Tulisan di bawah ini sebenarnya
perasan dari kajian kitab atau lebih tepatnya disebut ensiklopedi ilmu mustalah
hadis Fathu’l Mughits-nya Imam al-Sakhawi (902 H). Biasa diampu
oleh Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim, ulama hadis dan anggota dewan ulama
senior al-Azhar, tiap Sabtu pagi di Masjid al-Azhar. Edisi kali ini pun saya
sedang tidak hadir, hanya menyimak dari youtube (https://www.youtube.com/watch?v=eAVnDwa9Wps&feature=share).
Nama Husain bin Mas`ud bin
Muhammad al-Farra’ al-Baghawi (selanjutnya disebut al-Baghawi) sejujurnya masih
belum sefamiliar al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Mizzi, al-Dzahabi atau
Ibnu Hajar bagi pelajar seperti saya. Dalam Siyar A`lâm al-Nubalâ’ (19/439)
pun kesan saya biografinya tidak panjang-panjang amat. Meskipun bukan berarti
diceritakan sebagai ulama biasa saja karena al-Dzahabi (748 H) dikenal sebagai
biografer yang sportif. Penyematan sebutan al-Syaikh al-Imam al-`Allâmah
al-Qudwah al-Hâfizh Syaikhu’l Islâm Muhyi al-Sunnah bagi al-Baghawi tetap
dipertahankan oleh al-Dzahabi. Santri beliau Tajuddin al-Subki (771 H) dalam Thabaqât
al-Syâfi`iyyah al-Kubra (6/75), kesan saya, tidak jauh beda
paparannya. Maksud saya, coba bandingkan, misalnya dengan biografi Abu al-Hasan
al-Asy`ari (324 H) dalam dua literatur biografi tersebut. Akan ada dialog yang
cukup sengit antara murid (al-Taj al-Subki) dan guru (al-Dzahabi). Mereka yang berdebat,
kita yang memetik faidahnya. Sungguh nikmat menyimak diskusi yang tidak seperti
‘diskusi’ jejaring sosial seperti ini.
Bagi Syekh Ahmad Ma`bad,
penyebutan Muhyi al-Sunnah (dia yang menghidupkan sunnah) ini sangat
perlu mendapat garis bawah. Salah satu alasannya adalah, al-Baghawi (516 H)
memang salah satu penggerak tajdid di zamannya. Berdasarkan pembacaan
berkualitas Syekh Ahmad Ma`bad atas karya al-Baghawi ‘Syarh al-Sunnah’,
beliau menyimpulkan bahwa al-Baghawi punya definisi tentang tajdid
(pembaharuan), ialah ‘mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan
terhadap agama’.
Tuntutan
Tajdid Kekinian
Syekh Ahmad Ma`bad juga mengiyakan
bahwa zaman sebebas sekarang tuntutan tajdid juga berasal dari cendekiawan
non-studi agama. Aneh bukan? Lebih aneh lagi, berbagai konsep tajdid yang
diajukan sampai menabrak hal-hal paten (tsawâbit) dalam agama. Al-Azhar sebagai
otoritas keilmuan muslim sunni tidak tinggal diam. Berbagai konferensi diadakan
untuk merespon fenomena ‘tajdid’ semacam ini. Saking pentingnya, Grand Imam
sendiri yang memimpin konferensi tersebut. Misalnya konferensi yang diadakan di
Al-Azhar Conference Center, 22 April 2015 lalu. Hasilnya bisa dinikmati dalam
kompilasi tulisan Maqâlât fî al-Tajdîd yang diterbitkan lux oleh Dâr
al-Quds dan dihargai sangat mahasiswa, 6 pound Mesir.
Kesimpulannya, tajdid (sekali
lagi) adalah mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap agama...`alâ
Bashîrah...atas landasan ilmu yang kokoh.
Kata kedua yang digarisbawahi
Syekh Ahmad Ma`bad adalah `alâ Bashîrah/atas landasan ilmu yang kokoh. Selain
tantangan konsep tajdid agama yang diajukan cendekiawan non-agama, tantangan
selanjutnya datang dari kaum muslim sendiri. Mereka memiliki semangat tinggi
untuk melakukan apapun demi tegaknya agama Allah di muka bumi dan demi diterapkannya
syariat Islam. Akan sangat positif apabila semangat tersebut dilandasi dengan
ilmu yang kokoh. Hanya saja, ketika semangat dilandasi dengan al-Jahl
alias ketidaktahuan justru akan menjadi bumerang bagi Islam sendiri.
“Hal yang paling berbahaya bagi
Islam atau madzhab apapun adalah, tergabungnya orang yang sebenarnya masih
tersifati dengan al-Jahl. Mereka semangat tapi sebenarnya masih belum
paham secara baik dan utuh akan ajaran mereka sendiri. Terkadang teman yang
bodoh itu lebih berbahaya daripada musuh yang berakal. Meskipun musuh,
setidaknya akal yang dia miliki masih menjaga dia berada dalam koridor saling
menghormati denganmu”, begitu komentar
Syekh Ahmad Ma`bad.
Beliau melanjutkan, “Sekali lagi
kata `alâ Bashîrah ini sangat penting. Karena ada orang yang maunya nyunnah
tapi tanpa dasar ilmu yang kokoh. Sehingga suatu saat dia jatuh dalam kesalahan
tapi dia tidak sadar. Lebih repot lagi terkadang dia tidak mempan diluruskan.
Bahkan ketika kita coba mengingatkan untuk memahami sunnah secara lebih dalam,
langsung kita dituduh ‘Kamu nggak nyunnah!’ atau ‘Kamu ini A`dâ al-Sunnah/musuhnya
sunnah!’ Padahal, maksud kita mengingatkan adalah supaya nyunnah-nya itu
dengan dasar ilmu yang mantap seperti penjelasan al-Baghawi tadi.”
Proyek Besar Nyunnah
ala al-Baghawi
Melalui Syarh
al-Sunnah (dicetak 14 jilid), al-Baghawi yang dalam fikih bermadzhab
Syafi`i ini ingin membuka dialog dengan masyarakat di zamannya bagaimana
sebenarnya nyunnah. Beliau ingin menjelaskan bahwa nyunnah yang
sebenarnya adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah!
Menurut al-Baghawi dalam mukadimah Syarh al-Sunnah, beliau hidup
di zaman ‘agama hanya sekedar simbol dan ilmu hanya sekedar nama’.
Syekh Ahmad Ma`bad menafsirkan
agama hanya sekedar simbol dengan: dijalankan bentuk, zahir atau ritualnya
saja. Misalnya kalau sudah bicara duit, ‘agamanya’ bisa hilang. Sedangkan ilmu
yang disebut hanya tinggal nama maksudnya, “Saya sudah baca kitab ini-dan kitab
itu!” Tapi sudahkah benar-benar mengambil manfaat atau manfaati orang banyak
dengan studi kitab tersebut? Atau jangan-jangan hanya sekedar khatam baca saja?
Padahal al-Baghawi hidup di akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6. (Kalau tulisan
ini dibuat di abad ke-15 Hijriyah).
Tantangan beliau cukup berat
dalam mengusung megaproyek yang satu ini. Syekh Ahmad Ma`bad mencatat ada dua
tantangan yang kesemuanya kembali kepada kondisi zaman:
Pertama,
al-Baghawi hidup di masa sanad (rangkaian perawi hadis) semakin panjang. Hal
ini tentu menyulitkan para ulama hadis dalam menuliskan kitabnya apabila hendak
mencantumkan hadis yang notabene sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran.
Bahkan mulai banyak yang memikirkan untuk menulis hadis tanpa mencantumkan
sanad.
Kedua, para
pemimpin muslim lebih memilih untuk mengucurkan dana menyeponsori kampanye
perebutan maupun mempertahankan kursi kekuasaan. Karena, kata Syekh Ahmad
Ma`bad,“Kalau kamu membaca buku sejarah...”, zaman itu wilayah umat Islam sudah
terbagi menjadi negara-negara kecil (meskipun kepala negaranya belum disebut
Presiden). Apalagi di zaman itu sampai kepada kekuasaan cara populernya adalah
angkat senjata yang jelas butuh didanai besar-besaran. Jelas hal ini sangat
berpengaruh terhadap kaum akademisi seperti al-Baghawi. Riset ilmiah selalu
butuh pendanaan.
Tapi di sinilah hebatnya
al-Baghawi. Beliau tidak kalah oleh keadaan. Sanad yang dianggap sebagai
senjata untuk mempertahankan otentisitas ajaran agama Islam tetap beliau
pertahankan seberapapun panjangnya. Jadilah Syarh al-Sunnah yang
14 jilid itu salah satu kitab hadis bersanad. Sanad al-Baghawi dari gurunya
sampai kepada sumber hadisnya.
Al-Baghawi juga lebih memilih
hidup sangat sederhana. Beliau hanya makan roti gandum tanpa lauk selama
bertahun-tahun kalaupun ditambah sesuatu hanya sekedar minyak. Biasanya,
siapapun yang menjalani pola hidup demikian akan mudah terserang penyakit, tapi
beliau dikaruniai umur panjang sekitar 80 tahun.
Murid Qadhi Husain (ulama besar
madzhab Syafi`i) ini termasuk yang produktif. Selain Syarh al-Sunnah,
ada juga karya lainnya seperti Ma`âlim al-Tanzîl (tafsir), Mashâbih al-Sunnah (hadis),
al-Tahdzîb (fikih Syafii) yang sering dirujuk oleh Imam al-Nawawi (676 H) dan
lain-lain. Kitab-kitab beliau Allah izinkan untuk beredar dinikmati oleh umat
Islam sampai di abad ke-15 ini. Padahal beliau ulama dari daerah Khurasan,
bukan kota seperti seperti Baghdad. Bahkan menurut Tajuddin al-Subki, al-Baghawi
tidak pernah ke Baghdad (ibukota kekhilafahan Abbasiyah). Al-Subki mengatakan, “Kalau
al-Baghawi masuk Baghdad, biografinya akan lebih panjang dari ini”.
Bisa jadi ada yang berpikiran
bahwa manusia hebat seperti al-Baghawi hanya ada di zaman dulu. Oleh karenanya
Syekh Ahmad Ma`bad sejenak menyelingi dengan cerita dari zaman ini di Mesir.
Bumi para Nabi ini memang menakjubkan. Apa yang dianggap hanya legenda bisa
jadi nyata di atas tanahnya. Dulu saya kira anak kecil dibawah 10 tahun sudah
hafal al-Quran itu hanya ada di zaman Imam al-Syafi`i, tapi di Mesir
bocah-bocah semacam itu banyak di jumpai.
“Dulu...”, lanjut Syekh Ahmad
Ma`bad, “Salah satu kakek Syekh Ahmad Toyyib (Grand Imam al-Azhar saat ini)
adalah pelajar al-Azhar. Di zaman beliau, al-Azhar menjatah pelajarnya dengan
satu lembar roti gandum (`isy) dengan lauk bubur kacang (fûl) dan
bawang untuk makan setiap hari. “Tidak!”, jawab kakek Syekh Ahmad Toyyib, “Saya
tidak akan mengumpulkan dua lauk dalam satu waktu, jadi saya hanya makan roti
dengan bubur kacang saja atau roti dengan bawang saja”.
Sehingga persoalan fasilitas,
beasiswa dan sebagainya bukan penentu utama keberhasilan menuntut ilmu. Menurut
saya lebih kepada faktor kejiwaan. Hujjatu’l Islâm Imam al-Ghazali (505
H) bercerita, “Dulu kami mencari ilmu tidak karena Allah, tapi ilmu itu sendiri
yang menolak untuk dicari kecuali hanya karena Allah!”. Beliau menceritakan
masa kecilnya yang hidup di sebuah sekolah yang cukup makmur. Siapa yang tidak
ada uang, bisa ikut hadir di kelas-kelas belajar sedikit ilmu ini dan sedikit ilmu
itu, sudah dapat beasiswa.
Tantangan Umat
Islam Kekinian
Syekh Ahmad Ma`bad melanjutkan nasehat
plus peringatan soal tajdid ini dengan cerita di Mesir. Anak-anak Mesir dulu
belajar agama (menghafal al-Quran dan calistung) di kuttâb yang dikelola
oleh pemerintah Mesir. Saat ini, kuttâb secara resmi dihilangkan karena
metode talqin yang digunakan dianggap tidak update. Syekh Ahmad Ma`bad
sendiri yang kelahiran tahun 30-an ini adalah alumni terakhir kuttâb
resmi yang dikelola oleh kementrian pendidikan Mesir! Waktu itu, Menteri Pendidikan
yang baru pulang dari Amerika Serikat-lah yang menghilangkan kuttâb yang
berjasa mengajarkan anak-anak dasar agama dan mencetak penghafal al-Quran usia
dini.
Menurut Syekh Ahmad Ma`bad, “Sehingga
persoalan tajdid (mengusahakan apapun yang menambah eratnya pegangan terhadap
agama) dan menanamkan agama dalam diri umat adalah tanggungjawab kita sebagai individu.
Tanggung jawab ini hanya akan selesai ketika ruh terpisah dari jasad!”
Ruh Surat
al-Mâ`ûn
Saya kaget ketika Syekh Ahmad
Ma`bad sampai membahasakan, “Allah itu sudah menyiapkan satu tempat di neraka
Jahannam bagi orang-orang yang solat!” Beliau melanjutkan, “Tentu bukan karena
solatnya, karena dalam surah tersebut Allah melanjutkan bahwa yang celaka
adalah orang yang solat tapi lalai, riya’ dan menahan harta yang seharusnya
disedekahkan. Mungkin dia sudah berwudhu, pakai jubah dan lain-lain ketika
solat, tapi uang yang ada di kantongnya tidak dia keluarkan dan nafkahkan untuk
keluarganya! Inilah namanya solat tapi lalai! Kalau ada yang mengatakan, ‘Berarti
anda mengutuk saya ini Syekh?’ Bukan, saya bukan mengutuk anda, tapi memang firman
Allah seperti itu! Jadi kita juga ingin supaya harta orang-orang yang solat itu
juga dikeluarkan kepada orang yang berhak, ini baru namanya solat yang sebenarnya!”
Epilog
Saya memahami kesan
loncat-loncat tema yang mungkin ditangkap oleh pembaca dari tulisan di atas. Namun
sebenarnya ada satu kalimat yang bisa kita jadikan kunci untuk memahami apa
maksud Syekh Ahmad Ma`bad menyelingi kajian kitab Fathu’l Mughits dengan
nasehat soal tajdid dan perenungan kisah hidup Imam al-Baghawi. Menurut saya kalimat
kunci itu adalah konsep tajdid ala Imam al-Baghawi itu sendiri...
“Nyunnah yang sebenarnya
adalah memahami sunnah sekaligus mengamalkan sunnah....`alâ Bashîrah
(dengan dasar ilmu yang kokoh)!”
Artinya, tanggungjawab insan
muslim saat ini adalah mengamalkan sunnah dengan cara mentransformasikannya menjadi program-program
kehidupan yang praktis/`amaliyah atas dasar pemahaman yang berasal dari
bangunan keilmuan yang kokoh dan bersanad.
Masih hidupkan sanad? Dalam
sebuah majelis riwayat di Masjid al-Azhar beberapa waktu lalu Syekh Ahmad
Ma`bad menegaskan,”Sanad adalah senjata umat Islam, tradisi sanad in syâ’a
Allah akan terus berlanjut sampai hari akhir nanti. Sanad di sini bukan
sebatas ritual pengijazahan kitab, melainkan ‘sanad maknawi’. Artinya,
mempelajari agama melalui guru yang dapat dipertanggungjawabkan keilmuannya”.
Dalam kesempatan lain beliau
menyampaikan, “Ada yang mengatakan bahwa sanadnya orang-orang mutaakhirin/yang
datang belakangan fungsinya hanya sekedar meraih keberkahan dengan tradisi
keilmuan tersebut. Maka kami katakan bahwa: ini tidak menafikan ’kritik sanad’,
karena keberkahan yang sesungguhnya tidak akan diraih kecuali dengan
perantaraan orang yang diketahui kesalehan dan ketaqwaannya serta kebenaran
dalam periwayatannya dengan berbagai cara belajar yang dapat dipertanggungjawabkan”.
WalLâhu a`lamu bi
al-Shawâb...