أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, October 1, 2012

Ru’yatu’l Hilâl, Kalender Islam, dan ‘Mencurigai’ Mesir


Sebenarnya tulisan ini menjadi lebih indah klo diposting sebelum maghrib, 19 Juli 2012. Hanya karena pada saat itu saya tidak berada di kamar. Saya bersama tim AFDA PCI-Muhammadiyah Kairo-Mesir, yang memang concern di bidang ilmu falak bersama melakukan observasi di observatorium Helwan, Mesir. Awalnya hanya direncanakan observasi matahari sesuai kesepakatan dengan pihak observatorium karena:
  1. Tim AFDA sudah melakukan perhitungan awal bulan Ramadan 1433 H. Hasilnya: altitude (ketinggian) hilal tidak sampai 1° di atas ufuk, hilal juga hanya muncul 23 detik di atas ufuk. Hasil perhitungan di atas juga tidak jauh beda dengan perhitungan astronomis para ilmuwan termasuk observatorium helwan. Sehingga dapat dipastikan, bahwa hilal sulit bahkan mustahil untuk dilihat dengan teleskop apalagi mata telanjang.
  2. Menurut perwakilan observatorium Helwan, memang hilal tidak bisa dilihat, ditambah faktor tambahan yaitu polusi udara (baca: debu) yang bakal menutupi hilal.
Tapi Allah Swt. berkehendak lain. Ketika kami sudah menyelesaikan observasi matahari bersama DR. Muhammad Gharib, ada seorang senior tim AFDA yang menghubungi salah seorang rekan astronom Mesir dan ternyata akan tetap melakukan rukyatul hilal. Akhirnya, dalam sejarah, Musa Al Azhar untuk pertama kalinya melakukan rukyatul hilal. Nilai lebihnya, diliput oleh stasiun tv internasional Aljazeera Mubasyir alias LIVE (#Hokyaa-hokyaa). Hasilnya, hilal tetap tidak bisa dilihat, jangankan hilal, matahari terbenam saja sudah sulit dilihat oleh mata telanjang. Tapi, jujur saya kaget ketika mendengar Mufti Mesir, Prof. DR. Ali Jum`ah Muhammad mengumumkan bahwa besoknya, 20 Juli 2012 adalah 1 Ramadan. What? Saya kira Syaban akan digenapkan 30 hari.

Dalam menentukan awal bulan kamariyah, menurut saya Mesir terbilang maju dibandingkan negara-negara lain. Saya masih belum bisa menyebutkan metode apa yang digunakan Mesir. Apakah dia ru’yah bi’l fi`l alias menentukan datangnya awal bulan dengan cara melihat langsung hilal, konsekuensinya apabila tidak kelihatan dengan alasan apapun baik tertutup awan, ketinggian terlalu rendah, atau hilal hanya sebentar berada di atas ufuk, apalagi hilal masih di bawah ufuk, maka hari esoknya adalah hari terakhir bulan sebelumnya. Alias menggunakan metode menggenapkan bilangan bulan sebelumnya 30 hari atau istikmâl. Kalau Mesir menggunakan ru’yah bi’l fi`l, di banyak tempat, termasuk Helwan tempat kami melakukan observasi, demi Allah hilal tidak terlihat. Secara astronomis, hilal juga sulit bahkan mustahil dilihat di Mesir.

Ada yang mengatakan imkân al-ru’yah. Menetapkan standar tertentu hilal dapat dilihat setelah konjungsi. Memperhitungkan tinggi hilal, lamanya hilal di atas ufuk, jarak hilal dengan matahari, dan sebagainya. Seperti kriteria 2-3-8 (2 derajat altitude hilal di atas ufuk, 3 derajat jarak busurnya dengan matahari atau elongasi, dan 8 jam umur bulan setelah terjadi konjungsi) milik MABIMS yang dipakai di tanah air. Tapi berapa standar Mesir? Hampir semua pakar astronomi Mesir yang kami tanya, tidak menetapkan kriteria tertentu. “Yah, banyak faktor yang dipertimbangkan” Begitu jawab DR. Amir yang rukyatul hilal bersama kami kemarin. Selain itu, jujur, kriteria terkecil imkân al-ru’yah yang pernah saya temui adalah 2-3-8-nya Indonesia. Agak aneh memang, dengan kondisi alam (terutama langit) Indonesia yang sering mendung, tertutup gunung, apalagi polusi, kriteria yang diterapkan ‘sekecil itu’. Andrea Danjon dari Prancis menetapkan altitude 2 derajat, dan 7 derajat elongasi. Muhammad Ilyas dari Malaysia altitude 5 derajat dan elongasi 10,5 derajat. Konsensus Istanbul altitude 5 derajat dan elongasi 8 derajat. Ibnu Yunus, astronom Mesir yang wafat tahun 399 H menetapkan altitude 6-6,5 derajat, elongasi 10 derajat, dan mukts 8 derajat. Sekali lagi, untuk Mesir ramadan kali ini, hilal tidak sampai altitude 1 derajat ! Tidak masuk semua kriteria imkân al-ru’yah di atas.

Paling dekat ‘mencurigai’ Mesir menggunakan wujûdu’l hilâl   seperti yang digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis (sekarang PERSIS beralih ke imkân al-ru’yah) . Tidak penting bisa atau mungkin dilihat atau tidak, yang penting sudah di atas ufuk saat terbenam matahari setelah terjadi konjungsi berapapun tingginya. Metode ini juga yang keluar dari mulut DR. Amir kemarin. Dalam penentuan kalender keseharian, Mesir sudah selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia karena memperhitungkan gerak faktual bulan. Indonesia masih menggunakan hisab urfi yang tidak mendasarkan atas pergerakan bulan yang sebenarnya. Menurut penelitian Prof. DR. Syamsul Anwar, hisab urfi tidak sejalan dengan sunah Nabi Saw. karena bulan Ramadan dalam hisab urfi yang dipakai di tanah air berjumlah 30 hari (cek kalender), padahal dalam hadis Aisyah Ra., Rasulullah Saw. lebih sering berpuasa selama 29 hari. 

Bisa juga rukyat global. Satu tempat di dunia ini melihat hilal, maka berlaku untuk seluruh dunia. Karena saat pembacaan pengumuman awal bulan di al-Azhar Conference Center lalu, Mufti Mesir Prof. DR. Ali Jum`ah juga menyebutkan pertimbangan ‘terlihat’-nya hilal di Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan banyak negara lainnya.

Sudahlah, sebut Mesir menggunakan RUKYAT dalam penetapan awal bulan. Hanya bukan sembarang rukyat seperti yang dilakukan di beberapa negara Islam yang menerima kesaksian semua orang jujur meskipun tidak paham astronomi, hasilnya beberapa kali hilal masih di bawah ufuk tapi ada yang mengaku melihat dan diterima kesaksiannya. Ada empat hal yang  patut dicatat dari rukyat-nya Mesir:
  1. Mesir tetap melakukan ru’yah bi’l fi`l untuk mengakomodir sunnah Rasulullah Saw. dan membuktikan hasil perhitungan astronomis bahwa hilal bisa dilihat oleh mata pada kesempatan tertentu, atau membuktikan bahwa hilal memang tidak mungkin dilihat oleh mata meskipun sudah di atas ufuk dengan alasan apapun mulai dari altitude, elongasi, tertutup awan, bahkan tertutup debu gurun sekalipun seperti yang kemarin terjadi.
  2. Rukyat Mesir adalah al-Ru`yah al-`Ilmiyyah. Mesir tidak akan mengumumkan terlihatnya hilal ketika hilal masih di bawah ufuk. Mesir juga melakukan perhitungan sebelum melakukan rukyat. Berapa altitude, elongasi, lamanya hilal di atas ufuk, azimut bulan dan matahari, kapan matahari terbenam, dan lain sebagainya.
  3. Syeikh Ali Jum`ah menyebutkan bahwa hilal telah terlihat di beberapa daerah di Mesir seperti Toscha dan Qena, juga di beberapa negara Arab.  Al-Ru`yah al-Bashariyyah atau al-Ru`yah al-`Ilmiyyah ???
  4. Pengumuman awal bulan dilakukan oleh Mufti Mesir dan ditaati oleh rakyat dari ujung Alexandria di sebelah utara sampai Sha'idi di ujung selatan. Keputusan ini sangat berwibawa, tidak ada yang berani menyelisihinya. Bahkan dari gesture para astronom yang kemarin ikut rukyatul hilal, tidak ada yang terlihat ingin berbeda dengan mufti.
Ngomong-ngomong, apa arti kata rukyat? Kalau arti rukyat dalam bahasa Arab mengharuskan melihat dengan mata telanjang, maka mereka yang mengartikannya sebagai melihat dengan ilmu yang diterjemahkan dengan menghitung berarti telah menakwil arti rukyat bahkan men-ta'thil-nya. Tapi, mari kita kaji kata ra'a-yaraa-ru'yatan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkan dengan bahasa Arab.
  • رأى بالعقل(melihat dengan akal)  :۞ وَتَرَى ٱلشَّمۡسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَٲوَرُ عَن كَهۡفِهِمۡ ذَاتَ ٱلۡيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقۡرِضُہُمۡ ذَاتَ ٱلشِّمَالِ وَهُمۡ فِى فَجۡوَةٍ۬ مِّنۡهُ‌ۚ ذَٲلِكَ مِنۡ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ‌ۗ مَن يَہۡدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلۡمُهۡتَدِ‌ۖ وَمَن يُضۡلِلۡ فَلَن تَجِدَ لَهُ ۥ وَلِيًّ۬ا مُّرۡشِدً۬ا (١٧)[1]
  • العلم بالشيئ(mengetahui sesuatu)   : أَلَمۡ تَرَوۡاْ كَيۡفَ خَلَقَ ٱللَّهُ سَبۡعَ سَمَـٰوَٲتٍ۬ طِبَاقً۬ا (١٥([2]
  • الإيمان بالخبر(mempercayai khabar)  : أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِ‌ۖ...[3]
  • إطلاع أو إظهار الأمر للغير(menampakkan sebuah perkara pada yang lainnya) : وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّہَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ (١٠٥)[4]
  • تقدير الأمر(memperkirakan sebuah perkara) : إِنَّہُمۡ يَرَوۡنَهُ ۥ بَعِيدً۬ا (٦) وَنَرَٮٰهُ قَرِيبً۬ا (٧)[5]
Masih banyak lagi makna yang terkandung dalam kata ra’â. Rasanya aneh apabila hanya membatasi makna ra’â kepada melihat dengan mata kepala, padahal makna yang terkandung dalam kata tersebut lebih dari itu. Sehingga yang dimaksud dengan rukyah adalah menggunakan metode alami untuk menentukan waktu mulai ibadah, dan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang, melainkan juga dengan ilmu tertentu.[6]

Lalu, mengapa Rasulullah Saw. dahulu memerintahkan rukyat dengan mata telanjang, bukan menghisab? Beberapa ulama seperti ahli hadis Ahmad Muhammad Syakir, Thanthawi Jauhari, Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar memberikan alasan:
  • حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رضى الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ[7]
Pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat, mereka tidak menggunakan hisab sebagai penentuan awal bulan, melainkan melakukan pengamatan langsung terhadap fenomena pergerakan benda langit. Hal ini disebabkan karena: 
  1. Pada masa itu, bangsa Arab belum menempatkan astronomi sebagai sebuah disimplin ilmu, melainkan sebuah sarana memenuhi kebutuhan hidup[8], seperti penggunaan rasi bintang untuk keperluan navigasi.[9] Sekaligus pengamatan hilal untuk mengetahui awal bulan.
  2. Hal di atas dibuktikan dengan beberapa observasi yang dilakukan oleh para sahabat. Seperti yang dilakukan Mu`adz bin Jabal dan Tsa`labah bin Nu`man. Mereka mengamati perubahan bentuk bulan, kemudian menanyakannya pada Rasulullah Saw. akan hal tersebut, kemudian turunlah al-Baqarah : 189.[10]
  3. Keadaan umat yang masih ummi (tidak bisa menulis dan menghitung) sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas. Kata-kata yang keluar dari lisan Rasulullah Saw. tidak pernah merupakan hal yang sia-sia. Informasi mengenai keadaan umat yang ummi sebelum jumlah bilangan hari di atas, menunjukkan kaitan antara keduanya. Singat cerita, oleh karena ke-ummi­-an tersebut, maka cara terbaik untuk melihat hilal ketika itu adalah pengamtan langsung, bukan penghitungan. Karena apabila yang diperintahkan adalah melakukan perhitungan, itu akan menjadi takalluf   (mempersulit)Sehingga, apabila kausa dari perintah di atas telah hilang (ada kemampuan menulis dan berhitung, sekaligus keakuratan sistem perhitungan), maka tidak ada halangan lagi untuk melakukan hisab dalam penentuan awal bulan.[11] Karena sesuai dengan kaidah yang disepakati oleh para ulama. "Al-Hukmu yadûru ma`a illatihi wa sababihi wujudan wa ‘adaman" (Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya illat (kausa) dan sebabnya)
  4. Waktu itu, astronomi masih tercampur dengan astrologi. Maka sebagai langkah preventif bertanya pada ahli nujum yang memang saat itu bisa menentukan posisi benda langit, lebih baik melakukan observasi langsung.
Silahkan lihat perkataan yang dikutip oleh Muhammad bin Ismail al-Shan`ani dalam Subûl al-Salâm,
“Ibn Bathal berkata,’Di dalam hadis, ada usaha preventif untuk bertanya kepada para ahli nujum. Sehingga, yang dijadikan pegangan adalah rukyatul hilal (ru’yat bi’l Fi`l-pen), dan kita dilarang untuk takalluf’. Dalam membantah argumen yang mengatakan bahwa ahli hisab dan nujum boleh berpuasa dan berbuka dengan al-Tanjîm, al-Baji berkata,’Sesungguhnya konsensus salaf telah menjadi bantahan bagi mereka’. Ibnu Burairah berkata, ‘Itu (hisab-pen) adalah mazhab yuang batil, karena syariat telah melarang untuk masuk dalam ilmu nujum karena itu hanyalah dugaan, prasangka, dan mengandung ketidakpastian’.”[12]

Selain itu, ada keragaman pendapat ulama dalam memaknai faqdurû lahu dalam hadis Shumu li ru'yatihi
1)      Imam Ahmad bin Hanbal dan yang sependapat dengannya : Memperkirakannya ada di balik awan
2)      Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdullah, Ibn Qutaibah, dan lain-lain : Memperhitungkan dengan hisab. Taqiuddin al-Subki juga menyatakan dalam Fatâwî-nya bahwa ada beberapa ulama besar yang mewajibkan, atau setidaknya membolehkan berpuasa atas hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyat.[13]
3)      Imam Malik, Imam al-Syafi`i, Imam Abu Hanifah, dan jumhur: Perintah untuk istikmâl merupakan takwil dari faqdurû lahu.[14] Argumen terakhir inilah yang dipegang oleh penganut mazhab ru’yat bi’l Fi`l. WalLahu a`lamu bi al-Shawab

Mari berbicara sistem kalender terpadu. Pendahulu kita, para sahabat termasuk Umar bin Khattab Ra. memberikan kontribusi besar dalam bidang kalender:
  1. Memulai dengan angka pada bilangan tahun yang sebelumnya digunakan momen yang terjadi untuk menamai tahun seperti Tahun Gajah. Dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Saw.
  2. Mengamalkan larangan interkalasi (al-Nasî’) dalam al-Quran. Sehingga sistem penanggalan yang digunakan kembali murni lunar, tidak lagi luni-solar.

Tapi, tilka ummatun qad khalat lahâ mâ kasabat wa lakum mâ kasabtum. Apa yang akan diberikan oleh generasi kita pada dunia? Mari wujudkan kalender Islam terpadu ! Sistem kalender yang secara kompak digunakan oleh umat muslim sedunia.

Kairo, 2 Ramadan 1433 H

 

Tebak-tebakan, mana yang hilal? A atau B? :P
  
[1] QS. Al-Kahf : 17

[2] QS. Nûh : 15

[3] QS. Al-Mujâdalah : 7

[4] QS. Al-Taubah : 105

[5] QS. Al-Ma`ârij : 6-7

[6] Adnan Abdul Munim Qadhi, Adnan Abdul Munim Qadhi, al-Ahillah, Maktabah Kunûzu’l Ma`rifah, Jeddah, Arab Saudi, cet. II, 1431 H/ 2010 M, hal. 105

[7] HR. Bukhari, Kitâb al-Shaum, Bâb Qaul al-Nabi Lâ Naktubu wa Lâ Nahsubu, No. 1947

[8] Lihat buku-buku sejarah ilmu falak Arab seperti: Abdul Amir al-Mukmin, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi, Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M

[9] Al-Quran pun bersaksi akan hal ini, sebagaimana dalam QS. Al-Nahl : 16

[10] Jalaluddin al-Suyuthi, Asbâb al-Nuzûl, ditahkik oleh Hamid Ahmad al-Thahir, Dâru’l Fajr li al-Turâts, Kairo, Mesir, cet. I, 1423 H/2002 M, hal. 1

[11] Lihat analasa al-Qaradhawi dalam Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata`âmal ma`a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dâr al-Syurûq, Kairo, Mesir, cet. IV, 1427 H/2006 M, hal 165

[12] Muhammad bin Ismail al-Shan`ani, Subûl al-Salâm al-Muwashilah ilâ Bulûghi’l Marâm, ditahkik oleh Muhammad Shubhi Hasan Hallaq, vol. IV, Dâr Ibn al-Jauzi, Damam, Arab Saudi, cet. I, 1429 H, hal. 89

[13] Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Pengantar Ilmu Falak, Majelis Penerbitan PCIM, Kairo, Mesir, cet. I, 2008, hal. 68

[14] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol. VII, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t., hal. 189

No comments:

Post a Comment