أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, May 11, 2015

BUbuR kacang iJO

Bubur kacang ijo selanjutnya disebut burjo saya akui saya menggemarinya cukup berat. Menggemari atas dasar rasa, bukan semata indera kelima-lima. Bentuk burjo tak cukup indah kalau dilihat. Perhatikan saja warnyanya yang suram itu. Aromanya? Dia tidak dikenal wangi, beda dengan nasi gosong. Kalau soal rasa sebenarnya nanggung. Maksudnya, di satu sisi burjo itu menyegarkan tapi masih kalah segar dengan es teh Indonesia (saya sebut Indonesia karena ada teh Mesir dalam hidup saya). Ia juga mengenyangkan, tapi dengan gado-gado yang tidak pakai nasi saja kalah. Menggunakan indera peraba? Masak mau dimasukkan mulut dipegang-pegang dulu? Indera apa yang kurang? Pendengaran? Ampun deh...Tapi itulah namanya rasa, tidak melulu alasannya indera kelima-lima.

Meskipun penggemar burjo, tapi tidak semua burjo itu layak digemari. Biasanya burjo-burjo liar yang buka dipinggir jalan. Mereka mengaku dari Jawa Barat, tapi seperti halnya es Bandung dan martabak Mesir, menurut saya di Jawa Barat tidak seheboh itu. Beda ceritanya dengan siomay Bandung yang nyata wujud dan enaknya.

Lebih mengecewakan lagi, sebagian yang menjajakan burjo di pinggir jalan itu kurang dedikasinya. Karena niat awalnya hanya membuat tempat nongkrong anak muda, atau tempat penyaluran hasrat makan akhir bulan mahasiswa. Jadilah burjo yang terlalu encer de el el de el el. Burjo bukan soal uang semata.
Saya masih tinggal di Kairo, orang Mesir tidak kenal burjo. Jelas tidak masuk makanan rakyat, beda sama batotis (kentang!). Untuk memenuhi keinginan terhadap burjo, saya hanya bisa pasif, dibuatkan. Saya tidak bisa bikin burjo saya akui. Dulu pernah mencoba, tapi pandannya terlalu banyak sehingga rasanya malah mint, bukan kuah burjo.

Adik kelas saya ada yang sering dan cukup pandai memasak burjo kalau main ke rumah. Dia mahasiswa sejarah, saya ingin bertanya apakah bangsa Mesir kuno, eropa kuno atau peradaban mana saja lah yang punya sejarah dengan burjo. Tapi saya masih punya malu bertanya seperti itu.

Sekali! Burjo pernah mengecewakan saya. Waktu itu kakak kelas saya merendam kacang hijau yang masih keras semalam, tapi rendamannya itu tidak dilanjutkan dengan direbus diatas kompor, rendamannya sampai berhari-hari. Jadilah biji-biji kacang hijau itu mengeluarkan ekor. Kecambah deh!

Seperempat abad lebih sedikit saya hidup, saya mencatat ada empat burjo yang berkesan dalam hidup saya. Supaya lebih dramatis, saya sebutkan tiga dulu dan ternyata ketiganya bukan yang saya benar-benar rindukan.

1.      Burjo Muallimin. Selama enam tahun saya menghabiskan masa remaja di sana. Pada jam istirahat di sela-sela proses pengkaderan (yidii...) rutin 24/7 ada kakek penjual burjo yang mangkal di madrasah. Burjo ini moderat. Dia tidak menghegemoni seperti bakwan kawi tapi juga tidak medioker seperti pempek imitasi yang orang Sumatera asli[1] mungkin berlepas diri darinya. Kehadirannya adalah penyegar bagi kerongkongan yang baru saja dimasuki bakwan kawi atau cilok yang membuat seret kalau tidak dikasih minum. Setelah burjo, kembali ke kelas siap belajar ushul fikih supaya besok besar tidak cuma bisa taqlid. Apalagi sekedar berteriak “Kembali ke al-Quran dan Sunnah!” Tapi...ah sudahlah...

Satu hal memang yang membuat saya respek. Penjualnya adalah kakek tua sabar yang tidak bermental kompeni (sekali lagi) seperti bakwan kawi atau lebay urusan costumer service-nya seperti cilok. Bapak itu sabar meskipun gerobaknya pernah ngglimpang tanpa alasan ketika berjualan.

2.      Burjo Nitikan. Nitikan adalah nama sebuah kampung dekat rumah saya. Setiap Ramadan, pimpinan ranting Muhammadiyah setempat selalu membuat heboh dengan program berjualan jajanan buka puasa yang dinamai JALUR GAZA! JAjanan Lauk sayUR Gubuk Ashar Zerba Ada (tepuk tangan untuk kreativitas bahasa warga Jogja). Penjual burjo yang satu ini sepertinya franchise ala Madura. Saya perlu bertanya kepada sahabat-sahabat dari Madura apakah benar di sana ada makanan khas berupa burjo? Karena setahu saya baru muncul beberapa tahun belakangan, beda dengan sate madura yang cukup melegenda.

Burjo yang satu ini saya sebut inovatif karena berani out of box. Selain santan, ia berani mencampurkan sirup, susu kental dan roti sebagai teman kacang hijau dan ketan hitam. Es nya pun es gosok tidak prongkolan yang kadang membuat menderita kalau sudah suap terakhir. Segarnya luar biasa. Selepas sore bersepeda menikmati cahaya senja kota Jogja, sambil basuh keringat menikmati burjo madura.

Penjualnya adalah seorang bapak ramah yang nampaknya benar asli Madura.[2] Sudah beberapa tahun beliau berjualan di Rafah (plakk...karena mangkalnya di perbatasan ‘Jalur Gaza’ ). Meskipun sepertinya franchise, tapi punya bapak yang satu ini enaknya beda. Istilahnya sudah Talaqqathu al-Ummatu bi’l Qabûl. Saya pernah mencoba burjo semacam itu di tempat lain, ternyata rasanya beda jauh! 

3.      Burjo lari pagi. Ayah saya rutin lari pagi dan selalu memotivasi anak-anaknya untuk rajin olahraga. Supaya besok besar tidak penyakitan. Hampir setiap pulang beliau bawa burjo, kalau tidak ya bolang-baling. Saya tidak tahu burjo itu beli dimana, tapi rasanya enak sekali. Kacang hijaunya sudah menjadi bubur sehingga tidak memunculkan gap antara air dan kacang hijau di mulut yang kadang mengacaukan sensasi. Hanya saja, burjo itu sepertinya hanya tersedia panas, atau memang hanya dibelikan yang panas. Sehingga harus ditunggu supaya dingin di lemari es. Ini yang kadang butuh waktu, kadang terlupakan karena semua orang rumah sibuk beraktifitas.

Bukan salah satu dari ketiganya yang nomer wahid. Ada satu penjual burjo yang selalu ibu stop setiap siang ketika saya masih belum sekolah dulu. Ini merupakan bagian dari usaha ibu saya untuk meningkatkan gizi putra putrinya. Alhamdulillah dua anaknya sudah jadi sarjana, satu baru masuk kuliah tapi tidak di Indonesia. Sekarang semua sudah tumbuh besar-besar meskipun besar itu relatif.

Burjo yang satu ini beda. Sampai sekarang hidung saya masih bisa samar-samar membayangkan aromanya. Rasanya pun masih terkenang di pertemuan lidah dengan kerongkongan. Penjualnya nampak berdedikasi, terbukti dari es batu yang sudah benar-benar dihancurkan. Itulah bedanya, es batu yang bisa disendok dari termos seperti nasi lebih bisa mengupgrade kualitas sebuah burjo. Jadilah segala kekurangan di awal bersatu menjadi kenangan.

(Maaf tidak pakai foto, selamat menikmati burjo walau hanya dalam bayang)




[1] Saya menghargai perbedaan pendapat di kalangan orang Sumatera mengenai siapakah yang pertama kali membuat pempek
[2] Perhatian: sekarang bapak itu sudah bisa bahasa Jawa meskipun agak kaku

Sunday, May 10, 2015

Perangkat Ilmu (3): Buku yang Valid

Dalam perjalanan intelektual manusia, para ilmuwan/ulama tidak sedikit yang merekam buah pikirannya dalam berlembar-lembar tulisan. Kumpulan dari lembaran-lembaran itu jadilah buku. Oleh karenanya, tidak salah ungkapan buku adalah sumber ilmu.
Perpustakaan al-Azhar, Mesir (14 lantai)
Para ulama memotivasi para pelajar untuk punya banyak buku. Baik dengan cara beli atau meminjam. Imam Syafi`i (204 H) ketika di Baghdad berguru dengan Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189 H), ulama besar murid Imam Abu Hanifah (150 H) yang juga hakim agung kepercayaan Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam proses belajar tersebut Imam Syafi`i berinvestasi 60 dinar hanya untuk membeli buku-buku Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Buku-buku itupun ditelaah sampai tuntas.

Sebelumnya ketika hendak berguru dengan Imam Malik (179 H) di Madinah, Imam Syafi`i lebih dahulu punya dan hafal al-Muwaththa’-nya Imam Malik.

Seberapa Berhargakah Buku bagi Kita?

Di sela-sela kajian kitab ilmu hadis Fathu’l Mughîts karya Imam al-Sakhawi (902 H), guru besar ulama hadis al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim menceritakan perihal Ibnu al-Mulaqqin (804 H).

“Beliau ini punya perpustakaan besar di Sayyidah Zainab[1] itu lho. Kalau sekarang ya sudah nggak ada, adanya penjual kentang, sayur...(Grrrrr... hadirin tertawa). Didalamnya banyak buku-buku langka yang mungkin belum pernah dilihat oleh insun wa laa jinnun/manusia maupun jin (Grrrr....). Ternyata perpustakaan itu kemudian terbakar. Ibnu al-Mulaqqin sedih bukan main sampai pikun kemudian meninggal. Lihat, itu yang menyebabkan beliau galau sampai meninggal!”

“Beda dengan kita, tetap tenang yang penting dapur masih mengepul, masih ada sandwich, masih ada ini itu...”(Grrr......)

Kalau ditanya apa yang bisa dibanggakan dari peradaban Islam di masa jayanya? Rasanya tidak ada jawaban yang lebih tepat dibanding bangunan keilmuan. Kalau disebut barngunan-bangunan bersejarah, memang bernilai tinggi, tapi bangunan di zaman ini rasanya jauh lebih indah dan nyaman untuk ditinggali. Belum lagi, bangunan itu tidak awet, beda dengan pemikiran yang sangat biasa untuk selalu diwariskan dan dikembangkan.

Imam al-Thabari (310 H) punya semacam lembaga riset yang anggotanya adalah murid-murid beliau sendiri. Merekalah yang menuliskan hasil-hasil ijtihad Imam al-Thabari. “Apa kalian semangat kalau kita menulis sejarah dari zaman Nabi Adam sampai zaman kita?”, tanya Imam al-Thabari. “Berapa lembar?” “Ya sekitar 30.000-an”, jawab sang imam. “Wah umur kita habis sebelum kitabnya selesai!”, komentar murid-murid beliau. “Innâ lilLâh, yang namanya tekad sudah mati”, begitu komentar Imam al-Thabari. Akhirnya buku sejarah itu tetap ditulis walau hanya sekitar 3000 lembar. Di zaman sekarang, buku itu dicetak kembali oleh salah satu penerbit Mesir Dâru’l Ma`ârif menjadi 11 jilid.

Pertanyaan yang sama ditanyakan oleh Imam al-Thabari ketika beliau tawarkan untuk mendikte sebuah kitab tafsir. Jawaban yang sama keluar dari murid-murid beliau.[2] Kitab tafsir Jâmi`u’l Bayân `an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân yang dianggap sebagai kitab tafsir al-Quran lengkap pertama yang sampai kepada kita ini, diteliti oleh Syekh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan dicetak menjadi 26 jilid termasuk 2 jilid daftar isi.

Setiap tahun, pemerintah Mesir rutin mengadakan pameran buku. Konon, ini adalah yang terbesar kedua di dunia dari segi negara peserta dan terbesar di dunia dari segi jumlah buku. Hal yang paling membanggakan, ternyata buku-buku yang ada di sana, terbanyak adalah kitab-kitab karya ulama dari zaman dahulu sampai yang terbaru. Momen ini banyak dimanfaatkan oleh para pelajar sampai para ulama untuk melengkapi perpustakaan pribadinya.

Demikianlah, umat Islam adalah umat yang suka membaca. Siapapun kita jadilah yang suka membaca. Di Mesir, kami pernah menjumpai seorang polisi lalu lintas muda berseragam hitam masuk ke toko buku untuk beli kitab tafsir!

Program Membaca Buku

Mâ Ana bi Qâri’? Apa yang harus saya baca?

Idealnya seorang muslim meneruskan tradisi keilmuan membaca dengan mengusahakan perpustakaan di rumahnya. Selain buku yang terkait dengan hal yang digeluti, sebagai seorang muslim minimal ada empat tema buku di rumahnya: aqidah, fikih, akhlaq dan sejarah.

Membeli buku nampaknya tidak sulit. Membiasakan membaca buku itulah yang sulit kalau tidak dipaksa. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad pernah memberikan tips kepada para mahasiswa terkait membaca buku. “Setiap hari sebelum tidur, baca 10 halaman! Nanti setiap bulan bisa khatam satu jilid buku!”. Beliau sendiri pernah menghabiskan waktu dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam hanya untuk membaca judul-judul manuskrip di perpustakaan nasional Mesir! Kata Syekh Salman Audah dari Arab Saudi yang pernah menjadi muridnya, Syekh Ahmad Ma`bad ini kalau urusan baca buku di perpustakaan, beliau mulai sejak jam buka sampai pulang bersama penjaga perpustakaan ketika ditutup malam harinya!

Konsisten dalam program membaca adalah kuncinya. Seorang ulama hadis Mesir, Prof. Dr. Rif`at Fauzi Abdul Muthalib yang pernah meneliti kitab al-Umm karya Imam al-Syafi`i setiap pagi menyediakan waktu sekitar 10 menit (!) hanya untuk membaca kitab-kitab hadis. Dari keberkahan konsistensi inilah beliau mengkhatamkan banyak kitab hadis yang bermanfaat untuk pengembangan keilmuan beliau.

Ternyata sifat rajin baca buku tidak pilih keyakinan. Ia hanya mau hinggap di hati siapa saja yang memeliharanya meskipun bukan muslim. Gautier H. A. Juynboll, seorang orientalis yang fokus di bidang hadis ternyata bukan orang yang asal bicara ketika melontarkan banyak pemikiran seputar sanad. Setiap hari beliau menghabiskan waktu dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam hanya untuk membaca kitab hadis! Bagaimana dengan kita yang sudah mengikrarkan diri sebagai pembela Islam?!

Selektif Memilih Naskah Buku

Logikanya, ketika buku adalah sumber ilmu, kalau bukunya salah/tidak valid, maka jangan harap ilmunya valid. Sebelum teori/kaidah apapun dipelajari, maka terlebih dahulu mengecek validitas teks teori/kaidah tersebut.

Dulu, sebelum ditemukan mesin cetak, seorang pelajar yang ingin punya buku tertentu belanja setumpuk kertas untuk disetorkan kepada nussâkh (penyalin) yang diminta menyalin buku. Bayangkan saja misalnya butuh Fathu’l Bâri (syarah/penjelasan Shahih al-Bukhari) karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Cetakan zaman sekarang saja ada 14 jilid tebal-tebal. Bagaiaman kalau minta buku biografi tokoh Siyaru’l A`lâm al-Nubalâ’ karya Imam al-Dzahabi yang tebalnya 30 jilid?

Dari salin menyalin itulah muncul perbedaan naskah manuskrip sebuah buku. Dari sinilah muncul ilmu filologi (tahkik). Untuk memunculkan dan mencetak ulang kitab turâts di zaman ini, tidak hanya sekedar menulis ulang manuskrip tersebut. Ada beberapa hal yang harus dilakukan:

1.      Mengumpulkan berbagai manuskrip buku baik yang ditulis langsung oleh penulisnya atau ditulis oleh murid-muridnya.

2.      Memilih satu naskah (biasanya yang tertua atau terlengkap karena terkadang sebagian halaman hilang atau rusak) sebagai acuan kemudian dicari perbedaan dengan naskah lainnya. Foto/scan sampel manuskrip akan ditampilkan.

3.      Teknis penulisannya, di catatan kaki akan ditulis, misalnya: dalam naskah (A/sebelumnya dijelaskan nama perpustakaan), kata yang tertulis adalah bla bla bla.

4.      Seorang peneliti biasanya juga mencantumkan penjelasan dari segala hal yang terdapat dalam naskah tersebut, misalnya ketika penulisnya mencantumkan pendapat ulama, peneliti akan melampirkan biografi singkat dan merujuk ke buku asli ulama tersebut untuk memastikan keakuratan nukilan dari penulisnya.

Setelah mengetahui hal-hal di atas mari kita merenungi proses yang telah kita lakukan untuk mengambil ilmu atau pengetahuan apapun. Apakah kita selama ini hanya mencukupkan nukilan-nukilan liar dari dunia maya?

Rumus dari Para Ulama

Soal akurasi informasi atau pengetahuan, ada sebuah kata-kata yang cukup terkenal di kalangan para ulama.
إنْ كُنْتَ نَاقِلًا فَالصِّحَّةُ أَوْ مُدَّعِيًا فَالدَّلِيْلُ
Artinya: “Kalau engkau menukil, akuratkan! Kalau engkau mengklaim sesuatu, argumentatiflah!”

|Tulisan ini saya persembahkan untuk ayah dan ibu saya yang telah meletakkan dasar perpustakaan dan lembaga riset "Al-Azhar" di Indonesia nanti, semoga Allah mewujudkan...|
Siyar A`lam al-Nubala` karya Imam al-Dzahabi | Hadiah dari ayah ibu 1425 pound Mesir


[1] Nama sebuah wilayah di Kairo
[2] Kisah ini direkam oleh Imam al-Dzahabi dalam Siyar A`lam al-Nubalâ’, ed. Akram al-Busyi & Syu`aib al-Arnauth, vol. XIV, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, Libanon, cet. II, 1435 H/2014 M, hal. 274