Oleh : Musa Al-Azhar, Lc.
Pembukaan
Segala puji bagi Allah Swt. yang kita tidak akan bisa mensyukuri nikmat-Nya
tanpa nikmat dari-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw. beserta para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.
Kalau sudah pesimis, mungkin tidak akan balik lagi ke Kairo untuk lanjut
s2. Berbagai cerita tentang tingkat kesulitan dan kegagalan yang tinggi di s2
al-Azhar selalu terdengar dan
minta diperdengarkan dari para senior. Kalau hanya sekedar nekat, tentu akan
ada pertimbangan ‘menghabiskan umur’. Di sisi lain, iming-iming kualitas dan
kepakaran dari sistem pembinaan di tingkat magister dan seterusnya datang silih
berganti. Mulai dari perkataan seorang dosen di kuliah, “Bukan Azhary namanya
kalau belum pernah belajar di magister-nya al-Azhar”, sampai kepada bukti-bukti
riil betapa luas dan dalamnya ilmu yang dimiliki oleh ulama alumni program
doktoral al-Azhar. Minimal bisa tercermin dari para guru yang mengajar selama
s1 baik di bangku kuliah, tempat talaqi, maupun di majelis-majelis ilmu lain.
Atau dari karya-karya inovatif dan spektakuler para ulama al-Azhar dalam
berkhidmah terhadap al-Quran dan Sunah, sumber hukum Islam. Belum lagi
perjuangan para ulama al-Azhar kaliber dunia dalam menegakkan syariat Allah.
Berbenturan secara fisik maupun dalam hal membendung berbagai macam aliran yang
ingin menggerogoti aqidah umat Islam seperti sekularisme, materialisme, dan
sebagainya.
Al-Azhar memang terkenal sebagai universitas tertua di dunia (tertua kedua
setelah Universitas Qairawan). Tua tidak terkesan usang apabila dipandang
dengan kacamata orang zuhud. Orang zuhud selalu melihat orang yang lebih tua
dari sisi sudah sebanyak apa dia berkarya, sebaliknya orang yang lebih muda
selalu dipandang dari sisi, sedikitnya kesalahan yang ia lakukan. Artinya,
sudah lebih dari 1000 tahun al-Azhar mencerahkan dunia melalui cahaya al-Quran.
Bahkan ketika peradaban Barat masih berada dalam fase the Dark Ages. Al-Azhar
tidak berhenti melahirkan para ulama. Lebih dari 100 tahun yang lalu, al-Azhar
jelas sudah berumur 800-an tahun dan jelas layak di bilang tua. Tapi masih bisa
melahirkan ulama seperti Muhammad Abduh, Rifa`at Thahthawi, Muhammad Abdullah
Darraz, sampai Yusuf al-Qaradhawi.
Yang kedua masalah spesialisasi. Sebenarnya mau jadi ulama bidang apa?
Spesialisasi (al-Takhashshush) memang menjadi tuntutan zaman. Tapi kalau
berbicara keulamaan, terkadang ada ‘tuntutan-tuntutan’ yang membuat seorang
ulama juga harus ‘belajar yang lain.’ Ambil contoh, seorang pakar hadis, ketika
hendak menyimpulkan hukum dari hadis-hadis yang sudah susah payah ia munculkan
hukumnya, sahih, hasan, atau dhaif, tidak bisa seenaknya dimaknai. Haruslah
melalui ‘metode’ tertentu. Mulai dari pemahaman bahasa (atau yang mungkin
populer di rumah dengan istilah nahwiyah) karena Rasulullah Saw. itu penutur
bahasa Arab, dan Kanjeng Nabi adalah orang yang paling fasih sedunia. Kata
Prof. DR. Ali Jum’ah[1] ketika mengajarkan kitab al-Tamhîd[2]
karya Jamaluddin al-Isnawi (wafat 772 H), “Rasulullah Saw. itu mengetahui
seluruh kata bahasa Arab”. Maka untuk memahami hadis gerbangnya adalah kaidah
bahasa Arab, mulai dari nahwu, sharaf, balaghah, dan cabang ilmu bahasa Arab
lainnya.
Kemudian, apakah hadis itu berbicara sesuatu yang umum atau khusus. Kalau
umum, apakah yang dimaksud juga umum atau khusus? Selain itu apakah hadis itu mansûkh[3]
atau tidak? Apa latar belakang hadis itu diucapkan (Asbâbu’l Wurûd)? Dan
pertanyaan lainnya. Singkat cerita, ‘metode’ itu dirumuskan melalui proses
panjang. Yang semula tidak dibukukan, hanya berada di dalam otak sahabat,
kemudian diajarkan ke murid-muridnya, tabi’in, yang mana juga mengajarkan
kepada muridnya dengan ketersambungan sanad[4]. Sampai di masa Imam
al-Syafi`i (ulama salaf yang namanya paling populer di Indonesia). Beliaulah
manusia pertama yang tercatat membukukan ‘metode penyimpulan hukum dari teks
al-Quran dan hadis’ yang dikenal dengan ilmu usul fikih. dengan kitabnya
al-Risalah.[5]
Intinya, spesialisasi itu merupakan sebuah titik tolak, tapi banyak ilmu
yang harus dikuasai oleh para ulama, efek dari ‘tuntutan-tuntutan’ di atas.
Fakta sudah membuktikan. Imam al-Bukhari (256 H) misalnya. Orang mengenal ia
sebagai ahli hadis terkenal dengan kitabnya al-Jâmi` al-Shahîh.
Tapi beliau juga seorang ahli fikih. Kecerdasan fikih beliau terletak dalam
menempatkan hadis-hadis sesuai bab dan pembahasannya dalam kitab tersebut.
Selain itu, beliau juga cerdas mengambil faidah fikih sekecil apapun dari
sebuah hadis. Jangan heran, hadis yang bercerita tentang seseorang yang
dibetulkan salatnya oleh Rasulullah Saw. juga tercantum di Bab Menjawab Salam,
karena dalam hadis itu ada sedikit cerita bahwa orang tersebut mengucap salam
kepada Rasulullah Saw. sebelum ia salat.
Selain dikenal sebagai ahli hadis, beliau juga seorang mujtahid, bahkan
mujtahid yang mutlak (independen). Banyak ulama yang protes kepada Tajuddin
al-Subki karena beliau memasukkan Imam al-Bukhari kedalam Thabaqât
al-Syâfi`iyyah (Semacam daftar ulama mazhab Syafi`i), al-Bukhari sudah
layak dianggap mujtahid mutlak.[6] Artinya, beliau memiliki
kemampuan untuk menyimpulkan hukum tanpa perlu mengikut metode ulama
lain dalam penyimpulan hukum.
Penah dengar Tafsîru’l Jalâlain? Salah satu penulisnya adalah
Jalaluddin al-Suyuthi (911 H) asal Asyuth, Mesir. Apa sih yang tidak ditulis
oleh al-Suyuthi? Beberapa disiplin keilmuan Islam, salah satu buku pedoman
utamanya ditulis oleh al-Suyuthi. Dalam ilmu hadis ada Tadrîb al-Râwi,
beliau juga menyusun al-Jâmi` al-Kabîr, yang awalnya dimaksudkan untuk
menghimpun seluruh hadis Nabi., dalam ilmu al-Quran ada al-Itqân fî `Ulûmi’l
Qur’ân, dalam qawaid fiqhiyyah ada al-Aysbâh wa al-Nâzha’ir, bahkan
tentang gempa bumi beliau menulis Kasyf al-Shalshalah `an Washf al-Zilzalah.
Betapa luas dan mendalam ilmunya. Spesialis memang populer, tapi ensiklopedis
suka tidak suka jadi tuntutan.
Mungkin terkesan utopia kalau membicarakan ulama dulu, terkesan salaf.
Padahal al-Suyuthi termasuk yang muta’akhhirîn. Di abad 21 ada Syeikh
Yusuf al-Qaradhawi juga tanggap dengan persoalan umat. Bukan sekedar tanggap
dengan ikut demo, tapi juga menyajikan solusinya dari perspektif Islam via
karya-karyanya? Apa saja? Baca sendiri..
Kembali ke masalah pesimis-optimis di atas, berarti dapat disimpulkan bahwa
saya masih optimis. Bukan optimisnya orang nekat, tapi optimis karena jalannya
sudah tahu setelah mencari tahu. Tinggal usaha, doa, dan tawakkal.
Apa Hadis dan Ilmu Hadis itu?
Semua cabang keilmuan Islam tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masa awal
sahabat. Konsekuensi dari Man arâdahumâ (al-Dunyâ wa’l Âkhirah) fa`alaihi
bi’l `Ilm adalah dibukanya kajian-kajian yang bertujuan untuk mencapai
pemahaman yang utuh dari al-Quran dan Sunah. Kalau ditarik ke masa selanjutnya, kajian-kajian
inilah yang menjadi cikal-bakal universitas-universitas Islam besar dalam
sejarah peradaban Islam. Al-Nizhamiyyah tempat mengajarnya Imam al-Ghazali (505
H), al-Asyrafiyyah tempat mengajar Ibnu Shalah[7] (643 H), Zaituniyyah di
Tunisia yang merupakan universitas tertua di dunia yang masih eksis hingga
sekarang, Umawiyyah, dan al-Azhar.
Ada dua buah ilmu yang murni lahir dari rahim keilmuan Islam. Pertama, usul
fikih sebagai metode yang digunakan para ulama dalam menyimpulkan hukum dari
al-Quran dan Sunah. Usul fikih sebenarnya sangat terkait dengan ilmu bahasa
Arab. Karena, penyimpulan hukum berawal dari pemahaman terhadap teks syariat
(al-Quran dan Sunah) yang berbahasa Arab, kemudian diteliti untuk kasus apakah
teks itu ditujukan. Kedua, ilmu hadis. Tugasnya adalah meneliti apakah
sebuah teks syariat (hadis misalnya) benar-benar bisa dinisbatkan kepada
sumbernya? Ilmu hadis meneliti kredibilitas (tsiqah) para perawi hadis,
ketersambungan jalur transmisi hadis (sanad), kemudian menyingkap kesalahan (`illah) yang
terdapat dalam sanad ataupun teks hadis. Hal terakhir ini membentengi hadis
dari kesalahan yang berasal dari faktor manusiawi. Karena seorang ulama (rawi)
tetaplah manusia yang tidak luput dari salah dan lupa. Kesalahan tersebut
didapat dari perbedaan penyebutan sanad atau matan seorang perawi tunggal
dengan sanad dan matan yang didapat dari jalur lain.
Sanad inilah yang merupakan senjata umat Islam dalam hal otentisitas
ajaran. Kesaktian sanad masih berlaku sampai sekarang.Contoh kasus, ketika ada
seseorang yang berbicara agama atau menyebarkan sebuah ilmu agama yang kita
pandang baru karena keterbatasan ilmu kita. Tanyakan saja bersambung ke siapa
sanadnya? Simpelnya, siapa gurunya? Siapa gurunya gurunya? Dan seterusnya.
Sebenarnya, masa periwayatan hadis sudah berhenti di abad kelima hirjiyah.
Adapun proses periwayatan yang kita jumpai di zaman sekarang, lebih kepada
pelestarian sanad atau ijazah (rekomendasi) keilmuan tertentu. Misalnya, sanad
kitab fikih mazhab Syafi`i al-Majmu yang bersambung kepada penulisnya, Imam
Nawawi. Kitab-kitab hadis juga sudah dibukukan. Jadi, tugas pelajar hadis
adalah menguasai ilmu yang dulu dimiliki para ulama untuk membedakan apakah
sebuah hadis dihukumi sahih, hasan, atau dhaif. Minimal, karena studi hadis
sangat erat dengan studi pustaka mengingat segalanya sudah dibukukan oleh para
ulama, seorang pelajar dapat memanfaatkan kitab-kitab hadis dan ilmu hadis yang
ditulis oleh para ulama, yang jumlahnya ribuan itu.
Belajar Hadis di al-Azhar?
Mungkin ada yang bertanya? Apakah prospek (kita berbicara kepakaran, bukan
profesi) belajar hadis di al-Azhar? Memangnya al-Azhar itu tempat belajar hadis
yang ideal? Al-Azhar kan tidak pernah melahirkan ahli hadis sekelas Syeikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani? Kenapa tidak di tempat A atau B saja? Ingat,
hadis tidak beredar di satu tempat saja. Pada masa khalifah Utsman, para
sahabat diijinkan menyebar ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan agama
Islam yang juga berarti menyebarkan al-Quran dan hadis. Sekali lagi, mereka pun
punya murid yang juga punya murid lagi dan seterusnya. Sederhananya, coba lihat
Kutub al-Sittah[8],
semua penulisnya berasal dari Asia tengah, daerah tan-tan. Seorang pelajar
hadis itu harus melakukan Rihlah fi Thalabi’l `Ilm. Bahkan Khathib Baghdadi,
seorang ahli hadis dari Irak menulis buku khusus tentang hal itu. Lihat juga di
buku-buku biografi ulama, hampir semua pernah berkeliling dunia.[9] Ada sebuah keinginan
pribadi untuk berkeliling, kalau sekarang ya belajar di tanah haramain, juga
India yang ternyata produktif soal hadis. Tapi itu nanti, sekarang lolos
tamhidi dulu.
Kembali ke al-Azhar, apa khidmah al-Azhar terhadap hadis? Dr. Usamah Sayyid
al-Azhary, seorang ulama hadis muda al-Azhar mencatat ada 8[10] peran al-Azhar dalam
bidang hadis. Dengan sedikit editing, dipaparkan secara singkat:
1.
Memberi
penjelasan (syarah) terhadap kitab-kitab hadis. Ketinggian
bahasa (maklum, Rasulullah Saw. adalah manusia yang paling fasih), sasaran, dan
tujuan sebuah hadis kadang sulit digapai, kecuali oleh para ulama. Oleh
karenanya, dibutuhkan kitab-kitab yang menjelaskan matan-matan hadis tersebut.
Metode penjelasan itulah yang disebut Syarah. Misalnya Shahih Muslim, selama
ini mungkin kita hanya mengenal syarah-nya Imam al-Nawawi. Tetapi Prof. DR.
Musa Syahin Lasyin dari al-Azhar juga mensyarahnya dan diberi judul Fathul
Mun`im. Shahih Bukhari yang pernah disyarah oleh Ibnu Hajar
al-`Asqlani dengan Fathul Bâri juga
disyarah oleh Prof. DR. Muhammad Abu Syahbah (pernah mengajar di Universitas
Ummul Qura), dan lain-lain.
2.
Ilmu Mushtalah
Hadis. Meskipun para ulama mutaqaddimin sudah menyusun
berbagai kitab mustolah hadis, tapi tinta ulama terus mengalir. Ada yang
mensyarah, meringkas, menjadikan bait-bait syair, menyusun ulang, maupun
mengkaji ulang kajian mustolah para ulama mutaqadimin. Ulama hadis al-Azhar
juga produktif menyusun kitab mustalah hadis (yang juga dikenal dengan ilmu
hadis). Diantaranya Syekh Muhammad al-Samahi dengan al-Manhaj al-Hadits fi
Ulumi`l Hadis, kemudian al-Wasith fi Ulumi’l Hadis karya Muhammad Abu Syahbah.
Nuruddin Itr (ulama hadis asal Syiria) dengan Manhaj Naqd fi Ulumi’l Hadis juga
seorang alumni al-Azhar.
3.
Menghidupkan
ilmu Manâhiju’l Muhadditsîn (metodologi ulama hadis) yang
sempat redup dari peredaran keilmuan Islam. Dalam kajian hadis, tentunya sangat
urgen posisi kajian mengenai metode kritik hadis, penyusunan kitab, dan
sebagainya oleh para ulama hadis. Para ulama al-Azhar melihat celah ini
kemudian berkhidmah dengan tintanya, seperti Muhammad Abu Zahw yang menulis al-Hadîts
wa’l Muhadditsûn.
4.
Menyusun metode
takhrij hadis (cara menisbatkan sebuah hadis kepada kitab-kitab hadis
plus mengumpulkan perkataan para ulama mengenai hadis tersebut. Ilmu ini
merupakan sentuhan akhir dalam kajian hadis dan ilmu hadis). Syekh Abdul Muhdi
bin Abdul Qadir, seorang pakar hadis, dosen takhrij saya tingkat IV memaparkan
bahwa, dulu ilmu takhrij hadis tidak ada buku pedomannya. Kemampuan takhrij
langsung didapat dari talaqqi dengan guru. Padahal, dalam menyusun kitab hadis
maupun kitab kunci takhrij hadis, para ulama memiliki karakter. Misalnya,
menyusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, urutan sahabat, tema, dan
sebagainya. Hal inilah yang menggerakkan Syekh Abdul Muhdi yang ketika itu
masih s2 untuk menulis buku pedoman takhrij, kemudian menginspirasi yang lain.
Diikuti oleh muridnya Syekh Ridha Zakaria.
5.
Majelis
pembacaan kitab hadis dan ijazah sanad. Meskipun sanad
hadis kepada Rasulullah Saw. sudah dapat dikatakan berhenti di kitab-kitab para
ulama seperi Imam al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan lain-lain, tapi sanad
kepada para ulama penulis kitab tersebut masih dapat dilestarikan. Amanah
ilmiah inilah yang terus dilestarikan oleh para ulama. Di antaranya kebanggan
tanah air, Syekh Yasin al-Faddani (ulama
Padang yang pindah ke Makkah) yang bergelar Musnid al-Dunya. Dari
beliau, banyak sanad para ulama kepada kitab hadis yang enam misalnya,
tersambung. Usaha lain yang dilakukan oleh para ulama misalnya Syekh Hasunah
al-Nawawi (bukan Imam al-Nawawi penulis al-Arba`în atau pensyarah shahih
muslim). Beliau meneliti Shahih Bukhari bersama 31 ulama lain, kemudian
diterbitkan dan terkenal sebagai cetakan Sultaniyah, yang merupakan naskah
ter-sahih dari Shahih Bukhari.
6.
Melanjutkan
kajian hadis, misalnya di bidang penilaian sahih atau dha`if sebuah hadis.
Meskipun sebagian besar hadis sudah dihukumi,bukan berarti proyek sudah habis.
Misalnya Syekh Murtadha al-Zabidi yang menulis Ithâf al-Sâdat
al-Muttaqîn yang merupakan takhrij hadis-hadis kitab Ihyâ’ Ulûmiddin
karya Imam al-Ghazali yang banyak dibicarakan orang mengenai kesahihan
hadis-hadis di dalamnya. Melengkapi apa yang pernah dilakukan Imam al-Iraqi
terhadap kitab yang sama. Di antara ulama hadis yang ahli akan hal ini adalah
Syeikh Ahmad Syakir, Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari, dan Syekh Ahmad Ma`bid
Abdul Karim.
7.
Menyusun
kitab-kitab yang menghimpun hadis. Seperti Syekh Manshur Ali Nashif
yang menyusun ulang secara tematik kitab hadis yang enam kemudian diberi nama al-Tâj
al-Jâmi` li’l Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl dan lain-lain.
8.
Mentahkik kitab
hadis dan ilmu hadis. Sebelum mengenal percetakan, para ulama menulis kitab
dengan tangannya atau mendikte kepada muridnya. Naskah-naskah (manuskrip)
tersebut dilahirkan kembali dalam bentuk buku yang kita kenal sekarang ini
setelah melakukan tahkik (filologi). Misalnya naskah Fathul Bari Syarh Shahih
Bukhari yang ditahkik oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tadrib al-Rawi yang
ditahkik oleh Syekh Abdul Wahab Abdul Lathif, dan sebagainya.
Selanjutnya Bagaimana?
Ok deh, sudah cukup berpanjang katanya. Sekarang mengenai rencana pribadi
untuk lulus dari al-Azhar. Sebelumnya, prinsip yang harus dipegang adalah doa,
ikhtiyar dan tawakkal `alalLâh. Maksudnya, setelah berdoa menyatakan diri
pengen menjadi ulama hadis dari al-Azhar kemudian (seperti yang diajarkan ulama
al-Azhar, tepatnya Prof. DR. Marwan Syahin, dosen sirah nabawiyah tingkat empat
kemarin) sebagai manusia, meskipun takdir sudah diketahui Allah, tapi
diperintahkan untuk ‘menjalani sebab’. Kalau mau lulus dari al-Azhar ya harus
belajar dengan prinsip: Keras (segera bangkit dari setiap
leha-leha dan tidak kenal lelah), cerdas (belajar efektif dan efisien=>Bab
ini yang banyak dibahas kali ini), dan ikhlas (orientasi ridha Allah).
Secara umum, ada 3 (tiga) kegiatan besar yang akan dijalani selama beberapa
tahun ini (ditargetkan tamhidi 2 tahun bismilLah). Diurutkan sesuai prioritas:
A.
Belajar dan LULUS
dari Tamhidi al-Azhar
Sedikit cerita, pendidikan magister di al-Azhar dibagi menjadi 3. Tamhidi
(pembekalan teori yang secara formal dan lancar ditempuh selama dua tahun),
mencari judul tesis, kemudian menulis tesis plus ujiannya. Sekarang kita bicara
poin pertama. Beda dengan s1 yang ujiannya setahun dua kali, kalau s2 hanya
sekali untuk semua pelajaran. Tepatnya ada di bulan Juli setiap tahun setelah
s1 selesai ujian. Ada ujian tulis, kalau lolos masuk ujian lisan. Kalau tidak
lulus berapa madah pun, termasuk satu, masih ada kesempatan (gelombang) kedua (al-Daur
al-Tsâni) satu atau dua bulan setelah al-Daur al-Awwal tadi. Kalau
masih tidak lulus lagi, tidak naik kelas kemudian mengulang proses yang sama,
kalau na`udzubilLâhi min dzâlik gagal lagi ya MAFSHUL alias dropout. (Peraturan ini sudah berubah menjadi sistem manqul, selama tidak rosib lebih dari 2 madah, maka hanya mengulang madah yang rasib)
Tahun ini yang diujikan 10 pelajaran[11] yang sudah diajarkan
sejak sekarang. Muhadharah sudah mulai untuk beberapa madah. Ketika tulisan ini
dibuat, sedang libur karena s1 ujian. Masuk lagi muhadarah efektif mungkin
Februari sampai nanti berhenti Mei, lima bulan saja.
1.
Al-Quran
Materinya lima juz dari awal kalau
tidak ada perubahan, bedanya di kuantitas soal. Kalau di s1 paling banyak empat
soal dikerjakan dalam waktu dua jam, di s2 tujuh soal dengan waktu yang sama,
jadi ya nggak ada waktu buat mikir, langsung jawab.
2.
English
Tingkat kesulitan bahasa Inggris
di al-Azhar tidak tinggi. Tapi tetap tidak boleh meremehkan, ada kisah nyata.
Seorang mahasiswa s2 syariah Islamiyah pernah ‘meremehkan’ bahasa Inggris,
ternyata beliau tidak lolos di pelajaran bahasa Inggris SAJA. Ya tetap
mengulang semua pelajaran.
3.
Takhrîj Hadis dan Studi Sanad
Bisa
dibilang ini adalah ‘hasil’ dari ilmu hadis. Seseorang bisa mencari hadis
tertentu yang sudah tersusun di kitab para ulama[12],
kemudian bisa menerapkan metode ulama dalam menghukumi hadis tersebut.[13]
Sedikit cerita, lulus tingkat 3 (s1) jurusan hadis Universitas al-Azhar, hanya
dituntut untuk mengetahui sebuah hadis ada di kitab apa saja, tingkat 4 menukil
perkataan ulama mengenai hukum hadis tersebut. Di s2 baru dibekali ilmunya para
ulama untuk menghukumi hadis tersebut. Termasuk merajihkan satu dari beberapa pendapat ulama yang berbeda mengenai hukum sebuah
hadis atau keadaan suatu rawi.
Pengajarnya
adalah Prof. DR. Ahmad Ma`bid/Ma`bad Abdul Karim. Kata DR. Usamah Sayyid
al-Azhari, beliau adalah gurunya para muhaddits dunia di zaman sekarang. Benar
atau tidaknya, beliau sudah banyak makan asam garam dalam dunia hadis. Termasuk
malang melintang mengajar di dunia Islam termasuk Universitas Muhammad Ibn
Su`ud. Tidak heran, ketika muktamar hadis awal Februari lalu, dimana Syekh
Ahmad Ma`bid menjadi ketua panitia, para ulama tidak segan menyatakan
penghormatannya kepada beliau yang sangat tawadhu. Satu hal lagi, Syekh Ahmad
Ma`bid adalah anggota Hai’ah Kibâru’l `Ulamâ’ (Dewan Ulama Besar) al-Azhar yang
baru dihidupkan kembali beberapa waktu lalu. Bayangkan, satu hari beliau pernah izin tidak mengajar dengan alasan, "Ada rapat memilih mufti Mesir pengganti Syekh Ali Jum`ah yang habis masa tugasnya."
Prof. DR. Ahmad
Ma’bid Abdul Karim
Mengajar
Talaqqi Kitab Tadrib al-Rawi karya Imam al-Suyuthi di Masjid al-Azhar (beliau
masih sangat sehat termasuk penglihatan, entah kenapa beliau pakai kacamata
hitam di sini)
Target pencapaian[14]:
1)
Mengetahui
sebanyak mungkin buku hadis dan buku-buku kunci takhrij hadis termasuk cara
penggunaannya. Ada 4 seri buku pedoman takhrij dan menghukumi hadis karya ulama
besar hadis al-Azhar, Prof. DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir, tinggal dibaca,
dipahami, dan dihafalkan daftar buku-buku di dalamnya.
2)
Takhrij via
komputer.
3)
Menghimpun
hasil para ulama hadis dalam menghukumi hadis, termasuk menyelesaikan persoalan
ketika terjadi perbedaan.
Bahan:
1)
Nashb al-Râyah –
al-Zaila`i. Meupakan kitab takhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab fikih mazhab
Hanafi al-Hidâyah fî Syarhi’l Bidâyah karya al-Marghainani.
2)
Al-`Ilal – Imam
al-Daruquthni.
3)
Al-`Ilal
al-Mutanâhiyah – Ibnu al-Jauzi.
4)
Pedoman Takhrij
hadis karya Prof. DR. Abdul Muhdi (sudah punya)
5)
Pedoman Takhrij
hadis karya murid Syekh Abdul Muhdi, Prof. DR. Ridha Zakaria (sudah punya)
6)
Al-Targhîb wa
al-Tarhîb – al-Mundziri dan al-Mughni `an Hamli’l Asfâr –
al-Iraqi
4.
`Ilal Hadis
`Ilal hadis adalah ilmu yang
paling sulit dalam ilmu hadis. Betapa tidak? `Ilal adalah sebab tersembunyi
dalam hadis yang bisa mencacatkan hadis yang awalnya dikira sahih. Secara garis
besar, ilmu ini meneliti kesalahan manusiawi seorang rawi. Bisa diketahui dari
berbagai cara seperti mengumpulkan berbagai jalur periwayatan sebuah hadis ,
dan sebagainya. `Ilal adalah ilmunya ulama mutaqaddimin (terdahulu), bukan kita
yang muta’akhirin. Sedangkan yang dipelajari dalam ilmu ilal lebih banyak ke
praktek melihat kecacatan-kecacatan tersembunyi dalam hadis, kalau teorinya
dengan memahami metode ulama-ulama terdahulu dalam mencari `ilal tersebut.
`Ilal adalah ilmu ulama abad ke-2 dan ke-3 hijriyah seperti Syu`bah bin
al-Hajjaj (wafat 160 H), Yahya bin Sa`id al-Qaththan (198 H), Abu Hatim al-Razi
(277 H), Imam al-Bukhari (256 H), Imam al-Tirmidzi (279 H), dan lain-lain.
Paling belakangan ada Imam al-Daruquthni (385 H). Tugas ulama yang datang
setelah beliau-beliau adalah memahami metode mereka dalam menemukan `ilal
hadis. Oh ya, pengajarnya juga Syekh Ahmad Ma`bid.
Target Pencapaian:
1)
Definisi `ilal
2)
Pembagian `ilal
(nampak dan tidak) termasuk contohnya (harus hafal)
3)
Pembagian `ilal
menurut tempatnya (sanad, matan, atau keduanya) termasuk contoh yang harus
dihafal
4)
Cara mengetahui
ilal:
a.
Mengumpulkan
seluruh jalur hadis
b.
Menentukan common
link (Madâru’l Hadîts)
c.
Perbandingan
rawi
d.
Memahami
karakter madrasah (aliran) dalam kritik hadis
e.
Aplikasi
mustolah hadis
f.
Memanfaatkan
kitab-kitab khusus yang membahas `ilal secara teori dan praktek
5)
Macam-macam
`ilal
Bahan:
1)
Al-`Ilal
al-Shaghîr – Imam al-Tirmidzi, plus Syarah-nya karya ibnu Rajab
al-Hanbali (sudah punya)
2)
Hadyu al-Sâri
(Bab VIII)– Ibnu Hajar. Merupakan muqadimah dari Fathu’l Bâri
Syarh Shahîhi’l Bukhâri (sudah punya)
3)
Al-Nukat
`alâ Kitâb Ibn Shalâh (Bab al-Mu`al) – Ibnu Hajar (sudah punya)
4)
Tadrîb al-Râwi (Bab
al-Mu`al) – Imam al-Suyuthi (sudah punya). Kitab ini ada talaqi mingguan-nya
bersama Syekh Ahmad Ma`bid dan Syekh Mustofa Abu Imarah di Masjid al-Azhar.
5)
Al-`Ilal wa
Ma`rifat al-Rijâl – Imam Ahmad bin Hanbal
6)
Al-`Ilal
– Ibn al-Madini
7)
Al-Tamyîz – Imam
Muslim
8)
Al-Muntakhab
mina’l `Ilal li al-Khallâl – Ibn Qudamah
9)
Al-`Ilal
– Ibn Abi Hatim
10) Al-`Ilal – al-Daruquthni
11) Al-Hadîts al-Ma`lûl; Qawâ`iduhu wa Dhawâbithuhu
– DR. Hamzah al-Malibari (sudah punya)
5.
Al-Jarh
wa al-Ta`dîl
Mempelajari metode ulama dalam
menilai seorang rawi, apakah ia positif (al-Ta`dîl) atau negatif (al-Tajrîh).
Kalau positif, ia diterima periwayatannya. Kalau negatif ada dua pilihan. Pertama,
tertolak kalau negatifnya banget-banget (seperti dicurigai berdusta dan terlalu
banyak salah & lupa). Kedua, kalau tidak banget-banget ya bisa
diterima apabila diperkuat jalur lain. Seperti itu gambaran besarnya. Ilmu ini
didapat dari banyak bergaul dengan buku-buku biografi para ulama. Oh ya, ini
juga ilmunya ulama mutaqaddimin, bahkan Ibnu Sholah (645 H) yang menyusun kitab
ilmu hadis pertama yang lengkap dan independen menyatakan bahwa manusia di
zaman sekarang (zaman beliau) sudah tidak memiliki kemampuan untuk menilai
langsung keadaan seorang rawi. Jelas, karena beda zaman dan proses periwayatan
sudah selesai di abad ke 4 hijriyah. Jadi sekali lagi, kembali ke ilmunya ulama
mutaqaddimin.
Ulama sekarang berperan besar
merumuskan teori al-Jarh wa al-Ta`dil (J & T) dan memecahkan persoalan
apabila ada perbedaan para ulama dalam menghukumi seorang rawi. Kaitannya
dengan kuliah, alhamdulillah buku teori normatif sudah lama selesai dibaca.
Tinggal menyesuaikan dengan muhadarah kemudian banyak praktek di bawah
bimbingan Prof. DR. Muhammad al-Laban, insya4Wl.
Target
pencapaian:
1)
Definisi
J&T, sejarah perumusan, dasar pensyariatan J & T, dan perkembangan ilmu
J&T
2)
Peringkat al-`Adâlah
3)
Peringkat al-Dhabth
4)
Literatur
5)
Perbedaan
metode J&T para ulama; antara mutasyadid dan mutasahhil
6)
Pertentangan
J&T
7)
Kaidah final
J&T
8)
Kritik matan
Bahan:
Kitab-kitab biografi para
ulama plus kitab teori.
6.
Hadis Tahlîli
(Hadis Analitik)
Kupas tuntas hadis-hadis pilihan
(ada sekitar 18 hadis) mulai dari takhrij, hukum, makna mufrodat, sampai fiqhul
hadits-nya. Termasuk analisa mengapa seorang ulama menempatkan hadis di bab
tertentu dalam kitabnya. Pelajaran ini termasuk yang paling sulit karena
kuantitas dan kualitas materi. Diampu oleh Prof. DR. Mustofa Abu Imarah, yang
sudah malang melintang di dunia hadis. Mulai dari menulis kitab, membimbing
disertasi, mengajar di Saudi. Bahkan ulama hadis Saudi seperti Syekh Syarif
Hatim al-Auni merasa bernostalgia ketika bertemu dengan gurunya di universitas
dahulu. Sebenarnya sudah kenal dengan beliau sejak tingkat satu ketika talaqqi
Muqaddimah Ibnu Shalah di depan al-Azhar. Beliau juga yang menguji ketika ujian
lisan tingkat 4 kemarin dan ujian masuk s2. Alhamdulillah rutin menghadiri
talaqqi kitab Tadrib al-Rawi dengan beliau di masjid al-Azhar. (Ternyata tahun ajaran 2012/2013 yang mengajar adalah DR. Ali Farahat)
Beliau terkenal
dengan ketelitian, kedalaman analisa, serta penjelasan yang sangat jelas.
Tentunya hal ini juga berlaku ketika ujian nanti.
7.
Tafsir Tahlîli
(Tafsir Analitik)
Kurang lebih metodenya mirip dengan
hadis tahlili. Di kurikulum hanya tertulis, “Bagi mahasiswa tamhidi 1 silahkan
mempelajari tafsir Surat al-A`raf dan al-Taubah”. Belajar dari tahun-tahun
sebelumnya, mengandalkan catatan muhadarah dari dosen Prof. DR. Abdul Fatah
Abdul Ghani.
8.
Mustolah Hadis
Inilah pokok pembahasan ilmu
hadis. Mempelajari istilah-istilah para ulama yang digunakan untuk menyebut
keadaan hadis seperti sahih, hasan, dhaif, dan segala macamnya. Diampu oleh
Prof. DR. Muhammad Syarif. Yang menjadi buku pegangan adalah al-Nukat `alâ Kitâb Ibn
Shalâh (2 jilid) karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Merupakan catatan, tambahan,
maupun kritik dari Ibnu Hajar terhadap catatan, tambahan, maupun kritik guru
beliau, Imam al-`Iraqi, terhadap Muqaddimah Ibn Shalah yang
merupakan induk dari hampir semua kitab hadis yang datang setelahnya. Bedanya
dengan buku mustolah hadis lain yang kebanyakan berupa penjabaran istilah, al-Nukat
lebih menitik beratkan kepada kajian istilah-istilah tersebut ketika dihadapkan
pada ranah praktek. Hanya dijelaskan beberapa bab, sisanya silahkan baca di
rumah. Alhamdulillah sudah khatam setengah
buku kedua.
9.
Manâhiju’l Bahts
(Metodologi Riset) bersama Prof. DR. Jalal Ajwah
10. Hadis Maudhû`i (Hadis tematik)
Bedanya dengan hadis analitik, hadis tematik menitik
beratkan pada suatu tema tertentu misalnya jual beli, jihad, sirah, tafsir, dan
lain-lain kemudian mengkaji hadis-hadis yang berkaitan dengan tema tersebut.
Bersama ahli hadis senior Mesir Prof. DR. Sa`ad Jawisy. Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat ramah, mudah mengeluarkan sanad, dan satu hal lagi, kata teman-teman kuliah, ternyata beliau punya menantu orang Indonesia.
B. Belajar Hadis Informal
Kalau mendengar perjuangan ulama al-Azhar ketika mereka
masih menjadi siswa, mereka tidak mencukupkan diri dengan kegiatan formal
kuliah. Mereka juga mencari guru, kajian hadis, kitab, atau apapun yang
bermanfaat bagi studi hadis mereka. Nasehat seorang senior juga demikian, intinya
kalau ingin menjadi ahli hadis jangan nanggung. So...
1.
Majlis Pembacaan dan Ijazah kitab hadis yang enam, Muwaththa’ Imam
Malik, Sunan al-Darimi, Muqaddimah Ibn al-Shalah, dan Tadzkirat al-Sâmi` wa’l
Mutakallim fî Adâbi’l `Âlim wa’l Muta`allim karya Ibnu Jama`ah.
Majelis semacam
ini tidak boleh ditinggalkan apalagi diremehkan seorang pelajar hadis. Meskipun
‘hanya’ membaca (lebih tepatnya menyimak syekh yang membaca khatam kitab-kitab
di atas) kemudian mendapat ijazah sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.
tapi bagi seorang pelajar hadis sangat urgen. Meskipun tidak hafal seluruh
hadis, setidaknya seorang pelajar hadis pernah membaca khatam kitab-kitab di
atas (minimal kitab yang enam), harapannya ia punya sense letak sebuah hadis
dalam sebuah kitab. Selain itu, kadang kitab-kitab hadis terkena persoalan
pencetakan seperti salah kharakat dan sebagainya. Di majelis inilah hal-hal
semacam itu dijelaskan.
Majelis yang
diikuti adalah majelis Prof. DR. Ridha Zakaria, ulama hadis senior al-Azhar
(dulu pernah mengajar takhrij dan studi sanad ketika tingkat III). Setiap hari
Sabtu mulai pukul 8.30-maghrib (tapi kadang asar sudah selesai). Peserta awal
hampir 200 orang, tapi setelah berjalan hampir dua bulan, satu per satu
berguguran sampai tinggal seperempatnya.
Banyak hal yang
didapat di sini, termasuk ilmu tentang kehidupan dan pengorbanan. Majelis ini
diadakan di villa
beliau di daerah Tajammu` Khâmis, New Cairo (Hay Asyir bablas terus). Villa
tersebut memang belum 100 % jadi, tapi bagian basement sudah siap dan memang
diperuntukkan bagi kajian hadis. Beliau mengorbankan banyak dana untuk
membangun villa yang cukup mewah tersebut. Mulai dari uang pribadi, wakaf dari
muhsinin, pinjaman, bahkan sampai, “Saya jual perhiasan putri-putri saya untuk
ini.” Jadi, 100 pound Mesir yang kita bayarkan sebagai administrasi per bulan
seolah tidak bisa dibandingkan dengan pengorbanan Duktur Ridha.
Satu hal yang
menarik, orang dengan kadar keilmuan semacam Duktur Ridha mungkin kalau di
tanah air sudah duduk manis menjadi pemateri. Tidak dengan para ulama al-Azhar.
Ketika menjadi tuan rumah mereka tetap berlaku selayaknya tuan rumah. Dulu
ketika Muktamar Hadis, Syekh Ahmad Ma`bad selaku ketua panitia berlalu lalang
memastikan acara berjalan baik. Di majelis hadis ini, duktur Ridha dibantu
asisten mudanya, Syekh Musthafa, melayani kami-kami yang hadir. Hari pertama,
beliau sudah saya bikin repot dengan memberikan arahan via telpon kepada supir
taxi yang membawa kami menemukan villa beliau. Beliau sendiri yang menjemput kami
di luar pagar. Ketika prosesi pembukaan majelis, beliau tidak sungkan-sungkan
mengatur tempat duduk tamu undangan seperti Prof. DR. Sa`ad Jawisy dan para
muhsinin. Kegiatan seperti menghidangkan minuman, menyalakan kipas angin,
mengatur kursi, dan mengecek sound system beliau kerjakan berlalu lalang
sendiri. Toh kharismanya tidak hilang, malah menambah pancaran sinar tawadhu
dari diri beliau. Duktur Ridha yang duduk tenang menjelaskan pelajaran takhrij
hadis tingkat tiga di kuliah rasanya seperti menjadi orang lain, tapi itulah
ulama di Mesir. Inspiratif ! Harus dicontoh !
2.
Talaqi
Rugi besar, orang yang pernah belajar di Mesir tapi tidak
pernah merasakan talaqi di al-Azhar, meskipun terdaftar dan lulus sebagai
mahasiswa al-Azhar. Talaqi dan kuliah adalah dua hal yang berbeda meskipun
sama-sama menuntut ilmu. Di kuliah, otak dan jiwa mahasiswa ditata dan
diarahkan cara berpikirnya agar tidak salah. Sekaligus diisi maklumat-maklumat.
Sementara talaqqi, identik dengan spesialisasi dan kedalaman materi. Idealnya, kuliah dan talaqqi sama-sama dijalani.
Kuliah saja, tidak ada satu kitab pun yang dikaji jelas kurang. Talaqqi saja,
ibarat membeli banyak buku tapi tidak punya rak yang berkualitas untuk
menampung.
Talaqqi yang rutin dihadiri
sebenarnya dua, sama-sama kitab Tadrîb al-Râwi hanya beda pengajar. Hari
Sabtu bersama Syekh Ahmad Ma`bid dan hari Senin bersama Syekh Mustofa Abu
Imaroh. Berhubung hari Sabtu sudah terpakai untuk majelis hadis, so yang
dioptimalkan hari Senin.
Selain itu, rencana hari Ahad
ikut kajian Sahih Bukhari bersama Syekh Ahmad Thaha Rayyan, anggota Hai’ah
Kibâru’l `Ulamâ. Di jeda waktu antara selesai tahfidz (ba`da zhuhur) dengan
masuk kuliah (pukul 14.00). Selain itu, ingin juga talaqqi fikih dan aqidah,
hanya belum ketemu waktu yang cocok).
C.
Tahfidz
Bismillah tawakkal ala4wl,
mumpung di Mesir harus hafal al-Quran dan sudah disetorkan ke syekh yang
bersanad. Karena bacaan al-Quran itu sebenarnya ditransfer dari lisan
Rasulullah Saw. ke sahabat, kemudian ke tabi`in dan seterusnya sampai zaman
sekarang. Al-Quran bukan reading text atau dengan bahasa lain, yang tertulis di
mushaf itu adalah tulisan al-Quran. Cara membacanya, diajarkan dari lisan
seorang syekh kepada muridnya. Tidak perlu heran dengan keragaman bacaan selama
masih masuk kategori bacaan yang mutawatiroh.
Usut-punya
usut, ternyata Mesir adalah produsen ulama qira’at meskipun buakn negeri tempat
turunnya al-Quran. Konon, dua dari enam (atau delapan ya?) pakar qira’at dunia yang masih hidup sampai sekarang berasal dari Mesir.
Diantara pakar qira’at Mesir ada Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif yang masih
mengisi simakan (istilahnya maqra’ah) di masjid al-Azhar, Syekh Isa
al-Ma`sharaawy, dan lain-lain. Pusatnya ada di Universitas al-Azhar, Fakultas al-Quran di kota Thantha.
Setiap hari Ahad dan Kamis pukul
10.00 ngaji bersama Syekh Zaid di dekat Masjid Husein. Alhamdulillah ini tempat
tahfidz paling cocok sejauh ini kalau dibandingkan dengan sebelumnya. Sekali
nyetor minimal satu rubu` ditambah mengulang 3 rubu` yang sudah dihafal agar
tidak lupa. Khusus hari Kamis, ditambah setoran hafalan kitab tajwid, Matan
Tuhfatul Athfal karya Syekh Sulaiman al-Jamzuri dilanjutkan Matan al-Jazariyyah.
Penutup
Demikian deskripsi kegiatan dua tahun. Adapun
kegiatan lain seperti menulis, ‘mengamati peristiwa dunia’, belajar bahasa
asing lain, dan yang tidak ditinggalkan, belajar ilmu falak, belum
waktunya dideskripsikan sedetail ini. Selain itu tulisan juga sudah terlalu
panjang, ntar malah gak kebaca padahal harapannya kebaca semua. Meskipun yang
terakhir ini suatu saat akan diceritakan.
Alâ kulli hâl, jazakumullah atas doa dan dukungan dari ayah, ibu, adek-adek, dan
lingkungan di tanah air. Berharap untuk tidak berhenti berdoa
Kairo, 22 Desember 2012 (kata
orang2 ini hari ibu, jadi ini hadiah buat ibu)
Musa Al Azhar, (yang sudah) Lc.
Musa Al Azhar, (yang sudah) Lc.
[2] Al-Tamhîd fî Takhrîji’l Furû` `ala’l Ushûl
kitab Usul Fikih
[4] Sanad
kurang lebih artinya rangkaian rawi yang sampai kepada teks hadis.
[5] Lihat
buku-buku yang berbicara masalah Târîkh al-Tasyrî` misalnya: Thaha Jabir
al-`Alwani, Ushûlu’l Fiqh al-Islâmi, IIIT, Virginia, USA, cet. II, 1415
H/1995 M, hal. 43
[6]
Muhammad Dhiyaurrahman al-A`zhami, Dirâsât fi’l Jarh wa al-Ta`dîl¸
Dâr al-Salâm, Riyadh, Saudi Arabia, cet. II, 1424 H, hal. 310
[7] Abu
`Amr Ibn Shalah, ulama hadis terkenal dengan masterpiece-nya Muqaddimah
atau Ma`rifat `Ulûmi’l Hadîts, kitab rujukan utama dalam bidang
ilmu hadis, di dalamnya, beliau mengklasifikasikan ilmu hadis menjadi 65 cabang
ilmu
[8] Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i,
dan Sunan Ibn Majah (atau Muwaththa’ Imam Malik menurut sebagian ulama).
Kitab-kitab hadis yang mu’tabar di kalangan umat Islam.
[10]
Delapan, seperti jumlah pintu surge, kata beliau
[11]
Fakultas Ushuluddin jurusan hadis sepertinya yang paling banyak pelajaranna
disbanding fakultas/jurusan lain
[12] Tidak hanya kitab yang enam lho...
[13] Karena bisa dibilang, menghukumi hadis itu
proyek ulama terdahulu yang hampir semua sudah selesai.
[14] Kali ini dicantumkan target pencapaian dan
bahan kuliah hasil terjemahan dari kurikulum yang memang dibagi kepada
mahasiswa s2. Beda dengan s1 yang dibagi diktat, kalau s2 hanya dibagi beberapa
lembar kertas kurikulum, bahannya langsung merujuk ke kitab ulama mutaqaddimin.
Hanya satu dua yang memberi diktat.
No comments:
Post a Comment