أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Sunday, June 21, 2015

Pemuda Melawan Chaos

Ini sekedar berandai-andai ya...

Coba tutup mata dan bayangkan satu nama. Nama sebuah kota besar di negara muslim di dunia sekarang ini. Saya sampaikan pertanyaan silahkan anda renungkan, “Apa yang akan anda lakukan ketika kota tersebut digempur habis-habisan oleh tentara Amerika?” Na`ûdzu bilLâh min Dzâlik...

Tulisan kali ini mengajak para pembaca sekalian untuk merefleksi diri. Meskipun judulnya pemuda dan anda di atas 40 tahun tidak mengapa. Siapa tahu ini bisa bermanfaat untuk pemuda yang menjadi tanggungjawab anda. Kalau anda belum ‘pemuda’, tak apalah. Toh sesuai dengan kelaziman, tak lama lagi anda akan menjadi pemuda.

Renungan kali ini dibantu oleh seseorang yang menginspirasi. Imam al-Nawawi (631 H - 676 H), Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, seorang ulama asal Syiria. Kita pasti kenal dengan beliau melalui karya-karyanya. Kita yang berada jauh dari Syiria, buku-buku beliau seperti hadis arba`in dan Riyâdh al-Shâlihîn pasti tersimpan di rak satu dari beberapa rumah warga muslim di seluruh dunia.

Ketika Imam al-Nawawi berusia 25 tahun, (656 H) sebenarnya ada kejadian horor, runtuhnya Baghdad, gara-gara digempur oleh cucu-cucu Genghis Khan dari Mongolia. Lebih horor lagi, dua tahun sebelumnya (654 H) muncul api di dataran Hijaz. Api yang menerangi punuk-punuk unta di Bashrah (Irak) inilah yang disebut sebagai salah satu tanda kiamat. Demikian yang diceritakan Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah.[1] Jadilah umat muslim apalagi yang berada di TKP (Baghdad) berfikir bahwa inilah kiamat akhir zaman.

Ilustrasi Penyerangan Baghdad
Imam al-Nawawi kala itu masih jadi mahasiswa di Syiria. Sebentar, kita kembali ke renungan awal tadi. Apa yang bakal kita lakukan kalau anda ada di situ? Panik? Atau malah gabung ke Baghdad ikut mengusir cucu-cucu Genghis Khan?

Kalau Imam al-Nawawi, tidak keduanya. Kalau dianggap kiamat, Imam al-Nawawi mungkin sadar betul kalau matahari belum terbit dari barat. Kalau ingin ikut gabung ke Baghdad mengusir Mongol? Pilihan yang ini mungkin dijalani, tapi ternyata Imam al-Nawawi tidak demikian. Ia tetap fokus pada perannya ketika itu. Menjadi pelajar di Syiria. Dalam sebuah riwayat, saking rajinnya Imam al-Nawawi, setiap hari beliau rutin ikut 12 mata kuliah. Kalau waktu itu sistemnya adalah talaqqi, rata-rata talaqqi berlangsung selama 2 jam. Okey, ambil saja satu setengah jam. Berarti, ada berapa jam yang Imam al-Nawawi gunakan untuk kuliah?

Ketika menganalisa cerita ini, Syekh al-Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi yang sampai sekarang mengajar saya fikih madzhab Syafi`i mengatakan, “Lihatlah betapa efektif dan efisien waktunya, Ada keberkahan waktu, tempat dan juga otaknya. Kalau kita, setiap habis pelajaran masih butuh untuk mengulang-ulang supaya tidak lupa. Mungkin beda dengan Imam al-Nawawi”.

Singkat kata, sikap Imam al-Nawawi adalah positif. Beliau sadar betul akan perannya sebagai pelajar. Beliau tetap bersikap profesional sebagai mahasiswa. Hasilnya?

1.      Beliau akhirnya diangkat menjadi rektor Universitas/Dâru’l Hadîts al-Asyrafiyyah di Syiria. Imam al-Nawawi dikenal sebagai manusia langka karena menggabungkan kepakaran dalam hal fikih sekaligus hadis. Di antara karya beliau adalah Syarah Shahih Muslim yang terkenal. Dalam bidang metodologi ilmu hadis, ada kitab al-Irsyâd yang merupakan ringkasan dari Muqaddimah Ibnu al-Shalah (643 H), guru Imam al-Nawawi sendiri. Kitab Muqaddimah inilah buku pokok metodologi ilmu hadis. Kitab al-Irsyâd diringkas lagi menjadi al-Taqrîb yang nantinya akan diberi syarah oleh Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Kitab itu dinamai Tadrîb al-Râwi yang telah diajarkan sampai khatam oleh dua ulama al-Azhar sekaligus selama beberapa tahun, Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim dan Prof. Dr. Muhammad Mushthafa Abu Imarah.

2.      Imam al-Nawawi produktif menulis buku. Meskipun umurnya pendek (45 tahun), namun Imam al-Nawawi memiliki banyak karya.

3.      Dalam ilmu fikih, beliau berjasa besar terhadap madzhab yang beliau anut, Syafi`iyyah. Setelah Imam al-Syafi`i wafat (204 H), murid-muridnya mengembangkan ilmu yang mereka dapat dari Sang Imam dan ini berlangsung selama berabad-abad. Akhirnya banyak pendapat yang dianggap sebagai pendapat madzhab Syafi`i meskipun belum tentu berasal dari metodologi Syafi`iyah.

Imam al-Nawawi kemudian menyeleksi pendapat-pendapat tersebut di seluruh kitab karya ulama Syafi`iyyah, mana yang benar-benar menjadi representasi madzhab Syafi`i. Kriterianya adalah, pendapat tersebut sesuai dengan metode madzhab. Hasil penelitian beliau dituangkan dalam dua kitab. Pertama, Kitab Raudhat al-Thâlibîn yang merupakan ringkasan dari kitab (Fath) al-`Azîz karya Imam al-Rafi`i. Kedua, kitab Minhâj al-Thâlibîn wa `Umdatu’l Muftîn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar karya al-Rafi`i.[2]

Proyek Imam al-Nawawi ini sebenarnya menyempurnakan apa yang telah dilakukan oleh al-Rafi`i. Melalui proyek kedua imam ini, segala pendapat yang muncul dari ulama sebelum al-Rafi`i dan al-Nawawi, tidak dapat dikatakan sebagai representasi madzhab Syafi`i kecuali setelah diseleksi oleh keduanya. Dengan kata lain, pendapat-pendapat madzhab Syafi`i dapat diketahui melalui kitab-kitab karya al-Rafi`i dan al-Nawawi.[3]

4.      Kitab hadis arba`in termasuk karya Imam al-Nawawi yang terpenting. Beliau mengumpulkan 40 hadis yang sedikit lafaz kaya makna dan berisi tentang pokok-pokok ajaran agama Islam mulai dari akidah, syariah maupun akhlaq. Semua muslim nampaknya sulit untuk melewatkan kitab ini ketika ingin mengetahui ajaran agamanya. Kitab inilah yang dikaji oleh banyak pejuang Islam di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan Riyâdh al-Shâlihîn, yang dimiliki oleh keluarga-keluarga muslim di seluruh dunia. Betapa harumnya ilmu Imam al-Nawawi.

Keteguhan Imam al-Nawawi berbuah lebat dan manis. Beliau termasuk ulama yang dikenal oleh umat Islam manapun. Waktu itu, beliau sadar betul bahwa Allah menempatkan beliau sebagai seorang pelajar. Maka beliau terima dan bersikap profesional. Tidak sebaliknya, meninggalkan tugas atau malah panik.

Sikap inilah yang seYOGYAnya kita miliki bersama apalagi di zaman fitnah saat ini. Menimjam judul buku Abu al-Hasan al-Nadawi, “Kemunduran dunia karena kemunduran Islam”, maka profesionalisme, kualitas dan dedikasi dalam peran yang seorang muslim jalani saat ini di dunia adalah tuntutan zaman. Karena membangun peradaban tidak hanya membutuhkan prajurit. Ada ahli fikih, hadis, tafsir, bahasa, ekonom, teknokrat, filosof, enterpreneur, astronom, desainer dan profesional lainnya yang dibutuhkan.

Oh ya, apa kabar Mongol? Singkat cerita beberapa tahun setelah menggempur Baghdad, keturunan mereka malah masuk Islam! Hal ini disebabkan karena mereka melihat profesionalisme, kualitas dan dedikasi yang ada dalam diri setiap muslim. Hal ini mereka simpulkan setelah menjadikan beberapa orang muslim sebagai penasehat kerajaan dan melihat kualitas mereka.

Sebagai saksi bisu masuknya orang Mongol ke agama Islam adalah Taj Mahal karya Shah Jehan, salah seorang raja dari kerajaan Mughal (dalam bahasa Arab Mongol disebut Mughal).


Uniknya makam Imam al-Nawawi: dari posisi jantungnya tumbuh pohon besar


Makam di Syiria itu dihancurkan oleh orang tidak beradab


Kajian dan perbedaan pendapat tentang makam memang ada, tapi apakah seperti ini terpuji?
Coba kalau tempat peristirahatan sanak familinya yang dihancurkan, tersinggungkah?


[1] Ibnu Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, ed. Abdullah al-Turki, vol. XVII, Dâr Hajr, Giza, Mesir, cet. I, 1419 H/1998 M, hal. 328
[2] Akram Yusuf al-Qawasimi, al-Madkhal ilâ Madzhabi’l Imâm  al-Syâfi`i, Dâr al-Nafâ’is, Amman, Yordania, cet. II, 1434 H/2013 M, hal. 355.
[3] Ahmad bin `Alawi bin Abdurrahman al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 120

No comments:

Post a Comment