أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Wednesday, August 7, 2013

Definisi Hadis Shahih



Oleh: Musa Al Azhar, Lc.[1]
A. Prolog
Salah satu diskursus hadis yang mendapat banyak sorotan dari para cendekiawan adalah ilmu mustolah. Sejarah mencatat bahwa ilmu mustolah hadis baru mendapat perhatian dengan kodifikasi independen oleh Abu Hasan al-Ramahurmuzi (360 H) dalam al-Muhaddits al-Fâshil baina al-Râwi wa’l Wâ`i. Kemudian al-Hakim (505 H) dalam Ma`rifat `Ulûmi’l Hadîts. Kemudian oleh al-Khathib al-Baghdadi (463 H) dengan al-Kifâyah fî Ma`rifat Ushûl `Ilm al-Riwâyah dan karya-karya lain yang secara spesifik membahas cabang tertentu ilmu hadis. Ialah yang menjadi inspirator para cendekiawan yang datang setelahnya sebagaimana statemen Ibn Nuqtah.[2]

Adalah Ibn al-Shalah (643 H) seorang ahli hadis yang juga fakih berkebangsaan Irak mengumpulkan komponen-komponen ilmu hadis yang berserakan di berbagai literatur  kemudian mendiktekannya kepada para mahasiswa ketika menjadi dosen di Universitas al-Asyrafiyah, Damaskus. Hasilnya menjadi sebuah karya besar Ma`rifat `Ulûmi’l HadÎts atau yang populer dengan nama Muqadimah Ibn al-Shalah. 

Kitab yang berkah ini menjadi rujukan utama dalam ilmu mustolah hadis. Para ulama melayani kitab ini dengan berbagai cara seperti meringkas, menjelaskan, bahkan menyusunnya kembali dengan bait-bait syair agar teori ilmu hadis bisa dinikmati dalam keindahan struktur kata khas bahasa Arab. Sekali lagi, secara langsung maupun tidak Ibn al-Shalah telah menjadi guru sekaligus inspirator bagi para ahli hadis seperti al-Nawawi (676 H), al-Zarkasyi (794 H), al-Iraqi (806 H), Ibn Hajar (852 H), al-Sakhawi (902), al-Suyuthi (911 H), dan lain-lain.

Selaras dengan tujuan ilmu hadis dirayah, yaitu menyeleksi hadis shahih dengan yang tidak, satu hal yang patut mendapat perhatian besar adalah hadis shahih. Betapa tidak? Dalil hadis yang layak diolah menjadi hukum fikih adalah hadis shahih dilanjutkan dengan hadis hasan. Memang keduanya sama-sama diterima oleh para cendekiawan, namun hadis shahih tetaplah yang nomer satu dan dikedepankan apabila terjadi kontradiksi yang tidak dapat diselesaikan dengan kompromi.

Tulisan yang sederhana ini mencoba mengidentifikasi hadis shahih menurut para cendekiawan mustolah hadis menitikberatkan kepada pembahasan definisi sebelum beranjak kepada pengembangan diskusi setelahnya. Karena mencapai al-Tashdîqât mustahil melewatkan al-Tashawwurât.

B.  Etimologi Shahih

Kata shahih berasal dari tiga huruf shad-hâ’-hâ’ yang berarti hilangnya sakit dan selamat dari semua kecacatan.[3]

C.  Terminologi Shahih

Menurut al-Iraqi, ulama yang pertama kali mengkategorikan hadis dengan shahih, hasan, dan dhaif adalah al-Khaththabi (388 H) dalam Ma`âlim al-Sunan (penjelasan kitab Sunan Abu Daud). Dari teks perkataan al-Khaththabi juga didapatkan definisi mengenai hadis shahih.[4]

"اعلموا أن الحديث عند أهله على ثلاثة أقسام, حديث صحيح, وحديث حسن, وحديث سقيم. فالصحيح عندهم مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ وَعُدِّلَتْ نَقَلَتُهُ "
“Ketahuilah, menurut ahli hadis, hadis terbagi menjadi tiga macam: sahih, hasan, dan saqim (sakit/dhaif). Hadis sahih menurut mereka adalah yang sanadnya bersambung dan adil transmitternya”.

Al-Khaththabi tidak mempersyaratkan adanya al-Dhabth dalam diri seorang rawi (transmitter), sekaligus tidak mempersyaratkan bebasnya hadis dari unsur al-Syudzûdz (anomali) dan al-`Illat (cacat tersembunyi), demikian klaim al-Iraqi.[5] Meskipun demikian, al-Iraqi tetap mengapresiasi al-Khaththabi dengan mengatakan bahwa pembagian hadis menurut al-Khaththabi berasal dari kacamata para ahli hadis.[6]

Al-Suyuthi mencoba membela al-Khaththabi dari klaim definisi yang kurang dari al-Iraqi. Dalam Tadrîb al-Râwi,[7] al-Suyuthi mengatakan bahwa kata al-`Adl (bentuk masdar) berbeda dengan `Addalûhu (bentuk kata kerja yang digunakan al-Khaththabi). Seorang yang sering lalai dan layak untuk ditinggalkan tidak pantas untuk disebut `Addalahu Ashhâbu’l Hadîts (ulama hadis mengakui kredibilitasnya) meskipun ia adalah orang yang adil dalam sisi keagamaan.[8]
 
Ibnu Hajar di dalam al-Nukat-nya menambahkan bahwa penisbatan al-`Adâlah kepada seorang rawi meniscayakan kejujuran dan ketidak lalaian seorang rawi. Sekaligus tidak bersikap menyepelekan proses al-Tahammul dan al-Adâ’.[9] Dengan demikian, definisi shahih menurut al-Khaththabi dapat diterima.

Sang Maestro Ibnu al-Shalah mendefinisikan hadis shahih sebagai berikut:[10]
" أما الحديث الصحيح فهو: الحديث المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط, إلى منتهاه؛ ولا يكون شاذًا ولامعلَّلاً "
“Sedangkan hadis sahih adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dengan transmisi seorang yang adil dari orang yang adil sampai ke akhirnya, juga tidak ada anomali dan kecacatan,”

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwi, Ibn al-Shalah mengadopsi definisi ini dari Imam Muslim (256 H) ketika menjelaskan Shahih Muslim. Menurut beliau, Imam Muslim dalam menyeleksi hadis shahih dalam ‘Shahih’-nya mempersyaratkan ketersambungan sanad oleh para rawi yang kredibel (tsiqah) dari awal mata rantai periwayatan sampai akhir, dan bebas dari anomali serta kecacatan tersembunyi. Menurut Imam Muslim, ini adalah definisi shahih fî Nafsi’l Amr.(?)[11]

Bagi Ibn al-Shalah, konsekuensi dari definisi ini adalah tidak memasukkan al-Mursal[12], al-Munqathi`[13], al-Mu`dhal[14], al-Syadz[15], yang mengandung al-`Illah al-Qâdihah, dan yang terdapat kecacatan (al-Jarh) dari rawinya.

Beliau menambahkan bahwa definisi ini sudah disepakati oleh para ahli hadis.  Bagaimana dengan perbedaan ahli hadis dalam menetapkan keshahihan suatu hadis? Menurut Ibn al-Shalah, hal itu disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menetapkan apakah syarat tersebut sudah dipenuhi dalam sebuah hadis tertentu atau tidak? Beberapa ahli hadis sebenarnya juga masih berbeda pendapat dalam penetapan syarat shahih (?).[16]

D. Analisa Definisi Hadis Shahih
Sekilas, definisi dari Ibn al-Shalah terlihat sudah sempurna. Memberikan rambu-rambu dari segi ketersambungan proses transmisi hadis (Ittishâl al-Sanad), kejujuran rawi (al-`Adâlah), kualitas hafalan (al-Dhabth), bahkan mengantisipasi kesalahan manusiawi seorang rawi seperti al-Wahm, al-Mukhâlafah, al-Ghaflah, dan sebagainya dengan mempersyaratkan tidak adanya anomali (al-Syudzûdz) dan kecacatan tersembunyi (al-`Illah). Namun, beberapa ahli hadis menganalisa definisi ini dan menemukan celah untuk didiskusikan kembali. Ada yang mengkritisi Ibn al-Shalah, ada pula yang membela. Semua itu dilakukan dengan sportifitas dalam diri ahli hadis (al-Inshâf) hal ini bukanlah hal yang negatif. Menurut Mushthafa Abu Imarah[17], saling kritik justru menunjukkan akal seorang muslim bukanlah akal yang stagnan (jumud), ia selalu bergerak mengenalisa segala sesuatu di sekelilingnya. 

1.   Inefektifitas Kata (al-Musnad al-Muttashil)

Ibn al-Shalah dikritik: Apabila sudah menyebutkan al-Musnad al-Muttashil, sebenarnya tidak perlu mengulang lagi dengan Mâ Ittashala Sanaduhu. Ibn Hajar al-Asqalani menjawab bahwa yang dimaksud dengan al-Musnad yang pertama adalah hadis marfu`[18], bukan hadis yang bersanad. Sehingga tidak ada pengulangan di sana.

2.   Illat Qâdihah

Seharusnya, Ibnu al-Shalah menambahkan kata qâdihah (mencederai) setelah kata illat. Karena ada illat yang tidak mencederai. Namun hal ini dipandang tidak perlu oleh Ibnu Hajar, mengingat Ibnu al-Shalah sendiri ketika menyebutkan illat, berarti illat yang qâdihah.[19] Asumsi lain dari Ibnu Hajar, ketika menyebutkan illat tanpa qâdihah karena ingin mengcover hadis sahih yang disepakati. Karena sebagian ahli hadis ada yang menolak illat baik mencederai atau tidak.[20]

3.   Kurang Jami` - Mani`

Dalam nukatnya, al-Iraqi menerangkan beberapa kritikan untuk Ibnu al-Shalah. Misalnya, ada beberapa ulama yang menerima hadis mursal, sehingga tidak perlu disyaratkan musnad atau tersambung sanadnya. Ada juga kritik dari Ibnu Daqiq al-`Id, beliau berpendapat bahwa .....

Simpel saja jawaban al-Iraqi, “Masalah hadis, serahkan pada ahlinya.”[21]

Menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan syadz (anomali) oleh Ibnu al-Shalah adalah seorang rawi menyelisihi rawi lain yang lebih kredibel dan lebih banyak darinya, sebagaimana definisi Imam al-Syafi`i. Bukan tafarrud (jalur tunggal) secara mutlak sebagaimana yang dipahami al-Khalili. Hanya saja, menurut Mahmud Rabi` dalam komentarnya, menyebutkan bahwa Ibnu al-Shalah sendiri membagi syadz menjadi dua; Pertama, hadis fard yang menyelisihi. Kedua, hadis fard yang tidak memiliki rawi yang tsiqah dan dhabith sehingga tidak dapat dikatrol. Sedangkan al-Khalili tidak pernah mendefinisikan hadis syadz demikian. Menurut al-Khalili, syadz adalah hadis yang sanadnya hanya satu, baik rawinya tsiqah ataupun tidak. Yang rawinya tidak tsiqah maka ditinggalkan, sedangkan yang rawinya tsiqah .....

Satu kritikan untuk Ibnu al-Shalah dari Ibnu Hajar, definisi sahih di sini kurang bisa mengcover hadis-hadis yang disebut ulama memenuhi syarat sahih. Karena ada hadis sahih li ghairihi. Misalnya hadis hasan yang diriwayatkan dari banyak jalur sehingga menjadi sahih. Ibnu Hajar sendiri dalam Nukhbatu’l Fikr-nya cukup teliti dalam mendefinisikan sahih.[22]
و خبر الآحاد  بنقل العدل تام الضبط متصل الإسناد غير معلل و لا شاذ هو صحيح لذاته.
Bagaimana dengan al-Nakârah yang lebih parah dari syadz? Tidak perlu dicantumkan dalam definisi karena ketika anomali (syadz) tidak ditemukan, sudah tentu al-Nakârah juga tidak ada.

E.   Penutup

Para ahli hadis mempersyaratkan ketersambungan informasi (al-Ittishâl), kualitas informan (al-`Adâlah wa al-Dhabht), dan tidak ada kejanggalan dalam proses maupun dalam konten informasi itu sendiri ketika menyeleksi sebuah berita/hadis. Ketika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka informasi tersebut bisa diterima.


[1] Mahasiswa Pascasarjana Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis dan Ilmu-Ilmunya, Tamhidi I
[2] Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani al-Hanbali, bergelar Mu`inuddin al-Baghdadi. Seorang ahli hadis. Wafat tahun 683 H. Lihat: Ibnu Khallikan, Wafayâtu’l A`yân wa Anbâ’ Abnâ al-Zamân, ditahkik oleh Ihsan Abbas, vol. IV, Dar Shadir, Beirut, Libanon, hal. 392, Biografi no. 660
[3] Ibnu Manzhur, Lisânu’l `Arab, vol. IV, hal. 2401
[4] Zainuddin al-Iraqi, Fathu’l Mughîts bi Syarhi Alfiyati’l Hadîts, edisi Mahmud Rabi`, `Alamu’l Kutub, Kairo, Mesir, 1408 H/1988 M, hal. 7
[5] Ibid.
[6] Zainuddin al-Iraqi, al-Taqyîd wa’l  Îdhâh li mâ Uthliqa wa Ughliqa min Kitâb Ibn al-Shalâh, edisi Usamah Khayyath, vol. I, Dâru’l Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Beirut, Libanon, cet. III, 1432 H/2011 M, hal. 217
[7] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, edisi Mazin al-Sirsawi, vol. I, Dâr Ibnu’l Jauzi, Riyadh, Arab Saudi, cet. I, 1431 H, hal. 115
[8] Adil dan Dhabith adalah kedua istilah yang berbeda. Adil biasa digunakan untuk penilaian sisi keagamaan, sedangkan dhabt biasa digunakan untuk menilai kualitas hafalan seorang rawi. Gabungan antara dua sifat tersebut disebut tsiqah. Hanya saja dalam penggunaannya, tsiqah sering digantikan dengan adil. Baik adil sisi agama maupun ‘adil’ sisi hafalan. Kesimpulannya, adil berarti penilaian positif kredibilitas seorang rawi. Lihat: Abdul Muhdi Abdul Qadir.....
[9] Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 115
[10] Ibn al-Shalah, Muqaddimah, edisi Aisyah Abdurrahman (Bin al-Syathi`), Dâr al-Ma`rifah, Kairo, Mesir, 1411 H/1990 M, hal. 151
[11] Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 122
[12] Hadis yang tidak disebutkan akhir sanadnya
[13] Hadis yang terpotong sanadnya, minimal satu orang rawi di generasi manapun
[14] Hadis yang terpotong sanadnya dua orang rawi secara berurutan
[15] Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah namun bertentangan dengan hadis lain yangdiriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah
[16] Ibn al-Shalah, Op. Cit., hal. 152
[17] Profesor Hadis dan Ilmu-Ilmunya Universitas al-Azhar, Kairo. Disampaikan ketika menjelaskan kitab Tadrîb al-Râwi di Jami` al-Azhar.
[18] Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw.
[19] Lihat definisi hadis mu`allal menurut Ibnu al-Shalah.
[20] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Nukat `alâ Kitâb Ibni al-Shalâh, edisi Mahmud Rabi`, vol. I, Dâr al-Rayyah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. IV, 1417 H, hal. 236
[21] Zainuddin al-Iraqi, Op. Cit., hal. 218
[22] Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fî Syarh Nukhbati’l Fikr fî Mushthalah Ahli’l Âtsâr, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. I,1427 H/ 2006 M, hal. 19

No comments:

Post a Comment