أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, September 17, 2014

Class is Permanent


Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi dalam kata pengantar kitab Nashb al-Râyah-nya al-Zaila`i  (Takhrij hadis-hadis kitab fikih madzhab Hanafi al-Hidâyah karya al-Marghainani) pada part al-Ra’yu wa’l Ijtihâd menyebutkan tentang Ibrahim al-Nazham yang kata beliau (al-Kautsari) tidak percaya dengan metode qiyas (analogi) sebagai salah satu sarana penyimpulan (istinbâth) hukum, bahkan al-Nazham mencacatkan para sahabat karena menggunakan metode tersebut (Nashb al-Râyah 1/20). Padahal jumhur ulama mengakui legalitas qiyas. Meminjam bahasa Cak Lontong, “Saya terhenyak!”. Sehingga saya pun memutuskan untuk melakukan survey...pustaka:

Ibrahim bin Sayyar bin Hani’ al-Bishri Abu Ishaq (231 H [al-A`lam 1/43] Om Wiki bilang 221 H) atau lebih familiar dengan nama al-Nazham (النظّام). Seorang pembesar Muktazilah dan pakar ilmu kalam yang dikaruniai kecerdasan luar biasa. Penulis Tarikh Baghdad, al-Khathib al-Baghdadi (463 H) pun mengakui kemampuan al-Nazham sebagai debator Muktazilah. Konon, al-Nazham hafal al-Quran, Taurat, Injil dan Zabur plus tafsir-tafsirnya. Belum lagi urusan sastra bahkan sains juga ditekuninya. Otaknya dibekali dua senjata/elemen penting berpikir; keraguan (al-Syakk) dan eksperimen (al-Tajribah).

Al-Nazham lebih memilih untuk mengisi otaknya dengan hal-hal yang didapat dari tenang berpikir. Maklum, ia sangat benci hal-hal berbau khurafat (apalagi gosip–pen).

Selain itu, beliau juga diakui kemampuannya dalam bidang bahasa. Konon, panggilan ‘al-Nazham’ didapat karena hal ini. Khalil bin Ahmad, perumus ilmu `Arûdh, pernah memuji al-Nazham kecil dengan ungkapan, “Yâ Bunayya, nahnu ilâ al-Ta`allum minka ahwaj!” (Hai anakku, kami lebih butuh belajar darimu).

Sastrawan dan pemikir besar Muktazilah, al-Jahizh, yang pernah berguru kepadanya melontarkan sanjungan, “Orang-orang terdahulu mengatakan bahwa setiap 1.000 tahun sekali muncul seorang manusia yang kehebatannya tak tertandingi. Kalau memang itu benar, maka orang itu Abu Ishaq al-Nazham!”.

Tunggu sebentar, kalau al-Nazham disebut sebagai ustadznya al-Jahizh dan konon beliau mati muda usia 36 tahun. Sedangkan al-Jahizh hidup antara tahun 159 H – 255 H, pada usia berapa al-Nazham sudah jadi ‘guru’? Bagaimana suasana hati mereka ketika proses berguru?

Doa al-Nazham:
اللهم إنك تعلم أني لم أقصر في نصرة توحيدك و لم أعتقد مذهبا من المذاهب اللطيفة إلا لأشد به التوحيد, فما كان منها ما يخالف التوحيد فأنا منه بريئ...فاغفر لي ذنوبي و سهل علي سكرة الموت

---------------------------------------------------------------------------------

Bukan masalah keberpihakan, sekali lagi ini soal ‘kelas’. Perdebatan soal agama selalu menjadi rekaman sejarah dari zaman dahulu sampai kiamat nanti. Hanya yang perlu dilihat adalah, siapa dan sekualitas apa aktornya? Zaman dahulu, perdebatannya antar orang-orang ‘seperti itu’. Sehingga generasi kemudian bisa mengambil manfaat dari perdebatan itu.

Sama-sama memakan waktu, bukankah lebih bermanfaat melengkapi dan memperindah bangunan keilmuan dalam diri. Daripada sibuk membenturkannya dengan bangunan milik orang lain tanpa sadar akan seberapa kekuatan dan tentunya, apa manfaatnya?

Soal ini, al-Nazham punya nasehat yang cukup populer di kalangan pelajar:

"العلم لا يعطيك بعضَه حتى تعطيه كلَّك"

Artinya : “Ilmu tidak akan memberikan sebagiannya kepadamu, sampai kamu mempersembahkan seluruhmu untuknya”.




|Tulisan ini terinspirasi dari pengamatan akan banyaknya diskusi agama di jejaring sosial|

No comments:

Post a Comment