Oleh: Musa Al
Azhar, Lc.[1]
A. Prolog
Salah satu diskursus hadis yang
mendapat banyak sorotan dari para cendekiawan adalah ilmu mustolah. Sejarah
mencatat bahwa ilmu mustolah hadis baru mendapat perhatian dengan kodifikasi
independen oleh Abu Hasan al-Ramahurmuzi (360 H) dalam al-Muhaddits
al-Fâshil baina al-Râwi wa’l Wâ`i. Kemudian al-Hakim (505 H) dalam Ma`rifat
`Ulûmi’l Hadîts. Kemudian oleh al-Khathib al-Baghdadi (463 H) dengan
al-Kifâyah fî Ma`rifat Ushûl `Ilm al-Riwâyah dan karya-karya lain yang
secara spesifik membahas cabang tertentu ilmu hadis. Ialah yang menjadi
inspirator para cendekiawan yang datang setelahnya sebagaimana statemen Ibn
Nuqtah.[2]
Adalah Ibn al-Shalah (643 H)
seorang ahli hadis yang juga fakih berkebangsaan Irak mengumpulkan
komponen-komponen ilmu hadis yang berserakan di berbagai literatur kemudian mendiktekannya kepada para mahasiswa
ketika menjadi dosen di Universitas al-Asyrafiyah, Damaskus. Hasilnya menjadi
sebuah karya besar Ma`rifat `Ulûmi’l HadÎts atau yang populer
dengan nama Muqadimah Ibn al-Shalah.
Kitab yang berkah ini menjadi
rujukan utama dalam ilmu mustolah hadis. Para ulama melayani kitab ini dengan
berbagai cara seperti meringkas, menjelaskan, bahkan menyusunnya kembali dengan
bait-bait syair agar teori ilmu hadis bisa dinikmati dalam keindahan struktur kata
khas bahasa Arab. Sekali lagi, secara langsung maupun tidak Ibn al-Shalah telah
menjadi guru sekaligus inspirator bagi para ahli hadis seperti al-Nawawi (676 H),
al-Zarkasyi (794 H), al-Iraqi (806 H), Ibn Hajar (852 H), al-Sakhawi (902), al-Suyuthi
(911 H), dan lain-lain.
Selaras dengan tujuan ilmu hadis
dirayah, yaitu menyeleksi hadis shahih dengan yang tidak, satu hal yang patut
mendapat perhatian besar adalah hadis shahih. Betapa tidak? Dalil hadis yang
layak diolah menjadi hukum fikih adalah hadis shahih dilanjutkan dengan hadis
hasan. Memang keduanya sama-sama diterima oleh para cendekiawan, namun hadis
shahih tetaplah yang nomer satu dan dikedepankan apabila terjadi kontradiksi
yang tidak dapat diselesaikan dengan kompromi.
Tulisan yang sederhana ini mencoba
mengidentifikasi hadis shahih menurut para cendekiawan mustolah hadis
menitikberatkan kepada pembahasan definisi sebelum beranjak kepada pengembangan
diskusi setelahnya. Karena mencapai al-Tashdîqât mustahil melewatkan al-Tashawwurât.
B. Etimologi Shahih
Kata shahih
berasal dari tiga huruf shad-hâ’-hâ’ yang berarti
hilangnya sakit dan selamat dari semua kecacatan.[3]
C. Terminologi Shahih
Menurut
al-Iraqi, ulama yang pertama kali mengkategorikan hadis dengan shahih, hasan,
dan dhaif adalah al-Khaththabi (388 H) dalam Ma`âlim al-Sunan
(penjelasan kitab Sunan Abu Daud). Dari teks perkataan al-Khaththabi juga
didapatkan definisi mengenai hadis shahih.[4]
"اعلموا أن الحديث عند أهله على
ثلاثة أقسام, حديث صحيح, وحديث حسن, وحديث سقيم. فالصحيح عندهم مَا اتَّصَلَ
سَنَدُهُ وَعُدِّلَتْ نَقَلَتُهُ "
“Ketahuilah, menurut ahli hadis, hadis terbagi menjadi
tiga macam: sahih, hasan, dan saqim (sakit/dhaif). Hadis sahih menurut mereka
adalah yang sanadnya bersambung dan adil transmitternya”.
Al-Khaththabi tidak mempersyaratkan adanya al-Dhabth
dalam diri seorang rawi (transmitter), sekaligus tidak mempersyaratkan bebasnya
hadis dari unsur al-Syudzûdz (anomali) dan al-`Illat (cacat
tersembunyi), demikian klaim al-Iraqi.[5]
Meskipun demikian, al-Iraqi tetap mengapresiasi al-Khaththabi dengan mengatakan
bahwa pembagian hadis menurut al-Khaththabi berasal dari kacamata para ahli
hadis.[6]
Al-Suyuthi mencoba membela al-Khaththabi dari klaim
definisi yang kurang dari al-Iraqi. Dalam Tadrîb al-Râwi,[7]
al-Suyuthi mengatakan bahwa kata al-`Adl (bentuk masdar) berbeda dengan `Addalûhu
(bentuk kata kerja yang digunakan al-Khaththabi). Seorang yang sering lalai dan
layak untuk ditinggalkan tidak pantas untuk disebut `Addalahu Ashhâbu’l
Hadîts (ulama hadis mengakui kredibilitasnya) meskipun ia adalah
orang yang adil dalam sisi keagamaan.[8]
Ibnu Hajar di dalam al-Nukat-nya menambahkan bahwa penisbatan al-`Adâlah
kepada seorang rawi meniscayakan kejujuran dan ketidak lalaian seorang rawi.
Sekaligus tidak bersikap menyepelekan proses al-Tahammul dan al-Adâ’.[9]
Dengan demikian, definisi shahih menurut al-Khaththabi dapat diterima.
Sang Maestro Ibnu al-Shalah mendefinisikan hadis shahih
sebagai berikut:[10]
" أما الحديث الصحيح فهو: الحديث
المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط, إلى منتهاه؛ ولا يكون
شاذًا ولامعلَّلاً "
“Sedangkan hadis sahih adalah hadis
musnad yang sanadnya bersambung dengan transmisi seorang yang adil dari orang
yang adil sampai ke akhirnya, juga tidak ada anomali dan kecacatan,”
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana yang dikutip
oleh al-Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwi, Ibn al-Shalah mengadopsi definisi
ini dari Imam Muslim (256 H) ketika menjelaskan Shahih Muslim. Menurut beliau,
Imam Muslim dalam menyeleksi hadis shahih dalam ‘Shahih’-nya mempersyaratkan
ketersambungan sanad oleh para rawi yang kredibel (tsiqah) dari awal mata
rantai periwayatan sampai akhir, dan bebas dari anomali serta kecacatan
tersembunyi. Menurut Imam Muslim, ini adalah definisi shahih fî Nafsi’l Amr.(?)[11]
Bagi Ibn al-Shalah, konsekuensi dari definisi ini adalah tidak
memasukkan al-Mursal[12],
al-Munqathi`[13],
al-Mu`dhal[14],
al-Syadz[15], yang
mengandung al-`Illah al-Qâdihah, dan yang terdapat kecacatan (al-Jarh)
dari rawinya.
Beliau menambahkan bahwa definisi ini sudah disepakati
oleh para ahli hadis. Bagaimana dengan
perbedaan ahli hadis dalam menetapkan keshahihan suatu hadis? Menurut Ibn
al-Shalah, hal itu disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menetapkan apakah
syarat tersebut sudah dipenuhi dalam sebuah hadis tertentu atau tidak? Beberapa
ahli hadis sebenarnya juga masih berbeda pendapat dalam penetapan syarat shahih
(?).[16]
D. Analisa
Definisi Hadis Shahih
Sekilas, definisi dari Ibn al-Shalah terlihat sudah sempurna.
Memberikan rambu-rambu dari segi ketersambungan proses transmisi hadis (Ittishâl
al-Sanad), kejujuran rawi (al-`Adâlah), kualitas hafalan (al-Dhabth),
bahkan mengantisipasi kesalahan manusiawi seorang rawi seperti al-Wahm, al-Mukhâlafah,
al-Ghaflah, dan sebagainya dengan mempersyaratkan tidak adanya anomali (al-Syudzûdz)
dan kecacatan tersembunyi (al-`Illah). Namun, beberapa ahli hadis
menganalisa definisi ini dan menemukan celah untuk didiskusikan kembali. Ada
yang mengkritisi Ibn al-Shalah, ada pula yang membela. Semua itu dilakukan
dengan sportifitas dalam diri ahli hadis (al-Inshâf) hal ini bukanlah
hal yang negatif. Menurut Mushthafa Abu Imarah[17],
saling kritik justru menunjukkan akal seorang muslim bukanlah akal yang stagnan
(jumud), ia selalu bergerak mengenalisa segala sesuatu di sekelilingnya.
1.
Inefektifitas Kata (al-Musnad al-Muttashil)
Ibn al-Shalah dikritik: Apabila sudah menyebutkan al-Musnad al-Muttashil,
sebenarnya tidak perlu mengulang lagi dengan Mâ Ittashala Sanaduhu. Ibn
Hajar al-Asqalani menjawab bahwa yang dimaksud dengan al-Musnad yang pertama
adalah hadis marfu`[18],
bukan hadis yang bersanad. Sehingga tidak ada pengulangan di sana.
2.
Illat Qâdihah
Seharusnya, Ibnu al-Shalah menambahkan kata qâdihah
(mencederai) setelah kata illat. Karena ada illat yang tidak mencederai. Namun
hal ini dipandang tidak perlu oleh Ibnu Hajar, mengingat Ibnu al-Shalah sendiri
ketika menyebutkan illat, berarti illat yang qâdihah.[19]
Asumsi lain dari Ibnu Hajar, ketika menyebutkan illat tanpa qâdihah
karena ingin mengcover hadis sahih yang disepakati. Karena sebagian ahli
hadis ada yang menolak illat baik mencederai atau tidak.[20]
3.
Kurang Jami` - Mani`
Dalam nukatnya, al-Iraqi menerangkan beberapa kritikan untuk Ibnu
al-Shalah. Misalnya, ada beberapa ulama yang menerima hadis mursal, sehingga
tidak perlu disyaratkan musnad atau tersambung sanadnya. Ada juga kritik dari
Ibnu Daqiq al-`Id, beliau berpendapat bahwa .....
Simpel saja jawaban al-Iraqi, “Masalah hadis, serahkan pada ahlinya.”[21]
Menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan syadz (anomali)
oleh Ibnu al-Shalah adalah seorang rawi menyelisihi rawi lain yang lebih
kredibel dan lebih banyak darinya, sebagaimana definisi Imam al-Syafi`i. Bukan
tafarrud (jalur tunggal) secara mutlak sebagaimana yang dipahami al-Khalili.
Hanya saja, menurut Mahmud Rabi` dalam komentarnya, menyebutkan bahwa Ibnu
al-Shalah sendiri membagi syadz menjadi dua; Pertama, hadis fard yang
menyelisihi. Kedua, hadis fard yang tidak memiliki rawi yang tsiqah dan
dhabith sehingga tidak dapat dikatrol. Sedangkan al-Khalili tidak pernah
mendefinisikan hadis syadz demikian. Menurut al-Khalili, syadz adalah hadis
yang sanadnya hanya satu, baik rawinya tsiqah ataupun tidak. Yang rawinya tidak
tsiqah maka ditinggalkan, sedangkan yang rawinya tsiqah .....
Satu kritikan untuk Ibnu al-Shalah dari Ibnu Hajar,
definisi sahih di sini kurang bisa mengcover hadis-hadis yang disebut ulama
memenuhi syarat sahih. Karena ada hadis sahih li ghairihi. Misalnya
hadis hasan yang diriwayatkan dari banyak jalur sehingga menjadi sahih. Ibnu
Hajar sendiri dalam Nukhbatu’l Fikr-nya cukup teliti dalam
mendefinisikan sahih.[22]
و خبر الآحاد بنقل
العدل تام الضبط متصل الإسناد غير معلل و لا شاذ هو صحيح لذاته.
Bagaimana
dengan al-Nakârah yang lebih parah dari syadz? Tidak perlu dicantumkan
dalam definisi karena ketika anomali (syadz) tidak ditemukan, sudah tentu al-Nakârah
juga tidak ada.
E.
Penutup
Para ahli hadis
mempersyaratkan ketersambungan informasi (al-Ittishâl), kualitas
informan (al-`Adâlah wa al-Dhabht), dan tidak ada kejanggalan dalam
proses maupun dalam konten informasi itu sendiri ketika menyeleksi sebuah
berita/hadis. Ketika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka informasi tersebut
bisa diterima.
[1] Mahasiswa
Pascasarjana Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis dan
Ilmu-Ilmunya, Tamhidi I
[2] Abu Bakar
Muhammad bin Abdul Ghani al-Hanbali, bergelar Mu`inuddin al-Baghdadi. Seorang
ahli hadis. Wafat tahun 683 H. Lihat: Ibnu Khallikan, Wafayâtu’l A`yân wa
Anbâ’ Abnâ al-Zamân, ditahkik oleh Ihsan Abbas, vol. IV, Dar Shadir,
Beirut, Libanon, hal. 392, Biografi no. 660
[3]
Ibnu Manzhur, Lisânu’l `Arab, vol. IV, hal. 2401
[4]
Zainuddin al-Iraqi, Fathu’l Mughîts bi Syarhi Alfiyati’l Hadîts,
edisi Mahmud Rabi`, `Alamu’l Kutub, Kairo, Mesir, 1408 H/1988 M, hal. 7
[5] Ibid.
[6]
Zainuddin al-Iraqi, al-Taqyîd wa’l Îdhâh
li mâ Uthliqa wa Ughliqa min Kitâb Ibn al-Shalâh, edisi Usamah
Khayyath, vol. I, Dâru’l Basyâ’ir
al-Islâmiyyah, Beirut, Libanon, cet. III, 1432 H/2011 M,
hal. 217
[7]
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi,
edisi Mazin al-Sirsawi, vol. I, Dâr Ibnu’l Jauzi, Riyadh, Arab Saudi, cet. I,
1431 H, hal. 115
[8] Adil dan
Dhabith adalah kedua istilah yang berbeda. Adil biasa digunakan untuk penilaian
sisi keagamaan, sedangkan dhabt biasa digunakan untuk menilai kualitas hafalan
seorang rawi. Gabungan antara dua sifat tersebut disebut tsiqah. Hanya saja
dalam penggunaannya, tsiqah sering digantikan dengan adil. Baik adil sisi agama
maupun ‘adil’ sisi hafalan. Kesimpulannya, adil berarti penilaian positif
kredibilitas seorang rawi. Lihat: Abdul Muhdi Abdul
Qadir.....
[9] Jalaluddin
al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 115
[10] Ibn
al-Shalah, Muqaddimah, edisi Aisyah Abdurrahman (Bin al-Syathi`), Dâr
al-Ma`rifah, Kairo, Mesir, 1411 H/1990 M, hal. 151
[11] Jalaluddin
al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 122
[12] Hadis
yang tidak disebutkan akhir sanadnya
[13] Hadis
yang terpotong sanadnya, minimal satu orang rawi di generasi manapun
[14] Hadis
yang terpotong sanadnya dua orang rawi secara berurutan
[15] Hadis
yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah namun bertentangan dengan hadis
lain yangdiriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah
[16] Ibn
al-Shalah, Op. Cit., hal. 152
[17] Profesor
Hadis dan Ilmu-Ilmunya Universitas al-Azhar, Kairo. Disampaikan ketika
menjelaskan kitab Tadrîb al-Râwi di Jami` al-Azhar.
[18] Hadis
yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw.
[19] Lihat
definisi hadis mu`allal menurut Ibnu al-Shalah.
[20]
Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Nukat `alâ Kitâb Ibni al-Shalâh, edisi
Mahmud Rabi`, vol. I, Dâr al-Rayyah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. IV, 1417 H,
hal. 236
[21]
Zainuddin al-Iraqi, Op. Cit., hal. 218
[22]
Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fî Syarh Nukhbati’l
Fikr fî Mushthalah Ahli’l Âtsâr, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet.
I,1427 H/ 2006 M, hal. 19
No comments:
Post a Comment