Ini sekedar berandai-andai ya...
Coba tutup mata dan bayangkan satu
nama. Nama sebuah kota besar di negara muslim di dunia sekarang ini. Saya
sampaikan pertanyaan silahkan anda renungkan, “Apa yang akan anda lakukan
ketika kota tersebut digempur habis-habisan oleh tentara Amerika?” Na`ûdzu
bilLâh min Dzâlik...
Tulisan kali ini mengajak para
pembaca sekalian untuk merefleksi diri. Meskipun judulnya pemuda dan anda di
atas 40 tahun tidak mengapa. Siapa tahu ini bisa bermanfaat untuk pemuda yang
menjadi tanggungjawab anda. Kalau anda belum ‘pemuda’, tak apalah. Toh sesuai
dengan kelaziman, tak lama lagi anda akan menjadi pemuda.
Renungan kali ini dibantu oleh seseorang
yang menginspirasi. Imam al-Nawawi (631 H - 676 H), Muhyiddin Yahya bin Syaraf
al-Nawawi, seorang ulama asal Syiria. Kita pasti kenal dengan beliau melalui
karya-karyanya. Kita yang berada jauh dari Syiria, buku-buku beliau seperti
hadis arba`in dan Riyâdh al-Shâlihîn pasti tersimpan di rak satu
dari beberapa rumah warga muslim di seluruh dunia.
Ketika Imam al-Nawawi berusia 25
tahun, (656 H) sebenarnya ada kejadian horor, runtuhnya Baghdad, gara-gara
digempur oleh cucu-cucu Genghis Khan dari Mongolia. Lebih horor lagi, dua tahun
sebelumnya (654 H) muncul api di dataran Hijaz. Api yang menerangi punuk-punuk
unta di Bashrah (Irak) inilah yang disebut sebagai salah satu tanda kiamat.
Demikian yang diceritakan Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah.[1] Jadilah umat muslim
apalagi yang berada di TKP (Baghdad) berfikir bahwa inilah kiamat akhir zaman.
Ilustrasi Penyerangan Baghdad |
Imam al-Nawawi kala itu masih jadi
mahasiswa di Syiria. Sebentar, kita kembali ke renungan awal tadi. Apa yang bakal
kita lakukan kalau anda ada di situ? Panik? Atau malah gabung ke Baghdad ikut
mengusir cucu-cucu Genghis Khan?
Kalau Imam al-Nawawi, tidak
keduanya. Kalau dianggap kiamat, Imam al-Nawawi mungkin sadar betul kalau
matahari belum terbit dari barat. Kalau ingin ikut gabung ke Baghdad mengusir
Mongol? Pilihan yang ini mungkin dijalani, tapi ternyata Imam al-Nawawi tidak
demikian. Ia tetap fokus pada perannya ketika itu. Menjadi pelajar di Syiria.
Dalam sebuah riwayat, saking rajinnya Imam al-Nawawi, setiap hari beliau rutin
ikut 12 mata kuliah. Kalau waktu itu sistemnya adalah talaqqi, rata-rata talaqqi
berlangsung selama 2 jam. Okey, ambil saja satu setengah jam. Berarti, ada
berapa jam yang Imam al-Nawawi gunakan untuk kuliah?
Ketika menganalisa cerita ini, Syekh
al-Habib Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi yang sampai sekarang mengajar saya
fikih madzhab Syafi`i mengatakan, “Lihatlah betapa efektif dan efisien
waktunya, Ada keberkahan waktu, tempat dan juga otaknya. Kalau kita, setiap
habis pelajaran masih butuh untuk mengulang-ulang supaya tidak lupa. Mungkin
beda dengan Imam al-Nawawi”.
Singkat kata, sikap Imam al-Nawawi
adalah positif. Beliau sadar betul akan perannya sebagai pelajar. Beliau tetap
bersikap profesional sebagai mahasiswa. Hasilnya?
1. Beliau akhirnya diangkat menjadi rektor Universitas/Dâru’l
Hadîts al-Asyrafiyyah di Syiria. Imam al-Nawawi dikenal sebagai manusia
langka karena menggabungkan kepakaran dalam hal fikih sekaligus hadis. Di
antara karya beliau adalah Syarah Shahih Muslim yang terkenal. Dalam bidang metodologi
ilmu hadis, ada kitab al-Irsyâd yang merupakan ringkasan dari Muqaddimah Ibnu
al-Shalah (643 H), guru Imam al-Nawawi sendiri. Kitab Muqaddimah inilah buku
pokok metodologi ilmu hadis. Kitab al-Irsyâd diringkas lagi menjadi al-Taqrîb
yang nantinya akan diberi syarah oleh Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Kitab itu
dinamai Tadrîb al-Râwi yang telah diajarkan sampai khatam oleh dua ulama
al-Azhar sekaligus selama beberapa tahun, Prof. Dr. Ahmad Ma`bad Abdul Karim
dan Prof. Dr. Muhammad Mushthafa Abu Imarah.
2. Imam al-Nawawi produktif menulis buku. Meskipun umurnya
pendek (45 tahun), namun Imam al-Nawawi memiliki banyak karya.
3. Dalam ilmu fikih, beliau berjasa besar terhadap madzhab yang
beliau anut, Syafi`iyyah. Setelah Imam al-Syafi`i wafat (204 H), murid-muridnya
mengembangkan ilmu yang mereka dapat dari Sang Imam dan ini berlangsung selama
berabad-abad. Akhirnya banyak pendapat yang dianggap sebagai pendapat madzhab
Syafi`i meskipun belum tentu berasal dari metodologi Syafi`iyah.
Imam al-Nawawi
kemudian menyeleksi pendapat-pendapat tersebut di seluruh kitab karya ulama
Syafi`iyyah, mana yang benar-benar menjadi representasi madzhab Syafi`i.
Kriterianya adalah, pendapat tersebut sesuai dengan metode madzhab. Hasil
penelitian beliau dituangkan dalam dua kitab. Pertama, Kitab Raudhat
al-Thâlibîn yang merupakan ringkasan dari kitab (Fath) al-`Azîz
karya Imam al-Rafi`i. Kedua, kitab Minhâj al-Thâlibîn wa `Umdatu’l
Muftîn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar karya
al-Rafi`i.[2]
Proyek Imam
al-Nawawi ini sebenarnya menyempurnakan apa yang telah dilakukan oleh
al-Rafi`i. Melalui proyek kedua imam ini, segala pendapat yang muncul dari
ulama sebelum al-Rafi`i dan al-Nawawi, tidak dapat dikatakan sebagai
representasi madzhab Syafi`i kecuali setelah diseleksi oleh keduanya. Dengan
kata lain, pendapat-pendapat madzhab Syafi`i dapat diketahui melalui
kitab-kitab karya al-Rafi`i dan al-Nawawi.[3]
4. Kitab hadis arba`in termasuk karya Imam al-Nawawi yang
terpenting. Beliau mengumpulkan 40 hadis yang sedikit lafaz kaya makna dan berisi
tentang pokok-pokok ajaran agama Islam mulai dari akidah, syariah maupun
akhlaq. Semua muslim nampaknya sulit untuk melewatkan kitab ini ketika ingin
mengetahui ajaran agamanya. Kitab inilah yang dikaji oleh banyak pejuang Islam
di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan Riyâdh al-Shâlihîn,
yang dimiliki oleh keluarga-keluarga muslim di seluruh dunia. Betapa harumnya
ilmu Imam al-Nawawi.
Keteguhan Imam al-Nawawi berbuah lebat
dan manis. Beliau termasuk ulama yang dikenal oleh umat Islam manapun. Waktu
itu, beliau sadar betul bahwa Allah menempatkan beliau sebagai seorang pelajar.
Maka beliau terima dan bersikap profesional. Tidak sebaliknya, meninggalkan
tugas atau malah panik.
Sikap inilah yang seYOGYAnya kita
miliki bersama apalagi di zaman fitnah saat ini. Menimjam judul buku Abu
al-Hasan al-Nadawi, “Kemunduran dunia karena kemunduran Islam”, maka
profesionalisme, kualitas dan dedikasi dalam peran yang seorang muslim jalani
saat ini di dunia adalah tuntutan zaman. Karena membangun peradaban tidak hanya
membutuhkan prajurit. Ada ahli fikih, hadis, tafsir, bahasa, ekonom, teknokrat,
filosof, enterpreneur, astronom, desainer dan profesional lainnya yang
dibutuhkan.
Oh ya, apa kabar Mongol? Singkat
cerita beberapa tahun setelah menggempur Baghdad, keturunan mereka malah masuk
Islam! Hal ini disebabkan karena mereka melihat profesionalisme, kualitas dan
dedikasi yang ada dalam diri setiap muslim. Hal ini mereka simpulkan setelah
menjadikan beberapa orang muslim sebagai penasehat kerajaan dan melihat
kualitas mereka.
Sebagai saksi bisu masuknya orang Mongol
ke agama Islam adalah Taj Mahal karya Shah Jehan, salah seorang raja dari kerajaan
Mughal (dalam bahasa Arab Mongol disebut Mughal).
Uniknya makam Imam al-Nawawi: dari posisi jantungnya tumbuh pohon besar |
Makam di Syiria itu dihancurkan oleh orang tidak beradab |
Kajian dan perbedaan pendapat tentang makam memang ada, tapi apakah seperti ini terpuji? Coba kalau tempat peristirahatan sanak familinya yang dihancurkan, tersinggungkah? |
[1] Ibnu Katsir
al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, ed. Abdullah al-Turki, vol. XVII,
Dâr Hajr, Giza, Mesir, cet. I, 1419 H/1998 M, hal. 328
[2] Akram
Yusuf al-Qawasimi, al-Madkhal ilâ Madzhabi’l Imâm al-Syâfi`i, Dâr al-Nafâ’is, Amman,
Yordania, cet. II, 1434 H/2013 M, hal. 355.
[3] Ahmad
bin `Alawi bin Abdurrahman al-Saqqaf, al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Dâru’l
Fârûq, Giza, Mesir, cet. I, 2011 M, hal. 120