Dalam perjalanan intelektual
manusia, para ilmuwan/ulama tidak sedikit yang merekam buah pikirannya dalam
berlembar-lembar tulisan. Kumpulan dari lembaran-lembaran itu jadilah buku.
Oleh karenanya, tidak salah ungkapan buku adalah sumber ilmu.
Perpustakaan al-Azhar, Mesir (14 lantai) |
Para ulama memotivasi para pelajar
untuk punya banyak buku. Baik dengan cara beli atau meminjam. Imam Syafi`i (204
H) ketika di Baghdad berguru dengan Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189 H),
ulama besar murid Imam Abu Hanifah (150 H) yang juga hakim agung kepercayaan Khalifah
Harun al-Rasyid. Dalam proses belajar tersebut Imam Syafi`i berinvestasi 60
dinar hanya untuk membeli buku-buku Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Buku-buku
itupun ditelaah sampai tuntas.
Sebelumnya ketika hendak berguru
dengan Imam Malik (179 H) di Madinah, Imam Syafi`i lebih dahulu punya dan hafal
al-Muwaththa’-nya Imam Malik.
Seberapa
Berhargakah Buku bagi Kita?
Di
sela-sela kajian kitab ilmu hadis Fathu’l Mughîts karya Imam
al-Sakhawi (902 H), guru besar ulama hadis al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ma`bad
Abdul Karim menceritakan perihal Ibnu al-Mulaqqin (804 H).
“Beliau ini punya perpustakaan besar di Sayyidah Zainab[1] itu
lho. Kalau sekarang ya sudah nggak ada, adanya penjual kentang, sayur...(Grrrrr... hadirin tertawa). Didalamnya banyak
buku-buku langka yang mungkin belum pernah dilihat oleh insun wa laa jinnun/manusia
maupun jin (Grrrr....). Ternyata perpustakaan itu kemudian terbakar.
Ibnu al-Mulaqqin sedih bukan main sampai pikun kemudian meninggal. Lihat, itu
yang menyebabkan beliau galau sampai meninggal!”
“Beda dengan kita, tetap tenang yang penting dapur masih mengepul, masih
ada sandwich, masih ada ini itu...”(Grrr......)
Kalau
ditanya apa yang bisa dibanggakan dari peradaban Islam di masa jayanya? Rasanya
tidak ada jawaban yang lebih tepat dibanding bangunan keilmuan. Kalau disebut
barngunan-bangunan bersejarah, memang bernilai tinggi, tapi bangunan di zaman
ini rasanya jauh lebih indah dan nyaman untuk ditinggali. Belum lagi, bangunan itu
tidak awet, beda dengan pemikiran yang sangat biasa untuk selalu diwariskan dan
dikembangkan.
Imam
al-Thabari (310 H) punya semacam lembaga riset yang anggotanya adalah
murid-murid beliau sendiri. Merekalah yang menuliskan hasil-hasil ijtihad Imam
al-Thabari. “Apa kalian semangat kalau kita menulis sejarah dari zaman Nabi
Adam sampai zaman kita?”, tanya Imam al-Thabari. “Berapa lembar?” “Ya sekitar
30.000-an”, jawab sang imam. “Wah umur kita habis sebelum kitabnya
selesai!”, komentar murid-murid beliau. “Innâ lilLâh, yang namanya tekad
sudah mati”, begitu komentar Imam al-Thabari. Akhirnya buku sejarah itu tetap
ditulis walau hanya sekitar 3000 lembar. Di zaman sekarang, buku itu dicetak
kembali oleh salah satu penerbit Mesir Dâru’l Ma`ârif menjadi 11 jilid.
Pertanyaan
yang sama ditanyakan oleh Imam al-Thabari ketika beliau tawarkan untuk mendikte
sebuah kitab tafsir. Jawaban yang sama keluar dari murid-murid beliau.[2]
Kitab tafsir Jâmi`u’l Bayân `an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân yang dianggap
sebagai kitab tafsir al-Quran lengkap pertama yang sampai kepada kita ini, diteliti
oleh Syekh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan dicetak menjadi 26 jilid
termasuk 2 jilid daftar isi.
Setiap
tahun, pemerintah Mesir rutin mengadakan pameran buku. Konon, ini adalah yang
terbesar kedua di dunia dari segi negara peserta dan terbesar di dunia dari
segi jumlah buku. Hal yang paling membanggakan, ternyata buku-buku yang ada di
sana, terbanyak adalah kitab-kitab karya ulama dari zaman dahulu sampai yang
terbaru. Momen ini banyak dimanfaatkan oleh para pelajar sampai para ulama
untuk melengkapi perpustakaan pribadinya.
Demikianlah,
umat Islam adalah umat yang suka membaca. Siapapun kita jadilah yang suka
membaca. Di Mesir, kami pernah menjumpai seorang polisi lalu lintas muda
berseragam hitam masuk ke toko buku untuk beli kitab tafsir!
Program Membaca Buku
Mâ Ana bi Qâri’? Apa yang harus saya baca?
Idealnya
seorang muslim meneruskan tradisi keilmuan membaca dengan mengusahakan perpustakaan
di rumahnya. Selain buku yang terkait dengan hal yang digeluti, sebagai seorang
muslim minimal ada empat tema buku di rumahnya: aqidah, fikih, akhlaq dan
sejarah.
Membeli
buku nampaknya tidak sulit. Membiasakan membaca buku itulah yang sulit kalau
tidak dipaksa. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad pernah memberikan tips kepada para
mahasiswa terkait membaca buku. “Setiap hari sebelum tidur, baca 10 halaman!
Nanti setiap bulan bisa khatam satu jilid buku!”. Beliau sendiri pernah
menghabiskan waktu dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam hanya untuk membaca
judul-judul manuskrip di perpustakaan nasional Mesir! Kata Syekh Salman Audah
dari Arab Saudi yang pernah menjadi muridnya, Syekh Ahmad Ma`bad ini kalau
urusan baca buku di perpustakaan, beliau mulai sejak jam buka sampai pulang
bersama penjaga perpustakaan ketika ditutup malam harinya!
Konsisten
dalam program membaca adalah kuncinya. Seorang ulama hadis Mesir, Prof. Dr.
Rif`at Fauzi Abdul Muthalib yang pernah meneliti kitab al-Umm karya Imam al-Syafi`i
setiap pagi menyediakan waktu sekitar 10 menit (!) hanya untuk membaca
kitab-kitab hadis. Dari keberkahan konsistensi inilah beliau mengkhatamkan
banyak kitab hadis yang bermanfaat untuk pengembangan keilmuan beliau.
Ternyata sifat
rajin baca buku tidak pilih keyakinan. Ia hanya mau hinggap di hati siapa saja
yang memeliharanya meskipun bukan muslim. Gautier H. A. Juynboll, seorang
orientalis yang fokus di bidang hadis ternyata bukan orang yang asal bicara
ketika melontarkan banyak pemikiran seputar sanad. Setiap hari beliau
menghabiskan waktu dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam hanya untuk membaca kitab
hadis! Bagaimana dengan kita yang sudah mengikrarkan diri sebagai pembela
Islam?!
Selektif
Memilih Naskah Buku
Logikanya, ketika buku adalah
sumber ilmu, kalau bukunya salah/tidak valid, maka jangan harap ilmunya valid.
Sebelum teori/kaidah apapun dipelajari, maka terlebih dahulu mengecek validitas
teks teori/kaidah tersebut.
Dulu, sebelum ditemukan mesin
cetak, seorang pelajar yang ingin punya buku tertentu belanja setumpuk kertas
untuk disetorkan kepada nussâkh (penyalin) yang diminta menyalin buku.
Bayangkan saja misalnya butuh Fathu’l Bâri (syarah/penjelasan
Shahih al-Bukhari) karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Cetakan zaman sekarang saja
ada 14 jilid tebal-tebal. Bagaiaman kalau minta buku biografi tokoh Siyaru’l
A`lâm al-Nubalâ’ karya Imam al-Dzahabi yang tebalnya 30 jilid?
Dari salin menyalin itulah muncul
perbedaan naskah manuskrip sebuah buku. Dari sinilah muncul ilmu filologi
(tahkik). Untuk memunculkan dan mencetak ulang kitab turâts di zaman
ini, tidak hanya sekedar menulis ulang manuskrip tersebut. Ada beberapa hal
yang harus dilakukan:
1. Mengumpulkan berbagai manuskrip buku baik yang ditulis
langsung oleh penulisnya atau ditulis oleh murid-muridnya.
2. Memilih satu naskah (biasanya yang tertua atau terlengkap
karena terkadang sebagian halaman hilang atau rusak) sebagai acuan kemudian dicari
perbedaan dengan naskah lainnya. Foto/scan sampel manuskrip akan ditampilkan.
3. Teknis penulisannya, di catatan kaki akan ditulis,
misalnya: dalam naskah (A/sebelumnya dijelaskan nama perpustakaan), kata yang
tertulis adalah bla bla bla.
4. Seorang peneliti biasanya juga mencantumkan penjelasan
dari segala hal yang terdapat dalam naskah tersebut, misalnya ketika penulisnya
mencantumkan pendapat ulama, peneliti akan melampirkan biografi singkat dan
merujuk ke buku asli ulama tersebut untuk memastikan keakuratan nukilan dari
penulisnya.
Setelah mengetahui hal-hal di atas
mari kita merenungi proses yang telah kita lakukan untuk mengambil ilmu atau
pengetahuan apapun. Apakah kita selama ini hanya mencukupkan nukilan-nukilan
liar dari dunia maya?
Rumus dari Para
Ulama
Soal akurasi informasi atau
pengetahuan, ada sebuah kata-kata yang cukup terkenal di kalangan para ulama.
إنْ كُنْتَ نَاقِلًا فَالصِّحَّةُ أَوْ مُدَّعِيًا
فَالدَّلِيْلُ
Artinya: “Kalau engkau menukil, akuratkan! Kalau
engkau mengklaim sesuatu, argumentatiflah!”
|Tulisan ini saya persembahkan untuk ayah dan ibu saya yang telah meletakkan dasar perpustakaan dan lembaga riset "Al-Azhar" di Indonesia nanti, semoga Allah mewujudkan...|
Siyar A`lam al-Nubala` karya Imam al-Dzahabi | Hadiah dari ayah ibu 1425 pound Mesir |
No comments:
Post a Comment