“Ini ada hadisnya lho.”
“Amalan semacam itu ada hadisnya
gak?”
“Hadisnya sahih gak?”
Pertanyaan seperti di atas sering
muncul dalam sebuah percakapan di tengah masyarakat ketika membahas soal agama.
Sisi positifnya, hal ini menunjukkan akan kesadaran umat Islam bahwa hadis
adalah sumber tuntunan syariat selain al-Quran. Di sisi lain, apabila
menggunakan kedalaman kajian para ulama pertanyaan seperti di atas sebenarnya
masih mengandung persoalan besar. Bahkan bisa jadi beresiko.
Pertanyaan
semacam itu keluar dari akal yang berpikir bahwa setiap amalan yang berkaitan
dengan agama Islam mesti ditegaskan oleh sebuah hadis sahih. Sekilas
memang pertanyaan dan pernyataan di atas mengandung spirit kembali kepada
al-Quran dan Sunnah. Pun mengandung sebuah ajakan secara tersirat untuk
memperhatikan hadis sahih demi menjaga kemurnian ajaran agama. Hanya dalam
urusan agama, bukan emosi dan semangat semata yang diandalkan. Apalagi Islam
disifati dengan agama ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia akhirat, maka
ilmu kuncinya. Darimanakah kita mendapatkan ilmu?
Rasulullah ShallalLâhu `alaihi
wa Sallama mewasiatkan untuk mengikuti ulama sepeninggal beliau. Mereka
yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan tuntunan al-Quran dan Sunnah
sekaligus mengawal operasionalnya dalam ranah praktis. Mereka yang lahir dari
proses berguru dari ulama dan seterusnya sampai kepada sahabat yang berguru
kepada Rasulullah. Sehingga merujuk kepada metode mereka adalah sebuah
keniscayaan bagi setiap muslim. Apa yang dijadikan ulama sebagai ukuran bahwa
sebuah amalan ada tuntunannya? Bagaimana para ulama memandang hadis sahih?
Melalui poin-poin di bawah ini semoga bisa memberikan gambaran:
1. Dalam kitab-kitab usul fikih, disebutkan bahwa
dalil-dalil syar`i yang disepakati ulama sebagai sumber hukum tidak hanya
al-Quran dan Sunnah. Ada juga ijmak (konsensus para ulama) dan qiyas
(menganalogikan sebuah hukum dari persoalan yang tidak secara tegas disebutkan
hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah kepada persoalan yang disebutkan secara
tegas hukumnya) sehingga genap menjadi empat dalil yang disepakati.
Selain itu ada
dalil-dalil syar`i yang digunakan oleh para ulama seperti `urf (adat),
maslahat, Sadd al-Dzarâ’i` (menutup pintu madharat) dan lain-lain. Meskipun
masing-masing madzhab berbeda dalam keabsahan penggunaan dalil-dalil selain
yang empat di atas.
2. Keberadaan
sebuah teks al-Quran dan Sunnah atau dalil-dalil lain tidak cukup
untuk menjadikan sesuatu dikatakan “dituntunkan oleh syariat”. Selain
keberadaan sebuah teks, ada dua komponen lain yaitu metode penyimpulan
sebuah dalil dan standar kompetensi orang yang berhak menggunakan metode
pengambilan hukum dari dalil.
3. Terhadap hadis shahih sendiri ulama Mesir Imam al-Sakhawi
(902 H) yang merupakan murid dari Ibnu Hajar al-`Asqalani (852 H) menukil
pernyataan dari guru besar ilmu mustolah hadis Abu `Amr Ibnu al-Shalah (643 H).
Pertama,
apabila seorang mujtahid mengamalkan sebuah amalan yang sesuai dengan sebuah
matan hadis, maka tidak serta merta menunjukkan bahwa hadis tersebut pastilah
sahih. Karena bisa jadi dia beramal demikian karena faktor lain,
misalnya berdasar matan hadis dari jalur lain. Bisa juga karena amalan tersebut
sesuai ijmak, berdasarkan qiyas, kehati-hatian, atau karena ia termasuk orang
yang berpendapat bahwa berhujjah dengan hadis dhaif lebih dikedepankan daripada
qiyas.
Kedua,
apabila ada seorang mujtahid mengamalkan sesuatu yang berbeda dengan sebuah
matan hadis maka tidak menunjukkan bahwa hadis tersebut dhaif. Al-Khathib
al-Baghdadi (463 H) mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan ada faktor lain
yang menyebabkan ulama tidak mengamalkan matan hadis tersebut. Misalnya,
hadis tersebut mansukh (digantikan hukumnya dengan hadis atau ayat lain yang
datang belakangan), dikhususkan, atau faktor lainnya.[1]
4. Mengapa ulama membagi hukum hadis menjadi tiga; sahih,
hasan dan dhaif? Padahal bisa saja dicukupkan menjadi dua; sahih yang diartikan
sebagai apa yang benar-benar berasal dari Rasulullah dan dhaif yang diartikan
apa yang tidak benar-benar berasal dari Rasulullah.
Dr. Usamah
al-Azhari, ulama hadis al-Azhar,
mengatakan bahwa studi hadis bukan soal bermain dengan benar atau salah.
Studi hadis adalah soal periwayatan yang didalamnya mendalami karakter rawi
yang juga seorang manusia dengan berbagai kualitasnya. Oleh karenanya,
lahirlah hukum hadis yang tiga.[2]
a) Sahih: hadis
yang bersambung sanadnya dari orang yang `âdil (lurus agamanya) dan
sempurna dhabth-nya (kekuatan hafalan ataupun catatannya) dari awal sanad
sampai akhir. Dengan tidak ada pertentangan dengan hadis lain (syudzûdz)
juga tidak ada kecacatan (`illah). Kita bisa menerima bahwa matan
hadis tersebut berasal dari Rasulullah karena terpenuhinya syarat-syarat tersebut.
b) Dhaif: hadis
yang tidak memenuhi sebagian atau keseluruhan syarat tersebut. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut menjadi faktor tidak dapat digunakannya hadis
tersebut sebagai dalil syar`i.
c) Hasan: hadis
yang kesemua syarat sahihnya terpenuhi, hanya bedanya urusan dhabth
kurang sempurna. Karena demikianlah perbedaan kualitas para manusia perawi.
Hadis hasan dan sahih keduanya tidak masalah untuk dijadikan sumber hukum,
hanya saja ketika ada pertentangan antar keduanya didahulukan hadis sahih.
5. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad, guru besar hadis al-Azhar,
menambahkan bahwa karena salah satu faktor penyimpulan hukum sebuah hadis
adalah para rawi yang berbeda-beda kualitasnya, hadis dhaif sendiri pun bermacam-macam:
ada yang bisa dikuatkan dengan hadis dari jalur lain sehingga bisa diamalkan
terutama hadis tentang motivasi beramal. Biasanya karena rawinya hanya
bermasalah soal dhabth. Ada pula hadis dhaif yang tidak dapat dikatrol
karena rawinya sudah bermasalah kepribadiannya seperti dicurigai berdusta. Ada
pula hadis palsu (maudhû`) yang statusnya bukan hadis, namun meminjam
istilah hadis untuk memudahkan pembahasan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa sebuah amalan bisa dikatakan ‘ada tuntunannya’ setelah
melalui proses: adanya dalil (tidak hanya teks hadis, namun bisa
juga dalil-dalil lain seperti di atas), dipahami dengan metode tertentu
dan prosesnya pun dilakukan oleh ulama yang jelas kompetensinya, bukan
sembarang orang. Urusan hadis sendiri, hukum dari ulama berasal dari ijtihad
para ulama berdasarkan syarat-syarat di atas.
Sehingga pertanyaan pun tidak
terbatas pada, “Apakah ada hadisnya?”. Namun bagaimana kualitasnya? Apakah
hadis itu sudah dikumpulkan dari berbagai jalur? Bagaimana kualitas rawinya?
Bersambung kah sanadnya? Bagaimana metodenya penyimpulan hukumnya? Apa hadis
itu ada yang mengkhususkan atau menggantikan hukumnya? Siapa yang berpendapat
demikian dalam penyimpulan hukumnya?
Tidak mudah bukan? Demikianlah karena memang hal-hal tersebut sebenarnya adalah wilayah garap para ulama. Sebagai umat, cukuplah kita mengikuti tuntunan ulama, percayakan kepada mereka bahwa apa yang mereka ajarkan adalah “tuntutnan agama”. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.
[1] Syamsuddin
al-Sakhawi, Fathu’l Mughîts bi Syarh Alfiyati’l Hadîts,
ed. Abdul Karim al-Kudhair & Muhammad bin Abdullah Alu Fahd, vol. II,
Maktabah Dâru’l Minhâj, Riyadh, Arab Saudi, cet. II, 1432 H, hal. 198
[2] Untuk
lebih memperkaya lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh
Taqrîb al-Nawawi, ed. Mazin al-Sirsawi, Dâr Ibnu’l Jauzi, al-Dammam, Arab
Saudi, cet. I, 1431 H, hal. 132 & Syamsuddin al-Sakhawi, Op. Cit., vol.
I, hal. 29