Ijtihad dalam
Timbangan al-Qaradhawi
Oleh : Musa Al Azhar, Lc.
I. Pendahuluan
Ijtihad sebenarnya adalah metode penyelesaian persoalan transformasi teks
syariat menjadi sebuah hukum aplikatif. Ibarat sebuah industri, ijtihad adalah
sebuah proses pengolahan bahan baku (dalil) menjadi sebuah produk hukum.
Kenyataannya, dari sebuah bahan yang sama, dapat dihasilkan produk yang
berbeda. Ini adalah persoalan pertama. Kedua, mesin atau metode pengolahan juga
beragam. Persoalan yang tidak kalah penting adalah standar kompetensi pelaku
pengolahan dalil (mujtahid). Ketiga hal ini merupakan perosalan sepenjang
zaman. Dari sinilah muncul berbagai mazhab. Apabila tidak dipahami secara
tepat, perbedaan ini tidak menjadi rahmat, justru dapat menjadi laknat.
Bagaimana seorang muslim memandang ijtihad? Di bawah ini penulis mencoba
menggambarkan pemikiran DR. Yusuf al-Qaradhawi dalam buku al-Ijtihâd
fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah. Menurut hemat penulis, buku ini seyogyanya
melengkapi perpustakaan pribadi setiap muslim, terkhusus bagi para pelajar
agama. Buku ini membantu memetakan dan mengarahkan pembaca dalam memahami
ijtihad.
Satu hal yang patut dipahami, tidak sedikit orang yang sinis terhadap
beliau. Mengecap beliau sebagai seorang liberal yang suka mempermainkan dalil
sehingga dapat dimunculkan hukum yang mudah (al-Taysîr). Mengenai manhaj
al-Taysîr, al-Qaradhawi sering menjelaskan sikap tersebut. Tidak asal
mempermudah, tapi tetap berpegang kepada prinsip tegas dalam persoalan pokok
agama dan bersikap mempermudah pada persoalan furu’ agama selama tidak
keluar dari koridor nash yang muhkam atau konsensus ulama. Ketika
memandang 2 persoalan yang kontradiktif. Beliau akan mengambil yang mudah
daripada yang lebih hati-hati. Sikap ini pun berdasar pada hadis Nabi Saw. dari Aisyah Ra. bahwa Nabi
Saw. ketika dihadapkan pada dua pilihan, Beliau akan mengambil yang paling
mudah selama tidak mengandung konsekuensi dosa.
Beliau juga dipandang sering mengada-ada atau membuat bidah. Padahal, apa
yan diungkapkan al-Qaradhawi sering berupa hasil interaksi dengan turâts
Islam, bahkan merupakan kutipan langsung dari turâts. Dalam buku al-Ijtihâd
misalnya, ketika membahas kompetensi mujtahid, beliau banyak terinspirasi dari al-Mustashfa-nya
al-Ghazali (505 H), al-Muwâfaqât-nya al-Syathibi (790 H), Irsyâdu’l
Fuhûl-nya al-Syaukani (1250 H), dan sebagainya.
Dalam sebuah kesempatan, Prof. DR. Mustafa Abu Imarah berkata bahwa tidak ada
manusia yang selamat dari al-Jarh wa al-Ta’dîl sekaligus. Bahkan
Rasulullah Saw. sendiri. Oleh karenanya diperlukan standar, sikap obyektif dan
sportif dalam menilai orang.
II.
Definisi
Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad berarti mengerahkan segala potensi dalam sebuah
usaha, sedangkan secara terminologi berarti mengerahkan segala potensi untuk
mendapatkan sebuah hukum syariat praktis dengan metode inferensi (al-Istinbâth)
hukum.
Dari definisi diatas, diketahui bahwa ijtihad berlaku pada masalah hukum
syariat praktis. Ia tidak akan terjadi tanpa metode inferensi hukum. Seorang
mujtahid juga harus menyandang gelar al-Faqîh,
karena hanya seorang fakihlah yang mampu merealisasikan ijtihad.
III. Kompetensi Mujtahid
A.
Kompetensi yang
disepakati
1)
Mengetahui
al-Quran. Tidak ada seorang muslim pun di jagad raya yang
meragukan otentisitas dan otoritas al-Quran sebagai sebuah sumber hukum. Oleh
karenanya, al-`Ilm bi’l Qurân menjadi harga mati bagi setiap mujtahid.
Al-Ghazali memberikan dua keringanan. Pertama, ia cukup mengetahui
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Kedua, tidak diharuskan menghafal
al-Quran, cukup mengetahui letak ayat yang dibutuhkan. Hanya saja, al-Qaradhawi
tetap mengutamakan hafal al-Quran sebagai syarat seorang mujtahid meskipun di
zaman sekarang sudah banyak indeks al-Quran.
Mengetahui Asbâb al-Nuzûl juga tidak dapat
ditinggalkan. Meskipun para ulama telah bersepakat bahwa al-`Ibratu bi `Umûmi
al-Lafzhi lâ bi Khushûshi al-Sabab,
Asbâb al-Nuzûl tetap memegang peranan penting dalam ijtihad. Dengan Asbâb
al-Nuzûl dapat diketahui Muqtadha al-Hâl dan terhidar dari
syubhat dalam memahami sebuah ayat.
Hal yang tidak kalah penting adalah al-Nâsikh wa’l Mansûkh,
atau mengetahui mana hukum yang menggantikan posisi hukum yang datang
sebelumnya. Kasus yang paling sering digunakan sebagai contoh pembahasan al-Nâsikh
wa’l Mansûkh adalah proses
pengharaman khamar. Banyak ulama yang memperluas radius pembahasan al-Nâsikh
wa’l Mansûkh sehingga pembahasan umum dan khusus, al-Muthlaq wa’l
Muqayyad, dan sebagainya masuk ke dalam ranah al-Nâsikh wa’l Mansûkh.
2)
Mengetahui
Sunah. Tidak seperti al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan lebih
dari 6000 ayat, Sunah jauh lebih banyak. Karena ia adalah segala hal yang
dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
sirah, maupun sifat jasmani dan akhlaq beliau. Ini adalah definisi dari para
ahli hadis, sedangkan para ahli usul fikih membatasi sunah kepada perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan Nabi Saw.
Tiga hal yang penting dalam konteks al-`Ilm bi
al-Sunnah adalah membedakan antara sunah yang makbul dengan yang mardud, al-Nâsikh
wa’l Mansûkh mina’l Hadîts, dan Asbâb Wurûdi’l Hadîts.
3)
Mengetahui
Bahasa Arab. Sungguh aneh seseorang yang mengaku mujtahid tetapi
tidak menguasai bahasa Arab. Pertanyaannya, sejauh mana seorang mujtahid harus
menguasai bahasa Arab? Al-Syaukani menyatakan seorang mujtahid harus mampu
memaknai bahasa-bahasa yang gharîb dalam al-Quran dan Sunah, tidak harus
menghafal seluruhnya, cukup dengan mampu memanfaatkan buku-buku para ahli
bahasa Arab.
Al-Ghazali menjelaskan hal ini dengan kemampuan untuk
membedakan mana perkataan yang zhâhir, mujmal, haqîqah, majaz, `âm,
khash, dan sebagainya.
4)
Mengetahui
Konsensus (Ijmak) Ulama. Sekali lagi al-Ghazali memberikan keringanan tidak harus
menghafal seluruh ijmak, cukup bagi seorang mujtahid untuk berfatwa dengan
tidak menyalahi ijmak, atau dengan kata lain mengetahui bahwa sebuah pendapat
adalah pendapat dari mazhab tertentu. Hal yang urgen dalam persoalan ini adalah
mampu membedakan mana pendapat yang sudah menjadi konsensus para ulama dengan
mana pendapat yang hanya didukung oleh dugaan ijmak. Selain itu, terkadang hal
yang sudah menjadi ijmak masih membuka pintu ijtihad.
5)
Mengetahui Usul
Fikih. Al-Baidhawi (685 H) mendefinisikan usul fikih sebagai:
معرفة دلائل الفقه إجمالا و كيفية الإستفادة منها و حال
المستفيد
Qiyas merupakan salah satu pembahasan terpenting dalam
usul fikih. Ketika seorang mujtahid menjumpai sebuah persoalan yang tidak ada
dalil khusus yang menghukumi masalah tersebut maka qiyas menjadi solusinya.
Qiyas memiliki empat rukun;
Permasalahan yang dihukumi secara tegas oleh syariat (al-Ashl) seperti
khamar, hukum dari persoalan tersebut yaitu haram, persoalan yang diqiyaskan (al-Far`)
seperti narkoba, dan sifat yang sama-sama dimiliki oleh al-Ashl dan
al-Far` (al-`Illah) seperti memabukkan.
6)
Mengetahui Maqâshid al-Syariah. Hal ini sebenarnya sudah sangat dipahami oleh para
sahabat. Dibuktikan
dengan beberapa ijtihad sahabat yang terlihat berbeda atau belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. seperti pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar
Ra., sikap Umar bin Khatab Ra. yang tidak memotong tangan pencuri saat paceklik
dan lain-lain.
7)
Mengetahui Kondisi Manusia. Imam Ahmad (241 H) memaparkan bahwa seseorang tidak layak
untuk berfatwa kecuali setelah memenuhi beberapa hal, di antaranya adalah Ma`rifat
al-Nâs. Ingatlah bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan
tempat dan waktu.
Al-Qaradhawi
juga menafsirkan Ma`rifat al-Nâs dengan pemahaman terhadap ilmu
kontemporer yang berkaitan. Meskipun tidak dipersyaratkan menjadi seorang pakar
di dalamnya.
8)
Sifat `Âdil dan Taqwa. Sifat yang pertama ini menjadi standar ahli hadis dalam
penerimaan sebuah berita dari Rasulullah Saw. selain al-Dhabt.
B.
Kompetensi yang Masih Mukhtalaf fî hâ
1)
Mengetahui Ushûl al-Dîn atau ilmu kalam. Al-Qaradhawi sendiri lebih menekankan
pada lurusnya aqidah seorang mujtahid.
2)
Mengetahui ilmu mantik. Sebenarnya mantik adalah ilmu untuk menata bangunan
pemikiran. Di antara pembahasannya adalah definisi, al-Kulliyyah al-Khamsah,
qiyas, dan semacamnya. Al-Qaradhawi sendiri lebih menekankan pada tercapainya
tujuan dari ilmu mantik sendiri yaitu sistematisasi pikiran seroang mujtahid.
Agar tidak terjadi al-Qiyâs ma`a’l Fâriq.
3)
Mengetahui Furû`u’l Fiqh. Memang tidak dipersyaratkan harus mengetahui seluruh
cabang fikih. Hanya dengan mengetahui berbagai pendapat ulama dalam persoalan
fikih sangat membantu seorang mujtahid dalam inferensi hukum, yaitu dengan
berkaca pada metode ulama terdahulu dalam mentransformasi sebuah dalil menjadi
sebuah produk hukum atau sebaliknya.
IV.
Beberapa Persoalan Ijtihad
A.
Ijtihad Parsial
Sulit untuk
meraih derajat mujtahid mutlak. Tapi persoalan hidup senantiasa datang dan
tidak boleh tidak dihukumi, oleh karenanya ijtihad dalam beberapa bab fikih
diperbolehkan dengan syarat:
1)
Memiliki kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan
persoalan
2)
Menguasai bidang garap yang ingin dihukumi secara baik
Memang model ijtihad semacam ini jauh dari kesan ideal,
tapi banyak pertimbangan yang melegalkan metode semacam ini selama berpegang
kepada sebuah metode yang tepat. Realita seperti tesis.desertasi pasca sarjana,
Majma`u’l Fiqh di beberapa negara, dan semacamnya berkontribusi besar
dalam ijtihad.
1)
Al-Ijtihâd al-Intiqâ’iy. Ialah mengambil salah satu pendapat dari para ulama
terdahulu yang dipandang Arjah. Ada beberapa hal yang menuntut
model ijtihad semacam ini. Pertama, perubahan kondisi masyarakat. Kedua,
berkembangnya ilmu dan teknologi. Ketiga, tuntutan zaman.
2)
Al-Ijtihâ al-Insyâ’iy. Ialah menyimpulkan hukum baru dari permasalahan yang
ada, baik yang telah dibahas oleh para ulama sebelumnya atau benar-benar baru.
3)
Penggabungan di antara keduanya.
1)
Tidak mengetahui dalil
2)
Pemahaman yang buruk terhadap nash
3)
Menyalahi ijmak
4)
Qiyas tidak pada tempatnya
5)
Tidak memahami persoalan kontemporer
6)
Liberal dalam memahami sebuah kemaslahatan
V.
Penutup
Semoga bedah
buku yang singkat ini dapat memberikan gambaran mengenai problematika ijtihad
atau dengan bahasa yang lebih rendah hati, memberikan gambaran mengenai buku al-Ijtihâd
fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah karya Yusuf al-Qaradhawi. Berbicara masalah tuntutan umat, ijtihad tidak mutlak
menjadi otoritas fakultas syariah Islamiyah. Umat tidak mau tahu alumni
fakultas apa seorang alumni pendidikan agama (baca: kader ulama). Akhir kata, penulis
membuka selebar mungkin pintu masukan. Semoga menjadi pemberat timbangan amal
di akhirat kelak. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.
أقمت عشرين سنة أطلب أيام الناس أستعين بذلك على الفقه (الشافعى)
Musa Al Azhar, Lc.
Daftar Pustaka
al-Asnawi,
Jamaludin, Nihâyat al-Sûl fî Syarhi Minhâju’l Ushûl, Maktabah Bahru’l
`Ulûm, Damanhur, Mesir, 1343 H
al-Khumaisi,
Abdurrahman, Mu`jam `Ulûmi’l Hadîts al-Nabawi, Dâr Ibn Hazm,
Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2000 M
al-Qaradhawi,
Yusuf, al-Ijtihâd fî al-Syari’ah al-Islâmiyyah, Dâr al-Qalam, Kuwait,
cet. IV, 1432 H/2011 M
__________________,
Ibnu’l Qaryah wa’l Kuttâb, Dâr al-Syurûq, Kairo, Mesir, cet. II, 2008 M
al-Suyuthi,
Jalaluddin, al-Itqân fî `Ulûmi’l Qur’ân, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Dâr
al-Hadîts, Kairo, Mesir, 1427 H/2006 M
al-Syaukani, Muhammad
bin Ali, Irsyâdu’l Fuhûl ilâ Tahqîqi’l Haq min `Ilmi’l
Ushûl, ditahkik oleh Sya’ban Muhammad Ismail, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir,
cet. III, 1430 H/2009 M
al-Syathibi, Abu
Ishaq, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, dikomentari oleh Muhammad
Abdullah Darraz, Maktabah al-Usrah, Kairo, Mesir, cet. II, 2006 M
Haitami,
Ramadhan Muhammad, al-Mursyid al-Hâdy fî Ushûli’l Fiqh al-Islâmy,
Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, cet. I, 1431 H/2010 M
Program Mausû`atu’l
Hadîts al-Syarîf, ver. 2.0.3, Jam`iyyah al-Makniz al-Islâmy