أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, October 2, 2013

Berbahasa untuk Memahami

Manusia sekaliber Ahmad bin Hanbal (241 H) saja pernah memujinya sebagai matahari yang mencerahkan dunia. Pasti dia bukan orang sembarangan. Jelas, ialah manusia pertama yang merumuskan bagaimana memahami al-Quran dan hadis nabi. Beberapa kalangan sampai menyebutnya Sang Pembaharu yang hanya lahir 100 tahun sekali. Ia adalah Muhammad bin Idris atau yang populer dengan panggilan Imam al-Syafi`i (204 H).
 
Imam al-Syafi`i bukanlah malaikat, ia manusia biasa yang pernah bayi, remaja, tua dan akhirnya meninggal. Tapi melihat pencapaian yang ia raih, menarik rasanya untuk mencari tahu bagaimana ia mencapainya. Mencari tahu ini masih realistis selama masih percaya akan pilihan Tuhan akan Sang Pembaharu per satu abad. Masih realistis karena sisi ‘manusia’ yang tidak mungkin lepas dari Imam al-Syafi`i. Sehingga jalan yang sama bisa kita lalui, meskipun level yang sama menjadi mission impossible untuk digapai.

Salah satu sisi yang menarik untuk diketahui adalah masa-masa kursus bahasa Arab di Bani Hudzail, salah satu suku di Arab. Pada masa ini, Imam al-Syafi`i menghafalkan semua syair Bani Hudzail. Menghafal bukan perkara yang sulit buat Imam al-Syafi`i, ia dianugerahi kemampuan menghafal semua yang ia dengar dan lihat. Bekal kursus inilah yang membentuk kemampuan berbahasa Imam al-Syafi`i yang nantinya menjadi bekal ketika ia hendak mengambil mutiara-mutiara hukum dari al-Quran dan hadis. Karena al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, hadis pun dituturkan oleh orang Arab terfasih, Nabi Muhammad Saw. yang langsung dibina adab lisan dan jiwanya oleh Allah Swt. Addabanî Rabbî fa Ahsana Ta’dîbî. Prof. DR. Ali Jum`ah, mantan mufti Mesir, pernah bercerita, saking fasihnya Imam al-Syafi, perkataannya bisa menjadi patokan dalam bahasa Arab.

Semua bahasa mengalami proses pembentukan dan pengembangan. Menurut Prof. DR. Ahmad Fuad Basya, seorang pakar fisika Mesir yang juga concern dalam bidang Islamisasi ilmu pengetahuan, bahasa Arab yang digunakan masyarakat pada masa turunnya al-Quran adalah kombinasi antara bahasa Nabi Ismail As.,bahasa Ibrani, dengan bahasa kabilah Jurhum yang datang untuk minum air zam-zam dan akhirnya kerasan di sekitar sumurnya. 

Prof. DR. Fathi Hijazi, seorang pakar balaghah dunia dari Universitas al-Azhar, menyampaikan bahwa bahasa Arab ini akhirnya sempurna 150 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ia menjadi keunggulan masyarakat Arab ketika itu dan menjadi bukti kecemerlangan akal mereka meskipun tidak memiliki keunggulan di bidang ilmu eksak seperti bangsa Yunani, India, dan lainnya. Orang Romawi yang hidup di perkotaan membanggakan gladiator, adu manusia sampai mati. Tapi orang Arab yang hidup di tengah padang pasir atau gunung batu Makkah punya festival syair di Pasar Ukazh, lebih manusiawi dan lebih elegan. Tujuh buah syair terbaik ditulis dengan tinta emas dan dipajang di dinding tempat termulia, Kabah.

Syekh Fathi menambahkan, setelah bahasanya mapan, masyarakat Arab siap untuk menerima wahyu yang disampaikan orang terfasih diantara mereka. Mereka paham bahasa al-Quran, dan tahu bahwa gaya bahasa al-Quran lebih unggul dari bahasa keseharian mereka. Sehingga mereka sadar bahwa al-Quran bukan rekaan manusia, melainkan kalam Tuhan. Dengan ini, seharusnya mereka langsung beriman.

Setelah menghafal al-Quran, kemampuan dasar yang menjadi harga mutlak harus dimiliki ulama adalah bahasa Arab meskipun yang bersangkutan bukan orang Arab, dan memang yang bisa menguasai bahasa Arab tidak harus orang Arab. Imam Sibuyah yang menulis al-Kitab, buku suci kaidah bahasa Arab juga bukan orang Arab (Maaf, saya mahasiswa jurusan hadis, diajarkan untuk tidak suka menyebut wayh yang konon salah satu nama setan. Jadi ketika menyebut Sibawaih jadi Sibuyah, Ibnu Rahawaih jadi Rahuyah, mohon dimaklumi).

Sebelum berbicara maqashid syariah, istihsan, maslahat, dan lain-lain, untuk memahami al-Quran dan hadis, ulama harus melalui fase pemahaman bahasa. Mulai dari makna teks perkata, kalimat, dan seterusnya. 
 
Musthafa Shadiq al-Rafi`i, sastrawan Mesir
Orang boleh membaca karya-karya Fikih Zakat, Fikih Prioritas, Fikih Jihad, dan fikih-fikih lainnya tulisan Syekh al-Qaradhawi, tapi jangan lupa, Syekh al-Qaradhawi pernah bercerita dalam Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb-nya bahwa ia sudah unggul dalam bahasa Arab ketika masih berstatus pelajar SMA al-Azhar. Ramadhan al-Bouti juga tidak jauh berbeda. Penulis Kubra Yaqiniyyât, al-Salafiyyah, dan buku-buku lain pembantah materialisme ini  pernah mengalami masa-masa ngefans dengan tulisan Mushthafa Shadiq al-Rafi`i, sastrawan Mesir. Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi sama, bekal ilmu balaghah-lah yang membantunya untuk memetik mutiara-mutiara al-Quran yang menyinari penduduk Mesir. Siapa orang Mesir yang tidak kenal dan tidak cinta dengan Syekh al-Sya`rawi? Oh ya, Syekh al-Qaradhawi pernah bercerita bahwa Syekh al-Sya`rawi adalah guru bahasa Arabnya di SMA al-Azhar.

Meneruskan pesan Syekh Fathi Hijazi ketika daurah ilmu balaghah di Madhyafah depan al-Azhar, apapun disiplin ilmu kita, peganglah pohon bahasa Arab dengan segala cabangnya terlebih dahulu sekuat tenaga.
Syekh Fathi Hijazi: kata Prof. DR. Ridha Zakaria, pakar hadis al-Azhar, Syekh Fathi yang juga guru SMA-nya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ilmu balaghah.



No comments:

Post a Comment