أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, August 5, 2013

Menjadi Pakar Hadis dari al-Azhar



Oleh : Musa Al-Azhar, Lc.
Pembukaan

Segala puji bagi Allah Swt. yang kita tidak akan bisa mensyukuri nikmat-Nya tanpa nikmat dari-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. beserta para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Kalau sudah pesimis, mungkin tidak akan balik lagi ke Kairo untuk lanjut s2. Berbagai cerita tentang tingkat kesulitan dan kegagalan yang tinggi di s2 al-Azhar selalu terdengar dan minta diperdengarkan dari para senior. Kalau hanya sekedar nekat, tentu akan ada pertimbangan ‘menghabiskan umur’. Di sisi lain, iming-iming kualitas dan kepakaran dari sistem pembinaan di tingkat magister dan seterusnya datang silih berganti. Mulai dari perkataan seorang dosen di kuliah, “Bukan Azhary namanya kalau belum pernah belajar di magister-nya al-Azhar”, sampai kepada bukti-bukti riil betapa luas dan dalamnya ilmu yang dimiliki oleh ulama alumni program doktoral al-Azhar. Minimal bisa tercermin dari para guru yang mengajar selama s1 baik di bangku kuliah, tempat talaqi, maupun di majelis-majelis ilmu lain. Atau dari karya-karya inovatif dan spektakuler para ulama al-Azhar dalam berkhidmah terhadap al-Quran dan Sunah, sumber hukum Islam. Belum lagi perjuangan para ulama al-Azhar kaliber dunia dalam menegakkan syariat Allah. Berbenturan secara fisik maupun dalam hal membendung berbagai macam aliran yang ingin menggerogoti aqidah umat Islam seperti sekularisme, materialisme, dan sebagainya.

Al-Azhar memang terkenal sebagai universitas tertua di dunia (tertua kedua setelah Universitas Qairawan). Tua tidak terkesan usang apabila dipandang dengan kacamata orang zuhud. Orang zuhud selalu melihat orang yang lebih tua dari sisi sudah sebanyak apa dia berkarya, sebaliknya orang yang lebih muda selalu dipandang dari sisi, sedikitnya kesalahan yang ia lakukan. Artinya, sudah lebih dari 1000 tahun al-Azhar mencerahkan dunia melalui cahaya al-Quran. Bahkan ketika peradaban Barat masih berada dalam fase the Dark Ages. Al-Azhar tidak berhenti melahirkan para ulama. Lebih dari 100 tahun yang lalu, al-Azhar jelas sudah berumur 800-an tahun dan jelas layak di bilang tua. Tapi masih bisa melahirkan ulama seperti Muhammad Abduh, Rifa`at Thahthawi, Muhammad Abdullah Darraz, sampai Yusuf al-Qaradhawi.

Yang kedua masalah spesialisasi. Sebenarnya mau jadi ulama bidang apa? Spesialisasi (al-Takhashshush) memang menjadi tuntutan zaman. Tapi kalau berbicara keulamaan, terkadang ada ‘tuntutan-tuntutan’ yang membuat seorang ulama juga harus ‘belajar yang lain.’ Ambil contoh, seorang pakar hadis, ketika hendak menyimpulkan hukum dari hadis-hadis yang sudah susah payah ia munculkan hukumnya, sahih, hasan, atau dhaif, tidak bisa seenaknya dimaknai. Haruslah melalui ‘metode’ tertentu. Mulai dari pemahaman bahasa (atau yang mungkin populer di rumah dengan istilah nahwiyah) karena Rasulullah Saw. itu penutur bahasa Arab, dan Kanjeng Nabi adalah orang yang paling fasih sedunia. Kata Prof. DR. Ali Jum’ah[1] ketika mengajarkan kitab al-Tamhîd[2] karya Jamaluddin al-Isnawi (wafat 772 H), “Rasulullah Saw. itu mengetahui seluruh kata bahasa Arab”. Maka untuk memahami hadis gerbangnya adalah kaidah bahasa Arab, mulai dari nahwu, sharaf, balaghah, dan cabang ilmu bahasa Arab lainnya.

Kemudian, apakah hadis itu berbicara sesuatu yang umum atau khusus. Kalau umum, apakah yang dimaksud juga umum atau khusus? Selain itu apakah hadis itu mansûkh[3] atau tidak? Apa latar belakang hadis itu diucapkan (Asbâbu’l Wurûd)? Dan pertanyaan lainnya. Singkat cerita, ‘metode’ itu dirumuskan melalui proses panjang. Yang semula tidak dibukukan, hanya berada di dalam otak sahabat, kemudian diajarkan ke murid-muridnya, tabi’in, yang mana juga mengajarkan kepada muridnya dengan ketersambungan sanad[4]. Sampai di masa Imam al-Syafi`i (ulama salaf yang namanya paling populer di Indonesia). Beliaulah manusia pertama yang tercatat membukukan ‘metode penyimpulan hukum dari teks al-Quran dan hadis’ yang dikenal dengan ilmu usul fikih. dengan kitabnya al-Risalah.[5]

Intinya, spesialisasi itu merupakan sebuah titik tolak, tapi banyak ilmu yang harus dikuasai oleh para ulama, efek dari ‘tuntutan-tuntutan’ di atas. Fakta sudah membuktikan. Imam al-Bukhari (256 H) misalnya. Orang mengenal ia sebagai ahli hadis terkenal dengan kitabnya al-Jâmi` al-Shahîh. Tapi beliau juga seorang ahli fikih. Kecerdasan fikih beliau terletak dalam menempatkan hadis-hadis sesuai bab dan pembahasannya dalam kitab tersebut. Selain itu, beliau juga cerdas mengambil faidah fikih sekecil apapun dari sebuah hadis. Jangan heran, hadis yang bercerita tentang seseorang yang dibetulkan salatnya oleh Rasulullah Saw. juga tercantum di Bab Menjawab Salam, karena dalam hadis itu ada sedikit cerita bahwa orang tersebut mengucap salam kepada Rasulullah Saw. sebelum ia salat.

Selain dikenal sebagai ahli hadis, beliau juga seorang mujtahid, bahkan mujtahid yang mutlak (independen). Banyak ulama yang protes kepada Tajuddin al-Subki karena beliau memasukkan Imam al-Bukhari kedalam Thabaqât al-Syâfi`iyyah (Semacam daftar ulama mazhab Syafi`i), al-Bukhari sudah layak dianggap mujtahid mutlak.[6] Artinya, beliau memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum tanpa perlu mengikut metode ulama lain dalam penyimpulan hukum.

Penah dengar Tafsîru’l Jalâlain? Salah satu penulisnya adalah Jalaluddin al-Suyuthi (911 H) asal Asyuth, Mesir. Apa sih yang tidak ditulis oleh al-Suyuthi? Beberapa disiplin keilmuan Islam, salah satu buku pedoman utamanya ditulis oleh al-Suyuthi. Dalam ilmu hadis ada Tadrîb al-Râwi, beliau juga menyusun al-Jâmi` al-Kabîr, yang awalnya dimaksudkan untuk menghimpun seluruh hadis Nabi., dalam ilmu al-Quran ada al-Itqân fî `Ulûmi’l Qur’ân, dalam qawaid fiqhiyyah ada al-Aysbâh wa al-Nâzha’ir, bahkan tentang gempa bumi beliau menulis Kasyf al-Shalshalah `an Washf al-Zilzalah. Betapa luas dan mendalam ilmunya. Spesialis memang populer, tapi ensiklopedis suka tidak suka jadi tuntutan.

Mungkin terkesan utopia kalau membicarakan ulama dulu, terkesan salaf. Padahal al-Suyuthi termasuk yang muta’akhhirîn. Di abad 21 ada Syeikh Yusuf al-Qaradhawi juga tanggap dengan persoalan umat. Bukan sekedar tanggap dengan ikut demo, tapi juga menyajikan solusinya dari perspektif Islam via karya-karyanya? Apa saja? Baca sendiri..

Kembali ke masalah pesimis-optimis di atas, berarti dapat disimpulkan bahwa saya masih optimis. Bukan optimisnya orang nekat, tapi optimis karena jalannya sudah tahu setelah mencari tahu. Tinggal usaha, doa, dan tawakkal.

Apa Hadis dan Ilmu Hadis itu?

Semua cabang keilmuan Islam tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masa awal sahabat. Konsekuensi dari Man arâdahumâ (al-Dunyâ wa’l Âkhirah) fa`alaihi bi’l `Ilm adalah dibukanya kajian-kajian yang bertujuan untuk mencapai pemahaman yang utuh dari al-Quran dan Sunah. Kalau ditarik ke masa selanjutnya, kajian-kajian inilah yang menjadi cikal-bakal universitas-universitas Islam besar dalam sejarah peradaban Islam. Al-Nizhamiyyah tempat mengajarnya Imam al-Ghazali (505 H), al-Asyrafiyyah tempat mengajar Ibnu Shalah[7] (643 H), Zaituniyyah di Tunisia yang merupakan universitas tertua di dunia yang masih eksis hingga sekarang, Umawiyyah, dan al-Azhar.

Ada dua buah ilmu yang murni lahir dari rahim keilmuan Islam. Pertama, usul fikih sebagai metode yang digunakan para ulama dalam menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunah. Usul fikih sebenarnya sangat terkait dengan ilmu bahasa Arab. Karena, penyimpulan hukum berawal dari pemahaman terhadap teks syariat (al-Quran dan Sunah) yang berbahasa Arab, kemudian diteliti untuk kasus apakah teks itu ditujukan. Kedua, ilmu hadis. Tugasnya adalah meneliti apakah sebuah teks syariat (hadis misalnya) benar-benar bisa dinisbatkan kepada sumbernya? Ilmu hadis meneliti kredibilitas (tsiqah) para perawi hadis, ketersambungan jalur transmisi hadis (sanad), kemudian menyingkap kesalahan (`illah) yang terdapat dalam sanad ataupun teks hadis. Hal terakhir ini membentengi hadis dari kesalahan yang berasal dari faktor manusiawi. Karena seorang ulama (rawi) tetaplah manusia yang tidak luput dari salah dan lupa. Kesalahan tersebut didapat dari perbedaan penyebutan sanad atau matan seorang perawi tunggal dengan sanad dan matan yang didapat dari jalur lain.

Sanad inilah yang merupakan senjata umat Islam dalam hal otentisitas ajaran. Kesaktian sanad masih berlaku sampai sekarang.Contoh kasus, ketika ada seseorang yang berbicara agama atau menyebarkan sebuah ilmu agama yang kita pandang baru karena keterbatasan ilmu kita. Tanyakan saja bersambung ke siapa sanadnya? Simpelnya, siapa gurunya? Siapa gurunya gurunya? Dan seterusnya.

Sebenarnya, masa periwayatan hadis sudah berhenti di abad kelima hirjiyah. Adapun proses periwayatan yang kita jumpai di zaman sekarang, lebih kepada pelestarian sanad atau ijazah (rekomendasi) keilmuan tertentu. Misalnya, sanad kitab fikih mazhab Syafi`i al-Majmu yang bersambung kepada penulisnya, Imam Nawawi. Kitab-kitab hadis juga sudah dibukukan. Jadi, tugas pelajar hadis adalah menguasai ilmu yang dulu dimiliki para ulama untuk membedakan apakah sebuah hadis dihukumi sahih, hasan, atau dhaif. Minimal, karena studi hadis sangat erat dengan studi pustaka mengingat segalanya sudah dibukukan oleh para ulama, seorang pelajar dapat memanfaatkan kitab-kitab hadis dan ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama, yang jumlahnya ribuan itu.

Belajar Hadis di al-Azhar?

Mungkin ada yang bertanya? Apakah prospek (kita berbicara kepakaran, bukan profesi) belajar hadis di al-Azhar? Memangnya al-Azhar itu tempat belajar hadis yang ideal? Al-Azhar kan tidak pernah melahirkan ahli hadis sekelas Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani? Kenapa tidak di tempat A atau B saja? Ingat, hadis tidak beredar di satu tempat saja. Pada masa khalifah Utsman, para sahabat diijinkan menyebar ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan agama Islam yang juga berarti menyebarkan al-Quran dan hadis. Sekali lagi, mereka pun punya murid yang juga punya murid lagi dan seterusnya. Sederhananya, coba lihat Kutub al-Sittah[8], semua penulisnya berasal dari Asia tengah, daerah tan-tan. Seorang pelajar hadis itu harus melakukan Rihlah fi Thalabi’l `Ilm. Bahkan Khathib Baghdadi, seorang ahli hadis dari Irak menulis buku khusus tentang hal itu. Lihat juga di buku-buku biografi ulama, hampir semua pernah berkeliling dunia.[9] Ada sebuah keinginan pribadi untuk berkeliling, kalau sekarang ya belajar di tanah haramain, juga India yang ternyata produktif soal hadis. Tapi itu nanti, sekarang lolos tamhidi dulu.

Kembali ke al-Azhar, apa khidmah al-Azhar terhadap hadis? Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, seorang ulama hadis muda al-Azhar mencatat ada 8[10] peran al-Azhar dalam bidang hadis. Dengan sedikit editing, dipaparkan secara singkat:
1.      Memberi penjelasan (syarah) terhadap kitab-kitab hadis. Ketinggian bahasa (maklum, Rasulullah Saw. adalah manusia yang paling fasih), sasaran, dan tujuan sebuah hadis kadang sulit digapai, kecuali oleh para ulama. Oleh karenanya, dibutuhkan kitab-kitab yang menjelaskan matan-matan hadis tersebut. Metode penjelasan itulah yang disebut Syarah. Misalnya Shahih Muslim, selama ini mungkin kita hanya mengenal syarah-nya Imam al-Nawawi. Tetapi Prof. DR. Musa Syahin Lasyin dari al-Azhar juga mensyarahnya dan diberi judul Fathul Mun`im. Shahih Bukhari yang pernah disyarah oleh Ibnu Hajar al-`Asqlani  dengan Fathul Bâri juga disyarah oleh Prof. DR. Muhammad Abu Syahbah (pernah mengajar di Universitas Ummul Qura), dan lain-lain.
2.      Ilmu Mushtalah Hadis. Meskipun para ulama mutaqaddimin sudah menyusun berbagai kitab mustolah hadis, tapi tinta ulama terus mengalir. Ada yang mensyarah, meringkas, menjadikan bait-bait syair, menyusun ulang, maupun mengkaji ulang kajian mustolah para ulama mutaqadimin. Ulama hadis al-Azhar juga produktif menyusun kitab mustalah hadis (yang juga dikenal dengan ilmu hadis). Diantaranya Syekh Muhammad al-Samahi dengan al-Manhaj al-Hadits fi Ulumi`l Hadis, kemudian al-Wasith fi Ulumi’l Hadis karya Muhammad Abu Syahbah. Nuruddin Itr (ulama hadis asal Syiria) dengan Manhaj Naqd fi Ulumi’l Hadis juga seorang alumni al-Azhar.
3.      Menghidupkan ilmu Manâhiju’l Muhadditsîn (metodologi ulama hadis) yang sempat redup dari peredaran keilmuan Islam. Dalam kajian hadis, tentunya sangat urgen posisi kajian mengenai metode kritik hadis, penyusunan kitab, dan sebagainya oleh para ulama hadis. Para ulama al-Azhar melihat celah ini kemudian berkhidmah dengan tintanya, seperti Muhammad Abu Zahw yang menulis al-Hadîts wa’l Muhadditsûn.
4.      Menyusun metode takhrij hadis (cara menisbatkan sebuah hadis kepada kitab-kitab hadis plus mengumpulkan perkataan para ulama mengenai hadis tersebut. Ilmu ini merupakan sentuhan akhir dalam kajian hadis dan ilmu hadis). Syekh Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, seorang pakar hadis, dosen takhrij saya tingkat IV memaparkan bahwa, dulu ilmu takhrij hadis tidak ada buku pedomannya. Kemampuan takhrij langsung didapat dari talaqqi dengan guru. Padahal, dalam menyusun kitab hadis maupun kitab kunci takhrij hadis, para ulama memiliki karakter. Misalnya, menyusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, urutan sahabat, tema, dan sebagainya. Hal inilah yang menggerakkan Syekh Abdul Muhdi yang ketika itu masih s2 untuk menulis buku pedoman takhrij, kemudian menginspirasi yang lain. Diikuti oleh muridnya Syekh Ridha Zakaria.
5.      Majelis pembacaan kitab hadis dan ijazah sanad. Meskipun sanad hadis kepada Rasulullah Saw. sudah dapat dikatakan berhenti di kitab-kitab para ulama seperi Imam al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan lain-lain, tapi sanad kepada para ulama penulis kitab tersebut masih dapat dilestarikan. Amanah ilmiah inilah yang terus dilestarikan oleh para ulama. Di antaranya kebanggan tanah air,  Syekh Yasin al-Faddani (ulama Padang yang pindah ke Makkah) yang bergelar Musnid al-Dunya. Dari beliau, banyak sanad para ulama kepada kitab hadis yang enam misalnya, tersambung. Usaha lain yang dilakukan oleh para ulama misalnya Syekh Hasunah al-Nawawi (bukan Imam al-Nawawi penulis al-Arba`în atau pensyarah shahih muslim). Beliau meneliti Shahih Bukhari bersama 31 ulama lain, kemudian diterbitkan dan terkenal sebagai cetakan Sultaniyah, yang merupakan naskah ter-sahih dari Shahih Bukhari.
6.      Melanjutkan kajian hadis, misalnya di bidang penilaian sahih atau dha`if sebuah hadis. Meskipun sebagian besar hadis sudah dihukumi,bukan berarti proyek sudah habis. Misalnya Syekh Murtadha al-Zabidi yang menulis Ithâf al-Sâdat al-Muttaqîn yang merupakan takhrij hadis-hadis kitab Ihyâ’ Ulûmiddin karya Imam al-Ghazali yang banyak dibicarakan orang mengenai kesahihan hadis-hadis di dalamnya. Melengkapi apa yang pernah dilakukan Imam al-Iraqi terhadap kitab yang sama. Di antara ulama hadis yang ahli akan hal ini adalah Syeikh Ahmad Syakir, Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari, dan Syekh Ahmad Ma`bid Abdul Karim.
7.      Menyusun kitab-kitab yang menghimpun hadis. Seperti Syekh Manshur Ali Nashif yang menyusun ulang secara tematik kitab hadis yang enam kemudian diberi nama al-Tâj al-Jâmi` li’l Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl dan lain-lain.
8.      Mentahkik kitab hadis dan ilmu hadis. Sebelum mengenal percetakan, para ulama menulis kitab dengan tangannya atau mendikte kepada muridnya. Naskah-naskah (manuskrip) tersebut dilahirkan kembali dalam bentuk buku yang kita kenal sekarang ini setelah melakukan tahkik (filologi). Misalnya naskah Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari yang ditahkik oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tadrib al-Rawi yang ditahkik oleh Syekh Abdul Wahab Abdul Lathif, dan sebagainya.

Selanjutnya Bagaimana?
Ok deh, sudah cukup berpanjang katanya. Sekarang mengenai rencana pribadi untuk lulus dari al-Azhar. Sebelumnya, prinsip yang harus dipegang adalah doa, ikhtiyar dan tawakkal `alalLâh. Maksudnya, setelah berdoa menyatakan diri pengen menjadi ulama hadis dari al-Azhar kemudian (seperti yang diajarkan ulama al-Azhar, tepatnya Prof. DR. Marwan Syahin, dosen sirah nabawiyah tingkat empat kemarin) sebagai manusia, meskipun takdir sudah diketahui Allah, tapi diperintahkan untuk ‘menjalani sebab’. Kalau mau lulus dari al-Azhar ya harus belajar dengan prinsip: Keras (segera bangkit dari setiap leha-leha dan tidak kenal lelah), cerdas (belajar efektif dan efisien=>Bab ini yang banyak dibahas kali ini), dan ikhlas (orientasi ridha Allah). 

Secara umum, ada 3 (tiga) kegiatan besar yang akan dijalani selama beberapa tahun ini (ditargetkan tamhidi 2 tahun bismilLah). Diurutkan sesuai prioritas:

A.    Belajar dan LULUS dari Tamhidi al-Azhar

Sedikit cerita, pendidikan magister di al-Azhar dibagi menjadi 3. Tamhidi (pembekalan teori yang secara formal dan lancar ditempuh selama dua tahun), mencari judul tesis, kemudian menulis tesis plus ujiannya. Sekarang kita bicara poin pertama. Beda dengan s1 yang ujiannya setahun dua kali, kalau s2 hanya sekali untuk semua pelajaran. Tepatnya ada di bulan Juli setiap tahun setelah s1 selesai ujian. Ada ujian tulis, kalau lolos masuk ujian lisan. Kalau tidak lulus berapa madah pun, termasuk satu, masih ada kesempatan (gelombang) kedua (al-Daur al-Tsâni) satu atau dua bulan setelah al-Daur al-Awwal tadi. Kalau masih tidak lulus lagi, tidak naik kelas kemudian mengulang proses yang sama, kalau na`udzubilLâhi min dzâlik gagal lagi ya MAFSHUL alias dropout. (Peraturan ini sudah berubah menjadi sistem manqul, selama tidak rosib lebih dari 2 madah, maka hanya mengulang madah yang rasib)

Tahun ini yang diujikan 10 pelajaran[11] yang sudah diajarkan sejak sekarang. Muhadharah sudah mulai untuk beberapa madah. Ketika tulisan ini dibuat, sedang libur karena s1 ujian. Masuk lagi muhadarah efektif mungkin Februari sampai nanti berhenti Mei, lima bulan saja.

1.      Al-Quran
Materinya lima juz dari awal kalau tidak ada perubahan, bedanya di kuantitas soal. Kalau di s1 paling banyak empat soal dikerjakan dalam waktu dua jam, di s2 tujuh soal dengan waktu yang sama, jadi ya nggak ada waktu buat mikir, langsung jawab.
2.      English
Tingkat kesulitan bahasa Inggris di al-Azhar tidak tinggi. Tapi tetap tidak boleh meremehkan, ada kisah nyata. Seorang mahasiswa s2 syariah Islamiyah pernah ‘meremehkan’ bahasa Inggris, ternyata beliau tidak lolos di pelajaran bahasa Inggris SAJA. Ya tetap mengulang semua pelajaran.
3.      Takhrîj Hadis dan Studi Sanad
Bisa dibilang ini adalah ‘hasil’ dari ilmu hadis. Seseorang bisa mencari hadis tertentu yang sudah tersusun di kitab para ulama[12], kemudian bisa menerapkan metode ulama dalam menghukumi hadis tersebut.[13] Sedikit cerita, lulus tingkat 3 (s1) jurusan hadis Universitas al-Azhar, hanya dituntut untuk mengetahui sebuah hadis ada di kitab apa saja, tingkat 4 menukil perkataan ulama mengenai hukum hadis tersebut. Di s2 baru dibekali ilmunya para ulama untuk menghukumi hadis tersebut. Termasuk merajihkan satu dari beberapa pendapat ulama yang berbeda mengenai hukum sebuah hadis atau keadaan suatu rawi.

Pengajarnya adalah Prof. DR. Ahmad Ma`bid/Ma`bad Abdul Karim. Kata DR. Usamah Sayyid al-Azhari, beliau adalah gurunya para muhaddits dunia di zaman sekarang. Benar atau tidaknya, beliau sudah banyak makan asam garam dalam dunia hadis. Termasuk malang melintang mengajar di dunia Islam termasuk Universitas Muhammad Ibn Su`ud. Tidak heran, ketika muktamar hadis awal Februari lalu, dimana Syekh Ahmad Ma`bid menjadi ketua panitia, para ulama tidak segan menyatakan penghormatannya kepada beliau yang sangat tawadhu. Satu hal lagi, Syekh Ahmad Ma`bid adalah anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ’ (Dewan Ulama Besar) al-Azhar yang baru dihidupkan kembali beberapa waktu lalu. Bayangkan, satu hari beliau pernah izin tidak mengajar dengan alasan, "Ada rapat memilih mufti Mesir pengganti Syekh Ali Jum`ah yang habis masa tugasnya."


Prof. DR. Ahmad Ma’bid Abdul Karim



Mengajar Talaqqi Kitab Tadrib al-Rawi karya Imam al-Suyuthi di Masjid al-Azhar (beliau masih sangat sehat termasuk penglihatan, entah kenapa beliau pakai kacamata hitam di sini)



Target pencapaian[14]:
1)      Mengetahui sebanyak mungkin buku hadis dan buku-buku kunci takhrij hadis termasuk cara penggunaannya. Ada 4 seri buku pedoman takhrij dan menghukumi hadis karya ulama besar hadis al-Azhar, Prof. DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir, tinggal dibaca, dipahami, dan dihafalkan daftar buku-buku di dalamnya.
2)      Takhrij via komputer.
3)      Menghimpun hasil para ulama hadis dalam menghukumi hadis, termasuk menyelesaikan persoalan ketika terjadi perbedaan.
Bahan:
1)      Nashb al-Râyah – al-Zaila`i. Meupakan kitab takhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab fikih mazhab Hanafi al-Hidâyah fî Syarhi’l Bidâyah karya al-Marghainani.
2)      Al-`Ilal – Imam al-Daruquthni.
3)      Al-`Ilal al-Mutanâhiyah – Ibnu al-Jauzi.
4)      Pedoman Takhrij hadis karya Prof. DR. Abdul Muhdi (sudah punya)
5)      Pedoman Takhrij hadis karya murid Syekh Abdul Muhdi, Prof. DR. Ridha Zakaria (sudah punya)
6)      Al-Targhîb wa al-Tarhîb – al-Mundziri dan al-Mughni `an Hamli’l Asfâr – al-Iraqi

4.      `Ilal Hadis
`Ilal hadis adalah ilmu yang paling sulit dalam ilmu hadis. Betapa tidak? `Ilal adalah sebab tersembunyi dalam hadis yang bisa mencacatkan hadis yang awalnya dikira sahih. Secara garis besar, ilmu ini meneliti kesalahan manusiawi seorang rawi. Bisa diketahui dari berbagai cara seperti mengumpulkan berbagai jalur periwayatan sebuah hadis , dan sebagainya. `Ilal adalah ilmunya ulama mutaqaddimin (terdahulu), bukan kita yang muta’akhirin. Sedangkan yang dipelajari dalam ilmu ilal lebih banyak ke praktek melihat kecacatan-kecacatan tersembunyi dalam hadis, kalau teorinya dengan memahami metode ulama-ulama terdahulu dalam mencari `ilal tersebut. `Ilal adalah ilmu ulama abad ke-2 dan ke-3 hijriyah seperti Syu`bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Yahya bin Sa`id al-Qaththan (198 H), Abu Hatim al-Razi (277 H), Imam al-Bukhari (256 H), Imam al-Tirmidzi (279 H), dan lain-lain. Paling belakangan ada Imam al-Daruquthni (385 H). Tugas ulama yang datang setelah beliau-beliau adalah memahami metode mereka dalam menemukan `ilal hadis. Oh ya, pengajarnya juga Syekh Ahmad Ma`bid.
Target Pencapaian:
1)      Definisi `ilal
2)      Pembagian `ilal (nampak dan tidak) termasuk contohnya (harus hafal)
3)      Pembagian `ilal menurut tempatnya (sanad, matan, atau keduanya) termasuk contoh yang harus dihafal
4)      Cara mengetahui ilal:
a.      Mengumpulkan seluruh jalur hadis
b.      Menentukan common link (Madâru’l Hadîts)
c.       Perbandingan rawi
d.      Memahami karakter madrasah (aliran) dalam kritik hadis
e.       Aplikasi mustolah hadis
f.        Memanfaatkan kitab-kitab khusus yang membahas `ilal secara teori dan praktek
5)      Macam-macam `ilal
Bahan:
1)      Al-`Ilal al-Shaghîr – Imam al-Tirmidzi, plus Syarah-nya karya ibnu Rajab al-Hanbali (sudah punya)
2)      Hadyu al-Sâri (Bab VIII)– Ibnu Hajar. Merupakan muqadimah dari Fathu’l Bâri Syarh Shahîhi’l Bukhâri (sudah punya)
3)      Al-Nukat `alâ Kitâb Ibn Shalâh (Bab al-Mu`al) – Ibnu Hajar (sudah punya)
4)      Tadrîb al-Râwi (Bab al-Mu`al) – Imam al-Suyuthi (sudah punya). Kitab ini ada talaqi mingguan-nya bersama Syekh Ahmad Ma`bid dan Syekh Mustofa Abu Imarah di Masjid al-Azhar.
5)      Al-`Ilal wa Ma`rifat al-Rijâl – Imam Ahmad bin Hanbal
6)      Al-`Ilal – Ibn al-Madini
7)      Al-Tamyîz – Imam Muslim
8)      Al-Muntakhab mina’l `Ilal li al-Khallâl – Ibn Qudamah
9)      Al-`Ilal – Ibn Abi Hatim
10)  Al-`Ilal – al-Daruquthni
11)  Al-Hadîts al-Ma`lûl; Qawâ`iduhu wa Dhawâbithuhu – DR. Hamzah al-Malibari (sudah punya)

5.      Al-Jarh wa al-Ta`dîl
Mempelajari metode ulama dalam menilai seorang rawi, apakah ia positif (al-Ta`dîl) atau negatif (al-Tajrîh). Kalau positif, ia diterima periwayatannya. Kalau negatif ada dua pilihan. Pertama, tertolak kalau negatifnya banget-banget (seperti dicurigai berdusta dan terlalu banyak salah & lupa). Kedua, kalau tidak banget-banget ya bisa diterima apabila diperkuat jalur lain. Seperti itu gambaran besarnya. Ilmu ini didapat dari banyak bergaul dengan buku-buku biografi para ulama. Oh ya, ini juga ilmunya ulama mutaqaddimin, bahkan Ibnu Sholah (645 H) yang menyusun kitab ilmu hadis pertama yang lengkap dan independen menyatakan bahwa manusia di zaman sekarang (zaman beliau) sudah tidak memiliki kemampuan untuk menilai langsung keadaan seorang rawi. Jelas, karena beda zaman dan proses periwayatan sudah selesai di abad ke 4 hijriyah. Jadi sekali lagi, kembali ke ilmunya ulama mutaqaddimin.

Ulama sekarang berperan besar merumuskan teori al-Jarh wa al-Ta`dil (J & T) dan memecahkan persoalan apabila ada perbedaan para ulama dalam menghukumi seorang rawi. Kaitannya dengan kuliah, alhamdulillah buku teori normatif sudah lama selesai dibaca. Tinggal menyesuaikan dengan muhadarah kemudian banyak praktek di bawah bimbingan Prof. DR. Muhammad al-Laban, insya4Wl.
Target pencapaian:
1)      Definisi J&T, sejarah perumusan, dasar pensyariatan J & T, dan perkembangan ilmu J&T
2)      Peringkat al-`Adâlah
3)      Peringkat al-Dhabth
4)      Literatur
5)      Perbedaan metode J&T para ulama; antara mutasyadid dan mutasahhil
6)      Pertentangan J&T
7)      Kaidah final J&T
8)      Kritik matan
Bahan:
            Kitab-kitab biografi para ulama plus kitab teori. 

6.      Hadis Tahlîli (Hadis Analitik)
Kupas tuntas hadis-hadis pilihan (ada sekitar 18 hadis) mulai dari takhrij, hukum, makna mufrodat, sampai fiqhul hadits-nya. Termasuk analisa mengapa seorang ulama menempatkan hadis di bab tertentu dalam kitabnya. Pelajaran ini termasuk yang paling sulit karena kuantitas dan kualitas materi. Diampu oleh Prof. DR. Mustofa Abu Imarah, yang sudah malang melintang di dunia hadis. Mulai dari menulis kitab, membimbing disertasi, mengajar di Saudi. Bahkan ulama hadis Saudi seperti Syekh Syarif Hatim al-Auni merasa bernostalgia ketika bertemu dengan gurunya di universitas dahulu. Sebenarnya sudah kenal dengan beliau sejak tingkat satu ketika talaqqi Muqaddimah Ibnu Shalah di depan al-Azhar. Beliau juga yang menguji ketika ujian lisan tingkat 4 kemarin dan ujian masuk s2. Alhamdulillah rutin menghadiri talaqqi kitab Tadrib al-Rawi dengan beliau di masjid al-Azhar. (Ternyata tahun ajaran 2012/2013 yang mengajar adalah DR. Ali Farahat)

Beliau terkenal dengan ketelitian, kedalaman analisa, serta penjelasan yang sangat jelas. Tentunya hal ini juga berlaku ketika ujian nanti.

7.      Tafsir Tahlîli (Tafsir Analitik)
Kurang lebih metodenya mirip dengan hadis tahlili. Di kurikulum hanya tertulis, “Bagi mahasiswa tamhidi 1 silahkan mempelajari tafsir Surat al-A`raf dan al-Taubah”. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, mengandalkan catatan muhadarah dari dosen Prof. DR. Abdul Fatah Abdul Ghani.
8.      Mustolah Hadis
Inilah pokok pembahasan ilmu hadis. Mempelajari istilah-istilah para ulama yang digunakan untuk menyebut keadaan hadis seperti sahih, hasan, dhaif, dan segala macamnya. Diampu oleh Prof. DR. Muhammad  Syarif. Yang menjadi buku pegangan adalah al-Nukat `alâ Kitâb Ibn Shalâh (2 jilid) karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Merupakan catatan, tambahan, maupun kritik dari Ibnu Hajar terhadap catatan, tambahan, maupun kritik guru beliau, Imam al-`Iraqi, terhadap Muqaddimah Ibn Shalah yang merupakan induk dari hampir semua kitab hadis yang datang setelahnya. Bedanya dengan buku mustolah hadis lain yang kebanyakan berupa penjabaran istilah, al-Nukat lebih menitik beratkan kepada kajian istilah-istilah tersebut ketika dihadapkan pada ranah praktek. Hanya dijelaskan beberapa bab, sisanya silahkan baca di rumah. Alhamdulillah sudah khatam setengah buku kedua.
9.      Manâhiju’l Bahts (Metodologi Riset) bersama Prof. DR. Jalal Ajwah

10.  Hadis Maudhû`i (Hadis tematik)
Bedanya dengan hadis analitik, hadis tematik menitik beratkan pada suatu tema tertentu misalnya jual beli, jihad, sirah, tafsir, dan lain-lain kemudian mengkaji hadis-hadis yang berkaitan dengan tema tersebut. Bersama ahli hadis senior Mesir Prof. DR. Sa`ad Jawisy. Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat ramah, mudah mengeluarkan sanad, dan satu hal lagi, kata teman-teman kuliah, ternyata beliau punya menantu orang Indonesia.

B.  Belajar Hadis Informal
Kalau mendengar perjuangan ulama al-Azhar ketika mereka masih menjadi siswa, mereka tidak mencukupkan diri dengan kegiatan formal kuliah. Mereka juga mencari guru, kajian hadis, kitab, atau apapun yang bermanfaat bagi studi hadis mereka. Nasehat seorang senior juga demikian, intinya kalau ingin menjadi ahli hadis jangan nanggung. So...
1.      Majlis Pembacaan dan Ijazah kitab hadis yang enam, Muwaththa’ Imam Malik, Sunan al-Darimi, Muqaddimah Ibn al-Shalah, dan Tadzkirat al-Sâmi` wa’l Mutakallim fî Adâbi’l `Âlim wa’l Muta`allim karya Ibnu Jama`ah.
Majelis semacam ini tidak boleh ditinggalkan apalagi diremehkan seorang pelajar hadis. Meskipun ‘hanya’ membaca (lebih tepatnya menyimak syekh yang membaca khatam kitab-kitab di atas) kemudian mendapat ijazah sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw. tapi bagi seorang pelajar hadis sangat urgen. Meskipun tidak hafal seluruh hadis, setidaknya seorang pelajar hadis pernah membaca khatam kitab-kitab di atas (minimal kitab yang enam), harapannya ia punya sense letak sebuah hadis dalam sebuah kitab. Selain itu, kadang kitab-kitab hadis terkena persoalan pencetakan seperti salah kharakat dan sebagainya. Di majelis inilah hal-hal semacam itu dijelaskan.

Majelis yang diikuti adalah majelis Prof. DR. Ridha Zakaria, ulama hadis senior al-Azhar (dulu pernah mengajar takhrij dan studi sanad ketika tingkat III). Setiap hari Sabtu mulai pukul 8.30-maghrib (tapi kadang asar sudah selesai). Peserta awal hampir 200 orang, tapi setelah berjalan hampir dua bulan, satu per satu berguguran sampai tinggal seperempatnya.

Banyak hal yang didapat di sini, termasuk ilmu tentang kehidupan dan pengorbanan. Majelis ini diadakan di villa beliau di daerah Tajammu` Khâmis, New Cairo (Hay Asyir bablas terus). Villa tersebut memang belum 100 % jadi, tapi bagian basement sudah siap dan memang diperuntukkan bagi kajian hadis. Beliau mengorbankan banyak dana untuk membangun villa yang cukup mewah tersebut. Mulai dari uang pribadi, wakaf dari muhsinin, pinjaman, bahkan sampai, “Saya jual perhiasan putri-putri saya untuk ini.” Jadi, 100 pound Mesir yang kita bayarkan sebagai administrasi per bulan seolah tidak bisa dibandingkan dengan pengorbanan Duktur Ridha.

Satu hal yang menarik, orang dengan kadar keilmuan semacam Duktur Ridha mungkin kalau di tanah air sudah duduk manis menjadi pemateri. Tidak dengan para ulama al-Azhar. Ketika menjadi tuan rumah mereka tetap berlaku selayaknya tuan rumah. Dulu ketika Muktamar Hadis, Syekh Ahmad Ma`bad selaku ketua panitia berlalu lalang memastikan acara berjalan baik. Di majelis hadis ini, duktur Ridha dibantu asisten mudanya, Syekh Musthafa, melayani kami-kami yang hadir. Hari pertama, beliau sudah saya bikin repot dengan memberikan arahan via telpon kepada supir taxi yang membawa kami menemukan villa beliau. Beliau sendiri yang menjemput kami di luar pagar. Ketika prosesi pembukaan majelis, beliau tidak sungkan-sungkan mengatur tempat duduk tamu undangan seperti Prof. DR. Sa`ad Jawisy dan para muhsinin. Kegiatan seperti menghidangkan minuman, menyalakan kipas angin, mengatur kursi, dan mengecek sound system beliau kerjakan berlalu lalang sendiri. Toh kharismanya tidak hilang, malah menambah pancaran sinar tawadhu dari diri beliau. Duktur Ridha yang duduk tenang menjelaskan pelajaran takhrij hadis tingkat tiga di kuliah rasanya seperti menjadi orang lain, tapi itulah ulama di Mesir. Inspiratif ! Harus dicontoh !


2.      Talaqi
Rugi besar, orang yang pernah belajar di Mesir tapi tidak pernah merasakan talaqi di al-Azhar, meskipun terdaftar dan lulus sebagai mahasiswa al-Azhar. Talaqi dan kuliah adalah dua hal yang berbeda meskipun sama-sama menuntut ilmu. Di kuliah, otak dan jiwa mahasiswa ditata dan diarahkan cara berpikirnya agar tidak salah. Sekaligus diisi maklumat-maklumat. Sementara talaqqi, identik dengan spesialisasi dan kedalaman materi. Idealnya, kuliah dan talaqqi sama-sama dijalani. Kuliah saja, tidak ada satu kitab pun yang dikaji jelas kurang. Talaqqi saja, ibarat membeli banyak buku tapi tidak punya rak yang berkualitas untuk menampung.

Talaqqi yang rutin dihadiri sebenarnya dua, sama-sama kitab Tadrîb al-Râwi hanya beda pengajar. Hari Sabtu bersama Syekh Ahmad Ma`bid dan hari Senin bersama Syekh Mustofa Abu Imaroh. Berhubung hari Sabtu sudah terpakai untuk majelis hadis, so yang dioptimalkan hari Senin.

Selain itu, rencana hari Ahad ikut kajian Sahih Bukhari bersama Syekh Ahmad Thaha Rayyan, anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ. Di jeda waktu antara selesai tahfidz (ba`da zhuhur) dengan masuk kuliah (pukul 14.00). Selain itu, ingin juga talaqqi fikih dan aqidah, hanya belum ketemu waktu yang cocok).

C.     Tahfidz
Bismillah tawakkal ala4wl, mumpung di Mesir harus hafal al-Quran dan sudah disetorkan ke syekh yang bersanad. Karena bacaan al-Quran itu sebenarnya ditransfer dari lisan Rasulullah Saw. ke sahabat, kemudian ke tabi`in dan seterusnya sampai zaman sekarang. Al-Quran bukan reading text atau dengan bahasa lain, yang tertulis di mushaf itu adalah tulisan al-Quran. Cara membacanya, diajarkan dari lisan seorang syekh kepada muridnya. Tidak perlu heran dengan keragaman bacaan selama masih masuk kategori bacaan yang mutawatiroh.

Usut-punya usut, ternyata Mesir adalah produsen ulama qira’at meskipun buakn negeri tempat turunnya al-Quran. Konon, dua dari enam (atau delapan ya?) pakar qira’at dunia yang masih hidup sampai sekarang berasal dari Mesir. Diantara pakar qira’at Mesir ada Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif yang masih mengisi simakan (istilahnya maqra’ah) di masjid al-Azhar, Syekh Isa al-Ma`sharaawy, dan lain-lain. Pusatnya ada di Universitas al-Azhar, Fakultas al-Quran di kota Thantha.

Setiap hari Ahad dan Kamis pukul 10.00 ngaji bersama Syekh Zaid di dekat Masjid Husein. Alhamdulillah ini tempat tahfidz paling cocok sejauh ini kalau dibandingkan dengan sebelumnya. Sekali nyetor minimal satu rubu` ditambah mengulang 3 rubu` yang sudah dihafal agar tidak lupa. Khusus hari Kamis, ditambah setoran hafalan kitab tajwid, Matan Tuhfatul Athfal karya Syekh Sulaiman al-Jamzuri dilanjutkan Matan al-Jazariyyah.

Penutup
Demikian deskripsi kegiatan dua tahun. Adapun kegiatan lain seperti menulis, ‘mengamati peristiwa dunia’, belajar bahasa asing lain, dan yang tidak ditinggalkan, belajar ilmu falak, belum waktunya dideskripsikan sedetail ini. Selain itu tulisan juga sudah terlalu panjang, ntar malah gak kebaca padahal harapannya kebaca semua. Meskipun yang terakhir ini suatu saat akan diceritakan.

Alâ kulli hâl, jazakumullah atas doa dan dukungan dari ayah, ibu, adek-adek, dan lingkungan di tanah air. Berharap untuk tidak berhenti berdoa

Kairo, 22 Desember 2012 (kata orang2 ini hari ibu, jadi ini hadiah buat ibu)


Musa Al Azhar, (yang sudah) Lc.


[1] Mufti Mesir, seorang pakar fikih dan usul fikih.
[2] Al-Tamhîd fî Takhrîji’l Furû` `ala’l Ushûl kitab Usul Fikih
[3] Hukumnya sudah digantikan dengan hukum yang datang belakangan
[4] Sanad kurang lebih artinya rangkaian rawi yang sampai kepada teks hadis.
[5] Lihat buku-buku yang berbicara masalah Târîkh al-Tasyrî` misalnya: Thaha Jabir al-`Alwani, Ushûlu’l Fiqh al-Islâmi, IIIT, Virginia, USA, cet. II, 1415 H/1995 M, hal. 43
[6] Muhammad Dhiyaurrahman al-A`zhami, Dirâsât fi’l Jarh wa al-Ta`dîl¸ Dâr al-Salâm, Riyadh, Saudi Arabia, cet. II, 1424 H, hal. 310
[7] Abu `Amr Ibn Shalah, ulama hadis terkenal dengan masterpiece-nya Muqaddimah atau Ma`rifat `Ulûmi’l Hadîts, kitab rujukan utama dalam bidang ilmu hadis, di dalamnya, beliau mengklasifikasikan ilmu hadis menjadi 65 cabang ilmu
[8] Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah (atau Muwaththa’ Imam Malik menurut sebagian ulama). Kitab-kitab hadis yang mu’tabar di kalangan umat Islam.
[9] Yang terkenal bukan pengelana adalah Imam Malik, yang setia belajar dan mengajar di Madinah.
[10] Delapan, seperti jumlah pintu surge, kata beliau
[11] Fakultas Ushuluddin jurusan hadis sepertinya yang paling banyak pelajaranna disbanding fakultas/jurusan lain
[12] Tidak hanya kitab yang enam lho...
[13] Karena bisa dibilang, menghukumi hadis itu proyek ulama terdahulu yang hampir semua sudah selesai.
[14] Kali ini dicantumkan target pencapaian dan bahan kuliah hasil terjemahan dari kurikulum yang memang dibagi kepada mahasiswa s2. Beda dengan s1 yang dibagi diktat, kalau s2 hanya dibagi beberapa lembar kertas kurikulum, bahannya langsung merujuk ke kitab ulama mutaqaddimin. Hanya satu dua yang memberi diktat.

No comments:

Post a Comment