أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Sunday, June 21, 2015

Perangkat Ilmu (4) al-Mudâwamah wa al-Ilhâh (Selesai)


Ada beberapa sebutan yang tidak asing dalam dunia keilmuan Islam namun belum tentu maknanya diserap dengan baik oleh umat.

1.      Ulama (العلماء): sekilas orang akan mengira bahwa kata tersebut adalah bentuk plural atau jamak dari kata (العالم). Padahal bukan, ia adalah jamak dari (العليم). Sedangkan (العالم) jamaknya adalah (العالمون). Bedanya, yang pertama hanyalah ism fa`il dari kata `alima yang artinya mengetahui sehingga ia berarti orang yang mengetahui. Sedangkan yang kedua adalah sîghah mubâlaghah. Singkat cerita, ia merupakan sifat bagi orang yang ilmu sudah menyatu dalam darah dagingnya.

2.      Al-`Allâmah: Syekh Fauzi al-Kunati, guru tempat kami penulis bertalaqqi nahwu-sharaf, pernah menyampaikan bahwa kata tersebut hanya untuk menyebut mereka yang menguasai ilmu manqul (ilmu riwayat seperti  hadis dll) dan ma`qûl (ilmu logika)

Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim, di sela-sela mengajar kitab ilmu hadis, Tadrîb al-Râwi karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H), pernah memberikan komentar yang sangat menarik mengenai pelajar-pelajar instan. “Dahulu, orang belajar selama dua tahun untuk berbicara dua jam. Sekarang sebaliknya, orang baru belajar dua jam sudah ingin berbicara selama dua abad”.

Ilmu tidak mungkin menyatu dalam darah dan daging seseorang kecuali ia menempuh apa yang telah ditempuh oleh para ulama selama berabad-abad.

Usaha Keras

Benar, sahabat muda Abdullah bin Abbas didoakan oleh Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama supaya Allah jadikan sebagai fakih dan diajarkan ilmu tafsir. Akan tetapi, doa tersebut salah satu jalan terkabulnya doa itu adalah ketekunan Ibnu Abbas untuk mengumpulkan riwayat-riwayat para sahabat yang tersebar. Salah seorang sahabat Anshar yang baru bangun tidur siang kaget ketika membuka pintu rumahnya, didapati seorang pemuda yang pakaiannya sudah kotor terkena debu padang pasir. Lebih kaget lagi, ternyata pemuda itu adalah Ibnu Abbas. “Kenapa tidak panggil saja? Nanti saya datang kepada anda wahai sepupu Rasulullah!” Namun bagi Ibnu Abbas, dirinyalah yang lebih pantas untuk mendatangi karena dahaga akan hadis Rasulullah yang ada pada sahabat Anshar tersebut. Beberapa waktu kemudian sahabat Anshar tersebut mendapati dirinya berada di tengah-tengah halaqah ilmu Ibnu Abbas.[1]

Ulama generasi setelahnya juga tidak jauh beda. Ulama hadis Ibnu Abi Hatim (327 H) menceritakan perjuangan ayahnya Muhammad bin Idris bin al-Mundzir Abu Hatim al-Razi (277 H). Makkah, Madinah, Bahrain, Mesir, Ramallah, Baitul Maqdis, Asqalan, Thabariyyah, Damaskus, Homs, Antokiya, Tharsus dan masih banyak lagi kota yang disinggahi Abu Hatim al-Razi selama bertahun-tahun. Termasuk ceritanya terkatung-katung di laut dan padang pasir. Allah berikan kehidupan kepada beliau yang tidak Allah berikan kepada teman seperjalanannya.[2]

Mungkin ada yang menganggap bahwa mati-matian menuntut ilmu adalah legenda orang dulu. Padahal di abad ini ada seorang pemuda Syiria yang nekat masuk Mesir, tertangkap dan tertahan di penjara perbatasan kemudian dibebaskan, mati-matian menego panita penerimaan mahasiswa supaya bisa mendaftar, hidup dari sisa-sisa roti di Masjid al-Azhar dan menyalin semua buku pelajaran karena kehabisan uang. Jelaslah, karena ayahnya tidak setuju dia pergi ke al-Azhar, ia juga sudah diterima sekolah teknik di Jerman. Tapi ia tetap kabur ke Mesir berbekal tekad kuat dan inspirasi dari ulama-ulama al-Azhar yang datang ke kampungnya di Syiria. Singkat cerita beliau menjadi doktor di bidang syariah, ayahnya akhirnya ridha kepadanya. Saat ini beliau adalah satu ulama syariah terbaik di tanah Syam. Beliau adalah Syekh Muhammad Hasan Haito yang masih hidup sampai tulisan ini dikerjakan.

Sistem Pembelajaran ala Ulama

Selain belajar keras dan ikhlas, salah satu kesuksesan belajar juga ditentukan dengan belajar cerdas. Maksudnya, sistem belajar yang rapi, bukan asal baca buku. Dalam istilah pendidikan masa kini, hal tersebut dikenal dengan nama kurikulum.

Keilmuan Islam sudah berabad-abad memiliki kurikulum pembelajarannya. Dalam ilmu nahwu misalnya, kitab untuk pemula yang paling terkenal adalah matan al-Âjurrûmiyyah karya Ibnu Ajurrum berikut penjelasannya al-Tuhfah al-Saniyyah karya Syekh Muhyiddin Abdul Hamid, seorang ulama al-Azhar. Ada pula kitab dasar ilmu nahwu Qathr al-Nada dan syarahnya karya Ibnu Hisyam al-Anshari, ulama nahwu asal Mesir. Pelajar yang menamatkan dan menguasai Qathr al-Nada, bisa melangkah ke Syudzûr al-Dzahab beserta syarahnya karya ulama yang sama. Selanjutnya, ia bisa masuk ke bait-bait syair Alfiyyah karya Ibnu Malik, dilanjutkan dengan berbagai syarahnya. Puncaknya adalah Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyam. Setelah menguasai kitab-kitab tersebut, ia bisa melatih penerapan kaidah nahwu dengan membaca Mughni al-Labîb atau syarah-syarah kasidah Arab seperti syarah kasidah Bânat Su`âd, lagi-lagi karya Ibnu Hisyam. Setelah itu, ia bisa menyamuderakan ilmunya sampai kepada al-Kitâb-nya Imam Sibawaih.[3]

Dalam ilmu fikih, karena meresapi syiar ‘kembali ke al-Quran dan Sunnah’, seorang pelajar jadi lebih cenderung untuk langsung mempelajari kitab-kitab hadis hukum atau Fiqh Sunnah. Melihat keragaman madzhab, hasratnya pun menggebu untuk langsung mempelajari fikih perbandingan.

Padahal belajar fikih pun ada prosesnya. Sejak berabad-abad umat Islam dijaga pemahamannya terhadap syariat Islam oleh para ulama madzhab. Merekalah yang memberikan pelayanan yang tiada terkira kepada umat Islam untuk memahami syariatnya. Kesimpulannya, mempelajari fikih diawali dengan mempelajari satu fikih madzhab sampai betul-betul menguasai. Maksudnya menguasai bukan sekedar menguasai materinya, melainkan juga memahami bagaimana produk hukum fikih tersebut keluar dari metode madzhab tersebut. Setelah itu barulah ia menoleh kepada literatur fikih madzhab lain. Sedangkan fikih dalil, fikih sunnah dan sebagainya, sebenarnya adalah bacaan mereka yang sudah mencapai derajat ijtihad.

Metode matan->syarah (penjelasan)->hâsyiyah (catatan pinggir) adalah metode yang sudah terbukti melahirkan para ulama. Metode semacam ini membentuk bangunan keilmuan di otak. Dimulai dengan membangun fondasi dengan mempelajari kitab-kitab matan yang pendek-pendek. Setelah menamatkannya, seorang pelajar memperoleh gambaran tentang apa saja pembahasan yang terdapat dalam sebuah disiplin ilmu. Setelah gambaran tersebut utuh dalam otaknya, ia mulai merambah ke kitab-kitab syarah untuk memperluas dan memperkaya pemahaman. Dalam fase ini, ia seperti meninggikan bangunan. Buku-buku hasyiyah (catatan pinggir), biasanya berisi tentang kajian mendalam terhadap permasalahan-permasalahan dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya, ia dibaca oleh mereka yang sudah memiliki bangunan keilmuan tersebut dalam otaknya.

Sedangkan metode belajar dengan caplok sana-sini dari berbagai buku sebenarnya tidak efektif. Di zaman sekarang, meskipun pengajaran sudah menggunakan sistem perkuliahan, sistem talaqqi yang kontennya adalah hal-hal di atas masih digandrungi. Bahkan para dosen sering memotivasi untuk tidak mencukupkan dengan materi perkuliahan. Jadilah muncul istilah “al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan”, al-Azhar itu ya masjidnya (maksudnya adalah talaqqi-talaqqi yang diselenggarakan di masjid maupun tempat-tempat di sekitar al-Azhar), ya kampusnya...

Sehingga, seseorang yang ingin menpersembahkan hidupnya untuk mendalami ilmu di al-Azhar, tidak cukup hanya menempuh perkuliahan bahkan sampai meraih gelar tertinggi sekalipun. al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan...

Bagaimana Tekunnya Ulama?

Imam Syafi`i menulis ‘al-Risâlah’ yang berisi rumus-rumus untuk memahami al-Quran dan hadis. Sudah menjadi keniscayaan murid-muridnya begitu bersemangat untuk mengkajinya. Salah seorang murid senior Imam Syafi`i, Ismail al-Muzanni selama 50 tahun tidak pernah lepas dari mengkaji al-Risalah. Beliau mengatakan, “Setiap kali saya mempelajarinya, selalu ada faidah baru yang belum muncul dalam bacaan sebelumnya”. Dalam riwayat lain, al-Muzanni membaca al-Risalah sampai 80 kali. Tidak heran, murid yang tekun seperti ini dipuji oleh Imam Syafi`i, “Umpamanya dia berdebat dengan setan, pasti setannya yang kalah”.[4]

Saking tekunnya ulama dalam mengkaji sebuah buku, sampai-sampai ada beberapa ulama yang digelari dengan nama buku tersebut. Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin Sulaiman (879 H) digelari dengan al-Kafiyaji karena seringnya menelaah kitab nahwu al-Kâfiyah (Kâfiyat Dzawi’l Arib fî Ma`rifat Kalâmi’l `Arab) karya Ibnu al-Hajib (646 H). Ada juga yang digelari dengan al-Minhaji karena menggeluti kitab fikih Minhâj al-Thâlibîn-nya Imam al-Nawawi.

Ulama zaman sekarang juga memelihara ketekunannya dalam ilmu. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim sudah meneliti tuntas setiap perawi hadis yang ada di dalam kitab al-Jarh wa al-Ta`dîl-nya Ibnu Abi Hatim yang tebalnya 11 jilid itu. Begitu juga dengan yang terdapat dalam Tahdzîb al-Tahdzîb-nya Ibnu Hajar al-Asqalani yang tebalnya 15 jilid.[5] Ini diceritakan oleh murid beliau, Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari dalam buku biografi ulama Mesir, Asânîdu’l Mishriyyîn. Dr. Usamah sendiri sedang menggarap sebuah megaproyek Jamharat `Ulamâ al-Azhar, membiografikan semua ulama al-Azhar dari berbagai belahan dunia dari masa ke masa.

Siapa yang tidak kenal dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi? Hampir semua persoalan keumatan beliau tawarkan solusinya di buku-buku tulisannya. Dalam autobiografinya, Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb, beliau menceritakan bahwa beliau memanfaatkan waktu dengan baik. Bahkan di dalam pesawat pun tetap menulis. Beliau juga selalu berdoa supaya waktunya diberkahi.

Para santri al-Azhar harus berjuang keras untuk mengikuti ketekunan gurunya dalam hal mengajar. Prof. Dr. Ridha Zakaria, guru besar hadis al-Azhar, setiap Sabtu mulai dari pukul 8.30 sampai 17.30 petang membacakan Shahih Bukhari. Akhirnya Allah mengizinkan untuk mengkhatamkannya dalam 25 majelis.

Syekh Sayyid Syaltut, ulama dewan fatwa Mesir, dalam waktu setahun mengkhatamkan pelajaran kitab syarah al-Waraqat-nya Imam al-Haramain yang bernama Ghâyatu’l Ma`mûl karya Imam al-Ramli. Ketika beliau melapor kepada gurunya, Syekh Ali Jum`ah, beliau diminta untuk mengulang lagi. Jadilah tahun ini (2015) adalah pembacaan kelima!

Itulah ilmu, seperti kata Abu Bakar al-Nazham, kita tidak akan mendapat sebagian ilmu kecuali kita serahkan seluruh jiwa raga kita untuknya. Salah satu alatnya adalah al-Mudâwamah (kontinyu) dan al-Ilhâh (diulang-ulang). WalLâhu a`lam bi al-Shawâb....




[1] Ibnu Hajar al-`Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah,ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, vol. VI, Dâr Hajr, Kairo, Mesir, cet. I, 1428 H/2008 M, hal. 235
[2] Simak kisah perjuangan tersebut dalam: Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta`dîl, ed. Da’iratu’l Ma`ârif al-Hindiyyah, vol. I, Dâru’l Kitâb al-Islâmi, Kairo, Mesir, t.t., hal. 349
[3] Faidah ini penulis dapat ketika talaqqi dengan Syekh Fauzi al-Kunati, ulama muda dari Pantai Gading.
[4] Tajuddin al-Subki, Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra, ed. Abdul Fattah Muhammad al-Hilwa & Mahmud al-Thanahi , vol. II, Dâr Hajar, Giza, Mesir, cet. II, 1413 H/1992 M, hal. 99
[5] Usamah al-Sayyid al-Azhari, Asânidu’l Mishriyyîn, Dâru’l Faqîh, 1435 H/2014 M, hal. 305

No comments:

Post a Comment