أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Friday, November 29, 2013

Dalil Aqli dan atau Dalil Naqli

“Kalau menghadapi orang sekular, gunakan dalil aqli. Jangan gunakan ayat al-Quran dan Sunnah. Lha bagaimana? Mereka kan tidak percaya dengan al-Quran dan Sunnah”. Kata Prof. DR. Ahmad Thaha Rayyan, pakar fikih Maliki dunia, anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar.'
Prof. DR. Ahmad Thaha Rayyan,
dalam kajian Shahih al-Bukhari di Masjid al-Azhar setiap Ahad ba`da Dzuhur
_________________________________
Menggunakan logika akal untuk mencapai sebuah kebenaran tidak sama dengan menentang al-Quran dan Sunnah. Kebenaran dapat dicapai dengan tiga hal yang masing-masing sudah memiliki lahannya. Tidak sampainya sebuah proses berpikir terhadap hasil yang seharusnya salah satunya disebabkan oleh menggunakan salah satu dari tiga hal tersebut bukan pada lahannya. Atau, menafikan salah satu dari ketiga hal tersebut dan hanya mengandalkan sebagian yang lain.

Ketiga hal tersebut adalah:
1.  Berita dari sumber yang valid. Dari mana kita tahu bahwa besok di akhirat akan ada timbangan yang digunakan untuk menimbang amal perbuatan manusia? Percayalah dengan berita dari Rasulullah Saw. yang diberi wahyu oleh Allah Swt. Pertanyaan selanjutnya, apakah al-Quran yang kita kenal sekarang sama dengan al-Quran yang dulu turun kepada Rasulullah Saw.? Al-Quran diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabat yang dinilai oleh para ulama sebagai orang yang adil, artinya bukan kaum yang berpotensi berdusta apalagi atas nama Rasulullah Saw. Selanjutnya diturunkan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Artinya, dari orang banyak ke orang banyak, yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Inilah yang membuat kita semakin percaya bahwa al-Quran yang berada di antara kita sekarang ini adalah al-Quran yang dulu diajarkan Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya.

Realitanya manusia sulit mengingkari legalitas berita dari sumber yang valid sebagai salah satu sumber kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu mudah percaya bahwa ada kebakaran, kerabatnya diterima di sekolah favorit, koleganya berpindah kantor, hanya dengan mendengar dari orang yang ia percaya.

Orang percaya bahwa Galileo Galilei adalah salah satu pendukung teori heliosentris.  Pertanyaannya, apakah kita punya sanad yang tersambung kepada Galileo? Cukup dengan mendengarkan penjelasan dari guru, kita percaya. Sekali lagi, berita bisa jadi sumber kebenaran selama sumbernya valid. Terlebih, umat Islam memiliki sistem ‘sanad’ sebagai perwujudan penjagaan Allah Swt. atas keaslian ajaran Islam.

2. Eksperimen berulang-ulang. Biasanya digunakan untuk mengungkap hukum alam. Misalnya mengetahui bahwa air akan mendidih ketika dipanaskan 100 derajat celcius. Merupakan hasil eksperimen berulang-ulang. Thomas Alva Edison ketika menemukan bola lampu listrik juga telah melakukan berkali-kali eksperimen untuk menemukan kawat yang cocok digunakan pada bola lampu.

Justru menjadi sebuah kesalahan ketika memaksakan semua hal yang berhubungan dengan hukum alam (misalnya) harus ditegaskan oleh teks al-Quran dan Sunnah. Jadinya akan memaksakan penafsiran terhadap ayat yang semestinya tidak mengandung makna tersebut. Tidak perlu khawatir, toh Rasulullah Saw. secara tersirat mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak tercantum sebagai teks al-Quran atau Sunnah, namun bisa dipastikan kebenarannya melalui metode lain. Kasus yang terkenal masalah cara berkebun kurma yang melahirkan statemen, “Antum a`lamu bi Umûri Dunyâkum, Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”[1] Para petani kurmalah yang sudah banyak makan asam garam dalam eksperimen menanam kurma.

3. Logika akal. Satu lebih sedikit dari dua. Ayah lebih tua dari anak. Alam ini berubah, setiap yang berubah membutuhkan yang merubahnya, maka alam ini membutuhkan kepada yang merubahnya. Kedua hal yang bertentangan tidak mungkin bersatu dalam suatu kondisi. Kesemua hal di atas adalah hukum akal.

Allah Swt. mengajarkan Nabi Nuh As. bagaimana menghadapi kaumnya yang tidak mau beriman kepadanya. Mulailah memikirkan Surah Nuh ayat 15 dan seterusnya. Bagaimana bisa ada langit yang bertingkat-tingkat? Ada bulan dan matahari? Tanaman? Semua hal yang ada di hamparan bumi? Ada rangsangan kepada umat Nabi Nuh As. untuk berpikir. Karena tidak mungkin sesuatu yang ada di dunia ini terjadi dengan sendirinya. Ada Dzat di luar alam yang disifati dengan kesempurnaan yang menciptakan semuanya. Tidak ada lain bagi seluruh makhluk selain menyembah-Nya.
__________________________________________________
Ada sebuah cerita menarik disampaikan oleh Syekh Ahmad Thaha Rayyan mengiringi nasehat di awal. Tersebutlah Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H) hidup di Baghdad pada masa keemasannya. Masa-masa dimana ajaran-ajaran di dunia ini diperjuangkan dengan argumentasi di arena debat, bukan dengan pedang di medan laga. Salah satu aktor di arena debat itulah al-Baqillani. Kemasyuhran dan pengakuan ulama membawanya ke Konstantinopel, ibukota negara adidaya di masa itu. Ia ditantang debat oleh para pemuka agama Nasrani di sana, di pusatnya.

Sesampai di lokasi, al-Baqillani menyalami para pemuka agama Nasrani satu persatu. “Gimana kabarnya Pak? Sehat ya?” Di tengah-tengah ramah tamah tersebut al-Baqillani juga menanyakan, “Gimana kabar keluarga? Sehat? Anak-anak baik-baik aja ya?” Kontan para hadirin kaget dengan ramah tamah ala al-Baqillani. Salah seorang berkomentar, “Bapak (al-Baqillani) kan sudah tahu kalau para pendeta dilarang menikah, kok Bapak menanyakan anak gimana?” Simak komentar epic al-Baqillani, “Kalian bisa mengkultuskan para pendeta dari urusan menikah dan punya anak, tapi kenapa tidak bisa melakukan hal tersebut terhadap Tuhan Penguasa alam raya?”


[1] HR. Muslim, Kitab al-Fadhâ’il, No. 6277 (ed. Makniz Islami) dari Anas bin Malik Ra.