Banyak manusia yang sadar akan
pentingnya menuntut ilmu. Banyak pula yang membulatkan tekad untuk mengemban
status sebagai penuntut ilmu. Hanya saja ilmu tidak bisa diraih dengan
sembarang usaha dan modal semangat semata. Betapa banyak yang mengeluhkan target
yang sulit dicapai setelah mengerahkan segenap daya. Mereka yang mengeluh
sebenarnya masih layak mendapat penghargaan karena merasa ada yang tidak beres
dengan prosesnya. Sebagaian manusia tersesat melangkah entah kemana, tapi
justru mengecam siapapun yang mencoba membenarkan karena dianggap
menertawakannya. Oleh karenanya, piranti ilmu adalah sebuah keniscayaan demi
tercapainya tujuan utama menuntut ilmu: meninggalkan status tidak tahu untuk
mencapai predikat mengenal Allah Subhânahu wa Ta`âla.
Piranti ilmu ada empat yang
dirumuskan oleh para ulama:
A. Syaikhun
Fattâh
Menurut Syekh Sayyid Syaltut[1],
secara bahasa, yang disebut syaikh adalah orang yang mencapai usia 40 tahun.
Sedangkan secara istilah, syaikh adalah siapapun yang memiliki keistimewaan
dalam hal ilmu dan pengamalan beragama. Secara khusus, seseorang disebut syekh
setelah benar-benar matang ketiga ilmu pokok agama Islam; aqidah, fikih dan
akhlak atau suluk. Syaikh yang fattâh adalah seorang guru yang
mampu membuka gembok pengunci pintu hati yang menghalangi masuknya ilmu.[2]
Seorang penuntut ilmu dari seorang syekh yang fattâh akan
mendapat dua hal yaitu ta`lîm (pengajaran materi) dan tarbiyah
(didikan). Sehingga tercapailah syarat diterimanya amalan yaitu pas dengan
tuntunan dan keihklasan.
Semua ulama lahir dari guru yang memiliki silsilah
keilmuan (sanad) sampai kepada Rasulullah Saw. Berbagai buku biografi ulama
mengarsip daftar guru dan murid dari para ulama. Imam al-Mizzi (742 H) dalam Tahdzîbu’l
Kamâl-nya bahkan berazam untuk mengarsip semua guru dari semua rawi yang ia
tulis biografinya. Perkara sanad inipun disebut sebagai bagian dari agama
selain materi pelajaran agama itu sendiri. Tidak ada seorang pun muslim yang
berani berbicara atas nama agama apabila belum pernah belajar dari ulama. Tabi`in
besar, Ibnu Sirin (110 H) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Mukadimah Shahih-nya memberi nasehat:[3]
إنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ
فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْحُذُونَ دِيْنَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya ilmu ini bagian dari agama, maka lihatlah dari
siapa kalian mengambil agama.
Abdullah bin Mubarak (181 H) dalam riwayat Imam Muslim juga menyampaikan
hal senada:[4]
الإِسْنَادُ مِنْ الدِّيْنِ لَوْلا
الإِسْنَادُ لَقاَلَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Artinya: Sanad (silsilah keilmuan) itu bagian dari agama, tanpa sanad
siapapun akan berbicara seenaknya.
Dalam sebuah syair dikatakan:[5]
مَنْ يَأْخُذَ العِلْمَ عَنْ شَيْخٍ
مُشَافَهَةً # يَكُنْ مِنْ الزَّيْغِ و التَّحْرِيْفِ فِيْ حَرَمِ
وَ مَنْ يَكُنْ آخِذًا لِلْعِلْمِ عَنْ
صُحُفٍ # فَعِلْمُهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْعَدَمِ
Artinya:
Siapa yang mengambil ilmu dari seorang syekh # dia akan terbebas dari
penyimpangan dan penyelewengan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku # maka menurut ulama dia seakan tak berilmu
Seorang Tuma melegenda karena buta kena racun ular akibat coba-coba baca
sendiri tanpa guru. Teks “al-Habbah al-Saudâ’ (jinten hitam) adalah
obat berbagai penyakit” ia baca al-Hayyah al-Saudâ’ (ular
hitam). Sebuah titik tinta yang
menipunya sehingga huruf bâ’ menjadi yâ’. Ia tangkap ular hitam
kemudian oleskan racunnya untuk obati sakit matanya. Jadilah ia Tuma al-Hakim
atau “Si Bijaksana”. Siapa yang mengaku sudah belajar agama hanya dengan modal
baca-baca, ia berada di jalannya Tuma “Si Bijaksana”.
Syekh yang bisa didatangi bukanlah sembarang orang saleh. Dulu, di
tiang-tiang Masjid Nabawi di Madinah banyak bersandar orang-orang soleh yang
dikatakan andai mereka berdoa pasti dikabulkan dan apabila dipercaya soal
urusan keuangan negara pasti mereka amanah. Namun karena mereka bukan ahli
hadis, Imam Malik (179 H) tidak silau dengan hal-hal tersebut. Tetaplah hadis
dipelajari bersama ahlinya.
Begitu juga dengan orang alim yang diragukan keberagamaannya. Badruddin
Ibn Jama`ah (733 H), seorang ahli fikih madzhab syafi`i yang juga khatib Masjid
al-Azhar dalam Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim-nya menegaskan bahwa
seorang pelajar harus memperhatikan dua hal sekaligus dalam memilih seorang
syekh untuk berguru. Pertama, sudah mapan ilmunya. Kedua, kepribadiannya
dihiasi dengan sifat murû`ah (meninggalkan segala hal yang kurang pantas
meskipun tidak haram).
Ibnu Jama`ah juga memperingatkan agar tidak silau dengan nama besar
seseorang. Beliau menukil dari Imam al-Ghazali yang mengatakan, apabila seorang
pelajar memilih syekh hanya dengan pertimbangan ketenaran, ia termasuk sombong
dan bodoh sebenarnya.[6] Ketika
menjelaskan kitab ini, Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi[7]
memperingatkan agar tidak salah paham. Tidak ada yang salah dari terkenalnya
seorang syekh yang alim, bagaimanapun itu adalah penempatan dari Allah. Namun
yang menjadi masalah adalah perasaan dari pelajar tersebut sehingga ia disebut ‘muridnya
syekh fulan’.
Habib Ahmad al-Maqdi |
Pelajaran agama bukanlah semata menamatkan bacaan
sebuah buku. Ada penjagaan keaslian pemahaman yang hanya dapat diwarisi apabila
berguru dari seorang syekh yang fattâh.
[1] Dalam talaqqi
kitab Ghâyatu’l Ma’mûl karya seorang ahli fikih madzhab syafi`i, Imam al-Ramli,
yang merupakan penjelasan/syarah kitab usul fikih al-Waraqât karya Imam al-Haramain.
Syekh Sayyid Syaltut adalah seorang ulama Darul Ifta’ Mesir.
[2] Lihat: Ahmad
bin `Alawi al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza,
Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 76
[3] Muhyiddin
al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol.
I, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t., hal. 84
[4] Ibid, hal.
87
[5] Ahmad bin
`Alawi al-Saqqaf, Op. Cit., hal. 76
[6] Badruddin
Ibn Jama`ah, Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim fî Âdâbi’l `Âlim wa’l
Muta`allim, ed. Abdul Salam Umar Ali, Maktabah Ibn Abbas, Samanud, Mesir,
cet. I, 1425 H/2005 M, hal. 186
[7] Seorang ulama muda
Hadrami (Yaman) yang sedang menempuh pendidikan hadis dan ilmu hadis di
al-Azhar. Beliau disebut sebagai ahli fikih dari Hadramaut. Cerita tentang Tuma
Si Bijaksana disampaikan oleh beliau dalam majelis tersebut.
No comments:
Post a Comment