Sudah lama saya nggak bikin tulisan di blog. Maklum,
selama beberapa bulan internet rumah mati. Sebagai tanda syukur atas
terhubungnya kembali koneksi internet...hmmm,intinya saya nulis lagi :D
Sebenarnya
tulisan ini akan banyak berbicara mengenai ulama dan umat. Mulai dari
siapa sih ulama itu? Bagaimana perannya dalam kehidupan manusia?
Bagaimana sikap umat seharusnya dalam berinteraksi dengan ulama? Maksud
saya bukan hanya dalam soal tata krama, tapi lebih ke 'bagaimana
memanfaatkan ilmu mereka dan menyikapi pendapat mereka'. Oh ya, tulisan
ini lebih saya tujukan buat rekan-rekan di tanah air, klo yang lagi
(sudah pernah) belajar di Kairo atau negara timur tengah lainnya,
kayaknya sudah jadi santapan sehari-hari.:) Ok, sebelum kita berdiskusi
panjang, mari kita simak cerita di bawah ini....
Ada
sebuah pengalaman menarik dari Prof. DR. Ridha Zakaria[1] (selanjutnya
disebut Ustadz Ridha). Suatu ketika beliau ikut salat tarawih di sebuah
masjid besar di Mesir dengan delapan rakaat dan bacaan satu juz
al-Quran. Selepas salat, ada seorang makmum yang ingin komplain karena
membaca satu juz dalam delapan rakaat itu memberatkan. Penanggungjawab
(selanjutnya disebut Mr. PJ) di masjid tersebut mengetahui bahwa Ustadz
Ridha hadir ketika itu, kemudian dimintalah beliau untuk memberikan
nasehat. Ust. Ridha berkata, “Mengapa anda membaca satu juz al-Quran
dalam delapan rakaat? Salatlah dengan 23 rakaat, itu akan lebih ringan”.
Mr. PJ kemudian membantah Ustadz Ridha, “Salat tarawih lebih dari
delapan rakaat itu bidah dan haram! Begitu kata seorang ahli hadis
kontemporer [2]”. Mr. PJ berdalil dengan hadis Aisyah Ra.[3].
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya: “...tidaklah Rasulullah Saw. itu menambah (rakaat-ed) lebih dari sebelas baik ketika Ramadan maupun selainnya...”
Ustadz
Ridha pun membantah dengan argumen bahwa salat tarawih 23 rakaat itu
pendapatnya para imam empat mazhab. Bersikukuh dengan pendiriannya, Mr.
PJ mengatakan,”Wah, kita ini mengikuti dalil, kalau anda taklid dengan mazhab fikih dong”.
Ustadz Ridha pun memutuskan untuk tidak melayani Mr. PJ yang keras
kepala itu.[4] Silahkan pembaca merenungi kisah tersebut kemudian
putuskan keberpihakan pembaca sekalian, apakah bersama Ustadz Ridha atau
Mr. PJ.
Baik, untuk memudahkan kita semua, saya mencoba merangkum bahwa ada dua sikap di sini:
1.
Sikap Mr. PJ yang menyalahkan Ust. Ridha yang 'dianggap' taklid dengan
ulama, dalam hal ini ulama 4 mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
al-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Menurut Mr. PJ, kan ada hadis yang jelas menceritakan perbuatan Rasulullah Saw. Kenapa harus ikut taklid dengan pendapat ulama?
2. Sikap Ust. Ridha yang mengambil pendapat para ulama. Mereka yang paham bagaimana menyimpulkan hukum dari dalil al-Quran dan Sunnah.
Yah, perkataan paling mudah dalam beragama Islam ini adalah, "Mari kita kembali kepada al-Quran dan Sunah".
Hmm tapi apakah semudah itu? Bukan berarti pesimis apalagi menganggap 'kembali' tersebut adalah sebuah utopia. Tapi, ada sebuah kehati-hatian dari
para sahabat, tabi'in, maupun para penerusnya (baca: para ulama) dalam
hal 'kembali kepada al-Quran dan Sunah'. Singkat cerita, kehati-hatian
itulah yang nantinya akan memunculkan kitab-kitab yang bertumpuk-tumpuk,
metode penyimpulan hukum dari teks syariat, atau lebih mudahnya
memunculkan universitas-universitas di berbagai belahan dunia Islam (di
masa sekarang ini), seperti Qairawan di Tunisa, Jami'ah Islamiyah di
Madinah, Univ. Damaskus di Syiria, dan Universitas al-Azhar di Mesir :)
Ok,
kembali ke pertanyaan, anda ikut Mr. PJ atau Ust. Ridha, berikan
alasannya...(Oh ya, pertanyaan bukan masalah berapa rakaa't salat
tarawih yang afdhal, tapi lebih ke masalah sikap. Kaitannya dengan persoalan, dalil, dan ulama)
[1] Profesor Hadis dan Ilmu Hadis Fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar
[2]
Sebenarnya Mr. PJ menyebutkan salah seorang ulama. Tapi maaf, saya gak
mau nyebut merek, agar tidak ada kesan ingin menjatuhkan golongan
tertentu. Allah Merahmati semuanya
[3] Hadis ini terdapat
dalam Shahih Bukhari, Kitab Tahajud, Bab Bangun Malamnya Nabi Saw.
ketika Ramadan dan Selainnya, No. 1155; Kitab Salat Tarawih, Bab
Keutamaan Orang yang Salat Tarawih, No. 2052; Kitab al-Manâqib,
Bab Rasulullah Saw. Itu Tidur Matanya tapi Tidak Tidur Hatinya, No.
3601; Shahih Muslim, Kitab Salatnya Musafir, Bab Salat Malam dan Jumlah
Rakaat Salatnya Nabi
[4] Ridha Zakaria, al-Ahkâm al-Muftarâ ‘alaihâ fî Ahâdîts mina’l Muttafaq ‘alaihi, Maktabah al-Îmân, Mesir, cet. I, 1433 H/2011 M, hal. 9