أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Thursday, August 8, 2013

Kejayaan; dari Siapa untuk Siapa?



Malam Satu Syawal 1434 

Kalau diukur menurut kesepakatan dua kali setahun berlibur, malam ini mungkin saya sedang berjalan-jalan di alun-alun bersama kedua orang tua dan kedua adik saya. Sebelumnya menyantap hidangan buka puasa terakhir keluarga besar ibu yang besoknya setelah salat idul fitri akan kembali berkumpul bersama. Acaranya mulai dari sungkem, bincang-bincang, sampai tentunya bagi-bagi wisit alias angpau lebaran. Tapi untuk tahun ini, saya harus mempersiapkan ujian tamhidi I yang akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 2013 besok insya’a4Wl.

Di bawah memang ramai, maklum, pasar. Ditambah dengan adanya pembukaan warung Kusyari (pasta Mesir) yang menggantikan warung Kusyari yang lama. Tak apa, maka untuk mengisi kesendirian ini saya memutuskan untuk merenung dan menulis. Merenung untuk diri sendiri, menulis untuk membayar hutang tulisan yang sudah lama saya janjikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik saya khususnya.

Banyak hal yang bisa direnungi. Tapi malam ini, satu tema yang kebetulan sudah saya temukan keterkaitannya dengan tema hutang tulisan saya, “kejayaan”. Berapa banyak kita dengar, orang berkarya di dunia untuk meraih kejayaan. Namun, (untuk mempersingkat) mari kita renungi, sejalankah cita-cita kejayaan itu dengan tugas hidup kita?

Sulit menjawabnya, tapi tenanglah, Allah sudah menyiapkan para ulama pewaris Nabi yang bisa menjawab berbagai pertanyaan hidup kita. Mereka memang manusia biasa, bukan nabi. Namun, mereka telah melalui proses pendidikan jiwa, akal, dan hati dengan sebaik-baik cara. Setidaknya, kita bisa mencontoh mereka dalam hal menjalani hidup.

Guru para Ahli Hadis Dunia

Siapakah ahli hadis terhebat di dunia saat ini? Terlalu hiperbolis ya? Saya ganti dengan, siapakah guru dari para ahli hadis dunia saat ini? Pertanyaan tentang siapakah ulama paling brilian, bahkan dalam bidang tertentu, sulit dijawab. Apalagi oleh orang awam seperti kita yang baru mulai belajar agama belum masuk ke dunia keulamaan. Tapi bukan berarti jawabannya tidak ada sama sekali. Pada abad ketiga hijriyah, masa kejayaan ilmu hadis, ada perkataan begini, “Huffazh (salah satu gelar ahli hadis) dunia ada empat: Abu Zur`ah di Rayy, Imam Muslim di Nisapur, Abdullah bin Abdurrahman al-Darimi di Samarkand, dan Imam al-Bukhari di Bukhara.” Ini kata Muhammad bin Basyar, seorang ahli hadis abad ketiga. Imam al-Bukhari sendiri pernah mengatakan,”Saya tidak pernah merasa inferior dihadapan siapapun kecuali Ali bin al-Madini (salah satu gurunya)”. Kesimpulannya, penilaian ‘terhebat’ bukanlah hal yang aneh. Hanya tentunya, keluar dari mereka yang berhak menilai, yaitu sesama ulama. Kita cukup jadi pendengar saja.

Prof. DR. Ahmad Ma`bad Abdul Karim. Nama yang mungkin tidak setenar nama-nama yang masih hidup seperti Prof. DR. Ali Jum`ah (mantan mufti Mesir), Prof. DR. Ahmad al-Thayyib (Grand Syekh al-Azhar), DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Abdul Azis Alu Syaikh (mufti Kerajaan Saudi Arabia), Syekh Sudais, Syekh al-Ghamidi, dan lain-lain. Namun jasa beliau terhadap umat Islam, terutama dalam ilmu hadis, sangat besar dan tidak banyak orang yang tahu.

Saya pernah mendengar Prof. DR. Ridha Zakaria, salah seorang ulama hadis al-Azhar (guru majelis riwayat kutub sittah hari Sabtu) mengatakan bahwa,”Saya belum pernah melihat yang sehebat beliau sekarang, bahkan mungkin beliau sendiri juga belum pernah melihat yang sehebat dirinya sekarang”. Murid Syekh Ahmad Ma`bad, DR. Usamah al-Sayyid al-Azhari, seorang ulama muda al-Azhar yang disertasinya dibimbing oleh Syekh Ahmad Ma`bad, direktur kantor Risalah al-Azhar (lembaga dakwah dan syiar al-Azhar) mengakatan hal senada, “Beliau adalah gurunya seluruh ahli hadis dunia saat ini”. Pada Muktamar Hadis di al-Azhar Conference Center 2012 lalu (ketika itu Syekh Ahmad Ma`bad juga sibuk keliling-keliling memakai name-tag ketua panita memastikan acara berjalan lancar), dekan fakultas hadis Universitas Islam Madinah juga mengungkapkan kekagumannya terhadap beliau. Katanya, ketika memoderatori salah satu sesi,”Beliau tidak perlu diperkenalkan lagi.” Bukan bermaksud membandingkan satu dengan yang lain karena saya pribadi tidak punya kapasitas untuk itu, hanya memaparkan beberapa pengakuan ulama tentang Syekh Ahmad Ma`bad (kadang dipanggil Ahmad Ma`bid).

"Allah akan membuat mencerahkan wajah mereka yang mendengar hadis, menghafalnya, kemudian mengamalkannya..." (HR. Abu Daud)
Perjalanan Intelektual

Layaknya anak Mesir lainnya, beliau menjalani pendidikan dasar di sekolah dasar di kota kelahirannya, Fayoum, Mesir. Beliau yang lahir pada tanggal 6 November 1939 (1359 H) ini menamatkan hafalan al-Quran pada usia delapan tahun. Pada tahun 1961, beliau menamatkan pendidikan menengah di sekolah al-Azhar kemudian melanjutkan ke bangku universitas dan lulus pada tahun 1966 (usia 27 tahun) dari fakultas ushuludin jurusan tafsir-hadis (sekarang dipisah menjadi jurusan tafsir dan ilmu al-Quran, dan hadis dan ilmu hadis).

Menyandang gelar Lc, seperti kebanyakan pemuda Mesir lainnya, beliau menjadi imam dan khatib kementerian wakaf (seperti depag di Indonesia) sekaligus guru agama dan bahasa Arab. Sambil melanjutkan s2 mengambil spesialis tafsir, hanya ia lulus tamhidi (pendidikan teori) dengan predikat cukup. Kuatnya tekad menuntut ilmu membawanya masuk lagi ke bangku s2 dengan spesialisasi hadis yang akhirnya menjadi jalan hidup yang Allah tentukan baginya. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1971.

Syekh Ahmad Ma`bad banyak menjalani hidupnya di dunia pendidikan. Seperti menjadi dosen di almamaternya, Universitas al-Azhar. Juga berkesempatan untuk membagi ilmunya di Arab Saudi, tepatnya di Universitas Muhammad bin Su`ud fakultas ushuluddin, jurusan aqidah dan aliran kontemporer, tafsir dan ilmu tafsir, dan jurusan sunah dan ilmunya sejak tahun 1399 H sampai 1417 H (18 tahun). Sudah banyak karya tulis (tesis maupun disertasi) yang beliau bimbing dan uji. Dari kawah pembinaannya pula lahir banyak ulama baik dari Mesir maupun negara timur tengah lainnya seperti Arab Saudi,tempat 18 tahun beliau mengajar, seperti Syekh Salman Fahd al-Audah, Syekh Abdul Wahab al-Thariri, dan lain-lain. Sampai sekarang, murid-muridnya yang sudah pada menjadi orang besar keep contact dengan beliau.

Tashnîf al-Kutub (Karya-Karya Beliau)

Selain membina manusia, tugas dari ulama adalah melakukan pengkaderan ulama. Bahkan tashnîfu’l kutub (menulis buku) juga merupakan bagian dari keduanya. Kalau ditanya mengenai karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad, mungkin jawabannya akan berbeda dengan karya tulis Syekh al-Qaradhawi yang kebanyakan juga bisa dinikmati orang awam. Karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad lebih banyak dalam lingkup spesialisasi seperti:

1.      al-Nafh al-Syadzi yang merupakan penjelasan dari Jami` al-Tirmidzi karya Ibnu Sayyid al-Nas (karya tahkik/filologi dan kajian), dicetak di Daru’l `Ashimah, Arab Saudi.
2.      Alfâzh wa `Ibârâtu’l Jarh wa al-Ta`dîl baina al-Ifrâd wa al-Takrîr wa al-Tarkîb wa Dilâlat kullin minhâ `alâ Hâl al-Râwi wa’l Marwi (Lafaz-Lafaz Penilaian Negatif dan Positif dalam Bentuk Tunggal, Pengulangan, dan Rangkaian, Serta Petunjuk dari Masing-Masing Lafaz Tersebut tentang Keadaan Rawi maupun Riwayatnya)
3.      Al-Hâsib al-Âli wa Istikhdâmuhû fî Majâl al-Sunnah al-Nabawiyyah (Penggunaan Komputer dalam Bidang Hadis)
4.      Buku Kajian Tokoh Ahli Hadis (Imam Zainuddin al-`Iraqi)
5.      Tahdzîb al-Tahdzîb (Buku biografi perawi hadis dari enam kitab hadis standar karya Ibnu Hajar al-Asqalani) (Karya Filologi, belum dicetak).
6.      Kumpulan Fatwa (diterbitkan Harian al-Ahram, Mesir)
7.      Dan lain-lain...

Kesibukan ulama hadis bermazhab fikih Hanafi ini (sependek pengamatan saya) banyak yang berkisar di tema mengkader ulama dan penelitian hadis. Selain mengajar di Universitas dan Masjid al-Azhar (talaqi), beliau juga membimbing dan menguji berbagai karya tulis berbentuk tesis dan disertasi (beliau pernah bercerita di kelas bahwa beliau sedang mengoreksi 15 karya tulis saat ini), mengisi seminar di berbagai negara timur tengah, menjadi ketua Yayasan Makniz Islami yang bergerak dalam bidang hadis, dan menyusun kurikulum berbagai universitas.

Talaqqi Kitab Tadrib al-Rawi di Masjid al-Azhar, 
kebanyakan pesertanya adalah peneliti hadis



Selain itu, beliau adalah salah satu anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ’ (Badan ulama senior) al-Azhar. Sebuah lembaga yang menjadikan al-Azhar bisa maksimal melaksanakan misinya. Di antara fungsi dari lembaga ini adalah menjadi rujukan pemerintah Mesir tentang syariat Islam (lihat pasal 2 UU Mesir). Dipimpin oleh Grand Syekh al-Azhar. Di antara anggotanya adalah Syekh Ali Jum`ah, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Muhammad Imarah (pemikir Islam), Syekh Ahmad Thaha Rayyan (pakar fikih mazhab Maliki dunia), dan lain-lain. Beberapa waktu lalu, Dewan Ulama Senior banyak memberikan koreksi tentang Obligasi ‘Syariah’ yang diajukan oleh pemerintah Mesir. Konsep yang diharapkan bisa memulihkan perekonomian Mesir ternyata ada beberapa poin yang dianggap Dewan Ulama Senior tidak sesuai syariat dan jelas merugikan. Misalnya, salah satu poinnya menyebutkan bahwa jaminannya berupa BUMN Mesir. Kasus ini cukup ramai di media Mesir beberapa bulan lalu. 

Selain itu, tugas Dewan Ulama Senior adalah memilih Grand Syekh al-Azhar (apabila ada pergantian suatu hari nanti) juga merekomendasikan mufti Mesir untuk diberi SK oleh kepala negara. Pernah suatu ketika, beliau izin tidak bisa mengajar, alasannya? Beliau sedang rapat merekomendasikan mufti Mesir yang baru, menggantikan Syekh Ali Jum`ah. Akhirnya terpilih mufti yang sekarang DR. Syauqi Ibrahim `Allam yang bermazhab Maliki.

Secara pribadi, saya belum pantas mengatakan sudah mengambil banyak ilmu dari beliau. Jujur, saya baru mengenal beliau awal 2012 lalu ketika Muktamar Hadis yang diselenggarakan oleh Yayasan Makniz Islami di Cairo, dimana beliau menjadi ketua panitianya. Selebihnya hadir di mata kuliah takhrij dan ilal (ilmu mencari kecacatan hadis) di s2 dan talaqi kitab ilmu hadis Tadrîb al-Râwi karya Imam al-Suyuthi yang beliau ampu di masjid al-Azhar (sayang, yang kedua ini harus ditinggalkan karena hadir di majelis riwayat hadis bersama Syekh Ridha Zakaria di waktu yang sama, semoga Allah ganti dengan yang lebih baik).

Pertemuan yang singkat ini banyak pelajaran yang dapat diambil dari beliau. Kaitannya dengan pendidikan ulama hadis, beliau sering mewanti-wanti bahwa karakter ilmu hadis adalah teorinya diambil dari buku. Mengapa? Karena semua hal yang dibutuhkan dalam kajian hadis mulai dari teks sampai perawi hadis sudah selesai dibukukan oleh para ulama terdahulu. Misalnya dalam takhrij hadis, setelah kita selesai mengumpulkan berbagai jalur periwayatan sebuah hadis, ada sebagian ulama yang menyusunnya dalam urutan kitab tersahih, jadi selalu mulai dari al-Bukhari, Muslim, dst. Syekh Ahmad Ma`bad tidak setuju karena yang dilakukan oleh para ahli hadis zaman dahulu tidak seperti itu. Mereka menyusunnya urut dari jalur yang termirip kemudian yang berbeda guru di atasnya dan seterusnya (al-Mutâba`ah al-Atamm fa’l Aqal) dalam satu sahabat. Baru jalur sahabat lain. Jadi, tidak mesti dimulai dari al-Bukhari. Hal ini bisa dilihat dari metode Imam Muslim dalam Shahih-nya, Imam al-Zaila`i dalam Nashb al-Râyah ketika mentakhrij hadis dalam kitab fikih hanafi al-Hidâyah, dan lain-lain. 

Suasana belajar di kelas: Syekh Ahmad Ma`bad (kiri) Syekh Muhammad Mushtafa Abu Imarah (Kanan)


Ketika berteori pun, Syekh Ahmad Ma`bad selalu membawa hasil penelitiannya yang kadang berupa copy-an kitab maupun kertas kecil yang berusia belasan tahun. Bahkan kata seorang kawan, kertas kecil itu kadang berupa slip bank yang beliau manfaatkan untuk menuliskan kesimpulan dari penelitian beliau terhadap sebuah hadis atau buku bertahun-tahun lalu. Kertas-kertas yang selalu beliau sebut kuftah (makanan Mesir terbuat dari daging), bathothis (kentang, biasanya digoreng), dan lain-lain yang membuat murid-muridnya grrr...

Sekali lagi bukan sembarang kertas. Beliau tidak sependapat dengan ulama lain yang mengatakan bahwa hadis dha`if hanya bisa naik ke hasan (terlebih dahulu atau mentok), tidak bisa langsung ke shahih. Menurut beliau, hadis dha`if bisa menjadi shahih li ghairihi. "Kalau gak percaya baca Hady al-Sari (mukadimah Fathu'l Bari-pen)".

Kesimpulannya, kajian hadis lebih mengandalkan studi pustaka daripada sekedar logika akal atau silogisme belaka. Simpelnya, ilmu dan kematangan ulama hadis berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas bacaan.

Buku apa? Syekh Ahmad Ma’bad sering mewanti-wanti untuk memilih membaca buku para ulama terdahulu (mutaqaddimin) daripada kontemporer. Beliau menukil nasehat dari guru beliau, Prof. DR. Muhammad Abu Syahbah, ulama al-Azhar yang pernah mengajar di Arab Saudi:
إذا قرأت للمتقدمين صرت سابقًا للمتأخرين، وإذا قرأت للمتأخرين، جعلوك وراءهم
Artinya: Kalau kamu baca bukunya ulama mutaqaddimin, kamu akan mengungguli yang kontemporer, tapi kalau kamu baca buku kontemporer, kamu akan jadi manusia di belakang orang kontemporer.

Bukan berarti meremehkan karya kontemporer. Tapi begitulah perkataan ulama, harus dipahami dengan cermat. Pertama, siapa sasaran ucapan tersebut? Perkataan itu adalah nasehat dari guru beliau yang diteruskan kepada para mahasiswa sekarang, kepada para calon ulama. Kedua, kalau hanya mengandalkan silogisme, jelas yang terbaik adalah menggabungkan antara mutaqaddimin dan kontemporer karena tuntutan zaman. Tapi sekali lagi, ada kenyataan karakter kitab-kitab para ulama yang berfungsi sebagai sarana memahami al-Quran dan Sunnah. Setelah zaman Imam al-Syaukani (1250 H) (ada yang mengatakan al-Bajuri, seperti Syekh Ali Jum`ah), proses penyempurnaan bangunan keilmuan Islam bisa dikatakan selesai. Setelahnya, nyaris tidak ada perumusan teori baru, kebanyakan hanya kontekstualisasi dengan zaman sekarang, itupun selalu merujuk ke kitab-kitab babon para mutaqadimin. Kenapa? Simpelnya begini, ada berapa cara yang bisa dilakukan A-B-C untuk duduk di tiga buah kursi? Enam atau sembilan? Yap, enam. Nah, tidak mungkin ada cara ketujuh dan seterusnya. Keenam cara tadi, apabila diumpamakan seperti penyempurnaan bangunan keilmuan Islam, sudah selesai pada abad ke 13 hijriyah.

“Coba kamu baca sepuluh halaman saja sebelum tidur, sebulan kamu bakal khatam satu jilid kitab.” Itu nasehat Syekh Ahmad Ma`bad yang kata seorang senior, kitab-kitab hadis dan ilmu hadis yang berjilid-jilid itu tidak hanya beliau baca 100-200 halaman, melainkan semua sampai khatam. Makanya beliau bisa memahami metode kitab-kitab dan para ulama hadis, dan dari situlah jalan untuk menjadi “gurunya para ahli hadis dunia” karena sekali lagi, karakter kajian hadis yang sangat bergantung kepada kitab.

Selain itu, yang tidak boleh dilupakan dalam kajian hadis adalah berguru. Dalam dunia hadis dan ilmu hadis, pelajar otodidak sulit mendapat tempat (ini tidak bertentangan dengan ‘membaca’ seperti di atas). Syekh Ahmad Ma`bad pernah berguru kepada Syekh Muhammad al-Samahi, ulama hadis al-Azhar, yang juga guru dari Syekh Nuruddin Itr (ulama hadis Syiria) ketika menjadi mahasiswa di al-Azhar. Ada juga Muhammad Abu Syahbah seperti tersebut di atas, Syekh Abdul Wahab Abdul Lathif, filolog terkenal, yang juga pembimbing beliau. Selain itu beliau juga pernah mendapat ijazah dari Syekh Hammad al-Anshari, Syekh Ismail al-Anshari, Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari (ahli hadis terkenal dari Maroko), Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah (ulama hadis terkenal Syiria), Syekh Abdul Ghaffar al-Pakistani, juga ulama kebanggaan nusantara, Syekh Yasin al-Faddani, dan lain-lain.

Sebenarnya, beliau punya keinginan yang belum kesampaian, yaitu berguru kepada Syekh Ahmad Syakir (ulama hadis al-Azhar terkenal, juga merupakan filolog terkenal, di antara karyanya adalah al-Ba`its al-Hatsîts yang merupakan penjelasan dari kitab Ikhtishâr `Ulûmi’l Hadîs karya Ibnu Katsir). Juga keinginan berguru kepada Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang terkenal.

Humoris

Bagi yang pernah berguru kepada beliau, pasti terkenang akan joke-joke ringan yang berkesan dari Syekh Ahmad Ma`bad. Pernah beliau ditanya kenapa masih berkutat menjelaskan mukadimah kitab Tadrîb al-Râwi dan kapan masuk ke isi kitab? Dengan enteng beliau menjawab, “Tenang aja, sebelum kiamat insya’a4wl”. Grrr.... Ketika ditanya kapan kitab Tahdzîb al-Tahdzîb yang beliau teliti diterbitkan? Untuk menjawabnya, beliau meminjam kata-kata Imam Malik ketika ditanya soal arti al-Istiwâ’ (sifat bersemayam Allah), “Assu’âlu `anhu bid`ah! (Tanya tentang itu bid’ah) :D “. Pelajaran takhrij di al-Azhar berpedoman kepada tiga buku karya Prof. DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir, kepala jurusan hadis Universitas al-Azhar. Sebenarnya kita dibebaskan memilih buku apapun juga selain ketiga buku itu, yang penting paham teori takhrij. “Kalian baca buku apa aja silahkan, isinya sama saja kok, kalau di satu buku namanya Abu Daud di buku lain juga Abu Daud, nggak mungkin jadi `ammu (paman) Daud”. 

Oh ya, beliau penggemar teh susu. Setiap mengajar di kuliah, selalu datang `Ammu Ahmad, karyawan di al-Azhar yang usianya sudah separuh baya, membawa segelas teh, kemudian Syekh Ahmad Ma`bad tinggal menungkan susu bubuk yang beliau bawa sendiri. Ketika proses itu terjadi, `Ammu Ahmad selalu dibuat kikuk mati gaya karena dicandai Syekh Ahmad Ma`bad di depan puluhan mahasiswa dari berbagai negara. Misalnya dengan didoakan “Ammu Ahmad ini, semoga Allah berkahi dia, keluarganya, termasuk juga makanan dan minumannya”.

Bagi yang tidak paham bahasa `ammiyah Mesir, akan sulit menangkap humor, bahkan pelajaran Syekh Ahmad Ma`bad karena beliau lebih sering menggunakan `ammiyah, bahkan ketika mengisi pelatihan di negara timur tengah lain seperti Pelatihan Takhrij di Kuwait.

Anti Pengkotak-Kotakan

Zaman sekarang, banyak ditemukan budaya tahdzîr. Alias mencap ulama atau kitab tertentu dengan cap negatif agar orang menjauhi. Sayangnya, kebanyakan hal ini dipengaruhi perbedaan kelompok. “Saya menentang pengkotak-kotakan! Hikmah itu barang yang hilang dari kaum muslimin, dia bisa didapat dari mana saja! (Ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra.-pen)”.  Makanya, Syekh Ahmad Ma`bad menasehatkan untuk banyak belajar dari kitab para mutaqaddimin, karena di masa mereka lah bangunan keilmuan Islam dibangun. Manusia langka seperti Syekh Ahmad Ma`bad ini bisa membuat orang merasa diayomi. Kehadirannya selalu membawa manfaat di setiap tempat dan komunitas yang didatangi. Tentunya hal ini terwujud karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau juga karena kelapangan dada beliau. Kedalaman dan keluasan ilmu membuat orang paham di sisi mana bisa memaklumi perbedaan pendapat orang lain, kelapagan dada membuat orang mudah bergaul dengan orang lain.

Manusia Memiliki Peran Masing-Masing

Kata orang Jawa, “Urip iku sawang sinawang”. Terkadang kita merasa orang lain lebih beruntung daripada kita, padahal bisa jadi orang lain juga memandang kita lebih beruntung. Terkadang posisi orang lain tampak lebih prospek daripada kita bahkan dalam hal berkhidmah terhadap ajaran Islam.

Dari perjalanan hidup beliau dan para ulama lainnya, kita dapat mengambil pelajaran yang mudah diucapkan dan dituliskan, susah dilakukan dan dirasakan. Allah menempatkan posisi masing-masing hamba-Nya. Ada Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang menjadi ketua persatuan ulama dunia, namun ia juga menjadi anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar yang dipimpin Syekh Ahmad al-Thayyib. Ada yang mendapat peran seperti Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi yang terkenal dengan mutiara-mutiara pemahaman al-Qurannya sehigga begitu membekas di hati rakyat Mesir. Ada juga mereka yang tampil di garda depan di medan perang. Nama mereka harum dengan kisah heroik kepahlawanan mereka. Namun ada juga orang yang tidak banyak dikenal orang, yang mengenalnya adalah para ulama dan para penuntut ilmu. Perannya tidak bisa diremehkan. Sekilas terlihat yang dikerjakan simpel, hanya menyampaikan apa yang dia ketahui. Tapi dari yang simpel ini lahir ide-ide besar untuk mengarahkan manusia, menjaga otentisitas ajaran agama, dan para kader pekerjaan mulia ini. Kehadirannya selalu dinanti, bahkan umurnya selalu diharapkan untuk dipanjangkan, dan kesehatannya selalu didoakan agar ditetapkan. Kejayaan itu dari Allah, kapan dan tempat terserah Allah, yang jelas untuk Allah. Yang penting, selalu menjalani sebab dengan mengoptimalkan segala potensi ketika ikhtiar, dan doa.  Semoga kita termasuk orang-orang al-Shâdiqûn...

Karena ada manusia yang tidak terkenal di bumi, tapi namanya harum di langit....

Musa Al Azhar, Lc.
(Mohon doanya, mau ujian...)

Wednesday, August 7, 2013

Definisi Hadis Shahih



Oleh: Musa Al Azhar, Lc.[1]
A. Prolog
Salah satu diskursus hadis yang mendapat banyak sorotan dari para cendekiawan adalah ilmu mustolah. Sejarah mencatat bahwa ilmu mustolah hadis baru mendapat perhatian dengan kodifikasi independen oleh Abu Hasan al-Ramahurmuzi (360 H) dalam al-Muhaddits al-Fâshil baina al-Râwi wa’l Wâ`i. Kemudian al-Hakim (505 H) dalam Ma`rifat `Ulûmi’l Hadîts. Kemudian oleh al-Khathib al-Baghdadi (463 H) dengan al-Kifâyah fî Ma`rifat Ushûl `Ilm al-Riwâyah dan karya-karya lain yang secara spesifik membahas cabang tertentu ilmu hadis. Ialah yang menjadi inspirator para cendekiawan yang datang setelahnya sebagaimana statemen Ibn Nuqtah.[2]

Adalah Ibn al-Shalah (643 H) seorang ahli hadis yang juga fakih berkebangsaan Irak mengumpulkan komponen-komponen ilmu hadis yang berserakan di berbagai literatur  kemudian mendiktekannya kepada para mahasiswa ketika menjadi dosen di Universitas al-Asyrafiyah, Damaskus. Hasilnya menjadi sebuah karya besar Ma`rifat `Ulûmi’l HadÎts atau yang populer dengan nama Muqadimah Ibn al-Shalah. 

Kitab yang berkah ini menjadi rujukan utama dalam ilmu mustolah hadis. Para ulama melayani kitab ini dengan berbagai cara seperti meringkas, menjelaskan, bahkan menyusunnya kembali dengan bait-bait syair agar teori ilmu hadis bisa dinikmati dalam keindahan struktur kata khas bahasa Arab. Sekali lagi, secara langsung maupun tidak Ibn al-Shalah telah menjadi guru sekaligus inspirator bagi para ahli hadis seperti al-Nawawi (676 H), al-Zarkasyi (794 H), al-Iraqi (806 H), Ibn Hajar (852 H), al-Sakhawi (902), al-Suyuthi (911 H), dan lain-lain.

Selaras dengan tujuan ilmu hadis dirayah, yaitu menyeleksi hadis shahih dengan yang tidak, satu hal yang patut mendapat perhatian besar adalah hadis shahih. Betapa tidak? Dalil hadis yang layak diolah menjadi hukum fikih adalah hadis shahih dilanjutkan dengan hadis hasan. Memang keduanya sama-sama diterima oleh para cendekiawan, namun hadis shahih tetaplah yang nomer satu dan dikedepankan apabila terjadi kontradiksi yang tidak dapat diselesaikan dengan kompromi.

Tulisan yang sederhana ini mencoba mengidentifikasi hadis shahih menurut para cendekiawan mustolah hadis menitikberatkan kepada pembahasan definisi sebelum beranjak kepada pengembangan diskusi setelahnya. Karena mencapai al-Tashdîqât mustahil melewatkan al-Tashawwurât.

B.  Etimologi Shahih

Kata shahih berasal dari tiga huruf shad-hâ’-hâ’ yang berarti hilangnya sakit dan selamat dari semua kecacatan.[3]

C.  Terminologi Shahih

Menurut al-Iraqi, ulama yang pertama kali mengkategorikan hadis dengan shahih, hasan, dan dhaif adalah al-Khaththabi (388 H) dalam Ma`âlim al-Sunan (penjelasan kitab Sunan Abu Daud). Dari teks perkataan al-Khaththabi juga didapatkan definisi mengenai hadis shahih.[4]

"اعلموا أن الحديث عند أهله على ثلاثة أقسام, حديث صحيح, وحديث حسن, وحديث سقيم. فالصحيح عندهم مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ وَعُدِّلَتْ نَقَلَتُهُ "
“Ketahuilah, menurut ahli hadis, hadis terbagi menjadi tiga macam: sahih, hasan, dan saqim (sakit/dhaif). Hadis sahih menurut mereka adalah yang sanadnya bersambung dan adil transmitternya”.

Al-Khaththabi tidak mempersyaratkan adanya al-Dhabth dalam diri seorang rawi (transmitter), sekaligus tidak mempersyaratkan bebasnya hadis dari unsur al-Syudzûdz (anomali) dan al-`Illat (cacat tersembunyi), demikian klaim al-Iraqi.[5] Meskipun demikian, al-Iraqi tetap mengapresiasi al-Khaththabi dengan mengatakan bahwa pembagian hadis menurut al-Khaththabi berasal dari kacamata para ahli hadis.[6]

Al-Suyuthi mencoba membela al-Khaththabi dari klaim definisi yang kurang dari al-Iraqi. Dalam Tadrîb al-Râwi,[7] al-Suyuthi mengatakan bahwa kata al-`Adl (bentuk masdar) berbeda dengan `Addalûhu (bentuk kata kerja yang digunakan al-Khaththabi). Seorang yang sering lalai dan layak untuk ditinggalkan tidak pantas untuk disebut `Addalahu Ashhâbu’l Hadîts (ulama hadis mengakui kredibilitasnya) meskipun ia adalah orang yang adil dalam sisi keagamaan.[8]
 
Ibnu Hajar di dalam al-Nukat-nya menambahkan bahwa penisbatan al-`Adâlah kepada seorang rawi meniscayakan kejujuran dan ketidak lalaian seorang rawi. Sekaligus tidak bersikap menyepelekan proses al-Tahammul dan al-Adâ’.[9] Dengan demikian, definisi shahih menurut al-Khaththabi dapat diterima.

Sang Maestro Ibnu al-Shalah mendefinisikan hadis shahih sebagai berikut:[10]
" أما الحديث الصحيح فهو: الحديث المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط, إلى منتهاه؛ ولا يكون شاذًا ولامعلَّلاً "
“Sedangkan hadis sahih adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dengan transmisi seorang yang adil dari orang yang adil sampai ke akhirnya, juga tidak ada anomali dan kecacatan,”

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwi, Ibn al-Shalah mengadopsi definisi ini dari Imam Muslim (256 H) ketika menjelaskan Shahih Muslim. Menurut beliau, Imam Muslim dalam menyeleksi hadis shahih dalam ‘Shahih’-nya mempersyaratkan ketersambungan sanad oleh para rawi yang kredibel (tsiqah) dari awal mata rantai periwayatan sampai akhir, dan bebas dari anomali serta kecacatan tersembunyi. Menurut Imam Muslim, ini adalah definisi shahih fî Nafsi’l Amr.(?)[11]

Bagi Ibn al-Shalah, konsekuensi dari definisi ini adalah tidak memasukkan al-Mursal[12], al-Munqathi`[13], al-Mu`dhal[14], al-Syadz[15], yang mengandung al-`Illah al-Qâdihah, dan yang terdapat kecacatan (al-Jarh) dari rawinya.

Beliau menambahkan bahwa definisi ini sudah disepakati oleh para ahli hadis.  Bagaimana dengan perbedaan ahli hadis dalam menetapkan keshahihan suatu hadis? Menurut Ibn al-Shalah, hal itu disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menetapkan apakah syarat tersebut sudah dipenuhi dalam sebuah hadis tertentu atau tidak? Beberapa ahli hadis sebenarnya juga masih berbeda pendapat dalam penetapan syarat shahih (?).[16]

D. Analisa Definisi Hadis Shahih
Sekilas, definisi dari Ibn al-Shalah terlihat sudah sempurna. Memberikan rambu-rambu dari segi ketersambungan proses transmisi hadis (Ittishâl al-Sanad), kejujuran rawi (al-`Adâlah), kualitas hafalan (al-Dhabth), bahkan mengantisipasi kesalahan manusiawi seorang rawi seperti al-Wahm, al-Mukhâlafah, al-Ghaflah, dan sebagainya dengan mempersyaratkan tidak adanya anomali (al-Syudzûdz) dan kecacatan tersembunyi (al-`Illah). Namun, beberapa ahli hadis menganalisa definisi ini dan menemukan celah untuk didiskusikan kembali. Ada yang mengkritisi Ibn al-Shalah, ada pula yang membela. Semua itu dilakukan dengan sportifitas dalam diri ahli hadis (al-Inshâf) hal ini bukanlah hal yang negatif. Menurut Mushthafa Abu Imarah[17], saling kritik justru menunjukkan akal seorang muslim bukanlah akal yang stagnan (jumud), ia selalu bergerak mengenalisa segala sesuatu di sekelilingnya. 

1.   Inefektifitas Kata (al-Musnad al-Muttashil)

Ibn al-Shalah dikritik: Apabila sudah menyebutkan al-Musnad al-Muttashil, sebenarnya tidak perlu mengulang lagi dengan Mâ Ittashala Sanaduhu. Ibn Hajar al-Asqalani menjawab bahwa yang dimaksud dengan al-Musnad yang pertama adalah hadis marfu`[18], bukan hadis yang bersanad. Sehingga tidak ada pengulangan di sana.

2.   Illat Qâdihah

Seharusnya, Ibnu al-Shalah menambahkan kata qâdihah (mencederai) setelah kata illat. Karena ada illat yang tidak mencederai. Namun hal ini dipandang tidak perlu oleh Ibnu Hajar, mengingat Ibnu al-Shalah sendiri ketika menyebutkan illat, berarti illat yang qâdihah.[19] Asumsi lain dari Ibnu Hajar, ketika menyebutkan illat tanpa qâdihah karena ingin mengcover hadis sahih yang disepakati. Karena sebagian ahli hadis ada yang menolak illat baik mencederai atau tidak.[20]

3.   Kurang Jami` - Mani`

Dalam nukatnya, al-Iraqi menerangkan beberapa kritikan untuk Ibnu al-Shalah. Misalnya, ada beberapa ulama yang menerima hadis mursal, sehingga tidak perlu disyaratkan musnad atau tersambung sanadnya. Ada juga kritik dari Ibnu Daqiq al-`Id, beliau berpendapat bahwa .....

Simpel saja jawaban al-Iraqi, “Masalah hadis, serahkan pada ahlinya.”[21]

Menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan syadz (anomali) oleh Ibnu al-Shalah adalah seorang rawi menyelisihi rawi lain yang lebih kredibel dan lebih banyak darinya, sebagaimana definisi Imam al-Syafi`i. Bukan tafarrud (jalur tunggal) secara mutlak sebagaimana yang dipahami al-Khalili. Hanya saja, menurut Mahmud Rabi` dalam komentarnya, menyebutkan bahwa Ibnu al-Shalah sendiri membagi syadz menjadi dua; Pertama, hadis fard yang menyelisihi. Kedua, hadis fard yang tidak memiliki rawi yang tsiqah dan dhabith sehingga tidak dapat dikatrol. Sedangkan al-Khalili tidak pernah mendefinisikan hadis syadz demikian. Menurut al-Khalili, syadz adalah hadis yang sanadnya hanya satu, baik rawinya tsiqah ataupun tidak. Yang rawinya tidak tsiqah maka ditinggalkan, sedangkan yang rawinya tsiqah .....

Satu kritikan untuk Ibnu al-Shalah dari Ibnu Hajar, definisi sahih di sini kurang bisa mengcover hadis-hadis yang disebut ulama memenuhi syarat sahih. Karena ada hadis sahih li ghairihi. Misalnya hadis hasan yang diriwayatkan dari banyak jalur sehingga menjadi sahih. Ibnu Hajar sendiri dalam Nukhbatu’l Fikr-nya cukup teliti dalam mendefinisikan sahih.[22]
و خبر الآحاد  بنقل العدل تام الضبط متصل الإسناد غير معلل و لا شاذ هو صحيح لذاته.
Bagaimana dengan al-Nakârah yang lebih parah dari syadz? Tidak perlu dicantumkan dalam definisi karena ketika anomali (syadz) tidak ditemukan, sudah tentu al-Nakârah juga tidak ada.

E.   Penutup

Para ahli hadis mempersyaratkan ketersambungan informasi (al-Ittishâl), kualitas informan (al-`Adâlah wa al-Dhabht), dan tidak ada kejanggalan dalam proses maupun dalam konten informasi itu sendiri ketika menyeleksi sebuah berita/hadis. Ketika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka informasi tersebut bisa diterima.


[1] Mahasiswa Pascasarjana Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis dan Ilmu-Ilmunya, Tamhidi I
[2] Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani al-Hanbali, bergelar Mu`inuddin al-Baghdadi. Seorang ahli hadis. Wafat tahun 683 H. Lihat: Ibnu Khallikan, Wafayâtu’l A`yân wa Anbâ’ Abnâ al-Zamân, ditahkik oleh Ihsan Abbas, vol. IV, Dar Shadir, Beirut, Libanon, hal. 392, Biografi no. 660
[3] Ibnu Manzhur, Lisânu’l `Arab, vol. IV, hal. 2401
[4] Zainuddin al-Iraqi, Fathu’l Mughîts bi Syarhi Alfiyati’l Hadîts, edisi Mahmud Rabi`, `Alamu’l Kutub, Kairo, Mesir, 1408 H/1988 M, hal. 7
[5] Ibid.
[6] Zainuddin al-Iraqi, al-Taqyîd wa’l  Îdhâh li mâ Uthliqa wa Ughliqa min Kitâb Ibn al-Shalâh, edisi Usamah Khayyath, vol. I, Dâru’l Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Beirut, Libanon, cet. III, 1432 H/2011 M, hal. 217
[7] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, edisi Mazin al-Sirsawi, vol. I, Dâr Ibnu’l Jauzi, Riyadh, Arab Saudi, cet. I, 1431 H, hal. 115
[8] Adil dan Dhabith adalah kedua istilah yang berbeda. Adil biasa digunakan untuk penilaian sisi keagamaan, sedangkan dhabt biasa digunakan untuk menilai kualitas hafalan seorang rawi. Gabungan antara dua sifat tersebut disebut tsiqah. Hanya saja dalam penggunaannya, tsiqah sering digantikan dengan adil. Baik adil sisi agama maupun ‘adil’ sisi hafalan. Kesimpulannya, adil berarti penilaian positif kredibilitas seorang rawi. Lihat: Abdul Muhdi Abdul Qadir.....
[9] Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 115
[10] Ibn al-Shalah, Muqaddimah, edisi Aisyah Abdurrahman (Bin al-Syathi`), Dâr al-Ma`rifah, Kairo, Mesir, 1411 H/1990 M, hal. 151
[11] Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 122
[12] Hadis yang tidak disebutkan akhir sanadnya
[13] Hadis yang terpotong sanadnya, minimal satu orang rawi di generasi manapun
[14] Hadis yang terpotong sanadnya dua orang rawi secara berurutan
[15] Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah namun bertentangan dengan hadis lain yangdiriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah
[16] Ibn al-Shalah, Op. Cit., hal. 152
[17] Profesor Hadis dan Ilmu-Ilmunya Universitas al-Azhar, Kairo. Disampaikan ketika menjelaskan kitab Tadrîb al-Râwi di Jami` al-Azhar.
[18] Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw.
[19] Lihat definisi hadis mu`allal menurut Ibnu al-Shalah.
[20] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Nukat `alâ Kitâb Ibni al-Shalâh, edisi Mahmud Rabi`, vol. I, Dâr al-Rayyah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. IV, 1417 H, hal. 236
[21] Zainuddin al-Iraqi, Op. Cit., hal. 218
[22] Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fî Syarh Nukhbati’l Fikr fî Mushthalah Ahli’l Âtsâr, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. I,1427 H/ 2006 M, hal. 19