaradhawi. Berbicara masalah tuntutan umat, ijtihad tidak mutlak menjadi otoritas fakultas syariah Islamiyah. Umat tidak mau tahu alumni fakultas apa seorang alumni pendidikan agama (baca: kader ulama). Akhir kata, penulis membuka selebar mungkin pintu masukan. Semoga menjadi pemberat timbangan amal di akhirat kelak. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.

أقمت عشرين سنة أطلب أيام الناس أستعين بذلك على الفقه (الشافعى)
Musa Al Azhar, Lc.


Daftar Pustaka

al-Asnawi, Jamaludin, Nihâyat al-Sûl fî Syarhi Minhâju’l Ushûl, Maktabah Bahru’l `Ulûm, Damanhur, Mesir, 1343 H

al-Khumaisi, Abdurrahman, Mu`jam `Ulûmi’l Hadîts al-Nabawi, Dâr Ibn Hazm, Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2000 M

al-Qaradhawi, Yusuf, al-Ijtihâd fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah, Dâr al-Qalam, Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M

__________________, Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb, Dâr al-Syurûq, Kairo, Mesir, cet. II, 2008 M

al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqân fî `Ulûmi’l Qur’ân, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Dâr al-Hadîts, Kairo, Mesir, 1427 H/2006 M

al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Irsyâdu’l Fuhûl ilâ Tahqîqi’l Haq min `Ilmi’l Ushûl, ditahkik oleh Sya’ban Muhammad Ismail, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1430 H/2009 M

al-Syathibi, Abu Ishaq, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, dikomentari oleh Muhammad Abdullah Darraz, Maktabah al-Usrah, Kairo, Mesir, cet. II, 2006 M

Haitami, Ramadhan Muhammad, al-Mursyid al-Hâdy fî Ushûli’l Fiqh al-Islâmy, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, cet. I, 1431 H/2010 M

Program Mausû`atu’l Hadîts al-Syarîf, ver. 2.0.3, Jam`iyyah al-Makniz al-Islâmy


[1] Mahasiswa Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis
[2] Seorang ulama brilian dan inovatif. Termasuk mujahid dan mujtahid yang produktif menghasilkan karya tulisan maupun lisan. Beliau adalah alumni Universitas al-Azhar, fakultas Ushuludin, jurusan Hadis dan Ilmu Hadis. Di antara bukunya adalah al-Halâl wa’l Harâm, Fiqh al-Zakat, Kaifa Nata’âmal ma’a’l Qur’ân, dan lain-lain. Termasuk al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah yang menjadi diktat kita pada kesempatan kali ini
[3] Hadis ini diriwayatkan oleh :
1.       Imam al-Bukhari, Kitab al-Manâqib, Bab Sifat Nabi Saw., no. 3600; Kitab Adab, Bab Sabda Nabi, “Permudahlah, jangan mempersulit...”, no. 6194
2.       Imam Muslim, Kitab al-Fadhâ’il, Bab Sikap Rasulullah Saw. Menjauhi Dosa dan Memilih Perkara yang Lebih Mudah, no. 6190
3.       Abu Daud, Kitab Adab, Bab Pemaaf, no. 4787
[4] Lihat korespondensi al-Qaradhawi dengan Abdullah bin al-Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia, tentang buku al-Halâ’l wa’l Harâm dalam Yusuf al-Qaradhawi, Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb, vol. III, Dâr al-Syurûq, Kairo, Mesir, cet. II, 2008 M, hal. 438
[5] Profesor dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis Universitas al-Azhar.
[6]  Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyâdu’l Fuhûl ilâ Tahqîqi’l Haq min `Ilmi’l Ushûl, ditahkik oleh Sya’ban Muhammad Ismail, vol. II, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1430 H/2009 M, hal. 715
[7] Seorang yang kompeten dan konsen pada fikih.
[8] Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah, Dâr al-Qalam, Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M, hal. 13
[9] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqân fî `Ulûmi’l Qur’ân, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, vol. I, Dâr al-Hadîts, Kairo, Mesir, 1427 H/2006 M, hal. 110
[10] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, dikomentari oleh Muhammad Abdullah Darraz, vol. III, Maktabah al-Usrah, Kairo, Mesir, cet. II, 2006 M, hal. 294
[11] Yusuf al-Qaradhawi, Op. Cit., hal. 27
[12]  Abdurrahman al-Khumaisi, Mu`jam `Ulûmi’l Hadîts al-Nabawi, Dâr Ibn Hazm, Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2000 M, hal. 128
[13] Yusuf al-Qaradhawi, Op. Cit., hal. 31
[14] Muhammad Ali al-Syaukani, Op. Cit., hal. 719
[15] Yusuf al-Qaradhawi, Op. Cit., hal. 38
[16] Ibid., hal. 43-47
[17] Jamaludin al-Asnawi, Nihâyat al-Sûl fî Syarhi Minhâju’l Ushûl, vol. I, Maktabah Bahru’l `Ulûm, Damanhur, Mesir, 1343 H, hal. 5
[18] Ramadhan Muhammad Haitami, al-Mursyid al-Hâdy fî Ushûli’l Fiqh al-Islâmy, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, cet. I, 1431 H/2010 M, hal. 174
[19] Yusuf al-Qaradhawi, Op. Cit., hal. 57
[20] Ibid., hal. 60-61
[21] Ibid., hal. 142
[22] Ibid., hal. 177