Dalam sebuah bait, Imam Haramain
al-Juwaini (478 M) berkata:
أَخِيْ
لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتّةٍ # سَأُنْبِئْكَ عَنْ تَفْصِيْلهَا
بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَ حِرْصٌ وَ
اجْتِهَادٌ وَ بُلْغَةٌ # وَ إِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَ طُوْلُ زَمَانِ
“Wahai Saudaraku
kamu tidak akan pernah mendapat ilmu kecuali dengan enam perkara # Akan saya
sampaikan rinciannya kepadamu
(1)Kecerdasan,(2)Ambisi,(3)Usaha(4)Totalitas #
(5)Bimbingan guru dan (6)Lamanya waktu.”
Kecerdasan adalah salah satu bekal
utama seorang penuntut ilmu. Seorang slow learner akan kesulitan dalam
mengikuti proses belajar. Kecerdasan letaknya di akal. Bukan sembarang akal,
melainkan akal yang râjih. Ialah akal yang tenang. Sehingga
selalu menjalankan fungisnya untuk berpikir mencari kebenaran. Manfaatnya, ia
akan terhindar dari kesalahan. Selalu punya pertimbangan sebelum
bertindak/berbicara.
Kata al-`Aqlu sendiri dalam
bahasa Arab artinya al-Man`u (mencegah), akal-lah yang menjaga si
empunya dari berbuat jelek.
Ibrahim al-Baijuri (1277
H) mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai dimana letak akal. Ada yang
mengatakan, akal ada di kepala. Sedangkan pendapat yang dianggap lebih sahih
menyebutkan bahwa akal ada di dalam al-Qalb (hati) kemudian ia memiliki
sambungan ke otak. Makanya ada sebuah perkataan berbunyi, “Akal ibarat pohon
yang tumbuh dari dalam hati, cabang-cabangnya ada di kepala.”
Usaha keras nampaknya bukan
satu-satunya faktor kesuksesan mencapai target menuntut imu. Para ulama adalah
orang-orang yang brilian. Amirul Mukminin fil Hadits Imam al-Bukhari (256 H) sudah
terkenal akan kecerdasannya sejak muda. Sejak usia 11 tahun beliau sudah bisa
menyampaikan koreksi terhadap gurunya dalam masalah periwayatan hadis. Imam
al-Bukhari juga bisa diajak diskusi soal nama-nama perawi sampai `ilal hadits
sambil berjalan-jalan santai. Itupun dilakukan seperti membaca Qul HuwalLâhu
Ahad. Kisah
yang cukup masyhur tentang beliau adalah ketika diuji dengan pertanyaan
mengenai 100 hadis yang diacak sanad dan matannya dan dibagikan kepada 10 orang
untuk ditanyakan kepada Imam al-Bukhari. Ternyata Imam al-Bukhari mampu
mengembalikan semua sanad ke matannya. Tidak hanya itu, sebelumnya beliau juga
mampu mengulang hadis yang matan dan sanadnya diacak!
Syekh Ahmad Syakir (1377
H) dalam kata pengantarnya terhadap Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang beliau
teliti mengatakan bahwa karena penertiban hadis di Musnad Ahmad berdasarkan
sahabat yang meriwayatkan, sulit untuk merujuk hadis ke sana. Orang dulu ketika
ingin mengetahui apakah sebuah hadis ada di Musnad Ahmad kebanyakan hanya
berdasar keterangan dari guru yang pernah menemukan hadis tersebut di Musnad.
Kecuali beberapa orang yang hafal semua hadis di Musnad Ahmad. Setahu beliau
ada tiga orang yang hafal Musnad Ahmad
di ujung lidahnya, “Ibnu Taimiyyah dan kedua muridnya, Ibnu Katsir dan Ibnu’l
Qayyim.”
|
Syekh Ahmad Muhammad Syakir |
Sambil tersenyum, Prof. Dr. Ahmad
Ma`bad Abdul Karim,
bercerita, “Dulu waktu saya mengajar di Arab Saudi pernah menantang murid-murid
saya, ada nggak yang hafal satu hadis saja dari Musnad Ahmad di ujung
lidahnya hehe...”
Selain kekuatan hafalan yang
terknela dimiliki orang Arab, ternyata ulama juga kuat dan cepat dalam
menganalisa sekaligus memecahkan persoalan. Imam al-Sanusi (895 H) ketika
membantah orang-orang yang mencukupkan belajar akidah sebatas taklid saja dengan
alasan para sahabat juga tidak pernah belajar dengan teori-teori akidah yang rumit
mengatakan bahwa mereka salah besar. Karena mereka menganggap bahwa kualitas
akal kita sama dengan akal sahabat yang masih sangat murni dan jernih, berbeda
dengan kita sehingga butuh teori-teori semacam itu untuk memahami akidah.
Beliau memberikan contoh. Ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya
mengadu kepada Imam Ali bin Abu Thalib RadhiyalLâhu `anhu wa Ardhâhu karena
hanya mendapat bagian waris satu dirham padahal peninggalan suaminya 600
dirham. Spontan Imam
Ali menjawab bahwa suaminya pasti punya ahli waris ini dan itu. Perempuan itu
menjawab iya. “Ya sudah memang itu jatah warisan buatmu, kamu tidak dizhalimi
kok”.
Bagaimana caranya menjaga akal?
Atau bagaimana meningkatkan kecerdasan. Menjaga pola hidup adalah usaha
realistis yang bisa dilakukan. Ibnu al-Jauzi (597 H) memberikan tips soal
makanan yang dapat meningkatkan kemampuan akal seperti delima manis, susu,
kismis, madu dan lain-lain.
Sebenarnya ada yang lebih penting
dari sekedar menjaga pola hidup. Sebuah bait syair yang dinisbatkan kepada Imam
al-Syafi`i (204
H) dapat menjelaskan semuanya:
شَكَوْتُ
إِلَى وَكِيْعِ سُوْءَ حِفْظِي # فَأَرْشَدَنِيْ إِلى تَرْكِ المَعَاصِى
فَأَخْبَرَنِيْ
فَإِنَّ العِلْمَ نُوْرٌ # فَنُوْرُ اللهِ لَا يُهْدَى للعَاصِى
Artinya:
Aku mengadu kepada Waki` (guruku) tentang buruknya
hafalanku # Ia menasehatiku untuk meninggalkan maksiat
Ia pun mengabarkanku kalau ilmu itu cahaya # dan
Cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat
Bergabung dalam sebuah lingkungan ilmiah dan
mengikuti sistem belajar adalah kesimpulan cara terbaik menjaga akal dan
meningkatkan kecerdasannya. Bangunan keilmuan Islam tidak meninggalkan hal-hal
semacam ini. Dimulai dari mengajarkan adab menuntut ilmu sampai kepada sistem
pembelajarannya. Ulama muta’akhirin dikenal mengembangkan sistem
matan-syarah-hasyiyah yang sudah teruji. Dimulai dengan menghafal bait-bait
matan pendek disiplin ilmu tertentu sampai tuntas. Setelah menguasai seluruh
persoalan, baru beranjak ke kitab-kitab syarah. Pada level expert, baru masuk
ke hasyiyah (catatan pinggir). Syekh Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdi
menyampaikan bahwa hasyiyah diperuntukkan bagi pelajar level expert.
Kelebihan lain dari bergabung dengan sebuah
madrasah keilmuan adalah meminimalisir masuknya pemikiran-pemikiran yang
menyimpang yang makin membabi buta di zaman ini. Karena madrasah keilmuan
memiliki guru yang siap membimbing, murid yang siap dibentuk, literatur yang
luas, manhaj yang kokoh serta lingkungan keilmuan yang mendukung.
Sebagai kalam akhir dari part ini, ada sebuah
nasehat dari Prof. Dr. Ahmad Ma`bad dalam talaqqi kitab ilmu hadis Fathu’l
Mughîts karya Imam al-Sakhawi (902 H), “Bagian tubuh manusia yang paling
harus dijaga adalah akalnya, termasuk dijaga dari pemikiran penyimpang yang
bertentangan dengan pemahaman para ulama”.
|
Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim |