أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, December 17, 2014

Ini Ada Hadis Shahihnya. Lalu?

“Ini ada hadisnya lho.”
“Amalan semacam itu ada hadisnya gak?”
“Hadisnya sahih gak?”

Pertanyaan seperti di atas sering muncul dalam sebuah percakapan di tengah masyarakat ketika membahas soal agama. Sisi positifnya, hal ini menunjukkan akan kesadaran umat Islam bahwa hadis adalah sumber tuntunan syariat selain al-Quran. Di sisi lain, apabila menggunakan kedalaman kajian para ulama pertanyaan seperti di atas sebenarnya masih mengandung persoalan besar. Bahkan bisa jadi beresiko.

Pertanyaan semacam itu keluar dari akal yang berpikir bahwa setiap amalan yang berkaitan dengan agama Islam mesti ditegaskan oleh sebuah hadis sahih. Sekilas memang pertanyaan dan pernyataan di atas mengandung spirit kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pun mengandung sebuah ajakan secara tersirat untuk memperhatikan hadis sahih demi menjaga kemurnian ajaran agama. Hanya dalam urusan agama, bukan emosi dan semangat semata yang diandalkan. Apalagi Islam disifati dengan agama ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia akhirat, maka ilmu kuncinya. Darimanakah kita mendapatkan ilmu?

Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama mewasiatkan untuk mengikuti ulama sepeninggal beliau. Mereka yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan tuntunan al-Quran dan Sunnah sekaligus mengawal operasionalnya dalam ranah praktis. Mereka yang lahir dari proses berguru dari ulama dan seterusnya sampai kepada sahabat yang berguru kepada Rasulullah. Sehingga merujuk kepada metode mereka adalah sebuah keniscayaan bagi setiap muslim. Apa yang dijadikan ulama sebagai ukuran bahwa sebuah amalan ada tuntunannya? Bagaimana para ulama memandang hadis sahih? Melalui poin-poin di bawah ini semoga bisa memberikan gambaran:

1. Dalam kitab-kitab usul fikih, disebutkan bahwa dalil-dalil syar`i yang disepakati ulama sebagai sumber hukum tidak hanya al-Quran dan Sunnah. Ada juga ijmak (konsensus para ulama) dan qiyas (menganalogikan sebuah hukum dari persoalan yang tidak secara tegas disebutkan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah kepada persoalan yang disebutkan secara tegas hukumnya) sehingga genap menjadi empat dalil yang disepakati.
Selain itu ada dalil-dalil syar`i yang digunakan oleh para ulama seperti `urf (adat), maslahat, Sadd al-Dzarâ’i` (menutup pintu madharat) dan lain-lain. Meskipun masing-masing madzhab berbeda dalam keabsahan penggunaan dalil-dalil selain yang empat di atas.

2. Keberadaan sebuah teks al-Quran dan Sunnah atau dalil-dalil lain tidak cukup untuk menjadikan sesuatu dikatakan “dituntunkan oleh syariat”. Selain keberadaan sebuah teks, ada dua komponen lain yaitu metode penyimpulan sebuah dalil dan standar kompetensi orang yang berhak menggunakan metode pengambilan hukum dari dalil.

3. Terhadap hadis shahih sendiri ulama Mesir Imam al-Sakhawi (902 H) yang merupakan murid dari Ibnu Hajar al-`Asqalani (852 H) menukil pernyataan dari guru besar ilmu mustolah hadis Abu `Amr Ibnu al-Shalah (643 H).

Pertama, apabila seorang mujtahid mengamalkan sebuah amalan yang sesuai dengan sebuah matan hadis, maka tidak serta merta menunjukkan bahwa hadis tersebut pastilah sahih. Karena bisa jadi dia beramal demikian karena faktor lain, misalnya berdasar matan hadis dari jalur lain. Bisa juga karena amalan tersebut sesuai ijmak, berdasarkan qiyas, kehati-hatian, atau karena ia termasuk orang yang berpendapat bahwa berhujjah dengan hadis dhaif lebih dikedepankan daripada qiyas.

Kedua, apabila ada seorang mujtahid mengamalkan sesuatu yang berbeda dengan sebuah matan hadis maka tidak menunjukkan bahwa hadis tersebut dhaif. Al-Khathib al-Baghdadi (463 H) mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan ada faktor lain yang menyebabkan ulama tidak mengamalkan matan hadis tersebut. Misalnya, hadis tersebut mansukh (digantikan hukumnya dengan hadis atau ayat lain yang datang belakangan), dikhususkan, atau faktor lainnya.[1]

4.  Mengapa ulama membagi hukum hadis menjadi tiga; sahih, hasan dan dhaif? Padahal bisa saja dicukupkan menjadi dua; sahih yang diartikan sebagai apa yang benar-benar berasal dari Rasulullah dan dhaif yang diartikan apa yang tidak benar-benar berasal dari Rasulullah.

Dr. Usamah al-Azhari, ulama hadis al-Azhar,  mengatakan bahwa studi hadis bukan soal bermain dengan benar atau salah. Studi hadis adalah soal periwayatan yang didalamnya mendalami karakter rawi yang juga seorang manusia dengan berbagai kualitasnya. Oleh karenanya, lahirlah hukum hadis yang tiga.[2]

a) Sahih: hadis yang bersambung sanadnya dari orang yang `âdil (lurus agamanya) dan sempurna dhabth-nya (kekuatan hafalan ataupun catatannya) dari awal sanad sampai akhir. Dengan tidak ada pertentangan dengan hadis lain (syudzûdz) juga tidak ada kecacatan (`illah). Kita bisa menerima bahwa matan hadis tersebut berasal dari Rasulullah karena terpenuhinya syarat-syarat tersebut.

b) Dhaif: hadis yang tidak memenuhi sebagian atau keseluruhan syarat tersebut. Tidak terpenuhinya syarat tersebut menjadi faktor tidak dapat digunakannya hadis tersebut sebagai dalil syar`i.

c) Hasan: hadis yang kesemua syarat sahihnya terpenuhi, hanya bedanya urusan dhabth kurang sempurna. Karena demikianlah perbedaan kualitas para manusia perawi. Hadis hasan dan sahih keduanya tidak masalah untuk dijadikan sumber hukum, hanya saja ketika ada pertentangan antar keduanya didahulukan hadis sahih.

5. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad, guru besar hadis al-Azhar, menambahkan bahwa karena salah satu faktor penyimpulan hukum sebuah hadis adalah para rawi yang berbeda-beda kualitasnya, hadis dhaif sendiri pun bermacam-macam: ada yang bisa dikuatkan dengan hadis dari jalur lain sehingga bisa diamalkan terutama hadis tentang motivasi beramal. Biasanya karena rawinya hanya bermasalah soal dhabth. Ada pula hadis dhaif yang tidak dapat dikatrol karena rawinya sudah bermasalah kepribadiannya seperti dicurigai berdusta. Ada pula hadis palsu (maudhû`) yang statusnya bukan hadis, namun meminjam istilah hadis untuk memudahkan pembahasan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah amalan bisa dikatakan ‘ada tuntunannya’ setelah melalui proses: adanya dalil (tidak hanya teks hadis, namun bisa juga dalil-dalil lain seperti di atas), dipahami dengan metode tertentu dan prosesnya pun dilakukan oleh ulama yang jelas kompetensinya, bukan sembarang orang. Urusan hadis sendiri, hukum dari ulama berasal dari ijtihad para ulama berdasarkan syarat-syarat di atas.

Sehingga pertanyaan pun tidak terbatas pada, “Apakah ada hadisnya?”. Namun bagaimana kualitasnya? Apakah hadis itu sudah dikumpulkan dari berbagai jalur? Bagaimana kualitas rawinya? Bersambung kah sanadnya? Bagaimana metodenya penyimpulan hukumnya? Apa hadis itu ada yang mengkhususkan atau menggantikan hukumnya? Siapa yang berpendapat demikian dalam penyimpulan hukumnya?

Tidak mudah bukan? Demikianlah karena memang hal-hal tersebut sebenarnya adalah wilayah garap para ulama. Sebagai umat, cukuplah kita mengikuti tuntunan ulama, percayakan kepada mereka bahwa apa yang mereka ajarkan adalah “tuntutnan agama”. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.


[1] Syamsuddin al-Sakhawi, Fathu’l Mughîts bi Syarh Alfiyati’l Hadîts, ed. Abdul Karim al-Kudhair & Muhammad bin Abdullah Alu Fahd, vol. II, Maktabah Dâru’l Minhâj, Riyadh, Arab Saudi, cet. II, 1432 H, hal. 198
[2] Untuk lebih memperkaya lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, ed. Mazin al-Sirsawi, Dâr Ibnu’l Jauzi, al-Dammam, Arab Saudi, cet. I, 1431 H, hal. 132 & Syamsuddin al-Sakhawi, Op. Cit., vol. I, hal. 29

No comments:

Post a Comment