“Kalau menghadapi orang sekular,
gunakan dalil aqli. Jangan gunakan ayat al-Quran dan Sunnah. Lha bagaimana?
Mereka kan tidak percaya dengan al-Quran dan Sunnah”. Kata Prof. DR. Ahmad
Thaha Rayyan, pakar fikih Maliki dunia, anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar.'
Prof. DR. Ahmad Thaha Rayyan, dalam kajian Shahih al-Bukhari di Masjid al-Azhar setiap Ahad ba`da Dzuhur |
_________________________________
Menggunakan logika akal untuk
mencapai sebuah kebenaran tidak sama dengan menentang al-Quran dan Sunnah.
Kebenaran dapat dicapai dengan tiga hal yang masing-masing sudah memiliki
lahannya. Tidak sampainya sebuah proses berpikir terhadap hasil yang seharusnya
salah satunya disebabkan oleh menggunakan salah satu dari tiga hal tersebut
bukan pada lahannya. Atau, menafikan salah satu dari ketiga hal tersebut dan
hanya mengandalkan sebagian yang lain.
Ketiga hal tersebut adalah:
1. Berita dari sumber yang valid. Dari mana kita tahu bahwa
besok di akhirat akan ada timbangan yang digunakan untuk menimbang amal
perbuatan manusia? Percayalah dengan berita dari Rasulullah Saw. yang diberi
wahyu oleh Allah Swt. Pertanyaan selanjutnya, apakah al-Quran yang kita kenal
sekarang sama dengan al-Quran yang dulu turun kepada Rasulullah Saw.? Al-Quran
diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabat yang dinilai oleh para ulama
sebagai orang yang adil, artinya bukan kaum yang berpotensi berdusta apalagi
atas nama Rasulullah Saw. Selanjutnya diturunkan dari generasi ke generasi
secara mutawatir. Artinya, dari orang banyak ke orang banyak, yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta. Inilah yang membuat kita semakin percaya bahwa al-Quran yang berada di antara kita sekarang ini adalah al-Quran yang dulu diajarkan Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya.
Realitanya manusia
sulit mengingkari legalitas berita dari sumber yang valid sebagai salah satu
sumber kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu mudah percaya bahwa
ada kebakaran, kerabatnya diterima di sekolah favorit, koleganya berpindah
kantor, hanya dengan mendengar dari orang yang ia percaya.
Orang percaya
bahwa Galileo Galilei adalah salah satu pendukung teori heliosentris. Pertanyaannya, apakah kita punya sanad yang
tersambung kepada Galileo? Cukup dengan mendengarkan penjelasan dari guru, kita
percaya. Sekali lagi, berita bisa jadi sumber kebenaran selama sumbernya valid.
Terlebih, umat Islam memiliki sistem ‘sanad’ sebagai perwujudan penjagaan Allah
Swt. atas keaslian ajaran Islam.
2. Eksperimen berulang-ulang. Biasanya digunakan untuk
mengungkap hukum alam. Misalnya mengetahui bahwa air akan mendidih ketika
dipanaskan 100 derajat celcius. Merupakan hasil eksperimen berulang-ulang.
Thomas Alva Edison ketika menemukan bola lampu listrik juga telah melakukan
berkali-kali eksperimen untuk menemukan kawat yang cocok digunakan pada bola
lampu.
Justru menjadi
sebuah kesalahan ketika memaksakan semua hal yang berhubungan dengan hukum alam
(misalnya) harus ditegaskan oleh teks al-Quran dan Sunnah. Jadinya akan
memaksakan penafsiran terhadap ayat yang semestinya tidak mengandung makna
tersebut. Tidak perlu khawatir, toh Rasulullah Saw. secara tersirat mengakui
bahwa ada hal-hal yang tidak tercantum sebagai teks al-Quran atau Sunnah, namun
bisa dipastikan kebenarannya melalui metode lain. Kasus yang terkenal masalah
cara berkebun kurma yang melahirkan statemen, “Antum a`lamu bi Umûri
Dunyâkum, Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”[1] Para petani kurmalah yang
sudah banyak makan asam garam dalam eksperimen menanam kurma.
3. Logika akal. Satu lebih sedikit dari dua. Ayah lebih tua
dari anak. Alam ini berubah, setiap yang berubah membutuhkan yang merubahnya,
maka alam ini membutuhkan kepada yang merubahnya. Kedua hal yang bertentangan
tidak mungkin bersatu dalam suatu kondisi. Kesemua hal di atas adalah hukum
akal.
Allah Swt. mengajarkan
Nabi Nuh As. bagaimana menghadapi kaumnya yang tidak mau beriman kepadanya. Mulailah
memikirkan Surah Nuh ayat 15 dan seterusnya. Bagaimana bisa ada langit yang
bertingkat-tingkat? Ada bulan dan matahari? Tanaman? Semua hal yang ada di
hamparan bumi? Ada rangsangan kepada umat Nabi Nuh As. untuk berpikir. Karena
tidak mungkin sesuatu yang ada di dunia ini terjadi dengan sendirinya. Ada Dzat
di luar alam yang disifati dengan kesempurnaan yang menciptakan semuanya. Tidak
ada lain bagi seluruh makhluk selain menyembah-Nya.
__________________________________________________
Ada sebuah cerita menarik
disampaikan oleh Syekh Ahmad Thaha Rayyan mengiringi nasehat di awal.
Tersebutlah Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H) hidup di Baghdad pada masa
keemasannya. Masa-masa dimana ajaran-ajaran di dunia ini diperjuangkan dengan
argumentasi di arena debat, bukan dengan pedang di medan laga. Salah satu aktor
di arena debat itulah al-Baqillani. Kemasyuhran dan pengakuan ulama membawanya
ke Konstantinopel, ibukota negara adidaya di masa itu. Ia ditantang debat oleh para
pemuka agama Nasrani di sana, di pusatnya.
Sesampai di lokasi, al-Baqillani
menyalami para pemuka agama Nasrani satu persatu. “Gimana kabarnya Pak? Sehat
ya?” Di tengah-tengah ramah tamah tersebut al-Baqillani juga menanyakan, “Gimana
kabar keluarga? Sehat? Anak-anak baik-baik aja ya?” Kontan para hadirin kaget
dengan ramah tamah ala al-Baqillani. Salah seorang berkomentar, “Bapak
(al-Baqillani) kan sudah tahu kalau para pendeta dilarang menikah, kok Bapak
menanyakan anak gimana?” Simak komentar epic al-Baqillani, “Kalian bisa mengkultuskan
para pendeta dari urusan menikah dan punya anak, tapi kenapa tidak bisa
melakukan hal tersebut terhadap Tuhan Penguasa alam raya?”