Agak gimana, gitu kalau mengaku
mendalami agama tapi tidak hafal al-Quran. Meskipun Imam al-Ghazali (505 H)
tidak mempersyaratkan harus hafal al-Quran kalau mau jadi mujtahid, cukup
mengetahui ayat-ayat hukum saja. Tapi sekarang, siapa ulama yang tidak hafal
al-Quran?
Meskipun –sependek pengetahuan
saya- al-Quran tidak pernah turun di Mesir, tapi Mesir ini istimewa. Mesir
adalah negeri para qurrâ’ alias ahli baca al-Quran. Salah seorang dai
dari Arab Saudi, Syekh Muhammad al-Uraifi dalam sebuah khutbahnya pernah
mengatakan bahwa siapapun ahli baca al-Quran di dunia ini, sanadnya pasti bersambung
ke salah satu ulama al-Quran di Mesir. Salah seorang senior saya pernah
menyampaikan sebuah ungkapan yang sampai sekarang saya masih berharap bisa
menemukan siapa yang mempopulerkannya, “al-Quran itu diturunkan di Hijaz,
ditulis di Iraq (mungkin maksudnya zaman Khalifah Ali ketika menambahkan titik
dalah tulisan al-Quran yang dulu tak perlu bertitik), dan dibaca di Mesir”.
Banyak pakar qira’at di Mesir,
misalnya Syekh Abdul Basith Abdul Samad, kemudian Syekh Ahmad Isa al-Ma`sharawi, dan ada
juga yang (katanya) termasuk paling senior di dunia, Syekh Abdul Hakim Abdul
Latif. Oh ya, Universitas al-Azhar membuka fakultas al-Quran di kota Thantha.
Bagi yang ingin belajar di sana, harus lulus dulu Ma`had Qira’at di Syubra
al-Khaima.
Sanad? Bukannya itu dipakai di
hadis saja? Tunggu dulu, tunggu dulu, sanad atau rangkaian periwayatan
merupakan keistimewaan umat ini. Ingat bahwa agama Islam ini diajarkan secara
turun temurun, dari mulut ke mulut, akal ke akal, dan hati ke hati. Termasuk
al-Quran, Rasulullah Saw. talaqqi al-Quran dari malaikat Jibril. Kemudian
Rasulullah Saw. menjadi mentor para sahabat yang menjadi mentor para tabi`in,
dan seterusnya sampai generasi kita, sampai kiamat. Memang sekarang ada mushaf,
tapi belum tentu orang yang punya mushaf bisa baca al-Quran. Simpelnya, orang
yang membaca al-Quran tanpa guru akan membaca Âlâmâ ketika menemukan huruf
alif, lam, dan mim di awal al-Baqarah.
Sejak pertama datang, saya terus
mencari guru al-Quran. Mulai dari salah seorang Syekh di Masjid Faidhurrahman, 8th
district, Nasr City. Hanya karena sebatas menyimak, tidak ada aturan khusus,
saya kalah oleh inkonsistensi.
Pernah juga setoran dengan Syekh
Abdullah di masjid al-Azhar. Beliau sangat ramah ketika bertemu di jalan, tapi
galak ketika setoran. Saya pernah dikeplak gara-gara kurang satu kata ketika
baca al-Quran (saya bangga dengan itu, pernah dikeplak oleh ahli al-Quran dari
al-Azhar). Adek-adek kecil yang juga setoran ketika musim panas kadang juga
tidak lepas dari belaian sayang rotan beliau. Tapi, banyak orang yang setoran
dengan beliau di Masjid al-Azhar. Bahkan mahasiswi yang tinggal jauh dari
al-Azhar pun sampai dibela-belain jauh-jauh ke al-Azhar untuk setoran dengan
beliau. Lagi-lagi saya tidak bertahan lama dengan beliau, bukan karena
dikeplak, tapi saya akui, memang untuk sukses butuh tekanan dan disiplin. You
know what I mean.
Kemudian ketika pindahan ke
Abbasea, saya pernah mencoba ngaji dengan Syekh Asyraf, muadzin Masjid al-Azhar
di Masjid al-Ja`fari di dekat terminal Darrasah. Syekh Asyraf orangnya baik,
kebiasaan beliau suka memotret muridnya ketika sudah lama bergabung. Selain
itu, beliau sering memberi hadiah jus kotak, roti, bahkan pernah mengajak
murid-muridnya untuk nyate ketika Idul Adha. Hanya metodenya kurang cocok.
Selain karena harus setiap hari (kecuali Selasa dan Jumat) dan itu tidak cocok
dengan saya yang mudah bosan, dan saya sering mengeluhkan perbedaan instruksi
bacaan para guru. Maklum, setelah nyetor dengan Syekh Asyraf, kita dioper ke
murid-muridnya yang bermacam-macam karakter dan penekanan tajwidnya. Maaf ya
Syekh, kayaknya saya belum bisa konsisten setoran dengan hadratak...
Tidak lama menghayati keramahan Syekh Asyraf |
Salah seorang kawan yang baik hati
menunjukkan tempat ngaji Syekh Nabil di dekat Masjid Husein. Setor seminggu dua
kali dan ada muraja’ah yang termanhaj,
cocok buat saya. Saya memang tidak nyetor dengan Syekh Nabil, tapi dengan murid
beliau, Syekh Zaid yang baik hati. Beliaulah yang mencoba untuk saya teladani.
Syekh Zaid tidak pernah marah
apalagi ngeplak. Bahkan menurut saya, beliau terlalu baik. Karena terlalu baik
itulah justru yang memberikan tekanan lebih untuk perfect ketika setoran dan
muraja`ah. Pernah suatu ketika, karena memang kurang persiapan, saya glagapan
ketika setoran sehingga harus mengulang di pertemuan berikutnya, bahkan muraja’ahnya
tidak jauh berbeda. Tapi waktu itu saya putuskan untuk mencoba lagi setelah
seorang kawan nyetor. Adzan dhuhur berkumandang, di ruangan tinggal saya dan
Syekh Zaid. Beliau mengajak saya salat di Masjid Husein. Ketika salat, hati ini
rasanya tidak enak, merasa bersalah kenapa kurang persiapan, dan pasrah
bagaimana nanti ketika setoran setelah salat. Seusai berdoa, “Masih ada muraja’ah
(yang tadi harus diulang) ya? Gimana kalau pertemuan depan saja?” Itulah
kata-kata yang keluar dari senyum Syekh Zaid. Ampun deh, senyummu menyanyat
hatiku Syekh.
Tekad untuk selalu siap dan tidak
glagapan lagi akhirnya cuma musiman. Terkadang bisa nyetor dan muraja`ah
lancar, tapi masih beberapa kali terulang yang namanya glagapan. Suatu ketika,
saya mencoba curhat ke beliau. Nah, inilah yang saya suka dari semua guru di
Mesir. Tidak ada namanya belas kasihan (baca: pemakluman) untuk setiap
kelemahan dalam proses belajar. Menjadi seorang pakar agama berarti menjadi
manusia sejati yang mempunyai sifat tegar dan tidak banyak alasan. Karena
memikul risalah itu tidak ringan kawan, hanya jiwa yang kuatlah yang bisa
memikulnya. Semua kesempatan adalah kesempatan terakhir karena setiap
kesempatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Alasan studi s2 pun saya sadari
tidak boleh diajukan untuk dapat kemakluman. Mau apalagi kalau tidak hafal?
Bagaimanapun ketika sudah bertekad menghafal al-Quran tidak ada kata mundur.
Karena mundur berarti menolak membuka pintu hati untuk menjadi jalur
periwayatan kalam Allah yang sudah tersambung dari Rasulullah Saw., sahabat,
dan seterusnya.
Berulang-ulang! Itulah
satu-satunya solusi usaha manusia untuk menghafal al-Quran. Itulah mengapa
Syekh Zaid tidak pernah meminta banyak-banyak setoran, yang penting setiap
pertemuan ada hafalan baru dan muraja`ah hafalan lama. Dalam hal muraja`ah yang
kata beliau tidak kalah penting, ketika muraja`ah sudah menyamai hafalan baru,
ulang lagi dari awal al-Fatihah. “Kamu harus baca semua yang kamu hafal dalam
waktu seminggu.” Itu pesan beliau di salah satu setoran glagapan saya. Metode
berulan-ulang ini sangat manjur. Salah satu bukti suksesnya ada pada Syekh
Ramadan al-Buthi. Menurut salah satu sumber riwayat hidup beliau, karena beliau
sering khatam al-Quran, beliau sampai tidak perlu susah-susah ikut program
tahfidz untuk bisa hafal al-Quran.
Dua pertemuan lalu, Syekh Zaid
izin sakit. Ahad kemarin, beliau sudah masuk, tapi ada yang tidak beres dengan
pipi beliau yang membengkak. Ya Allah, dalam keadaan seperti itu beliau masih kuat
bertugas menyimak jam pagi. Saya sampai tidak tega untuk melanjutkan sesi muraja`ah,
karena takut beliau harus banyak berkata untuk membetulkan bacaan saya. “Minggu
depan aja ya Syekh...”.”Iya, Jazakumullah Musa..”
Hafal al-Quran itu bukan hasil
usaha manusia. Karena al-Quran adalah kalam Allah, sesuai kehendak-Nya al-Quran
mau ditanamkan di hati siapa. Ya Allah, kondisikan hamba untuk layak menerima
dan membaca al-Quran...
No comments:
Post a Comment