Manusia sekaliber Ahmad bin Hanbal
(241 H) saja pernah memujinya sebagai matahari yang mencerahkan dunia. Pasti
dia bukan orang sembarangan. Jelas, ialah manusia pertama yang merumuskan
bagaimana memahami al-Quran dan hadis nabi. Beberapa kalangan sampai menyebutnya
Sang Pembaharu yang hanya lahir 100 tahun sekali. Ia adalah Muhammad bin Idris
atau yang populer dengan panggilan Imam al-Syafi`i (204 H).
Imam al-Syafi`i bukanlah malaikat,
ia manusia biasa yang pernah bayi, remaja, tua dan akhirnya meninggal. Tapi
melihat pencapaian yang ia raih, menarik rasanya untuk mencari tahu bagaimana
ia mencapainya. Mencari tahu ini masih realistis selama masih percaya akan
pilihan Tuhan akan Sang Pembaharu per satu abad. Masih realistis karena sisi ‘manusia’
yang tidak mungkin lepas dari Imam al-Syafi`i. Sehingga jalan yang sama bisa
kita lalui, meskipun level yang sama menjadi mission impossible untuk digapai.
Salah satu sisi yang menarik untuk
diketahui adalah masa-masa kursus bahasa Arab di Bani Hudzail, salah satu suku di Arab. Pada masa ini,
Imam al-Syafi`i menghafalkan semua syair Bani Hudzail. Menghafal bukan perkara
yang sulit buat Imam al-Syafi`i, ia dianugerahi kemampuan menghafal semua yang
ia dengar dan lihat. Bekal kursus inilah yang membentuk kemampuan berbahasa
Imam al-Syafi`i yang nantinya menjadi bekal ketika ia hendak mengambil
mutiara-mutiara hukum dari al-Quran dan hadis. Karena al-Quran diturunkan
dengan bahasa Arab, hadis pun dituturkan oleh orang Arab terfasih, Nabi
Muhammad Saw. yang langsung dibina adab lisan dan jiwanya oleh Allah Swt. Addabanî
Rabbî fa Ahsana Ta’dîbî. Prof. DR. Ali Jum`ah, mantan mufti Mesir, pernah bercerita, saking fasihnya Imam al-Syafi, perkataannya bisa menjadi patokan dalam bahasa Arab.
Semua bahasa mengalami proses
pembentukan dan pengembangan. Menurut Prof. DR. Ahmad Fuad Basya, seorang pakar
fisika Mesir yang juga concern dalam bidang Islamisasi ilmu pengetahuan, bahasa
Arab yang digunakan masyarakat pada masa turunnya al-Quran adalah kombinasi
antara bahasa Nabi Ismail As.,bahasa Ibrani, dengan bahasa kabilah Jurhum yang
datang untuk minum air zam-zam dan akhirnya kerasan di sekitar sumurnya.
Prof. DR. Fathi Hijazi, seorang
pakar balaghah dunia dari Universitas al-Azhar, menyampaikan bahwa bahasa Arab ini akhirnya
sempurna 150 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ia menjadi keunggulan
masyarakat Arab ketika itu dan menjadi bukti kecemerlangan akal mereka meskipun
tidak memiliki keunggulan di bidang ilmu eksak seperti bangsa Yunani,
India, dan lainnya. Orang Romawi yang hidup di perkotaan membanggakan
gladiator, adu manusia sampai mati. Tapi orang Arab yang hidup di tengah padang
pasir atau gunung batu Makkah punya festival syair di Pasar Ukazh, lebih
manusiawi dan lebih elegan. Tujuh buah syair terbaik ditulis dengan tinta emas
dan dipajang di dinding tempat termulia, Kabah.
Syekh Fathi menambahkan, setelah bahasanya mapan, masyarakat Arab siap untuk menerima wahyu yang disampaikan orang terfasih diantara mereka. Mereka paham bahasa al-Quran, dan tahu bahwa gaya bahasa al-Quran lebih unggul dari bahasa keseharian mereka. Sehingga mereka sadar bahwa al-Quran bukan rekaan manusia, melainkan kalam Tuhan. Dengan ini, seharusnya mereka langsung beriman.
Syekh Fathi menambahkan, setelah bahasanya mapan, masyarakat Arab siap untuk menerima wahyu yang disampaikan orang terfasih diantara mereka. Mereka paham bahasa al-Quran, dan tahu bahwa gaya bahasa al-Quran lebih unggul dari bahasa keseharian mereka. Sehingga mereka sadar bahwa al-Quran bukan rekaan manusia, melainkan kalam Tuhan. Dengan ini, seharusnya mereka langsung beriman.
Setelah menghafal al-Quran,
kemampuan dasar yang menjadi harga mutlak harus dimiliki ulama adalah bahasa
Arab meskipun yang bersangkutan bukan orang Arab, dan memang yang bisa
menguasai bahasa Arab tidak harus orang Arab. Imam Sibuyah yang menulis
al-Kitab, buku suci kaidah bahasa Arab juga bukan orang Arab (Maaf, saya mahasiswa
jurusan hadis, diajarkan untuk tidak suka menyebut wayh yang konon salah
satu nama setan. Jadi ketika menyebut Sibawaih jadi Sibuyah, Ibnu Rahawaih jadi
Rahuyah, mohon dimaklumi).
Sebelum berbicara maqashid
syariah, istihsan, maslahat, dan lain-lain, untuk memahami al-Quran dan hadis,
ulama harus melalui fase pemahaman bahasa. Mulai dari makna teks perkata,
kalimat, dan seterusnya.
Orang boleh membaca karya-karya Fikih
Zakat, Fikih Prioritas, Fikih Jihad, dan fikih-fikih lainnya tulisan Syekh al-Qaradhawi,
tapi jangan lupa, Syekh al-Qaradhawi pernah bercerita dalam Ibnu’l Qaryah wa’l
Kuttâb-nya bahwa ia sudah unggul dalam bahasa Arab ketika masih berstatus
pelajar SMA al-Azhar. Ramadhan al-Bouti juga tidak jauh berbeda. Penulis Kubra
Yaqiniyyât, al-Salafiyyah, dan buku-buku lain pembantah materialisme
ini pernah mengalami masa-masa ngefans
dengan tulisan Mushthafa Shadiq al-Rafi`i, sastrawan Mesir. Syekh Muhammad
Mutawalli al-Sya`rawi sama, bekal ilmu balaghah-lah yang membantunya untuk
memetik mutiara-mutiara al-Quran yang menyinari penduduk Mesir. Siapa orang
Mesir yang tidak kenal dan tidak cinta dengan Syekh al-Sya`rawi? Oh ya, Syekh al-Qaradhawi
pernah bercerita bahwa Syekh al-Sya`rawi adalah guru bahasa Arabnya di SMA
al-Azhar.
Meneruskan pesan Syekh Fathi
Hijazi ketika daurah ilmu balaghah di Madhyafah depan al-Azhar, apapun disiplin
ilmu kita, peganglah pohon bahasa Arab dengan segala cabangnya terlebih dahulu
sekuat tenaga.
Syekh Fathi Hijazi: kata Prof. DR. Ridha Zakaria, pakar hadis al-Azhar, Syekh Fathi yang juga guru SMA-nya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ilmu balaghah. |