Semakin lama zaman bergulir
semakin banyak muncul karya yang dihasilkan oleh manusia. Hal ini menunjukkan
dijalankannya misi-misi untuk menyokong visi besar memakmurkan bumi yang sudah
menjadi tugas manusia.
Dalam perjalanannya pujian atas
keberhasilan datang silih berganti dengan kritikan bahkan celaan atas
kegagalan. Hal ini menjadi sangat biasa.
Namun ada hal yang nampaknya perlu
direnungi lebih dalam. Ialah sikap ketika menerima pujian dan kritikan/celaan.
Bagaimana sikap positif kita sebagai manusia dan muslim secara khusus?
Apakah muslim menjadi haus pujian
dan anti kritik? Apakah dengan menyandang status muslim secara otomatis menjadi
ma`shûm (terjaga dari kesalahan)? Apakah dengan dicapnya orang kafir
sebagai ahli neraka secara otomatis menjadikan muslim sebagai ‘yang tidak bisa
dan tidak boleh salah’?
Padahal tidak ada satu muslim pun
yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa salah dan lupa. Pun, tidak ada yang
berani berikrar secara lisan bahwa dirinya ma`shûm? Namun bagaimana yang
ada di hati kecilnya?
Mari kita belajar dari para ulama
pewaris nabi dalam hal bagaimana mereka menanggapi kritik.
Tersebutlah Abu Abdullah al-Hakim
(wafat 405 H), seorang ahli hadis dari Naisabur. Beliau termasuk ulama yang
produktif menulis buku diantaranya al-Madkhal ilâ al-Shahîh. Kita bergerak ke barat mengunjungi
Mesir. Ada ulama hadis bernama Abdul Ghani bin Sa`ad al-Azdi al-Mishri (409 H).
Ceritanya, Syekh Abdul Ghani punya
tulisan yang isinya memberikan kritikan dan tanggapan atas apa yang ditulis
oleh Syekh al-Hakim dalam al-Madkhal ilâ al-Shahîh.
Bagaimana tanggapan Syekh al-Hakim ketika mengetahui ada yang mengkritik dan
menanggapi tulisan beliau? Tersinggungkah beliau?
Ternyata tidak! Abdul Ghani
menceritakan sendiri bahwa dengan kritikan dan tnaggapan yang beliau sampaikan,
Syekh al-Hakim malah berterimakasih. Tidak hanya itu, bahkan Syekh al-Hakim
mendiktekan kritikan dan tanggapan Syekh Abdul Ghani kepada muridnya tanpa merasa
malu bahwa kedudukannya sebagai alim akan tergoyahkan dengan kritikan Syekh
Abdul Ghani.
Sebenarnya bisa saja Syekh
al-Hakim menyampaikan kritikan dan tanggapan tersebut tanpa menyebut si empunya
sehingga sakan-akan kritikan dan tanggapan tersebut berasal dari Syekh al-Hakim
sendiri. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, secara terang-terangan Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa
kritikan dan tanggapan tersebut berasal dari Abdul Ghani al-Azdi al-Mishri.
Sportif namanya!
Demikianlah pelajaran yang dapat
diambil dari para ulama. Perkataan dan perbuatan mereka memang bukanlah sumber
hukum dengan sendirinya. Hanya, kita dapat mengetahui bagaimana mengamalkan
Islam secara tepat dengan belajar dari perkataan dan perbuatan ulama.
Semoga Allah menjadikan kita
sebagai umat yang senantiasa legowo mendengar berbagai masukan dan ikhlas
mengikuti mana yang terbaik darinya.
Disarikan dari buku Qîmat al-Zamân `inda’l
Ulamâ’ karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ahli hadis al-Azhar asal
Suriah.
No comments:
Post a Comment