Bulan-bulan pertama di Mesir, saya
penasaran dengan gambar orang tua berpeci putih khas Mesir (mirip topi kelasi),
fotonya dipampang di mana-mana. “Itu namanya Syekh Sya`rawi, beliau adalah dai
yang selalu dinanti pengajian tafsirnya. Beliau pernah menjadi Menteri Wakaf
(semacam Menteri Agama di Indonesia). Meskipun pernah menjadi orang pemerintah,
tapi beliau sangat merakyat dan rendah hati, makanya rakyat Mesir cinta Syekh
Sya`rawi.” Begitu penjelasan seorang senior. Selama beberapa waktu terkadang
memori akan (gambar) Syekh Sya`rawi kembali terngiang. “Oh ya, ada salah satu
koleksi buku ayah saya berjudul ‘Anda Bertanya Islam Menjawab’, karya Muhammad
Mutawally al-Sya`rawy, ternyata beliau orangnya”. Ingat sudah saya.
Entah kenapa sejak lama saya ingin
menulis tentang Syekh Sya`rawi. Puncaknya ketika mendengarkan rekaman sebuah
talkshow di salah satu tv Mesir membicarakan Syekh Sya`rawi. Waktu itu, ditemani
seorang host, pematerinya adalah Syekh Usamah Sayyid al-Azhari yang terkenal
ensiklopedis ketika membahas sebuah tema disampaikan dengan fasihnya bahasa
dihiasi dengan suara beliau yang khas. Klop sudah.
Padahal saya belum pernah baca
tafsir atau karya-karya beliau yang terpampang di toko-toko pinggir jalan,
belum juga mendengarkan rekaman video beliau. Tapi secara bertahap, cerita
tentang Syekh Sya`rawi selalu datang. Anehnya, tidak ada cerita tentang beliau
yang tidak mengena! Tak apalah, maka kali ini saya akan berbagi cerita tentang
Syekh Sya`rawi. Kalau sekedar biografi, browsing di internet sudah mencukupi.
El-Sharaawy Si
Anak Petani
Ayahnya adalah seorang petani Mesir
yang sederhana. Sya`rawi kecil yang dipanggil Amin pun seperti anak-anak
sebayanya. Pergi ke sekolah, kemudian ikut membantu berladang. Cita-cita Amin
kecil pun sebatas ‘meneruskan perjuangan ayahnya’ alias jadi petani. Tapi, Amin
punya bakat sastra. Maklum, sejak kecil ia sudah mengikuti sayembara ayahnya,
menghafal syair-syair Ahmad Syauqi, Si Raja Syair asal Mesir. Setiap satu
syair, berhadiah beberapa keping qirsy (piaster, seperti sen, pecahan dari
pound). Lumayan, tambahan uang jajan. Ketika masuk SMA al-Azhar di Zaqaziq, ia
pun terpilih menjadi Ketua OSIS dan Ketua Perkumpulan Sastrawan Zaqaziq.
Amin sudah lulus SMA, waktunya
jadi mahasiswa. Di dalam pikiran ayahnya sang petani sederhana itu, anak Mesir kalau
sudah hafal al-Quran dan lulus sekolah ya masuk Universitas al-Azhar, untuk jadi
orang benar. Amin ternyata masih bersikukuh dengan impian lamanya melanjutkan
perjuangan ayahnya di ladang. Bahkan malam tes masuk al-Azhar, Amin mengoleskan
merica ke matanya untuk mengelabui ayahnya. Dia pura-pura sakit. Apes,
ketahuan.
Ketika tes pun dia tak kehilangan
akal. Pengujinya dipermainkan dengan menjawab asal-asalan ketika diminta
melanjutkan ayat al-Quran. Tapi yah, begitulah, mungkin di sinilah letak The
Choosen One-nya. Pengujinya tahu kalau anak ini sebenarnya hafal al-Quran, tapi
sengaja disalah-salahkan. Akhirnya, “Lancang kau bocah! Sudah sana masuk
al-Azhar!” Amin diterima masuk al-Azhar, fakultas bahasa Arab.
Ayahnya datang ke Kairo untuk
memastikan keadaan Amin, siapkah ia mengikuti pelajaran. Ternyata ia belum
punya buku diktat (muqarrar). Berangkatlah mereka berdua ke toko buku.
Lagi-lagi Amin berulah. Kitab-kitab yang berjilid-jilid dengan berbagai tema
mulai dari bahasa, ilmu al-Quran, tafsir, dan lain-lain ditunjuknya
asal-asalan. “Kali ini harus berhasil!” Begitu pikiran Amin. Ia berharap agar
ayahnya menyerah ketika tahu bahwa ‘diktat’ al-Azhar besar-besar dan pasti
mahal-mahal. “Berapa?” “Satu pound Pak.” Jawab pemilik toko. “Silahkan Pak, ini
saya bayar satu pound.” Tanpa menawar, ayahnya langsung membayar semua kitab
yang ditunjuk Amin. Padahal satu pound Mesir (Le) zaman segitu, mungkin sama
nilainya dengan 800 pound zaman sekarang. 800 pound itu kalau dirupiahkan 1,5
juta untuk kurs saat ini.
Amin ikut ke stasiun kereta api melepas
ayahnya pulang ke Mit Ghamr, kampung halamannya. Menjelang keberangkatan
kereta, ayahnya berkata, “Nak, ayah tahu kok kalau kitab-kitab itu sebenarnya
bukan diktatmu, tapi gak apa-apa. Semoga kitab-kitab itu membuat kamu tambah semangat
belajar, semoga Allah membukakan pintu-pintu ilmu kepadamu melalui kitab-kitab
itu”.
Muhammad
Mutawalli al-Sya`rawi
Amin yang bandel sekarang sudah
jadi Muhammad Mutawalli al-Sya`rawy yang berusia 60 tahun. Saya merasa penting
memulai dari titik ini. Di usia ini Syekh Sya`rawy baru muncul di depan rakyat
Mesir mengajarkan tafsir al-Quran. Mesir tak pernah langka ulama. Tapi Syekh
Sya`rawy beda. Meminjam istilahnya Syekh Usamah Sayyid al-Azhari, Syekh
Sya`rawi berhasil membangun madrasah rakyat dengan mutiara-mutiara tafsir al-Qurannya.
Bukan sembarang menafsir, Syekh Sya`rawi punya modal bahasa Arab dari studinya
di al-Azhar, juga dari ‘bakat’ yang Allah berikan kepadanya. Klop dengan
al-Quran yang turun dengan bahasa Arab, maka untuk dapat menggapai
makna-maknanya, kunci pertama adalah bahasa Arab dengan segala cabangnya.
Seterusnya baru berbagai ilmu penunjang lainnya.
Kenapa baru muncul ketika sudah 60
tahun? Kemana saja sebelumnya? Ketahuilah bahwa yang memunculkan dan meredupkan orang adalah Allah. Guru-guru
saya di al-Azhar pun sering menasehatkan untuk tidak keburu tampil, biarkan
Allah yang mengatur dan menempatkan kita di posisi yang Ia Ridhai. Syekh Sya`rawi menempuh jalur yang sama dengan
kebanyakan pemuda Mesir lainnya. Lulus al-Azhar, jadi guru SMA al-Azhar di
berbagai kota. Ada yang menarik di sini. Saya pernah mendengar bahwa yang pernah menjadi salah satu murid SMA-nya
adalah Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Ketika itu, al-Qaradhawi muda juga sangat
unggul di bidang bahasa Arab. Syekh al-Qaradhawi sangat hormat dengan Syekh
Sya`rawi, “Kalau saya bertemu Syekh Sya`rawi, saya cium tangan beliau!”
Syekh Sya`rawi yang ‘hanya’ lulus
s1 al-Azhar ini karirnya dilancarkan oleh Allah. Ia juga pernah menjadi dosen
di Universitas Ummu’l Qura, Mekah. Waktu itu dia diminta mengajar aqidah,
padahal spesialisasinya adalah bahasa Arab. Tapi Syekh Sya`rawi memang
dikaruniai kecerdasan oleh Allah, jadi hal itu tak menjadi masalah besar buat
beliau.Tahun 1963, ada konflik antara Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser dengan
Raja Su`ud, Syekh Sya`rawi dilarang kembali ke Saudi. Sekembalinya dari Saudi,
beliau ditunjuk menjadi direktur kantor Syekh al-Azhar, Syekh Hasan Ma’mun.
Kemudian beliau kembali
berpetualang, kali ini menjadi ketua rombongan delegasi al-Azhar ke Aljazair.
Syekh Sya`rawi diizinkan kembali mengajar di Arab Saudi, kali ini di
Universitas King Abdul Azis.
Ketika Mamduh Salim menjadi
perdana menteri Mesir, Syekh Sya`rawi ditunjuk menjadi Menteri Wakaf dan Urusan
al-Azhar sampai Oktober 1978. Selama menjabat sebagai menteri, di antara
prestasinya adalah menggolkan Bank Islam pertama di Mesir, Bank Faishal.
Syekh Sya`rawi,
Teladan Soal Ihsan
Mesir adalah pusat keilmuan Islam.
Konsekuensinya, akan terjadi banyak kajian sampai kepada perdebatan. Terkadang,
cacian terhadap pihak lain tidak dapat dihindari. Tapi rasanya ini tidak
berlaku bagi Syekh Sya`rawi. Saya pribadi belum pernah menemukan orang Mesir
yang tidak cinta dengan Syekh Sya`rawi, apalagi sampai mencaci beliau! Semua
orang silahkan mencinta, tapi Syekh Sya`rawi tetap pada kerendahan hatinya,
tetap pada ihsan-nya.
Seorang senior pernah bercerita
kepada saya. Waktu itu beliau diminta menjadi penerjemah seorang doktor Mesir
yang berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan di tanah air. Doktor tersebut
menyampaikan sebuah cerita tentang Syekh Sya`rawi yang sangat menyentuh. Senior
saya sampai menitikkan air mata ketika harus menerjemahkan cerita tersebut.
Ceritanya, Syekh Sya`rawi
tergeletak di ranjang karena sakit di akhir hayatnya. Murid-muridnya berkumpul
di sekelilingnya. Menyemangati beliau dan mendoakan kesembuhan bagi beliau.
Tapi apa jawab Syekh Sya`rawi? “Kalian ini bagaimana? Kok malah ngomong begitu?
Kalian ingin ‘kenikmatan’ yang saya dapat ini dicabut?”
Begitulah Syekh Sya`rawi, seorang
manusia Qur’ani. Tidak hanya buku dan ceramahnya yang menginspirasi, namun juga
setiap tutur kata dan perilaku hidupnya. Beliau adalah teladan dalam berihsan,
menyembah Allah seakan kita melihat-Nya. Kalaupun kita tidak melihat-Nya, maka
ketahuilah bahwa Ia melihat kita. Ihsan tak bisa berbohong, karena berhadapan
dengan Yang Maha Tahu. Untuk apa memamerkan amalan di depan manusia, padahal
Allah melihat ke dalam hati terdalam manusia.
Syekh Sya`rawi pulang mengajar diantar supirnya.
“Berhenti sebentar di masjid depan ya.” Supirnya heran,”Ini kan belum masuk
waktu solat?” Ia pun setia menunggu Syekh Sya`rawi yang masuk ke dalam masjid.
Tapi kenapa lama sekali? Ia pun memutuskan ikut masuk ke dalam. Ternyata Syekh
Sya`rawi tidak ada di setiap ruangan masjid. Ia terus mencari, ternyata Syekh
Sya`rawi sedang berada di tempat wudhu, sedang ngosek (membersihkan/menyikat-jw)
bak air! “Lho Syekh! Kenapa kok malah ngosek bak air?” Syekh Sya`rawi menjawab,
“Tadi ketika saya mengajar, terlintas ujub dan berbangga diri di hati. Makanya
saya begini supaya rendah diri dan menghinakannya.”
Mohamed Metwally el-Sharaawy |