Tulisan ini merupakan pesan, agar kita lebih arif membaca sejarah. Agar kita
tidak memandang apa yang terjadi di masa lalu dengan kacamata masa kini
A. Latar Belakang
Menurut Ibn Khaldun (808 H), sejarah merupakan ilmu yang
kaya manfaat dan urgen mengingat perannya sebagai proyektor keadaan bangsa
terdahulu. Membaca sejarah berarti membaca tata laku manusia di masa lampau,
kisah para Nabi, strategi para raja dalam berpolitik dan bernegara. Apabila hal
di atas dilakukan, manusia akan dapat menjadikannya sebagai bahan pelajaran
dalam meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Ibnu Khaldun (Ilustrasi) |
Sejarah membutuhkan berbagai
sumber, kelengkapan data, serta analisa yang mendalam. Apabila hanya
mengandalkan nukilan-nukilan, bagaimana ia akan terbebas dari kerancuan bahkan
kebohongan? Oleh
karenanya sejarah membutuhkan kajian mengenai norma yang berlaku di suatu
kelompok masyarakat, teori politik, karakteristik peradaban, dan lain
sebagainya yang dengan kata lain, disebut kritik sejarah.
B. Studi Kasus
Menurut al-Masudi, jumlah tentara Bani Israel pada zaman
Nabi Musa As. ada 600.000 orang, bahkan lebih. Menurut Ibn Khaldun jumlah ini
tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin jumlah tersebut bisa cukup
tertampung di Tih (tempat mereka ketika dikutuk Allah Swt. selama 40 tahun).
Alasan kedua, mereka selalu kalah oleh Persia. Tercatat, Nebukadnezar pernah
dengan mudah menaklukkan mereka di Yerusalem. Pada masa perang Qadisiyah
misalnya, ketika tentara Persia berada di salah satu masa kejayaan, tentara
Persia berjumlah 120.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 60.000. Memang,
menurut Ibn Khaldun banyak sejarawan di masanya yang lebay ketika
berbicara masalah jumlah tentara sampai jumlah pajak. Hal ini tidak lain
hanyalah untuk menarik pembaca.
Kritik sejarah juga berperan vital dalam penafsiran
al-Quran. Misalnya ketika menafsirkan al-Fajr ayat 6-7.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ
رَبُّكَ بِعَادٍ { 6 } إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ {7}
Tidak sedikit ahli tafsir yang ketika menafsirkan Iram,
mensifatinya dengan kota yang memiliki bangunan/tiang yang tinggi. Alkisah, `Âd
bin `Aush bin Iram memiliki dua orang putra, Syadid dan Syadad. Setelah Syadid
meninggal, kerajaan diambil alih oleh Syadad yang terobsesi membangun istana
megah ketika mendengar cerita tentang surga. Dibangunlah istana tersebut di gurun
`Adn selama 300 tahun.[1] Setelah istananya jadi,
Syadad beserta segenap jajarannya menuju ke sana, tapi mereka dihancurkan oleh
Allah Swt. setelah menempuh perjalanan sehari semalam. Kisah ini disebutkan
oleh Imam al-Thabari, al-Tsa`alabi, al-Zamakhsyari, dan ahli tafsir lainnya.
Menurut Ibn Khaldun, kisah ini tidak pernah diceritakan
di semua belahan dunia. Penduduk gurun `Adn (ada di tengah Yaman) yang
merupakan setting kisah ini, juga tidak pernah menceritakan kisah ini. Selain
itu juga terdapat pertentangan mengenai setting istana tersebut. Ada pula yang
mengatakan ada di Damaskus yang notabene daerah kekuasaan kaum `Ad.
Menurut Ibn Khaldun, para ahli tafsir memasukkan kisah
ini dalam penafsiran ayat tersebut dikarenakan konsekuensi linguistik ayat tersebut.
Dzâtu `Imâd adalah sifat dari kaum `Ad. Mereka mengartikan al-`Imâd
sebagai tiang-tiang. Padahal, bisa saja itu adalah tiang-tiang tenda. Bisa juga
diartikan bangunan secara umum karena memang kaum `Ad terkenal ahli bangunan.
Demikianlah, sejarah hanya akan menjadi data tanpa
memperhatikan apa yang ada di balik peristiwa. Hanya akan menjadi cerita tanpa mengkaji
karakter sebuah bangsa, etika, bahkan aliran kepercayaan. Selain itu sebab
kemajuan dan keruntuhan suatu bangsa mutlak menjadi kebutuhan kajian sejarah.
Hal-hal diatas dapat digunakan ketika menganalisa kebanaran sebuah fakta
sejarah. Sejarawan yang meninggalkan aspek-aspek di atas bisa saja tergelincir,
apalagi pembaca dari kalangan awam.
C. Sejarah yang Berputar
Tidak perlu heran dengan keaadan suatu bangsa yang silih
berganti seperti roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada kalanya
mengalami masa keemasan, ada kalanya harus jatuh berkubang lumpur. Tidak perlu
heran, karena itu adalah sunnatullah yang ada pada suatu bangsa, masa, maupun
manusia.
Dunia memiliki varian kisah kejayaan peradaban. Mulai
dari Persia (generasi pertama), Suryani, Nabth, kaum Tubba’, Bani Israel, dan
Qibthi. Mereka memiliki kisah masing-masing dengan berbagai episode; politik,
kenegaraan, industri, bahasa, sampai sumbangan terhadap dunia. Setelah era
mereka berakhir, protagonis dari drama kolosal dunia beralih pada Persia
(generasi kedua), Romawi, dan Arab. Berbeda pemeran, tapi alur cerita masih
sama. Begitu juga ketika peradaban Islam berperan sebagai protagonis. Bahkan
ketika bangsa non-Arab seperti Turki di sebelah timur, Barbar di sebelah barat,
dan Prancis di sebelah utara naik ke atas panggung peradaban. Kisahnya tetap
sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal di atas adalah pemimpin. Seperti
kata-kata hikmah,”Manusia itu beragama seperti agama rajanya.”
D. Memandang Sejarah
Satu hal yang sebenarnya merupakan sebuah kesalahan
adalah melihat sejarah dengan kacamata masa kini. Contoh kasus ketika membaca
sejarah al-Hajjah. Disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang guru. Padahal guru
di zaman Ibn Khaldun berbeda dengan guru di zaman al-Hajjaj dari segi strata
sosial. Pada masa generasi awal termasuk masa Umawiyah dan Abbasiyah,
orang-orang kalangan atas-lah (Ahlu’l `Ashabiyyah) yang menjadi guru, mengajarkan
Islam sampai ke berbagai wilayah futûhât. Ilmu-ilmu pun
berkembang dalam perannya berkhidmah terhadap nash. Zaman kemudian beralih, Ahlu’l
`Ashabiyyah lebih tertarik untuk menekuni dunia politik. Sehingga yang
menjadi guru adalah orang-orang yang berada di bawah mereka. Sehigga profesi
guru menjadi tidak lebih hanya sekedar mata pencaharian. Hal serupa juga
terjadi pada jabatan hakim (al-Qadhi) yang di masa lalu lebih otoritatif.
Dalam penulisan sejarah juga tidak lepas dari hal ini.
Sejarawan masa Ibn Khaldun banyak terpengaruh metodologi penulisan sejarah dari
para sejarawan Umawiyah dan Abasiyah tanpa memahami landasan filosofis
metodologi tersebut. Para sejarawan di dua masa itu ketika menyebutkan biografi
seorang raja, turut menyebutkan nasab, keluarga, gelar, menteri, dan lain
sebagainya. Agar para pembaca bisa meneladani kisah sukses mereka. Apa kerja
keras mereka dibalik semua pencapaian tersebut. Menurut Ibn Khaldun, hal ini
tidaklah tepat apabila diterapkan pada penulisan biografi para pemimpin di
masanya. Ketika menceritakan kehidupan seorang hakim di masa lampau, tentunya
akan berbeda dengan hakim di masa sekarang yang sangat jauh kualitas dan
otoritasnya.
Sejarawan al-Masudi yang hidup pada tahun 300-an dalam Murûj
al-Dzahab memaparkan keadaan bangsa-bangsa di barat dan timur, kondisi
geografis, politik, sampai ideologi. Al-Masudi menjadi rujukan para sejarawan.
Al-Bakri yang datang setelahnya mengikuti jejak al-Masudi, hal ini tidak
mengapa karena keadaan pada masa al-Bakri tidak jauh berbeda. Apabila data yang
diperolah al-Masudi masih digunakan pada masa Ibn Khaldun (tahun 800-an),
apakah valid mengingat berbagai perubahan yang terjadi?
E.
Transliterasi
dan Terjemah
Buku ‘Muqaddimah’ Ibn Khaldun sebenarnya merupakan
mukadimah dari kitab al-`Abar fî Dîwâni’l Mubtada’ wa’l Khabar, fî Ayyâmi’l
`Arab wal’l `Ajam wa’l Barbar, wa man `Âsharahum min Dzawi al-Sulthân al-Akbar,
karya besar beliau dalam bidang sejarah. Dalam Muqaddimah, beliau juga membahas
tata cara penulisan mengingat kitab al-`Abar membahas bangsa non Arab[2] yang tidak bisa dilepaskan
dari istilah asing.
Huruf-hurus sebenarnya adalah bagaimana keluarnya
suara-suara dari tenggorokan melewati anak tekak kemudian berproses melalui
gigi, rahang, dan organ bciara lainnya. Inilah yang menyebabkan perbedaan
huruf. Tidak hanya itu, masing-masing bangsa memiliki hurufnya sendiri, bahkan
beda cara pengucapan huruf yang sama. Selanjutnya, mereka yang ahli dalam
menulis membuat simbol setiap huruf.
Oleh karena kitab al-`Abar juga mencantumkan istilah
asing, maka Ibn Khaldun membuat aturan, di antaranya huruf asing ditulis dalam
dua huruf yang apabila diucapkan, maka pertengahannya adalah huruf asing
tersebut. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.
Musa Al
Azhar
Mahasiswa
Universitas al-Azhar
Fakultas
Ushuludin, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis
:Dipresentasikan pada
Kajian AFDA (Bedah Buku)
PCIM Kairo-Mesir
Kamis, 24 Rabiul Akhir 1434 H
7 Maret 2013 M