Malam Satu
Syawal 1434
Kalau diukur menurut kesepakatan
dua kali setahun berlibur, malam ini mungkin saya sedang berjalan-jalan di
alun-alun bersama kedua orang tua dan kedua adik saya. Sebelumnya menyantap
hidangan buka puasa terakhir keluarga besar ibu yang besoknya setelah salat
idul fitri akan kembali berkumpul bersama. Acaranya mulai dari sungkem,
bincang-bincang, sampai tentunya bagi-bagi wisit alias angpau lebaran. Tapi
untuk tahun ini, saya harus mempersiapkan ujian tamhidi I yang akan
dilaksanakan tanggal 17 Agustus 2013 besok insya’a4Wl.
Di bawah memang ramai, maklum,
pasar. Ditambah dengan adanya pembukaan warung Kusyari (pasta Mesir) yang
menggantikan warung Kusyari yang lama. Tak apa, maka untuk mengisi kesendirian
ini saya memutuskan untuk merenung dan menulis. Merenung untuk diri sendiri,
menulis untuk membayar hutang tulisan yang sudah lama saya janjikan kepada
ayah, ibu, dan adik-adik saya khususnya.
Banyak hal yang bisa direnungi.
Tapi malam ini, satu tema yang kebetulan sudah saya temukan keterkaitannya
dengan tema hutang tulisan saya, “kejayaan”. Berapa banyak kita dengar, orang
berkarya di dunia untuk meraih kejayaan. Namun, (untuk mempersingkat) mari kita
renungi, sejalankah cita-cita kejayaan itu dengan tugas hidup kita?
Sulit menjawabnya, tapi tenanglah,
Allah sudah menyiapkan para ulama pewaris Nabi yang bisa menjawab berbagai
pertanyaan hidup kita. Mereka memang manusia biasa, bukan nabi. Namun, mereka
telah melalui proses pendidikan jiwa, akal, dan hati dengan sebaik-baik cara.
Setidaknya, kita bisa mencontoh mereka dalam hal menjalani hidup.
Guru para Ahli
Hadis Dunia
Siapakah ahli hadis terhebat di
dunia saat ini? Terlalu hiperbolis ya? Saya ganti dengan, siapakah guru dari
para ahli hadis dunia saat ini? Pertanyaan tentang siapakah ulama paling
brilian, bahkan dalam bidang tertentu, sulit dijawab. Apalagi oleh orang awam
seperti kita yang baru mulai belajar agama belum masuk ke dunia keulamaan. Tapi
bukan berarti jawabannya tidak ada sama sekali. Pada abad ketiga hijriyah, masa
kejayaan ilmu hadis, ada perkataan begini, “Huffazh (salah satu gelar ahli
hadis) dunia ada empat: Abu Zur`ah di Rayy, Imam Muslim di Nisapur, Abdullah
bin Abdurrahman al-Darimi di Samarkand, dan Imam al-Bukhari di Bukhara.” Ini
kata Muhammad bin Basyar, seorang ahli hadis abad ketiga. Imam al-Bukhari
sendiri pernah mengatakan,”Saya tidak pernah merasa inferior dihadapan siapapun
kecuali Ali bin al-Madini (salah satu gurunya)”. Kesimpulannya, penilaian
‘terhebat’ bukanlah hal yang aneh. Hanya tentunya, keluar dari mereka yang
berhak menilai, yaitu sesama ulama. Kita cukup jadi pendengar saja.
Prof. DR. Ahmad Ma`bad Abdul
Karim. Nama yang mungkin tidak setenar nama-nama yang masih hidup seperti Prof.
DR. Ali Jum`ah (mantan mufti Mesir), Prof. DR. Ahmad al-Thayyib (Grand Syekh
al-Azhar), DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Abdul Azis Alu Syaikh (mufti Kerajaan
Saudi Arabia), Syekh Sudais, Syekh al-Ghamidi, dan lain-lain. Namun jasa beliau
terhadap umat Islam, terutama dalam ilmu hadis, sangat besar dan tidak banyak
orang yang tahu.
Saya pernah mendengar Prof. DR.
Ridha Zakaria, salah seorang ulama hadis al-Azhar (guru majelis riwayat kutub sittah hari Sabtu) mengatakan bahwa,”Saya belum pernah melihat yang sehebat beliau
sekarang, bahkan mungkin beliau sendiri juga belum pernah melihat yang sehebat
dirinya sekarang”. Murid Syekh Ahmad Ma`bad, DR. Usamah al-Sayyid al-Azhari,
seorang ulama muda al-Azhar yang disertasinya dibimbing oleh Syekh Ahmad Ma`bad,
direktur kantor Risalah al-Azhar (lembaga dakwah dan syiar al-Azhar) mengakatan
hal senada, “Beliau adalah gurunya seluruh ahli hadis dunia saat ini”. Pada
Muktamar Hadis di al-Azhar Conference Center 2012 lalu (ketika itu Syekh Ahmad Ma`bad
juga sibuk keliling-keliling memakai name-tag ketua panita memastikan acara berjalan
lancar), dekan fakultas hadis Universitas Islam Madinah juga mengungkapkan
kekagumannya terhadap beliau. Katanya, ketika memoderatori salah satu
sesi,”Beliau tidak perlu diperkenalkan lagi.” Bukan bermaksud membandingkan
satu dengan yang lain karena saya pribadi tidak punya kapasitas untuk itu,
hanya memaparkan beberapa pengakuan ulama tentang Syekh Ahmad Ma`bad (kadang
dipanggil Ahmad Ma`bid).
"Allah akan membuat mencerahkan wajah mereka yang mendengar hadis, menghafalnya, kemudian mengamalkannya..." (HR. Abu Daud) |
Perjalanan
Intelektual
Layaknya anak Mesir lainnya,
beliau menjalani pendidikan dasar di sekolah dasar di kota kelahirannya, Fayoum, Mesir. Beliau yang lahir pada tanggal 6 November 1939 (1359 H) ini
menamatkan hafalan al-Quran pada usia delapan tahun. Pada tahun 1961, beliau
menamatkan pendidikan menengah di sekolah al-Azhar kemudian melanjutkan ke
bangku universitas dan lulus pada tahun 1966 (usia 27 tahun) dari fakultas
ushuludin jurusan tafsir-hadis (sekarang dipisah menjadi jurusan tafsir dan
ilmu al-Quran, dan hadis dan ilmu hadis).
Menyandang gelar Lc, seperti
kebanyakan pemuda Mesir lainnya, beliau menjadi imam dan khatib kementerian
wakaf (seperti depag di Indonesia) sekaligus guru agama dan bahasa Arab. Sambil
melanjutkan s2 mengambil spesialis tafsir, hanya ia lulus tamhidi (pendidikan
teori) dengan predikat cukup. Kuatnya tekad menuntut ilmu membawanya masuk lagi
ke bangku s2 dengan spesialisasi hadis yang akhirnya menjadi jalan hidup yang
Allah tentukan baginya. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1971.
Syekh Ahmad Ma`bad banyak
menjalani hidupnya di dunia pendidikan. Seperti menjadi dosen di almamaternya,
Universitas al-Azhar. Juga berkesempatan untuk membagi ilmunya di Arab Saudi,
tepatnya di Universitas Muhammad bin Su`ud fakultas ushuluddin, jurusan aqidah
dan aliran kontemporer, tafsir dan ilmu tafsir, dan jurusan sunah dan ilmunya
sejak tahun 1399 H sampai 1417 H (18 tahun). Sudah banyak karya tulis (tesis
maupun disertasi) yang beliau bimbing dan uji. Dari kawah pembinaannya pula
lahir banyak ulama baik dari Mesir maupun negara timur tengah lainnya seperti
Arab Saudi,tempat 18 tahun beliau mengajar, seperti Syekh Salman Fahd al-Audah,
Syekh Abdul Wahab al-Thariri, dan lain-lain. Sampai sekarang, murid-muridnya yang
sudah pada menjadi orang besar keep contact dengan beliau.
Tashnîf
al-Kutub (Karya-Karya Beliau)
Selain membina manusia, tugas
dari ulama adalah melakukan pengkaderan ulama. Bahkan tashnîfu’l kutub
(menulis buku) juga merupakan bagian dari keduanya. Kalau ditanya mengenai
karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad, mungkin jawabannya akan berbeda dengan karya
tulis Syekh al-Qaradhawi yang kebanyakan juga bisa dinikmati orang awam.
Karya tulis Syekh Ahmad Ma`bad lebih banyak dalam lingkup spesialisasi seperti:
1. al-Nafh al-Syadzi yang merupakan
penjelasan dari Jami` al-Tirmidzi karya Ibnu Sayyid al-Nas (karya
tahkik/filologi dan kajian), dicetak di Daru’l `Ashimah, Arab Saudi.
2. Alfâzh wa `Ibârâtu’l Jarh wa al-Ta`dîl baina
al-Ifrâd wa al-Takrîr wa al-Tarkîb wa Dilâlat kullin minhâ `alâ Hâl
al-Râwi wa’l Marwi (Lafaz-Lafaz Penilaian Negatif dan Positif dalam Bentuk
Tunggal, Pengulangan, dan Rangkaian, Serta Petunjuk dari Masing-Masing Lafaz
Tersebut tentang Keadaan Rawi maupun Riwayatnya)
3. Al-Hâsib al-Âli wa Istikhdâmuhû fî Majâl al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Penggunaan Komputer dalam Bidang Hadis)
4. Buku Kajian Tokoh Ahli Hadis (Imam Zainuddin al-`Iraqi)
5. Tahdzîb al-Tahdzîb (Buku biografi
perawi hadis dari enam kitab hadis standar karya Ibnu Hajar al-Asqalani) (Karya
Filologi, belum dicetak).
6. Kumpulan Fatwa (diterbitkan Harian al-Ahram, Mesir)
7. Dan lain-lain...
Kesibukan ulama hadis bermazhab fikih
Hanafi ini (sependek pengamatan saya) banyak yang berkisar di tema mengkader
ulama dan penelitian hadis. Selain mengajar di Universitas dan Masjid al-Azhar
(talaqi), beliau juga membimbing dan menguji berbagai karya tulis berbentuk
tesis dan disertasi (beliau pernah bercerita di kelas bahwa beliau sedang
mengoreksi 15 karya tulis saat ini), mengisi seminar di berbagai negara timur
tengah, menjadi ketua Yayasan Makniz Islami yang bergerak dalam bidang hadis, dan
menyusun kurikulum berbagai universitas.
Talaqqi Kitab Tadrib al-Rawi di Masjid al-Azhar,
kebanyakan pesertanya adalah peneliti hadis |
Selain itu, beliau adalah salah
satu anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ’ (Badan ulama senior) al-Azhar.
Sebuah lembaga yang menjadikan al-Azhar bisa maksimal melaksanakan misinya. Di
antara fungsi dari lembaga ini adalah menjadi rujukan pemerintah Mesir tentang syariat
Islam (lihat pasal 2 UU Mesir). Dipimpin oleh Grand Syekh al-Azhar. Di antara
anggotanya adalah Syekh Ali Jum`ah, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Muhammad
Imarah (pemikir Islam), Syekh Ahmad Thaha Rayyan (pakar fikih mazhab Maliki
dunia), dan lain-lain. Beberapa waktu lalu, Dewan Ulama Senior banyak memberikan
koreksi tentang Obligasi ‘Syariah’ yang diajukan oleh pemerintah Mesir. Konsep yang
diharapkan bisa memulihkan perekonomian Mesir ternyata ada beberapa poin yang dianggap
Dewan Ulama Senior tidak sesuai syariat dan jelas merugikan. Misalnya, salah satu
poinnya menyebutkan bahwa jaminannya berupa BUMN Mesir. Kasus ini cukup ramai di
media Mesir beberapa bulan lalu.
Selain itu, tugas Dewan Ulama Senior adalah memilih
Grand Syekh al-Azhar (apabila ada pergantian suatu hari nanti) juga merekomendasikan
mufti Mesir untuk diberi SK oleh kepala negara. Pernah suatu ketika, beliau
izin tidak bisa mengajar, alasannya? Beliau sedang rapat merekomendasikan mufti
Mesir yang baru, menggantikan Syekh Ali Jum`ah. Akhirnya terpilih mufti yang sekarang
DR. Syauqi Ibrahim `Allam yang bermazhab Maliki.
Secara pribadi, saya belum pantas
mengatakan sudah mengambil banyak ilmu dari beliau. Jujur, saya baru mengenal
beliau awal 2012 lalu ketika Muktamar Hadis yang diselenggarakan oleh Yayasan
Makniz Islami di Cairo, dimana beliau menjadi ketua panitianya. Selebihnya
hadir di mata kuliah takhrij dan ilal (ilmu mencari kecacatan hadis) di s2 dan
talaqi kitab ilmu hadis Tadrîb al-Râwi karya Imam al-Suyuthi yang beliau
ampu di masjid al-Azhar (sayang, yang kedua ini harus ditinggalkan karena hadir
di majelis riwayat hadis bersama Syekh Ridha Zakaria di waktu yang sama, semoga
Allah ganti dengan yang lebih baik).
Pertemuan yang singkat ini banyak
pelajaran yang dapat diambil dari beliau. Kaitannya dengan pendidikan ulama
hadis, beliau sering mewanti-wanti bahwa karakter ilmu hadis adalah teorinya
diambil dari buku. Mengapa? Karena semua hal yang dibutuhkan dalam kajian hadis
mulai dari teks sampai perawi hadis sudah selesai dibukukan oleh para ulama
terdahulu. Misalnya dalam takhrij hadis, setelah kita selesai mengumpulkan berbagai
jalur periwayatan sebuah hadis, ada sebagian ulama yang menyusunnya dalam urutan
kitab tersahih, jadi selalu mulai dari al-Bukhari, Muslim, dst. Syekh Ahmad Ma`bad
tidak setuju karena yang dilakukan oleh para ahli hadis zaman dahulu tidak seperti
itu. Mereka menyusunnya urut dari jalur yang termirip kemudian yang berbeda guru
di atasnya dan seterusnya (al-Mutâba`ah al-Atamm fa’l Aqal) dalam satu sahabat.
Baru jalur sahabat lain. Jadi, tidak mesti dimulai dari al-Bukhari. Hal ini bisa
dilihat dari metode Imam Muslim dalam Shahih-nya, Imam al-Zaila`i dalam Nashb
al-Râyah ketika mentakhrij hadis dalam kitab fikih hanafi al-Hidâyah,
dan lain-lain.
Suasana belajar di kelas: Syekh Ahmad Ma`bad (kiri) Syekh Muhammad Mushtafa Abu Imarah (Kanan) |
Ketika berteori pun, Syekh Ahmad Ma`bad selalu membawa hasil penelitiannya
yang kadang berupa copy-an kitab maupun kertas kecil yang berusia belasan tahun.
Bahkan kata seorang kawan, kertas kecil itu kadang berupa slip bank yang beliau
manfaatkan untuk menuliskan kesimpulan dari penelitian beliau terhadap sebuah hadis
atau buku bertahun-tahun lalu. Kertas-kertas yang selalu beliau sebut kuftah (makanan Mesir terbuat dari daging), bathothis (kentang, biasanya digoreng), dan lain-lain yang membuat murid-muridnya grrr...
Sekali lagi bukan sembarang kertas. Beliau tidak sependapat dengan ulama lain yang mengatakan bahwa hadis dha`if hanya bisa naik ke hasan (terlebih dahulu atau mentok), tidak bisa langsung ke shahih. Menurut beliau, hadis dha`if bisa menjadi shahih li ghairihi. "Kalau gak percaya baca Hady al-Sari (mukadimah Fathu'l Bari-pen)".
Sekali lagi bukan sembarang kertas. Beliau tidak sependapat dengan ulama lain yang mengatakan bahwa hadis dha`if hanya bisa naik ke hasan (terlebih dahulu atau mentok), tidak bisa langsung ke shahih. Menurut beliau, hadis dha`if bisa menjadi shahih li ghairihi. "Kalau gak percaya baca Hady al-Sari (mukadimah Fathu'l Bari-pen)".
Kesimpulannya, kajian hadis lebih
mengandalkan studi pustaka daripada sekedar logika akal atau silogisme belaka.
Simpelnya, ilmu dan kematangan ulama hadis berbanding lurus dengan kualitas dan
kuantitas bacaan.
Buku apa? Syekh Ahmad Ma’bad
sering mewanti-wanti untuk memilih membaca buku para ulama terdahulu
(mutaqaddimin) daripada kontemporer. Beliau menukil nasehat dari guru beliau,
Prof. DR. Muhammad Abu Syahbah, ulama al-Azhar yang pernah mengajar di Arab
Saudi:
إذا قرأت للمتقدمين صرت سابقًا للمتأخرين،
وإذا قرأت للمتأخرين، جعلوك وراءهم
Artinya: Kalau kamu baca bukunya
ulama mutaqaddimin, kamu akan mengungguli yang kontemporer, tapi kalau kamu
baca buku kontemporer, kamu akan jadi manusia di belakang orang kontemporer.
Bukan berarti meremehkan
karya kontemporer. Tapi begitulah perkataan ulama, harus dipahami dengan cermat.
Pertama, siapa sasaran ucapan tersebut? Perkataan itu adalah nasehat dari guru
beliau yang diteruskan kepada para mahasiswa sekarang, kepada para calon ulama.
Kedua, kalau hanya mengandalkan silogisme, jelas yang terbaik adalah
menggabungkan antara mutaqaddimin dan kontemporer karena tuntutan zaman. Tapi
sekali lagi, ada kenyataan karakter kitab-kitab para ulama yang berfungsi
sebagai sarana memahami al-Quran dan Sunnah. Setelah zaman Imam al-Syaukani
(1250 H) (ada yang mengatakan al-Bajuri, seperti Syekh Ali Jum`ah), proses
penyempurnaan bangunan keilmuan Islam bisa dikatakan selesai. Setelahnya,
nyaris tidak ada perumusan teori baru, kebanyakan hanya kontekstualisasi dengan
zaman sekarang, itupun selalu merujuk ke kitab-kitab babon para mutaqadimin.
Kenapa? Simpelnya begini, ada berapa cara yang bisa dilakukan A-B-C untuk duduk
di tiga buah kursi? Enam atau sembilan? Yap, enam. Nah, tidak mungkin ada cara
ketujuh dan seterusnya. Keenam cara tadi, apabila diumpamakan seperti
penyempurnaan bangunan keilmuan Islam, sudah selesai pada abad ke 13 hijriyah.
“Coba kamu baca sepuluh halaman
saja sebelum tidur, sebulan kamu bakal khatam satu jilid kitab.” Itu nasehat
Syekh Ahmad Ma`bad yang kata seorang senior, kitab-kitab hadis dan ilmu hadis
yang berjilid-jilid itu tidak hanya beliau baca 100-200 halaman, melainkan
semua sampai khatam. Makanya beliau bisa memahami metode kitab-kitab dan para
ulama hadis, dan dari situlah jalan untuk menjadi “gurunya para ahli hadis
dunia” karena sekali lagi, karakter kajian hadis yang sangat bergantung kepada
kitab.
Selain itu, yang tidak boleh
dilupakan dalam kajian hadis adalah berguru. Dalam dunia hadis dan ilmu hadis,
pelajar otodidak sulit mendapat tempat (ini tidak bertentangan dengan ‘membaca’
seperti di atas). Syekh Ahmad Ma`bad pernah berguru kepada Syekh Muhammad
al-Samahi, ulama hadis al-Azhar, yang juga guru dari Syekh Nuruddin Itr (ulama
hadis Syiria) ketika menjadi mahasiswa di al-Azhar. Ada juga Muhammad Abu
Syahbah seperti tersebut di atas, Syekh Abdul Wahab Abdul Lathif, filolog
terkenal, yang juga pembimbing beliau. Selain itu beliau juga pernah mendapat
ijazah dari Syekh Hammad al-Anshari, Syekh Ismail al-Anshari, Syekh Abdullah Shiddiq
al-Ghumari (ahli hadis terkenal dari Maroko), Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah
(ulama hadis terkenal Syiria), Syekh Abdul Ghaffar al-Pakistani, juga ulama
kebanggaan nusantara, Syekh Yasin al-Faddani, dan lain-lain.
Sebenarnya, beliau punya keinginan
yang belum kesampaian, yaitu berguru kepada Syekh Ahmad Syakir (ulama hadis
al-Azhar terkenal, juga merupakan filolog terkenal, di antara karyanya adalah al-Ba`its
al-Hatsîts yang merupakan penjelasan dari kitab Ikhtishâr
`Ulûmi’l Hadîs karya Ibnu Katsir). Juga keinginan berguru kepada Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani yang terkenal.
Humoris
Bagi yang pernah berguru kepada
beliau, pasti terkenang akan joke-joke ringan yang berkesan dari Syekh Ahmad
Ma`bad. Pernah beliau ditanya kenapa masih berkutat menjelaskan mukadimah kitab
Tadrîb al-Râwi dan kapan masuk ke isi kitab? Dengan enteng beliau
menjawab, “Tenang aja, sebelum kiamat insya’a4wl”. Grrr.... Ketika ditanya
kapan kitab Tahdzîb al-Tahdzîb yang beliau teliti diterbitkan? Untuk
menjawabnya, beliau meminjam kata-kata Imam Malik ketika ditanya soal arti al-Istiwâ’
(sifat bersemayam Allah), “Assu’âlu `anhu bid`ah! (Tanya tentang itu bid’ah)
:D “. Pelajaran takhrij di al-Azhar berpedoman kepada tiga buku karya Prof. DR.
Abdul Muhdi Abdul Qadir, kepala jurusan hadis Universitas al-Azhar. Sebenarnya kita
dibebaskan memilih buku apapun juga selain ketiga buku itu, yang penting paham teori
takhrij. “Kalian baca buku apa aja silahkan, isinya sama saja kok, kalau di satu
buku namanya Abu Daud di buku lain juga Abu Daud, nggak mungkin jadi `ammu
(paman) Daud”.
Oh ya, beliau penggemar teh susu. Setiap
mengajar di kuliah, selalu datang `Ammu Ahmad, karyawan di al-Azhar yang usianya
sudah separuh baya, membawa segelas teh, kemudian Syekh Ahmad Ma`bad tinggal menungkan
susu bubuk yang beliau bawa sendiri. Ketika proses itu terjadi, `Ammu Ahmad
selalu dibuat kikuk mati gaya karena dicandai Syekh Ahmad Ma`bad di depan puluhan
mahasiswa dari berbagai negara. Misalnya dengan didoakan “Ammu Ahmad ini,
semoga Allah berkahi dia, keluarganya, termasuk juga makanan dan minumannya”.
Bagi yang tidak paham bahasa `ammiyah
Mesir, akan sulit menangkap humor, bahkan pelajaran Syekh Ahmad Ma`bad karena beliau
lebih sering menggunakan `ammiyah, bahkan ketika mengisi pelatihan di negara
timur tengah lain seperti Pelatihan Takhrij di Kuwait.
Anti Pengkotak-Kotakan
Zaman sekarang, banyak ditemukan budaya
tahdzîr. Alias mencap ulama atau kitab tertentu dengan cap negatif
agar orang menjauhi. Sayangnya, kebanyakan hal ini dipengaruhi perbedaan kelompok. “Saya menentang
pengkotak-kotakan! Hikmah itu barang yang hilang dari kaum muslimin, dia bisa didapat
dari mana saja! (Ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra.-pen)”. Makanya,
Syekh Ahmad Ma`bad menasehatkan untuk banyak belajar dari kitab para mutaqaddimin,
karena di masa mereka lah bangunan keilmuan Islam dibangun. Manusia langka seperti
Syekh Ahmad Ma`bad ini bisa membuat orang merasa diayomi. Kehadirannya selalu membawa
manfaat di setiap tempat dan komunitas yang didatangi. Tentunya hal ini terwujud
karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau juga karena kelapangan dada beliau. Kedalaman dan keluasan ilmu membuat orang paham di sisi mana bisa memaklumi perbedaan pendapat orang lain, kelapagan dada membuat orang mudah bergaul dengan orang lain.
Manusia Memiliki
Peran Masing-Masing
Kata orang Jawa, “Urip iku sawang
sinawang”. Terkadang kita merasa orang lain lebih beruntung daripada kita, padahal
bisa jadi orang lain juga memandang kita lebih beruntung. Terkadang posisi orang
lain tampak lebih prospek daripada kita bahkan dalam hal berkhidmah terhadap ajaran
Islam.
Dari perjalanan hidup beliau dan para
ulama lainnya, kita dapat mengambil pelajaran yang mudah diucapkan dan dituliskan,
susah dilakukan dan dirasakan. Allah menempatkan posisi masing-masing hamba-Nya.
Ada Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang menjadi ketua persatuan ulama dunia, namun ia
juga menjadi anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar yang dipimpin Syekh Ahmad al-Thayyib.
Ada yang mendapat peran seperti Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi yang terkenal
dengan mutiara-mutiara pemahaman al-Qurannya sehigga begitu membekas di hati rakyat
Mesir. Ada juga mereka yang tampil di garda depan di medan perang. Nama mereka harum dengan kisah heroik kepahlawanan mereka. Namun ada juga orang yang tidak banyak dikenal orang, yang mengenalnya
adalah para ulama dan para penuntut ilmu. Perannya tidak bisa diremehkan. Sekilas terlihat yang dikerjakan simpel, hanya menyampaikan apa yang dia ketahui. Tapi dari yang simpel ini lahir ide-ide besar untuk mengarahkan manusia, menjaga otentisitas ajaran agama, dan para kader pekerjaan mulia ini. Kehadirannya selalu dinanti, bahkan
umurnya selalu diharapkan untuk dipanjangkan, dan kesehatannya selalu didoakan agar
ditetapkan. Kejayaan itu dari Allah, kapan dan tempat terserah Allah,
yang jelas untuk Allah. Yang penting, selalu menjalani sebab dengan mengoptimalkan segala potensi
ketika ikhtiar, dan doa. Semoga kita termasuk orang-orang al-Shâdiqûn...
Karena ada manusia yang tidak terkenal
di bumi, tapi namanya harum di langit....
Musa Al Azhar, Lc.
(Mohon doanya, mau
ujian...)