Bubur kacang ijo selanjutnya
disebut burjo saya akui saya menggemarinya cukup berat. Menggemari atas dasar
rasa, bukan semata indera kelima-lima. Bentuk burjo tak cukup indah kalau dilihat.
Perhatikan saja warnyanya yang suram itu. Aromanya? Dia tidak dikenal wangi,
beda dengan nasi gosong. Kalau soal rasa sebenarnya nanggung. Maksudnya, di
satu sisi burjo itu menyegarkan tapi masih kalah segar dengan es teh Indonesia
(saya sebut Indonesia karena ada teh Mesir dalam hidup saya). Ia juga
mengenyangkan, tapi dengan gado-gado yang tidak pakai nasi saja kalah.
Menggunakan indera peraba? Masak mau dimasukkan mulut dipegang-pegang dulu?
Indera apa yang kurang? Pendengaran? Ampun deh...Tapi itulah namanya rasa,
tidak melulu alasannya indera kelima-lima.
Meskipun penggemar burjo, tapi
tidak semua burjo itu layak digemari. Biasanya burjo-burjo liar yang buka
dipinggir jalan. Mereka mengaku dari Jawa Barat, tapi seperti halnya es Bandung
dan martabak Mesir, menurut saya di Jawa Barat tidak seheboh itu. Beda ceritanya
dengan siomay Bandung yang nyata wujud dan enaknya.
Lebih mengecewakan lagi, sebagian
yang menjajakan burjo di pinggir jalan itu kurang dedikasinya. Karena niat
awalnya hanya membuat tempat nongkrong anak muda, atau tempat penyaluran hasrat
makan akhir bulan mahasiswa. Jadilah burjo yang terlalu encer de el el de el
el. Burjo bukan soal uang semata.
Saya masih tinggal di Kairo, orang
Mesir tidak kenal burjo. Jelas tidak masuk makanan rakyat, beda sama batotis
(kentang!). Untuk memenuhi keinginan terhadap burjo, saya hanya bisa pasif,
dibuatkan. Saya tidak bisa bikin burjo saya akui. Dulu pernah mencoba, tapi
pandannya terlalu banyak sehingga rasanya malah mint, bukan kuah burjo.
Adik kelas saya ada yang sering
dan cukup pandai memasak burjo kalau main ke rumah. Dia mahasiswa sejarah, saya
ingin bertanya apakah bangsa Mesir kuno, eropa kuno atau peradaban mana saja
lah yang punya sejarah dengan burjo. Tapi saya masih punya malu bertanya
seperti itu.
Sekali! Burjo pernah mengecewakan
saya. Waktu itu kakak kelas saya merendam kacang hijau yang masih keras
semalam, tapi rendamannya itu tidak dilanjutkan dengan direbus diatas kompor,
rendamannya sampai berhari-hari. Jadilah biji-biji kacang hijau itu
mengeluarkan ekor. Kecambah deh!
Seperempat abad lebih sedikit saya
hidup, saya mencatat ada empat burjo yang berkesan dalam hidup saya. Supaya
lebih dramatis, saya sebutkan tiga dulu dan ternyata ketiganya bukan yang saya
benar-benar rindukan.
1. Burjo Muallimin. Selama enam tahun saya menghabiskan masa
remaja di sana. Pada jam istirahat di sela-sela proses pengkaderan (yidii...) rutin
24/7 ada kakek penjual burjo yang mangkal di madrasah. Burjo ini moderat. Dia
tidak menghegemoni seperti bakwan kawi tapi juga tidak medioker seperti pempek
imitasi yang orang Sumatera asli[1]
mungkin berlepas diri darinya. Kehadirannya adalah penyegar bagi kerongkongan
yang baru saja dimasuki bakwan kawi atau cilok yang membuat seret kalau tidak
dikasih minum. Setelah burjo, kembali ke kelas siap belajar ushul fikih supaya
besok besar tidak cuma bisa taqlid. Apalagi sekedar berteriak “Kembali ke
al-Quran dan Sunnah!” Tapi...ah sudahlah...
Satu hal memang
yang membuat saya respek. Penjualnya adalah kakek tua sabar yang tidak bermental
kompeni (sekali lagi) seperti bakwan kawi atau lebay urusan costumer
service-nya seperti cilok. Bapak itu sabar meskipun gerobaknya pernah ngglimpang
tanpa alasan ketika berjualan.
2. Burjo Nitikan. Nitikan adalah nama sebuah kampung dekat
rumah saya. Setiap Ramadan, pimpinan ranting Muhammadiyah setempat selalu
membuat heboh dengan program berjualan jajanan buka puasa yang dinamai JALUR
GAZA! JAjanan Lauk sayUR Gubuk Ashar Zerba Ada (tepuk tangan untuk kreativitas
bahasa warga Jogja). Penjual burjo yang satu ini sepertinya franchise ala
Madura. Saya perlu bertanya kepada sahabat-sahabat dari Madura apakah benar di
sana ada makanan khas berupa burjo? Karena setahu saya baru muncul beberapa
tahun belakangan, beda dengan sate madura yang cukup melegenda.
Burjo yang satu
ini saya sebut inovatif karena berani out of box. Selain santan, ia berani
mencampurkan sirup, susu kental dan roti sebagai teman kacang hijau dan ketan
hitam. Es nya pun es gosok tidak prongkolan yang kadang membuat
menderita kalau sudah suap terakhir. Segarnya luar biasa. Selepas sore
bersepeda menikmati cahaya senja kota Jogja, sambil basuh keringat menikmati
burjo madura.
Penjualnya adalah
seorang bapak ramah yang nampaknya benar asli Madura.[2] Sudah
beberapa tahun beliau berjualan di Rafah (plakk...karena mangkalnya di
perbatasan ‘Jalur Gaza’ ). Meskipun sepertinya franchise, tapi punya bapak yang
satu ini enaknya beda. Istilahnya sudah Talaqqathu al-Ummatu bi’l Qabûl.
Saya pernah mencoba burjo semacam itu di tempat lain, ternyata rasanya beda
jauh!
3. Burjo lari pagi. Ayah saya rutin lari pagi dan selalu
memotivasi anak-anaknya untuk rajin olahraga. Supaya besok besar tidak
penyakitan. Hampir setiap pulang beliau bawa burjo, kalau tidak ya
bolang-baling. Saya tidak tahu burjo itu beli dimana, tapi rasanya enak sekali.
Kacang hijaunya sudah menjadi bubur sehingga tidak memunculkan gap antara air
dan kacang hijau di mulut yang kadang mengacaukan sensasi. Hanya saja, burjo
itu sepertinya hanya tersedia panas, atau memang hanya dibelikan yang panas.
Sehingga harus ditunggu supaya dingin di lemari es. Ini yang kadang butuh waktu,
kadang terlupakan karena semua orang rumah sibuk beraktifitas.
Bukan salah satu dari ketiganya
yang nomer wahid. Ada satu penjual burjo yang selalu ibu stop setiap siang
ketika saya masih belum sekolah dulu. Ini merupakan bagian dari usaha ibu saya
untuk meningkatkan gizi putra putrinya. Alhamdulillah dua anaknya sudah jadi
sarjana, satu baru masuk kuliah tapi tidak di Indonesia. Sekarang semua sudah tumbuh
besar-besar meskipun besar itu relatif.
Burjo yang satu ini beda. Sampai
sekarang hidung saya masih bisa samar-samar membayangkan aromanya. Rasanya pun
masih terkenang di pertemuan lidah dengan kerongkongan. Penjualnya nampak
berdedikasi, terbukti dari es batu yang sudah benar-benar dihancurkan. Itulah
bedanya, es batu yang bisa disendok dari termos seperti nasi lebih bisa
mengupgrade kualitas sebuah burjo. Jadilah segala kekurangan di awal bersatu
menjadi kenangan.