Ada beberapa sebutan yang tidak
asing dalam dunia keilmuan Islam namun belum tentu maknanya diserap dengan baik
oleh umat.
1. Ulama (العلماء): sekilas orang akan mengira bahwa kata tersebut adalah bentuk
plural atau jamak dari kata (العالم).
Padahal bukan, ia adalah jamak dari (العليم). Sedangkan (العالم)
jamaknya adalah (العالمون). Bedanya,
yang pertama hanyalah ism fa`il dari kata `alima yang artinya mengetahui
sehingga ia berarti orang yang mengetahui. Sedangkan yang kedua adalah sîghah
mubâlaghah. Singkat cerita, ia merupakan sifat bagi orang yang ilmu sudah
menyatu dalam darah dagingnya.
2. Al-`Allâmah: Syekh Fauzi al-Kunati, guru tempat kami
penulis bertalaqqi nahwu-sharaf, pernah menyampaikan bahwa kata tersebut hanya
untuk menyebut mereka yang menguasai ilmu manqul (ilmu riwayat seperti hadis dll) dan ma`qûl (ilmu logika)
Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim, di
sela-sela mengajar kitab ilmu hadis, Tadrîb al-Râwi karya Jalaluddin
al-Suyuthi (911 H), pernah memberikan komentar yang sangat menarik mengenai pelajar-pelajar
instan. “Dahulu, orang belajar selama dua tahun untuk berbicara dua jam. Sekarang
sebaliknya, orang baru belajar dua jam sudah ingin berbicara selama dua abad”.
Ilmu tidak mungkin menyatu dalam
darah dan daging seseorang kecuali ia menempuh apa yang telah ditempuh oleh
para ulama selama berabad-abad.
Usaha Keras
Benar, sahabat muda Abdullah bin
Abbas didoakan oleh Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama supaya
Allah jadikan sebagai fakih dan diajarkan ilmu tafsir. Akan tetapi, doa
tersebut salah satu jalan terkabulnya doa itu adalah ketekunan Ibnu Abbas untuk
mengumpulkan riwayat-riwayat para sahabat yang tersebar. Salah seorang sahabat
Anshar yang baru bangun tidur siang kaget ketika membuka pintu rumahnya,
didapati seorang pemuda yang pakaiannya sudah kotor terkena debu padang pasir.
Lebih kaget lagi, ternyata pemuda itu adalah Ibnu Abbas. “Kenapa tidak panggil
saja? Nanti saya datang kepada anda wahai sepupu Rasulullah!” Namun bagi Ibnu
Abbas, dirinyalah yang lebih pantas untuk mendatangi karena dahaga akan hadis
Rasulullah yang ada pada sahabat Anshar tersebut. Beberapa waktu kemudian
sahabat Anshar tersebut mendapati dirinya berada di tengah-tengah halaqah ilmu
Ibnu Abbas.
Ulama generasi setelahnya juga
tidak jauh beda. Ulama hadis Ibnu Abi Hatim (327 H) menceritakan perjuangan
ayahnya Muhammad bin Idris bin al-Mundzir Abu Hatim al-Razi (277 H). Makkah, Madinah,
Bahrain, Mesir, Ramallah, Baitul Maqdis, Asqalan, Thabariyyah, Damaskus, Homs,
Antokiya, Tharsus dan masih banyak lagi kota yang disinggahi Abu Hatim al-Razi
selama bertahun-tahun. Termasuk ceritanya terkatung-katung di laut dan padang
pasir. Allah berikan kehidupan kepada beliau yang tidak Allah berikan kepada
teman seperjalanannya.
Mungkin ada yang menganggap bahwa
mati-matian menuntut ilmu adalah legenda orang dulu. Padahal di abad ini ada
seorang pemuda Syiria yang nekat masuk Mesir, tertangkap dan tertahan di
penjara perbatasan kemudian dibebaskan, mati-matian menego panita penerimaan
mahasiswa supaya bisa mendaftar, hidup dari sisa-sisa roti di Masjid al-Azhar
dan menyalin semua buku pelajaran karena kehabisan uang. Jelaslah, karena
ayahnya tidak setuju dia pergi ke al-Azhar, ia juga sudah diterima sekolah
teknik di Jerman. Tapi ia tetap kabur ke Mesir berbekal tekad kuat dan
inspirasi dari ulama-ulama al-Azhar yang datang ke kampungnya di Syiria.
Singkat cerita beliau menjadi doktor di bidang syariah, ayahnya akhirnya ridha
kepadanya. Saat ini beliau adalah satu ulama syariah terbaik di tanah Syam.
Beliau adalah Syekh Muhammad Hasan Haito yang masih hidup sampai tulisan ini
dikerjakan.
Sistem
Pembelajaran ala Ulama
Selain belajar keras dan ikhlas,
salah satu kesuksesan belajar juga ditentukan dengan belajar cerdas. Maksudnya,
sistem belajar yang rapi, bukan asal baca buku. Dalam istilah pendidikan masa
kini, hal tersebut dikenal dengan nama kurikulum.
Keilmuan Islam sudah berabad-abad
memiliki kurikulum pembelajarannya. Dalam ilmu nahwu misalnya, kitab untuk
pemula yang paling terkenal adalah matan al-Âjurrûmiyyah karya Ibnu Ajurrum
berikut penjelasannya al-Tuhfah al-Saniyyah karya Syekh Muhyiddin
Abdul Hamid, seorang ulama al-Azhar. Ada pula kitab dasar ilmu nahwu Qathr
al-Nada dan syarahnya karya Ibnu Hisyam al-Anshari, ulama nahwu asal Mesir.
Pelajar yang menamatkan dan menguasai Qathr al-Nada, bisa melangkah ke Syudzûr
al-Dzahab beserta syarahnya karya ulama yang sama. Selanjutnya, ia bisa
masuk ke bait-bait syair Alfiyyah karya Ibnu Malik, dilanjutkan dengan berbagai
syarahnya. Puncaknya adalah Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyam. Setelah
menguasai kitab-kitab tersebut, ia bisa melatih penerapan kaidah nahwu dengan
membaca Mughni al-Labîb atau syarah-syarah kasidah Arab seperti syarah
kasidah Bânat Su`âd, lagi-lagi karya Ibnu Hisyam. Setelah itu, ia bisa
menyamuderakan ilmunya sampai kepada al-Kitâb-nya Imam Sibawaih.
Dalam ilmu fikih, karena meresapi
syiar ‘kembali ke al-Quran dan Sunnah’, seorang pelajar jadi lebih cenderung
untuk langsung mempelajari kitab-kitab hadis hukum atau Fiqh Sunnah.
Melihat keragaman madzhab, hasratnya pun menggebu untuk langsung mempelajari
fikih perbandingan.
Padahal belajar fikih pun ada
prosesnya. Sejak berabad-abad umat Islam dijaga pemahamannya terhadap syariat
Islam oleh para ulama madzhab. Merekalah yang memberikan pelayanan yang tiada
terkira kepada umat Islam untuk memahami syariatnya. Kesimpulannya, mempelajari
fikih diawali dengan mempelajari satu fikih madzhab sampai betul-betul
menguasai. Maksudnya menguasai bukan sekedar menguasai materinya, melainkan
juga memahami bagaimana produk hukum fikih tersebut keluar dari metode madzhab
tersebut. Setelah itu barulah ia menoleh kepada literatur fikih madzhab lain.
Sedangkan fikih dalil, fikih sunnah dan sebagainya, sebenarnya adalah bacaan
mereka yang sudah mencapai derajat ijtihad.
Metode matan->syarah
(penjelasan)->hâsyiyah (catatan pinggir) adalah metode yang sudah
terbukti melahirkan para ulama. Metode semacam ini membentuk bangunan keilmuan
di otak. Dimulai dengan membangun fondasi dengan mempelajari kitab-kitab matan
yang pendek-pendek. Setelah menamatkannya, seorang pelajar memperoleh gambaran
tentang apa saja pembahasan yang terdapat dalam sebuah disiplin ilmu. Setelah
gambaran tersebut utuh dalam otaknya, ia mulai merambah ke kitab-kitab syarah
untuk memperluas dan memperkaya pemahaman. Dalam fase ini, ia seperti
meninggikan bangunan. Buku-buku hasyiyah (catatan pinggir), biasanya berisi
tentang kajian mendalam terhadap permasalahan-permasalahan dalam disiplin ilmu
tersebut. Oleh karenanya, ia dibaca oleh mereka yang sudah memiliki bangunan
keilmuan tersebut dalam otaknya.
Sedangkan metode belajar dengan
caplok sana-sini dari berbagai buku sebenarnya tidak efektif. Di zaman sekarang, meskipun pengajaran sudah menggunakan sistem
perkuliahan, sistem talaqqi yang kontennya adalah hal-hal di atas masih
digandrungi. Bahkan para dosen sering memotivasi untuk tidak mencukupkan dengan
materi perkuliahan. Jadilah muncul istilah “al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan”,
al-Azhar itu ya masjidnya (maksudnya adalah talaqqi-talaqqi yang
diselenggarakan di masjid maupun tempat-tempat di sekitar al-Azhar), ya
kampusnya...
Sehingga,
seseorang yang ingin menpersembahkan hidupnya untuk mendalami ilmu di al-Azhar,
tidak cukup hanya menempuh perkuliahan bahkan sampai meraih gelar tertinggi
sekalipun. al-Azhar Jâmi`an wa Jâmi`atan...
Bagaimana Tekunnya Ulama?
Imam Syafi`i
menulis ‘al-Risâlah’ yang berisi rumus-rumus untuk memahami al-Quran dan
hadis. Sudah menjadi keniscayaan murid-muridnya begitu bersemangat untuk
mengkajinya. Salah seorang murid senior Imam Syafi`i, Ismail al-Muzanni selama
50 tahun tidak pernah lepas dari mengkaji al-Risalah. Beliau mengatakan, “Setiap
kali saya mempelajarinya, selalu ada faidah baru yang belum muncul dalam bacaan
sebelumnya”. Dalam riwayat lain, al-Muzanni membaca al-Risalah sampai 80 kali.
Tidak heran, murid yang tekun seperti ini dipuji oleh Imam Syafi`i, “Umpamanya
dia berdebat dengan setan, pasti setannya yang kalah”.
Saking
tekunnya ulama dalam mengkaji sebuah buku, sampai-sampai ada beberapa ulama
yang digelari dengan nama buku tersebut. Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin
Sulaiman (879 H) digelari dengan al-Kafiyaji karena seringnya menelaah kitab
nahwu al-Kâfiyah (Kâfiyat Dzawi’l Arib fî Ma`rifat Kalâmi’l `Arab) karya
Ibnu al-Hajib (646 H). Ada juga yang digelari dengan al-Minhaji karena
menggeluti kitab fikih Minhâj al-Thâlibîn-nya Imam al-Nawawi.
Ulama
zaman sekarang juga memelihara ketekunannya dalam ilmu. Prof. Dr. Ahmad Ma`bad
Abdul Karim sudah meneliti tuntas setiap perawi hadis yang ada di dalam kitab al-Jarh
wa al-Ta`dîl-nya Ibnu Abi Hatim yang tebalnya 11 jilid itu. Begitu juga
dengan yang terdapat dalam Tahdzîb al-Tahdzîb-nya Ibnu Hajar al-Asqalani
yang tebalnya 15 jilid. Ini diceritakan oleh murid beliau, Dr. Usamah
al-Sayyid al-Azhari dalam buku biografi ulama Mesir, Asânîdu’l Mishriyyîn.
Dr. Usamah sendiri sedang menggarap sebuah megaproyek Jamharat `Ulamâ
al-Azhar, membiografikan semua ulama al-Azhar dari berbagai belahan dunia
dari masa ke masa.
Siapa yang
tidak kenal dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi? Hampir semua persoalan keumatan
beliau tawarkan solusinya di buku-buku tulisannya. Dalam autobiografinya, Ibnu’l
Qaryah wa’l Kuttâb, beliau menceritakan bahwa beliau memanfaatkan waktu
dengan baik. Bahkan di dalam pesawat pun tetap menulis. Beliau juga selalu
berdoa supaya waktunya diberkahi.
Para
santri al-Azhar harus berjuang keras untuk mengikuti ketekunan gurunya dalam
hal mengajar. Prof. Dr. Ridha Zakaria, guru besar hadis al-Azhar, setiap Sabtu
mulai dari pukul 8.30 sampai 17.30 petang membacakan Shahih Bukhari. Akhirnya
Allah mengizinkan untuk mengkhatamkannya dalam 25 majelis.
Syekh
Sayyid Syaltut, ulama dewan fatwa Mesir, dalam waktu setahun mengkhatamkan
pelajaran kitab syarah al-Waraqat-nya Imam al-Haramain yang bernama Ghâyatu’l
Ma`mûl karya Imam al-Ramli. Ketika beliau melapor kepada gurunya, Syekh Ali
Jum`ah, beliau diminta untuk mengulang lagi. Jadilah tahun ini (2015) adalah
pembacaan kelima!
Itulah ilmu, seperti kata Abu Bakar al-Nazham, kita
tidak akan mendapat sebagian ilmu kecuali kita serahkan seluruh jiwa raga kita
untuknya. Salah satu alatnya adalah al-Mudâwamah (kontinyu) dan al-Ilhâh
(diulang-ulang). WalLâhu a`lam bi al-Shawâb....