أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Tuesday, October 1, 2013

Al-Qur’an; Turun di Hijaz, Dibaca di Mesir


Agak gimana, gitu kalau mengaku mendalami agama tapi tidak hafal al-Quran. Meskipun Imam al-Ghazali (505 H) tidak mempersyaratkan harus hafal al-Quran kalau mau jadi mujtahid, cukup mengetahui ayat-ayat hukum saja. Tapi sekarang, siapa ulama yang tidak hafal al-Quran?

Meskipun –sependek pengetahuan saya- al-Quran tidak pernah turun di Mesir, tapi Mesir ini istimewa. Mesir adalah negeri para qurrâ’ alias ahli baca al-Quran. Salah seorang dai dari Arab Saudi, Syekh Muhammad al-Uraifi dalam sebuah khutbahnya pernah mengatakan bahwa siapapun ahli baca al-Quran di dunia ini, sanadnya pasti bersambung ke salah satu ulama al-Quran di Mesir. Salah seorang senior saya pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang sampai sekarang saya masih berharap bisa menemukan siapa yang mempopulerkannya, “al-Quran itu diturunkan di Hijaz, ditulis di Iraq (mungkin maksudnya zaman Khalifah Ali ketika menambahkan titik dalah tulisan al-Quran yang dulu tak perlu bertitik), dan dibaca di Mesir”.

Banyak pakar qira’at di Mesir, misalnya Syekh Abdul Basith Abdul Samad, kemudian Syekh Ahmad Isa al-Ma`sharawi, dan ada juga yang (katanya) termasuk paling senior di dunia, Syekh Abdul Hakim Abdul Latif. Oh ya, Universitas al-Azhar membuka fakultas al-Quran di kota Thantha. Bagi yang ingin belajar di sana, harus lulus dulu Ma`had Qira’at di Syubra al-Khaima.
 
Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif (jubah coklat) & Syekh Ahmad Isa al-Ma`sharawy (putih)
Sanad? Bukannya itu dipakai di hadis saja? Tunggu dulu, tunggu dulu, sanad atau rangkaian periwayatan merupakan keistimewaan umat ini. Ingat bahwa agama Islam ini diajarkan secara turun temurun, dari mulut ke mulut, akal ke akal, dan hati ke hati. Termasuk al-Quran, Rasulullah Saw. talaqqi al-Quran dari malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah Saw. menjadi mentor para sahabat yang menjadi mentor para tabi`in, dan seterusnya sampai generasi kita, sampai kiamat. Memang sekarang ada mushaf, tapi belum tentu orang yang punya mushaf bisa baca al-Quran. Simpelnya, orang yang membaca al-Quran tanpa guru akan membaca Âlâmâ ketika menemukan huruf alif, lam, dan mim di awal al-Baqarah.

Sejak pertama datang, saya terus mencari guru al-Quran. Mulai dari salah seorang Syekh di Masjid Faidhurrahman, 8th district, Nasr City. Hanya karena sebatas menyimak, tidak ada aturan khusus, saya kalah oleh inkonsistensi.

Pernah juga setoran dengan Syekh Abdullah di masjid al-Azhar. Beliau sangat ramah ketika bertemu di jalan, tapi galak ketika setoran. Saya pernah dikeplak gara-gara kurang satu kata ketika baca al-Quran (saya bangga dengan itu, pernah dikeplak oleh ahli al-Quran dari al-Azhar). Adek-adek kecil yang juga setoran ketika musim panas kadang juga tidak lepas dari belaian sayang rotan beliau. Tapi, banyak orang yang setoran dengan beliau di Masjid al-Azhar. Bahkan mahasiswi yang tinggal jauh dari al-Azhar pun sampai dibela-belain jauh-jauh ke al-Azhar untuk setoran dengan beliau. Lagi-lagi saya tidak bertahan lama dengan beliau, bukan karena dikeplak, tapi saya akui, memang untuk sukses butuh tekanan dan disiplin. You know what I mean.

Kemudian ketika pindahan ke Abbasea, saya pernah mencoba ngaji dengan Syekh Asyraf, muadzin Masjid al-Azhar di Masjid al-Ja`fari di dekat terminal Darrasah. Syekh Asyraf orangnya baik, kebiasaan beliau suka memotret muridnya ketika sudah lama bergabung. Selain itu, beliau sering memberi hadiah jus kotak, roti, bahkan pernah mengajak murid-muridnya untuk nyate ketika Idul Adha. Hanya metodenya kurang cocok. Selain karena harus setiap hari (kecuali Selasa dan Jumat) dan itu tidak cocok dengan saya yang mudah bosan, dan saya sering mengeluhkan perbedaan instruksi bacaan para guru. Maklum, setelah nyetor dengan Syekh Asyraf, kita dioper ke murid-muridnya yang bermacam-macam karakter dan penekanan tajwidnya. Maaf ya Syekh, kayaknya saya belum bisa konsisten setoran dengan hadratak...
Tidak lama menghayati keramahan Syekh Asyraf
Salah seorang kawan yang baik hati menunjukkan tempat ngaji Syekh Nabil di dekat Masjid Husein. Setor seminggu dua kali dan  ada muraja’ah yang termanhaj, cocok buat saya. Saya memang tidak nyetor dengan Syekh Nabil, tapi dengan murid beliau, Syekh Zaid yang baik hati. Beliaulah yang mencoba untuk saya teladani.

Syekh Zaid tidak pernah marah apalagi ngeplak. Bahkan menurut saya, beliau terlalu baik. Karena terlalu baik itulah justru yang memberikan tekanan lebih untuk perfect ketika setoran dan muraja`ah. Pernah suatu ketika, karena memang kurang persiapan, saya glagapan ketika setoran sehingga harus mengulang di pertemuan berikutnya, bahkan muraja’ahnya tidak jauh berbeda. Tapi waktu itu saya putuskan untuk mencoba lagi setelah seorang kawan nyetor. Adzan dhuhur berkumandang, di ruangan tinggal saya dan Syekh Zaid. Beliau mengajak saya salat di Masjid Husein. Ketika salat, hati ini rasanya tidak enak, merasa bersalah kenapa kurang persiapan, dan pasrah bagaimana nanti ketika setoran setelah salat. Seusai berdoa, “Masih ada muraja’ah (yang tadi harus diulang) ya? Gimana kalau pertemuan depan saja?” Itulah kata-kata yang keluar dari senyum Syekh Zaid. Ampun deh, senyummu menyanyat hatiku Syekh.

Tekad untuk selalu siap dan tidak glagapan lagi akhirnya cuma musiman. Terkadang bisa nyetor dan muraja`ah lancar, tapi masih beberapa kali terulang yang namanya glagapan. Suatu ketika, saya mencoba curhat ke beliau. Nah, inilah yang saya suka dari semua guru di Mesir. Tidak ada namanya belas kasihan (baca: pemakluman) untuk setiap kelemahan dalam proses belajar. Menjadi seorang pakar agama berarti menjadi manusia sejati yang mempunyai sifat tegar dan tidak banyak alasan. Karena memikul risalah itu tidak ringan kawan, hanya jiwa yang kuatlah yang bisa memikulnya. Semua kesempatan adalah kesempatan terakhir karena setiap kesempatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Alasan studi s2 pun saya sadari tidak boleh diajukan untuk dapat kemakluman. Mau apalagi kalau tidak hafal? Bagaimanapun ketika sudah bertekad menghafal al-Quran tidak ada kata mundur. Karena mundur berarti menolak membuka pintu hati untuk menjadi jalur periwayatan kalam Allah yang sudah tersambung dari Rasulullah Saw., sahabat, dan seterusnya.

Berulang-ulang! Itulah satu-satunya solusi usaha manusia untuk menghafal al-Quran. Itulah mengapa Syekh Zaid tidak pernah meminta banyak-banyak setoran, yang penting setiap pertemuan ada hafalan baru dan muraja`ah hafalan lama. Dalam hal muraja`ah yang kata beliau tidak kalah penting, ketika muraja`ah sudah menyamai hafalan baru, ulang lagi dari awal al-Fatihah. “Kamu harus baca semua yang kamu hafal dalam waktu seminggu.” Itu pesan beliau di salah satu setoran glagapan saya. Metode berulan-ulang ini sangat manjur. Salah satu bukti suksesnya ada pada Syekh Ramadan al-Buthi. Menurut salah satu sumber riwayat hidup beliau, karena beliau sering khatam al-Quran, beliau sampai tidak perlu susah-susah ikut program tahfidz untuk bisa hafal al-Quran.

Dua pertemuan lalu, Syekh Zaid izin sakit. Ahad kemarin, beliau sudah masuk, tapi ada yang tidak beres dengan pipi beliau yang membengkak. Ya Allah, dalam keadaan seperti itu beliau masih kuat bertugas menyimak jam pagi. Saya sampai tidak tega untuk melanjutkan sesi muraja`ah, karena takut beliau harus banyak berkata untuk membetulkan bacaan saya. “Minggu depan aja ya Syekh...”.”Iya, Jazakumullah Musa..” 

Hafal al-Quran itu bukan hasil usaha manusia. Karena al-Quran adalah kalam Allah, sesuai kehendak-Nya al-Quran mau ditanamkan di hati siapa. Ya Allah, kondisikan hamba untuk layak menerima dan membaca al-Quran...

No comments:

Post a Comment