Arah Kiblat; Kajian
dari Berbagai Sisi[1]
Oleh: Musa Al Azhar, Lc. (Tim
AFDA)
A. Pendahuluan
Beruntung rasanya menjadi manusia muslim. Manusia yang disadarkan akan
tugas utama di muka bumi, memakmurkannya dengan apa yang dituntunkan oleh
Penciptanya. Lahirlah interkoneksi antara ilmu alam dengan ilmu syariat.
Keduanya ibarat koin yang jelas memiliki dua sisi. Dalam beberapa persoalan
ilmu syariat digunakan untuk mengatur penerapan ilmu alam. Begitu juga
sebaliknya, ilmu alam digunakan untuk merinci perintah syariat.
Ambil sebuah contoh, persoalan salat lima waktu yang sudah menjadi
kebutuhan harian seorang mukmin. Pelaksanaan solat membutuhkan perusahaan
tekstil yang merealisasikan syarat sah menutup aurat. Membutuhkan perusahaan
air untuk bersuci. Membutuhkan arsitek, kontraktor, dan tukang untuk menegakkan
keutamaan salat di masjid. Membutuhkan rangkaian listrik tertentu yang diubah
menjadi pengeras suara, sehingga 27 derajat solat berjamaah lebih mudah
dicapai. Tidak kalah pentingnya adalah ilmu falak untuk merealisasikan
‘menghadap kiblat’.
B. Definisi
Kata al-Qiblah memiliki makna al-Jihah. Dikatakan bahwa al-Qiblatu
Nâhiyat al-Shalât. Ungkapan Aina Qiblatuka? (Kemana
‘kiblatmu’?) berarti Aina Jihhatuka? (Kemana arahmu?).[2] Sedangkan bangunan yang
menjadi kiblat bagi umat Islam adalah Kabah, yaitu bangunan persegi yang
terletak di jantung kota Makkah.[3]
Dahulu, ketika matematika belum memasyarakat di Arab, kaum muslimin
menggunakan kemampuan observasi alam mereka untuk menentukan arah kiblat.
Posisi Kabah sendiri menurut David A. King sangat menguntungkan secara
astronomis. Satu sisi Kabah searah dengan kemunculan bintang Canopus (al-Suhail)
yang sering terbit di arah tenggara. Sementara sisi yang berlawanan dengan sisi
di atas tepat mengarah di tempat terbitnya matahari pada titik baliknya di
musim panas (summer solistice). Sehingga mereka tinggal menyesuaikan
dengan fenomena tersebut ketika berada jauh dari Kabah. [4] SubhânalLâh
C. Sejarah Kabah
1. Kabah Sebelum dan di Masa Nabi Ibrahim
Sesuai yang tersurat dalam al-Quran dan terkenal di kalangan sejarawan,
Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail As.-lah yang membangun Kabah. Namun, tidak
sedikit pula riwayat yang menyatakan bahwa Kabah dibangun oleh para malaikat
jauh sebelum Nabi Ibrahim As. membangunnya. Meskipun riwayat tersebut lemah,
namun tidak ada salahnya penulis mencantumkannya dalam makalah ini sebagai
tambahan wawasan.
Konon, Allah Swt. marah kepada malaikat karena ditanya soal penciptaan Nabi
Adam As. Singkat cerita malaikat pun menyesal dan bertobat kepada Allah Swt.
Kemudian para malaikat pun tawaf mengitari arsy-Nya sebanyak 7 kali. Turunlah
Rahmat Allah Swt. kepada mereka. Kemudian Allah Swt. meletakkan Baitu’l
Ma`mûr di bawah arsy. Terhadap malaikat yang menghuni bumi, Allah Swt. juga
memerintahkan mereka untuk membangun bangunan yang seperti Baitu’l Ma`mûr.
Di waktu Nabi Adam As. mengunjungi bangunan tersebut untuk berhaji, malaikat
berkata, ”Wahai Adam, lihatlah kami yang sudah berhaji di sini 1000 thaun
sebelum engkau”. Menurut al-Umari[5] dalam masterpiece-nya, Masâliku’l
Abshâr fî Mamâliki’l Amshâr, Nabi Adam As. dan keturunannya tawaf terhadap
bangunan tersebut sampai datang banjir pada masa Nabi Nuh As. Bangunan tersebut
diangkat ke langit, sampai datang Nabi Ibrahim As. bersama putranya, Nabi
Ismail As. membangun Kabah yang ada sekarang ini di atas fondasi yang lama.[6]
2.Perpindahan Kiblat (Tahun Kedua Hijrah)
Setelah menjalani fase Makkah selama 13 tahun, Rasulullah Saw. dan kaum
muslimin diperintahkan untuk hijrah. Menurut Prof. DR. Marwan Syahin[7] ketika memberikan
kuliahnya, salah satu tujuan hijrah adalah membangun cetak biru peradaban Islam
di daerah yang baru dan jauh dari gangguan penentang dakwah Islam. Dipilihlah
Yatsrib (yang selanjutnya dinamai al-Madinah al-Munawwarah) sebagai tujuan
hijrah. Yatsrib sebelumnya dihuni oleh ahli kitab, Nasrani dan Yahudi. Mereka
juga tidak begitu saja menerima dakwah Islam. Namun, melalui piagam Madinah,
perdamaian kota bisa direalisasikan.
Dalam membangun peradaban Islam, Rasulullah Saw. juga merumuskan hal-hal
yang berfungsi membedakan antara masyarakat muslim dengan lainnnya. Di
antaranya adalah kiblat. Maka Rasulullah Saw. memohon kepada Allah Swt., agar
kiblat salat umat muslim dipindah dari
yang semula menghadap Masjid al-Aqsha, menjadi ke Masjid al-Haram.
قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِۖ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةً۬ تَرۡضَٮٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ
ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُ ۥۗ
وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن
رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُونَ (١٤٤(
Artinya:
“Sungguh
Kami [sering] melihat mukamu menengadah ke langit [4], maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang [Yahudi dan Nasrani] yang diberi Al Kitab [Taurat
dan Injil] memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan. (al-Baqarah: 144)”
Kontan, orang Yahudi banyak komentar
terhadap hal ini, namun itu semua terjawab oleh Firman Allah Swt.
سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّٮٰهُمۡ
عَن قِبۡلَتِہِمُ ٱلَّتِى كَانُواْ عَلَيۡهَاۚ قُل لِّلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ يَہۡدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (١٤٢(
Artinya:
“Orang-orang yang kurang akalnya [1] di antara
manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka [umat Islam] dari
kiblatnya [Baitul Maqdis] yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus [2]. (al-Baqarah142)”
Peristiwa
ini terekam dengan baik dalam berbagai literatur hadis, di antaranya:
· حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ
الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ
الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنَ الأَنْصَارِ
وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ
عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ وَصَلَّى مَعَهُ
قَوْمٌ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ
وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قِبَلَ مَكَّةَ فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ
الْمَقْدِسِ وَأَهْلُ الْكِتَابِ فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
أَنْكَرُوا ذَلِكَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى
حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ
وَقُتِلُوا فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ[8]
· حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ
فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ
يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى
الشَّأْمِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ[9]
Setelah mengumpulkan beberapa hadis
yang berkaitan, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw. pertama kali salat
menghadap Kabah adalah ketika salat Zhuhur bersama Bani Salamah. Sedangkan di
Masjid Nabawi, salat pertama menghadap Kabah adalah salat Asar beberapa saat
kemudian. Kemudian salah seorang sahabat mengabarkan kepada kaum muslimin yang
sedang salat subuh di Masjid Quba, di luar Madinah.
Selain itu, timbul sebuah
pertanyaan, berapa lama kaum muslimin salat menghadap Masjid al-Aqsha? Dalam
satu hadis ada kata 16 bulan, ada pula 17 bulan. Ibn Hajar al-Asqalani (852 H),
mendamaikan pertentangan ini dalam masterpiece-nya Fathu’l Bâri bi
Syarhi Shahîhi’l Bukhâri. Bagi yang menghitungnya 16
bulan, ia tidak menghitung bulan dimana Nabi Hijrah, sedangkan yang
menghitungnya 17 bulan, maka ia memasukkannya. Nabi Saw. hijrah pada bulan
Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ada di pertengahan bulan Rajab.[10]
D. Hukum Kiblat Menurut Empat Mazhab
Sangat menarik melihat bagaimana para ulama berijtihad dalam persoalan
menghadap kiblat. Di bawah ini penulis coba memaparkan hasil ijtihad para ulama
mazhab tersbut.
1)
Hanafiyah
· Berpatokan pada masjid-masjid kuno yang dibangun sahabat
dan tabi’in.
· Bertanya kepada orang lain dengan urutan kepada yang
terdekat (penduduk setempat), yang ditanya mengerti arah kiblat, dan kesaksian
yang ditanya bukan seorang kafir atau anak-anak
· Jika dua cara di atas tidak dapat dipenuhi, maka gunakan
prasangka
2)
Malikiyah
· Berpatokan kepada masjid-masjid kuno yang ada
· Meneliti tanpa bertanya (jika mampu)
· Bertanya kepada orang lain
3)
Syafi`iyah
· Mencari sendiri
· Bertanya kepada orang yang kredibel
· Berijtihad
· Taqlid
4)
Hanabilah
· Berpatokan kepada masjid-masjid (mihrâb)
kuno
· Bertanya kepada orang yang adil. Prasangka boleh
digunakan ketika waktu salat sempit, ketika masih lapang, dianjurkan berijtihad
terlebih dahulu.[11]
Penulis jelas tidak punya otoritas untuk membatasi kitab fikih, tafsir,
hadis, dan sebagainya dalam kajian arah kiblat. Semakin luat referensinya, maka
akan ditemukan hasil yang lebih maksimal.
E. Cara Menentukan Arah Kiblat
1. Fenomena Matahari di atas Kabah
Dua
kali dalam setahun, matahari mampir tepat di atas kota Makah, yaitu pada tanggal 28 Mei pukul 12.18 waktu Makah
dan 16 Juli 12.27 waktu Makah. Fenomena ini sering disebut al-Istiwâ’
al-A`zham, Zawâl, atau Rashdu’l Qiblah. Fenomena ini
disebabkan oleh gerakan semu matahari yang disebut gerak tahunan matahari
(musim). Selama bumi beredar mengelilingi matahari, sumbu bumi miring 66,5
derajat terhadap bidang edarnya. Sehingga selama setahun matahari terlihat
mengalami pergeseran 23,5 derajat Lintang utara sampai 23,5 derajat Lintang
Selatan. Saat nilai azimut matahari sama dengan nilai azimuth lintang geografis
suatu tempat, maka di tempat itu terjadilah peristiwa al-Istiwâ’ al-A`zham,
yaitu melintasnya matahari melalui zenit.
Cara
memanfaatkan momen ini adalah, dengan meletakkan sebuah tongkat pada waktu
tersebut (konversi terhadap waktu Makah). Tongkat tersebut akan membentuk
bayangan yang mengarah ke Kabah. Sebagaimana di gambar 2.
Gambar 2
Tidak
semua tempat dapat mengalami fenomena ini, hanya tempat-tempat yang matahari
sudah terbit atau belum terbenam setelah dikonversi dengan waktu Mekkah-lah
yang dapat mengalami fenomena ini. Dengan kata lain, daerah-daerah yang
terpisah 90 derajat dari kota Makah.[12]
Andaikata
matahari tertutup awan, ada waktu toleransi, yaitu sekitar 5 menit setelah
waktu al-Istiwâ’ al-A`zham, bahkan satu hari setelahnya.
2. Rasi Bintang
Di antaranya adalah memanfaatkan rasi Orion/Waluku/The Hunter/al-Jabbâr[13]
yang dengan mudah dapat dilihat selama November-Februari. Dalam mitologi
Yunani, Orion digambarkan sebagai seorang ksatria. Orion tersusun atas beberapa
bintang. Sebagai tanda pengenal adalah sabuknya yang tersusun dari tiga bintang
yang berderet ke barat, Alnitak, Alnilam, dan Mintaka. Ada pula Ibth
al-Jauzâ’ (Betelgeuse) yang ada di atas dan berwarna merah. Juga Rigel
sebagi bintang paling terang di rasi orion, dan bintang paling terang urutan
keenam di langit.
3. Ilmu Ukur Segitiga Bola
(Spherical Trigonometry)
Ilmu ini digunakan untuk mengukur permukaan benda berbentuk bola.
Prakteknya, dengan menarik garis antara titik Kabah dengan titik tempat (yang
akan ditentukan arah kiblatnya) dengan titik Kutub Utara. Maka akan membentuk
sebuah segitiga dengan tiga sudutnya.
Untuk mengitung arah kiblat dengan rumus ini, maka yang dibutuhkan adalah koordinat
Kabah (φ = 21° 25’ LU dan λ = 39° 50’ BT) dan koordinat
tempat yang akan dicarai arah kiblatnya. Bisa didapat di berbagai sumber.
Kemudian diselesaikan dengan rumus berikut:
4. Software dan Situs
Banyak software dan situs di dunia maya yang dapat dimanfaatkan untuk
mencari arah kiblat suatu tempat. Misalnya software seperti Accurate Times
keluaran ICOP
Salah satu fitur yang terdapat dalam software ini adalah penentu arah
kiblat. Tinggal menyesuaikan data tempat dan masuk ke fitur yang dimaksud, akan
keluar hasil seperti ini:
Gambar 7
F. Penutup
Kolaborasi antara ilmu falak dengan ilmu syariat terbukti menghasilkan hal
yang sangat membantu dalam pelaksanaan tugas khilafah di muka bumi. Semoga
tulisan yang sederhana ini dapat menginspirasi. WalLahu a`lamu bi al-Shawâb
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathu’l Bâri bi
Syarhi Shahîhi’l Bukhâri¸ ditahkik oleh Muhibudin al-Khatib, et. al., vol. I, Dâr
al-Rayyân, Kairo, Mesir, cet. I, 1407 H/1986 M
al-Kharbuthli, Ali Husni, Târîkhu’l Ka`bah, Dâru’l Jail, Beirut,
Libanon, cet. III, 1411 H/1991 M
Arkanudin, Mutoha, Modul Pelatihan Perhitungan dan Pengukuran Arah
Kiblat, Rukyatulhilal, Indonesia, 2007 M
Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga
Penerbitan PCIM-Kairo, Mesir, cet. II, 2010
M
Ibnu Manzhur, Lisânu’l `Arab, ditahkik oleh Abdullah Ali et. al.,
vol. V, Dâru’l Ma`ârif, Kairo, Mesir, t.t.
King, David, `Ilmu’l Falak wa’l Mujtama` al-Islâmiy, dalam Rusydi
Rasyid, et. al., Mausû`at Târîkh al-`Ulûm al-`Arabiyyah¸ vol. I, Markaz Dirâsât
al-Wihdah al-`Arabiyyah, Beirut, Libanon, cet. II, 2005 M
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M
Syahin, Marwan Mustofa, Durûs min Sîrah al-Nabi fi’l `Ahd al-Madani,
Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, 1432 H/2011 M
Mutawali, Zainul Abidin, Wa bi al-Najm Hum Yahtadûn, Hai’ah
al-Mishriyyah al-`Âmmah li’l Kutub, Kairo, Mesir, 2005
Program Mausû`atu’l Hadîts al-Syarîf, Jam`iyyatu’l Makniz
al-Islâmi, ver. 2. 0. 3
[1] Dipresentasikan
dalam Islam Islamic Astronomy Basic Training, Aula Rumah Limas KEMASS Mesir,
10 Juli 2012
[2] Ibnu
Manzhur, Lisânu’l `Arab, ditahkik oleh Abdullah Ali et. al., vol. V,
Dâru’l Ma`ârif, Kairo, Mesir, t.t., Hal. 3521 (قبل)
[3] David
King, `Ilmu’l Falak wa’l Mujtama` al-Islâmiy, dalam Rusydi Rasyid, et.
al., Mausû`at Târîkh al-`Ulûm al-`Arabiyyah¸ vol. I, Markaz Dirâsât
al-Wihdah al-`Arabiyyah, Beirut, Libanon, cet. II, 2005 M, hal. 173
[4] Ibid., hal. 174
[5]
Syihabuddin al-Umari, seorang sejarawan asal Damaskus. Wafat tahun 749 H di
Kairo
[6] Ali
Husni al-Kharbuthli, Târîkhu’l Ka`bah, Dâru’l Jail, Beirut, Libanon,
cet. III, 1411 H/1991 M, hal. 11-12
[10] Marwan Mustofa
Syahin, Durûs min Sîrah al-Nabi fi’l `Ahd al-Madani, Universitas
al-Azhar, Kairo, Mesir, 1432 H/2011 M, hal. 18. Lihat sumber aslinya, Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fathu’l Bâri bi
Syarhi Shahîhi’l Bukhâri¸ ditahkik oleh Muhibudin al-Khatib, et. al., vol. I, Dâr
al-Rayyân, Kairo, Mesir, cet. I, 1407 H/1986 M, hal. 120
[11] Arwin
Juli Rakhmadi Butar Butar, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga Penerbitan
PCIM-Kairo, Mesir, cet. II, 2010 M, hal.
49
[12] Ibid., hal. 57
[13] Zainul
Abidin Mutawali, Wa bi al-Najm Hum Yahtadûn, Hai’ah al-Mishriyyah
al-`Âmmah li’l Kutub, Kairo, Mesir, 2005, hal. 272
No comments:
Post a Comment