أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Thursday, January 8, 2015

Piranti Ilmu (1) Syaikhun Fattâh

Banyak manusia yang sadar akan pentingnya menuntut ilmu. Banyak pula yang membulatkan tekad untuk mengemban status sebagai penuntut ilmu. Hanya saja ilmu tidak bisa diraih dengan sembarang usaha dan modal semangat semata. Betapa banyak yang mengeluhkan target yang sulit dicapai setelah mengerahkan segenap daya. Mereka yang mengeluh sebenarnya masih layak mendapat penghargaan karena merasa ada yang tidak beres dengan prosesnya. Sebagaian manusia tersesat melangkah entah kemana, tapi justru mengecam siapapun yang mencoba membenarkan karena dianggap menertawakannya. Oleh karenanya, piranti ilmu adalah sebuah keniscayaan demi tercapainya tujuan utama menuntut ilmu: meninggalkan status tidak tahu untuk mencapai predikat mengenal Allah Subhânahu wa Ta`âla.


Piranti ilmu ada empat yang dirumuskan oleh para ulama:

A.   Syaikhun Fattâh
Menurut Syekh Sayyid Syaltut[1], secara bahasa, yang disebut syaikh adalah orang yang mencapai usia 40 tahun. Sedangkan secara istilah, syaikh adalah siapapun yang memiliki keistimewaan dalam hal ilmu dan pengamalan beragama. Secara khusus, seseorang disebut syekh setelah benar-benar matang ketiga ilmu pokok agama Islam; aqidah, fikih dan akhlak atau suluk. Syaikh yang fattâh adalah seorang guru yang mampu membuka gembok pengunci pintu hati yang menghalangi masuknya ilmu.[2] Seorang penuntut ilmu dari seorang syekh yang fattâh akan mendapat dua hal yaitu ta`lîm (pengajaran materi) dan tarbiyah (didikan). Sehingga tercapailah syarat diterimanya amalan yaitu pas dengan tuntunan dan keihklasan.
 
Syekh Sayyid Syaltut
Semua ulama lahir dari guru yang memiliki silsilah keilmuan (sanad) sampai kepada Rasulullah Saw. Berbagai buku biografi ulama mengarsip daftar guru dan murid dari para ulama. Imam al-Mizzi (742 H) dalam Tahdzîbu’l Kamâl-nya bahkan berazam untuk mengarsip semua guru dari semua rawi yang ia tulis biografinya. Perkara sanad inipun disebut sebagai bagian dari agama selain materi pelajaran agama itu sendiri. Tidak ada seorang pun muslim yang berani berbicara atas nama agama apabila belum pernah belajar dari ulama. Tabi`in besar, Ibnu Sirin (110 H) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Mukadimah Shahih-nya memberi nasehat:[3]
إنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْحُذُونَ دِيْنَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya ilmu ini bagian dari agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama.

Abdullah bin Mubarak (181 H) dalam riwayat Imam Muslim juga menyampaikan hal senada:[4]
الإِسْنَادُ مِنْ الدِّيْنِ لَوْلا الإِسْنَادُ لَقاَلَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Artinya: Sanad (silsilah keilmuan) itu bagian dari agama, tanpa sanad siapapun akan berbicara seenaknya.

Dalam sebuah syair dikatakan:[5]
مَنْ يَأْخُذَ العِلْمَ عَنْ شَيْخٍ مُشَافَهَةً # يَكُنْ مِنْ الزَّيْغِ و التَّحْرِيْفِ فِيْ حَرَمِ
وَ مَنْ يَكُنْ آخِذًا لِلْعِلْمِ عَنْ صُحُفٍ # فَعِلْمُهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالْعَدَمِ
Artinya:
Siapa yang mengambil ilmu dari seorang syekh # dia akan terbebas dari penyimpangan dan penyelewengan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku # maka menurut ulama dia seakan tak berilmu

Seorang Tuma melegenda karena buta kena racun ular akibat coba-coba baca sendiri tanpa guru. Teks “al-Habbah al-Saudâ’ (jinten hitam) adalah obat berbagai penyakit” ia baca al-Hayyah al-Saudâ’ (ular hitam).  Sebuah titik tinta yang menipunya sehingga huruf bâ’ menjadi yâ’. Ia tangkap ular hitam kemudian oleskan racunnya untuk obati sakit matanya. Jadilah ia Tuma al-Hakim atau “Si Bijaksana”. Siapa yang mengaku sudah belajar agama hanya dengan modal baca-baca, ia berada di jalannya Tuma “Si Bijaksana”.

Syekh yang bisa didatangi bukanlah sembarang orang saleh. Dulu, di tiang-tiang Masjid Nabawi di Madinah banyak bersandar orang-orang soleh yang dikatakan andai mereka berdoa pasti dikabulkan dan apabila dipercaya soal urusan keuangan negara pasti mereka amanah. Namun karena mereka bukan ahli hadis, Imam Malik (179 H) tidak silau dengan hal-hal tersebut. Tetaplah hadis dipelajari bersama ahlinya.

Begitu juga dengan orang alim yang diragukan keberagamaannya. Badruddin Ibn Jama`ah (733 H), seorang ahli fikih madzhab syafi`i yang juga khatib Masjid al-Azhar dalam Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim-nya menegaskan bahwa seorang pelajar harus memperhatikan dua hal sekaligus dalam memilih seorang syekh untuk berguru. Pertama, sudah mapan ilmunya. Kedua, kepribadiannya dihiasi dengan sifat murû`ah (meninggalkan segala hal yang kurang pantas meskipun tidak haram).

Ibnu Jama`ah juga memperingatkan agar tidak silau dengan nama besar seseorang. Beliau menukil dari Imam al-Ghazali yang mengatakan, apabila seorang pelajar memilih syekh hanya dengan pertimbangan ketenaran, ia termasuk sombong dan bodoh sebenarnya.[6] Ketika menjelaskan kitab ini, Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi[7] memperingatkan agar tidak salah paham. Tidak ada yang salah dari terkenalnya seorang syekh yang alim, bagaimanapun itu adalah penempatan dari Allah. Namun yang menjadi masalah adalah perasaan dari pelajar tersebut sehingga ia disebut ‘muridnya syekh fulan’.
Habib Ahmad al-Maqdi
Pelajaran agama bukanlah semata menamatkan bacaan sebuah buku. Ada penjagaan keaslian pemahaman yang hanya dapat diwarisi apabila berguru dari seorang syekh yang fattâh.




[1] Dalam talaqqi kitab Ghâyatu’l Ma’mûl karya seorang ahli fikih madzhab syafi`i, Imam al-Ramli, yang merupakan penjelasan/syarah kitab usul fikih al-Waraqât karya Imam al-Haramain. Syekh Sayyid Syaltut adalah seorang ulama Darul Ifta’ Mesir.
[2] Lihat: Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 76
[3] Muhyiddin al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol. I, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t., hal. 84
[4] Ibid, hal. 87
[5] Ahmad bin `Alawi al-Saqqaf, Op. Cit., hal. 76
[6] Badruddin Ibn Jama`ah, Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim fî Âdâbi’l `Âlim wa’l Muta`allim, ed. Abdul Salam Umar Ali, Maktabah Ibn Abbas, Samanud, Mesir, cet. I, 1425 H/2005 M, hal. 186
[7] Seorang ulama muda Hadrami (Yaman) yang sedang menempuh pendidikan hadis dan ilmu hadis di al-Azhar. Beliau disebut sebagai ahli fikih dari Hadramaut. Cerita tentang Tuma Si Bijaksana disampaikan oleh beliau dalam majelis tersebut.

No comments:

Post a Comment