Oleh : Musa Al Azhar, Lc.[2]
A.Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang unik. Selain keragaman budaya dan bahasa
keunikan lain dari Indonesia adalah perbedaan penentuan awal bulan hijriyah (Ramadhan,
Idul Fitri, dan Idul Adha) yang kerap terjadi di negara ini. Menjadi keunikan
tersendiri karena tidak semua negara berpenduduk muslim mengalami hal ini.
Solusi tidak akan pernah ditemukan apabila tidak dilakukan kajian secara
sistematis dan komprehensif terhadap persoalan tersebut. Meskipun tidak
menjanjikan solusi final, setidaknya penulis mencoba menjelaskan sistematika
pembahasan penentuan awal bulan hijriyah melalui tulisan sederhana ini. Kepada
Allah Swt. penulis memohon taufiq.
B.Bulan Sebagai Patokan Penanggalan Kamariyah
Bulan dan matahari adalah
makhluk Allah Swt. yang dijadikan patokan untuk penentuan penanggalan oleh
manusia. Hal ini terbukti dari realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Dapat
dibuktikan dalam sejarah bahwa Bangsa Babilonia, Mesir kuno, Yunani kuno, India
kuno, dan bangsa-bangsa lainnya, masing-masing memiliki “kisahnya sendiri”
dengan matahari, bulan, dan bintang-bintang lainnya.[3]
Firman Allah Swt.
juga bersaksi akan hal ini,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ
مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ
إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5)
Artinya: “ Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa Allah Swt. telah menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya. Kemudian Allah Swt. telah menetapkan kedudukan-kedudukannya agar
manusia dapat mengetahui perhitungan waktu. Apabila melihat sejarah
penanggalan, manusia tidak bisa melepaskan diri dari penggunaan matahari dan
bulan, meskipun dengan sistem dan cara yang berbeda dalam menentukan
penanggalannya.[4]
Kesemuanya berpangkal pada solar calender,[5]
lunar calender,[6] dan lunisolar calender.[7]
Dalam memaknai ayat ini, Imam al-Râzi[8]
mengemukakan bahwa hal ini dapat dimaknai dengan dua bentuk; Pertama, dhamîr
(ه)
kembali kepada matahari dan bulan, karena keduanya sama-sama digunakan sebagai
patokan penentuan penanggalan. Kedua, dhamîr tersebut kembali
kepada bulan saja, karena perjalanan bulan digunakan sebagai patokan
penanggalan, dan penanggalan yang mu‘tabar dalam syariat juga
menggunakan dasar penanggalan bulan. Dalam hal ini, Imam al-Thabari juga
berpendapat demikian.[9]
Tidak seperti
keduanya, Ibnu Taimiyah[10]
memilih untuk mengembalikan dhamîr tersebut kepada bulan saja, tanpa
matahari. Beliau berargumen bahwa ketika memahami Surah Yunus ayat 5,
dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dan tidak parsial, maksudnya tidak
memahami secara sepotong-sepotong (per kata) agar mencapai pemahaman yang lebih
tepat. Di awal ayat, Allah Swt. mengabarkan tentang perihal matahari dan bulan.
Keduanya sama-sama memancarkan cahaya.[11]
Kemudian, apabila dhamîr tersebut dikembalikan kepada matahari dan bulan,
apakah ada keterkaitan antara “memancarkan cahaya” dengan “supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)?” Jadi, menurut Ibnu
Taimiyah, yang lebih tepat adalah mengembalikan dhamîr tersebut kepada
bulan saja.[12] Dipertimbangkan
juga, dhamîr tersebut adalah dhamîr mufrad mudzakkar, dan bulan
memiliki sifat mudzakkar.[13]
Selain itu, apabila kita melihat ayat-ayat lain dalam al-Quran yang
membicarakan tentang hilal, selalu dikaitkan dengan dengan penentuan waktu.
Seperti dalam Surah al-Baqarah ayat 189.
Imam al-Râzi,
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘menetapkan kedudukan’ ada dua makna, Pertama,
menetapkan kedudukan bagi perjalanannya. Kedua, membuatnya memiliki
kedudukan.[14]
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketika bulan berevolusi mengelilingi bumi, ia memiliki lintasannya sendiri dan
memiliki kecepatan peredaran yang teratur, dan karena keteraturan tersebut,
maka dapat dilakukan perhitungan untuk mengetahuinya.
Ada dua macam
pergerakan bulan:
- Siderial month : periode yang dibutuhkan bulan untuk berputar 360° mengelilingi bumi, lamanya 27,321 hari.[15]
- Synodic month : periode antara satu bulan baru dengan bulan baru lainnya, lamanya 29,53059 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan siderial month karena bumi juga berevolusi terhadap matahari pada arah yang sama, sehingga untuk mencapai konjungsi atau bulan baru berikutnya memerlukan tambahan waktu.[16]
Dari kedua fase
tersebut, yang umum digunakan dalam penentuan Kalender Hijriah adalah synodic
month.
Dalam ayat lain,
Allah Swt. berfirman,
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ
الْقَدِيمِ (39)
Artinya: “Dan telah Kami tetapkan
bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah ia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS. Yâ Sîn: 39)
Allah Swt. menjadikan
bulan memiliki lintasan teratur yang dengannya manusia dapat mengetahui
bilangan bulan. Karena ia berputar, memulai dari satu titik dan kembali ke
titik yang sama. Di awal bulan (pada tanggal 1 bulan Hijriyah), yang terlihat
dari bulan hanyalah sedikit cahayanya. Kemudian semakin lama, ke tanggal 2 dan
seterusnya akan semakin besar cahayanya. Klimaksnya adalah pada malam tanggal
14 atau 15 bulan Hijriyah. Ia mencapai tahap purnama (terlihat seluruhnya).[17]
Gambar
I: Fase-fase bulan
Setiap
bulan, terjadi peristiwa konjungsi (ijtimak), dimana matahari, bulan dan bumi
berada dalam satu garis bujur yang sama, dilihat dari arah timur maupun barat.[18] Peristiwa penting inilah yang menjadi patokan awal bulan baru,
meskipun tidak semua aliran menjadikan konjungsi sebagai tanda dimulainya awal
bulan.[19]
Gambar II:
Konjungsi
Jadi, dapat diambil
sebuah konklusi bahwa dengan keadaan bulan yang berevolusi terhadap bumi dengan
lintasan yang teratur, maka manusia dapat memperhitungkannya sehingga dapat
digunakan untuk keperluan penanggalan.
C. Hilal (Newmoon)
Di dalam al-Quran,
secara gamblang Allah Swt. menjelaskan tentang hilal (al-Ahillah).
Disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 189 bahwa hilal berfungsi sebagai
patokan penentuan waktu bagi manusia, lebih khusus adalah waktu-waktu yang
berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوْاْ الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا
وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُواْ الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadaH) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang
yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189)
Sebenarnya apakah
arti hilal itu? Secara etimologis kata (الهلال) merupakan bentukan dari kata (الإهلال) yang berarti teriakan dan mengangkat suara. Dalam Lisânu’l
‘Arab, dinyatakan bahwa kata (الهلال) merupakan permulaan bulan ketika manusia meneriakkan suara
ketika melihatnya di awal bulan. Keterkaitan antara teriakan dengan munculnya
awal bulan dapat dipahami dari sini. Sudah merupakan kebiasaan orang Arab
ketika melihat hilal sebagai tanda munculnya bulan baru, mereka kemudian mengumumkan
dengan meneriakkannya.[20]
Namun secara umum, dalam memaknai hilal Ibnu Manzhur[21]
berpendapat bahwa ia adalah bulan sabit pada hari pertama dan kedua bulan
qamariyah.
Dari kalangan mufassir
dalam memaknai hilal, mereka lebih menitikberatkan pada fungsinya. Keberadaan
hadis-hadis yang berkaitan dengan asbâb al-nuzûl turunnya ayat ini
mempengaruhi penafsiran para ulama terhadap ayat ini. Sebab diturunkannya ayat
ini adalah pertanyaan yang sering diajukan oleh orang Yahudi terhadap kaum
muslimin tentang fungsi hilal.[22]
Kemudian turunlah Surah al-Baqarah ayat 189 datang memberikan penjelasan
mengenai fungsi hilal. Dalam berbagai riwayat diterangkan bahwa kemunculan
hilal berfungsi sebagai pedoman penentuan waktu bagi manusia. Pelaksanaan
ibadah haji, puasa, masa ‘iddah, dan sebagainya.[23]
Salah satu hikmah penjabaran makna hilal dengan menyebutkan fungsinya adalah
sebagai stimulan terhadap manusia untuk berpikir sesuai dengan kemampuan.[24]
Secara astronomis, definisi
hilal (newmoon) adalah fase bulan ketika berada di satu garis bujur yang
sama dengan matahari dan bumi.[25]
Dalam fase ini, bulan terlihat hanya sebagian kecil dari bagiannya setelah
mengalami peristiwa konjungsi.
Terdapat beberapa aspek ilmiah hilal yang harus dipahami:
1.
Hilal masih
berada di bawah ufuk. Maka tidak
mungkin melakukan rukyat, sehingga setiap kesaksian melihat hilal harus
ditolak.
2.
Bulan terbenam
setelah terbenamnya matahari. Hilal mungkin dapat terlihat, namun bergantung
pada ketinggiannya dia tas ufuk.
3.
Hilal terlihat
setelah terbenamnya matahari sebelum terjadinya ijtimak/konjungsi. Maka ini
masih terhitung sebagai akhir bulan yang sedang berjalan, bukan awal bulan.
4.
Ijtimak ketika
terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup alias gerhana matahari, maka hilal
dipastikan tidak dapat terlihat.
5.
Bulan terbenam
setelah terbenamnya matahari di sebagian wilayah. Maka dalam hal ini berlaku
matlak masing-masing sebagaimana hadis Kuraib Ra., sementara jika hal seperti
itu terjadi dalam satu wilayah negara kesatuan, dapat diputuskan melalui
prinsip Wilâyatu’l Hukmi.
6.
Bulan terbenam
sebelum terbenamnya matahari di sebagian wilayah, maka berlaku matlak
masing-masing[26].
D. Metode Rukyat dan Hisab
1. Rukyat (Ru’yat bi’l Fi`l)
Rukyat berasal dari kata bahasa Arab (رأى - يرى - رأية ) yang memiliki makna mengetahui atau melihat
baik dengan mata maupun hati.[27] Beberapa arti kata ra’â
yang lain[28]:
· رأى بالعقل :۞ وَتَرَى ٱلشَّمۡسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَٲوَرُ
عَن كَهۡفِهِمۡ ذَاتَ ٱلۡيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقۡرِضُہُمۡ ذَاتَ ٱلشِّمَالِ
وَهُمۡ فِى فَجۡوَةٍ۬ مِّنۡهُۚ ذَٲلِكَ مِنۡ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِۗ مَن يَہۡدِ
ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلۡمُهۡتَدِۖ وَمَن يُضۡلِلۡ فَلَن تَجِدَ لَهُ ۥ وَلِيًّ۬ا
مُّرۡشِدً۬ا (١٧)[29]
· الإيمان بالخبر : أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ
يَعۡلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِۖ...[31]
· إطلاع أو إظهار الأمر للغير : وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّہَـٰدَةِ
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ (١٠٥)[32]
Masih banyak lagi makna yang terkandung dalam kata ra’â. Rasanya
aneh apabila hanya membatasi makna ra’â kepada melihat dengan mata
kepala, padahal makna yang terkandung dalam kata tersebut lebih dari itu.
Sehingga yang dimaksud dengan rukyah adalah menggunakan metode alami untuk
menentukan waktu mulai ibadah, dan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang,
melainkan juga dengan ilmu tertentu.[34]
Kaitannya dengan penentuan awal bulan, bagi mereka yang mengusung metode Ru’yat
bi’l Fi`l, mengambil landasan dari dalil-dalil berikut:
·
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ
وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ[35]
·
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى اللَّيْثُ
عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِى سَالِمٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رضى
الله عنهما قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا
لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِى عُقَيْلٌ وَيُونُسُ لِهِلاَلِ رَمَضَانَ[36]
·
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ
صلى الله عليه وسلم أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ[37]
Mazhab ru’yat bi’l Fi`l memaknai hadis di atas secara zhahir,
sehingga yang menghasilkan konklusi bahwa memulai ataupun mengakhiri puasa
setelah melihat hilal. Dalam konteks awal puasa misalnya, ketika langit cerah,
tidak ada halangan, dan hilal terlihat pada sore hari tanggal 29 Syaban, maka
dapat dipastikan bahwa esoknya adalah tanggal 1 Ramadan. Apabila terdapat
penghalang (ghumma), maka dilakukan istikmâl atau menggenapkan
bulan Syaban menjadi 30 hari.
Mahallu’l Khilâf dalam memahami hadis ini ada pada pemahaman kata faqdurû
lahu. Tercatat ada 3 pendapat dari para ulama:
1)
Imam Ahmad bin
Hanbal dan yang sependapat dengannya : Memperkirakannya ada di balik awan
2)
Ibnu Suraij,
Mutharrif bin Abdullah, Ibn Qutaibah, dan lain-lain : Memperhitungkan dengan
hisab. Taqiuddin al-Subki juga menyatakan dalam Fatâwî-nya bahwa ada
beberapa ulama besar yang mewajibkan, atau setidaknya membolehkan berpuasa atas
hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan
untuk dirukyat.[38]
3)
Imam Malik,
Imam al-Syafi`i, Imam Abu Hanifah, dan jumhur: Perintah untuk istikmâl
merupakan takwil dari faqdurû lahu.[39] Argumen terakhir inilah
yang dipegang oleh penganut mazhab ru’yat bi’l Fi`l.
Ada beberapa alasan mengapa puasa harus dimulai dan diakhiri dengan ru’yat
bi’l Fi`l. Di antaranya yang dikutip oleh Muhammad bin Ismail al-Shan`ani
dalam Subûl al-Salâm,
“Ibn Bathal
berkata,’Di dalam hadis, ada usaha preventif untuk bertanya kepada para ahli
nujum. Sehingga, yang dijadikan pegangan adalah rukyatul hilal (ru’yat bi’l
Fi`l-pen), dan kita dilarang untuk takalluf’. Dalam membantah argumen yang
mengatakan bahwa ahli hisab dan nujum boleh berpuasa dan berbuka dengan
al-Tanjîm, al-Baji berkata,’Sesungguhnya konsensus salaf telah menjadi bantahan
bagi mereka’. Ibnu Burairah berkata, ‘Itu (hisab-pen) adalah mazhab yuang
batil, karena syariat telah melarang untuk masuk dalam ilmu nujum karena itu
hanyalah dugaan, prasangka, dan mengandung ketidakpastian’.”[40]
Selanjutnya, al-Shan’ani melanjutkan, “Jawaban yang jelas kepada mereka
adalah hadis riwayat
al-Bukhari dari Ibnu Umar Ra.”[41]
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى تِسْعَا وَعِشْرِينَ مَرَّةً وَ ثَلاَثِينَ مَرَّةً
Namun, ada beberapa kendala dalam ru’yat
bi’l Fi`l, di antaranya:
1) Jauhnya jarak
hilal (bulan) dari permukaan bumi
(mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut
sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia
tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari
pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75 % sangatlah
besar.
2) Hilal hadir
hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1
jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di
negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena
lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya
membentuk awan yang mengumpul didekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada
ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat
dilihat.
3)Keadaan lain
yang menyulitkan pelaksanaan rukyat hilal adalah kondisi sore hari, terutama
yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat
singkat maka rukyat harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari
terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah dibawah ufuk, cahayanya masih
terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang
petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang
sangat redup.
4) Banyaknya
penghalang diudara berupa awan, asap kenderaan,
asap pabrik, dll
5) Kesulitan lainnya, hilal
pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat kesebelah utara atau selatan tempat
terbenamnya matahari.
6) Adanya faktor
psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan
antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses
psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik
yang menyusuri urat saraf menuju otak,
seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena
melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses
melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada
–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat
optik maupun listrik- namun jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan
kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan
istilah “halusinasi”, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau
sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya
pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll.
bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.[42]
B.Hisab
Sedangkan hisab berasal dari kata bahasa Arab (الحساب) yang
mengandung arti (عدّ) atau menghitung, kalkulasi, mengukur, dan
sebagainya.[43]
Kaitannya dengan awal bulan, ia adalah menghitung
pergerakan posisi hilal di akhir-akhir bulan kamariyah, untuk menentukan awal
bulan –khususnya Ramadan dan Syawal- engan menggunakan alat-alat perhitungan.[44]
Penganut mazhab hisab bukannya tidak berdasar, ada
beberapa ayat dan hadis yang dijadikan dasar penggunaan hisab dalam penentuan
awal bulan kamariyah:
·
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءً۬ وَٱلۡقَمَرَ
نُورً۬ا وَقَدَّرَهُ ۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ
وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٲلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ
ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ (٥([46]
· حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رضى الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ
صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ
نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً
ثَلاَثِينَ[47]
Cara memahaminya (Wajhu’l Istidlâl) adalah,
bahwa pada Surah al-Rahmân ayat 5 dan Yûnus ayat 5, Allah Swt.
menegaskan bahwa benda-benda langit seperti bulan dan matahari beredar sesuai
orbitnya dengan peredaran yang pasti sehingga dapat dilakukan perhitungan
atasnya. Ayat-ayat di atas bukannya informatif belaka, melainkan adanya ajakan
untuk mempelajari pergerakan benda-benda langit tersebut dan dapat digunakan
hasilnya untuk pengorganisasian waktu, sebagaimana yang tersurat dalam surah
Yunus ayat 5.[48]
Pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat, mereka
tidak menggunakan hisab sebagai penentuan awal bulan, melainkan melakukan
pengamatan langsung terhadap fenomena pergerakan benda langit. Hal ini disebabkan
karena:
1)
Pada masa itu, bangsa Arab belum menempatkan astronomi sebagai sebuah
disimplin ilmu, melainkan sebuah sarana memenuhi kebutuhan hidup[49], seperti penggunaan rasi
bintang untuk keperluan navigasi.[50] Sekaligus pengamatan
hilal untuk mengetahui awal bulan.
2)
Hal di atas dibuktikan dengan beberapa observasi yang dilakukan oleh
para sahabat. Seperti yang dilakukan Mu`adz bin Jabal dan Tsa`labah bin Nu`man.
Mereka mengamati perubahan bentuk bulan, kemudian menanyakannya pada Rasulullah
Saw. akan hal tersebut, kemudian turunlah al-Baqarah : 189.[51]
3)
Keadaan umat yang masih ummi (tidak bisa menulis dan menghitung)
sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas. Kata-kata yang keluar dari
lisan Rasulullah Saw. tidak pernah merupakan hal yang sia-sia. Informasi
mengenai keadaan umat yang ummi sebelum jumlah bilangan hari di atas,
menunjukkan kaitan antara keduanya. Singat cerita, oleh karena ke-ummi-an
tersebut, maka cara terbaik untuk melihat hilal ketika itu adalah pengamtan
langsung, bukan penghitungan. Sehingga, apabila kausa dari perintah di atas telah
hilang (ada kemampuan menulis dan berhitung, sekaligus keakuratan sistem
perhitungan), maka tidak ada halangan lagi untuk melakukan hisab dalam
penentuan awal bulan.[52] Analisa semacam ini juga
dianut oleh Ahmad Muhammad Syakir, Thanthawi Juhari, Muhammad Rasyid Ridha
dalam Tafsir al-Manar, dan lain-lain.
Selain itu, ada perbedaan pemahaman mengenai kata faqdurû
lahu sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas. Bagi
para pengguna hisab, rukyat bukanlah sesuatu yang ta`abbudi, melainkan
hanya sarana untuk mencapai tujuan (penentuan wal bulan). Selain itu, rukyat
tidak selalu dapat dilakukan lantaran adakalanya bulan tertutup awan. Sehingga
Rasulullah Saw. menyebutkan cara lain yaitu melakukan perhitungan[53] dan istikmâl.
Sehingga rukyat bukan menajdi tema seluruh hadis penentuan awal bulan.
Hisab bukannya tanpa kritik, ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam
penggunaan hisab:
1.
Tidak adanya
dalil nash yang secara sharîh memerintahkan hisab
2.
Sampai tulisan
ini dibuat, belum terjadinya kesepakatan para ulama mengenai kriteria awal
bulan. Tampaknya hal terakhir inilah yang menyebabkan tertundanya pengesahan
sistem kalender Islam Internasional.
E. Metode Penentuan Awal Bulan di Indonesia
1.Rukyat
Penganut mazhab
rukyat (ru’yat bi’l Fi`l) adalah NU (Nahdhatu’l Ulamâ’). Dalam
aktifitas rukyat, sebagaimana tertera dalam fikih maupun hadits, diperlukan
adanya saksi adil. Kriteria ulama dalam hal ini adalah; (1). Sehat badan dan
fikiran. (2). Jelas penglihatan. (3). Jujur dan terpercaya. (4). Memahami teks
dan konteks rukyat, yang keempat syarat ini dikemas dengan sumpah.
Hal-hal yang harus sangat
diperhatikan dalam pelaksanaan rukyat, behubungan dengan poin 4:
1.Pemahaman lapangan rukyat; area rukyat
terideal adalah pinggir laut lepas dan bebas tanpa penghalang berupa gunung,
pohon, bangunan, dll. (atau tempat yang tinggi), ditambah kondisi ufuk barat
dalam keadaan cerah.
2.Waktu
pelaksanaan rukyat; yaitu semenjak terbenam matahari setelah terjadi konjungsi
hingga berlalunya masa munculnya hilal, dimana berdasar penelitian hilal hanya
hadir sekitar 10 menit s.d. 1 jam saja.
3.Keadaan
hilal; hilal tanggal satu adalah hilal yang tanduknya sedikit mengarah ke
timur, jika sedikit mengarah ke bawah (barat) maka itu bukan hilal bulan baru,
dan masih terhitung hilal akhir bulan, dan bentuk hilal sangat tipis dan redup.
4.Posisi
hilal; kemunculan hilal aka berada di arah mana, apakah di sebelah utara
matahari, selatan, atau di atas tempat terbenamnya matahari.
5.Umur
hilal; minimal 8 jam semenjak terjadinya konjungsi (dalam kesepakatan MABIMS),
karena umur hilal akan berpengaruh terhadap kejelasan bentuk dan sinar yang
akan muncul.
Ringkasnya, apa,
bagaimana, berapa, berapa lama, kapan dan di mana hilal itu? Merupakan deretan
pertanyaan tekhnis yang harus terlebih dahulu difahami secara baik oleh para
perukyat atau penganut rukyat, sebab kenyataan di lapangan, banyak perukyat
yang tidak memahami hal-hal di atas, yang terjadi hanyalah tunduk patuh
terhadap literalis hadits dan laporan rukyat tanpa riset dan reserv ilmiah.
Rukyat shohihah menuntut praktek tepat yang terkait dengan tiga fenomena alami
benda angkasa ciptaan Allah Swt. (bumi, bulan, dan matahari).
Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa kesaksian rukyat dapat diterima jika memenuhi kriteria
di atas. Jika satu saja dari kriteria-kriteria itu tidak terpenuhi, kesaksian
tersebut diragukan.
Patokan pertama aktifitas rukyat secara astronomis adalah terjadinya
ijtimak atau konjungsi, jika hal ini belum terjadi, dipastikan bahwa klaim
terlihatnya hilal adalah keliru (dalam hal ini secara astronomis).
2.Imkân al-Rukyat
Adalah sebuah konsep yang menetapkan sebuah standar tertentu hilal dapat
dilihat setelah terjadi konjungsi. Terdapat banyak keragaman kriteria yang
ditawarkan oleh para ilmuwan.
a)
Kriteria MABIMS.
Pemerintah RI melalui pertemuan menteri-menteri agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura menetapkan kriteria sebagai berikut:
1)
Ketika matahari
terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
2)
Jarak lengkung
bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°, atau
3)
Ketika bulan
terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi berlaku
Di tanah air,
keputusan kemudian diambil melalui Sidang Itsbat yang ditangani oleh Badan
Hisab & Rukyat Departemen Agama melibatkan MUI dan ormas-ormas di tanah
air. Kriteria yang ditetapkan MABIMS bukannya lepas dari kritik secara
astronomis. Terutama angka yang dipatok, menurut beberapa kalangan dianggap
terlalu kecil.
b)
Limit Danjon.
Andrea Danjon, astronom berkebangsaan Prancis memberi batas/limit hilal dapat teramati jika;
tinggi hilal minimal 2 derajat dan jarak lengkung bulan-matahari (jarak busur)
minimal 7 derajat. Limit (kriteria) banyak diadopsi oleh berbagai kalangan
hingga dikenallah limit ini dengan limit Danjon.
c) Konsensus Istambul (konferensi almanak Islam tahun 1978) Dalam muktamar internasional yang diadakan di
Istambul Turki pada tanggal 26-29 Dzulhijjah1398 H/27-30 November 1978 M dimana
Indonesia sebagai salah satu peserta muktamar, menetpkan keputusan sebagai berikut:
1)
Asal penetapan hilal adalah dengan rukyat (baik
dengan mata atau dengan observasi ilmiah)
2)
Masuknya awal bulan secara syar’i ditandai dengan
hilal sudah wujud di atas ufuk setelah terbenam matahari (setelah terjadi
ijtimak)
3)
Jarak sudut bulan-matahari minimal 8 derajat
4)
Tinggi hilal minimal 5 derajat
d) Kriteria
Ilyas. Mohammad
Ilyas, seorang ahli astronomi dari Malaysia mengungkapkan bahwa visibilitas hilal dapat
teramati jika;
1)
Jarak busur bulan-matahari minimal 10,5 derajat
2)
Tinggi hilal minimal 5 derajat.
e) Kriteria LAPAN.
Kriteria ini dikemukakan oleh LAPAN (Lembaga
Antariksa dan Penerbangan Nasional) sebagai tindak lanjut fatwa MUI tahun 2004
M untuk mengusahakan adanya kriteria penetapan awal bulan qamariah untuk
dijadikan pedoman bersama. Kriteria ini didasarkan kajian astronomis yang
dilakukan terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (sejak tahun 1962 M – 1997
M). Kriteria ini menetapkan awal bulan ditandai dengan adanya kesesuaian antara
beda azimut dan tinggi hilal, bila salah satu tiada terpenuhi maka dianggap
belum masuk bulan baru. Kriteria-kriteria ini adalah: (1). Umur hilal minimal 8
jam. (2). Tinggi bulan minimal tergantung beda azimut bulan-matahari, yaitu
sbb.;
Beda Azimut Tinggi
Minimum (°)
0,0 8,3
0,5 7,4
1,0 6,6
1,5 5,8
2,0 5,2
2,5 4,6
2,0 4,0
Kriteria ini dalam
kenyataannya belum teraplikasikan dan belum pula terpublikasikan, karena
seperti lazimnya sebuah temuan baru, diperlukan uji kelayakan dan kepentasan
baik secara syariah maupun sains, sekaligus juga diperlukan sosialisasi
menyeluruh di tengah masyarakat terutama ormas-ormas.
f)
Kriteria Ibnu Yunus. Ibnu Yunus (Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Yunus
al-Mashry) (w. 399 H), seorang ahli falak Mesir yang banyak memiliki akses dalm
ilmu falak, seperti dikutip Ibnu al-Majdi (w. 850 H) memberi batasan hilal
dapat teramati jika;
1) Jarak
busur (Ibnu Yunus sebagaimana dikutip Ibnu al-Majdi menyebutnya dengan had
an-nur) minimal 10 derajat
2) Tinggi
hilal minimal 6 atau 6,5 derajat
3) Busur
edar bulan (mukts) minimal 8 derajat
3.Wujûdu’l Hilâl
Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah dan PERSIS (pasca
2002). Aliran ini berpendapat bahwa awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam
matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu hilal sudah berada di atas
ufuk, berapapun ketinggiannya. Muhammadiyah menganut prinsip Wilâyatu’l Hukmi,
atau ketika hilal sudah wujud di salah satu wilayah di Indonesia, maka yang
lain mengikuti meskipun belum wujud di tempat tersebut. Sedangkan PERSIS
menganut pendapat bahwa hilal harus sudah wujud di seluruh Indonesia.
Kriteria wujûdu’l hilal (WH):
a)
Telah terjadi ijtimak
b)
Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam
c)
Pada saat terbenamnya matahari, piringan bulan sudah
berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud)[54]
Penggunaan kriteria ini haruslah kumulatif, artinya tidak
dapat berlaku apabila salah satunya tidak terpenuhi. Penyimpulan tiga kriteria
di atas merupakan hasil akumulasi dari pemahaman beberapa ayat al-Quran, hadis,
konsep fikih, dibantu dengan astronomi.
وَٱلۡقَمَرَ
قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِيمِ (٣٩(لَا
ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ
ٱلنَّہَارِۚ وَكُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ (٤٠([55]
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa bulan berevolusi
terhadap bumi dari satu ijtimak ke ijtimak lainnya. Oleh karenanya, peristiwa
itu dapat dimanfaatkan sebagai kriteria bulan baru. Akan tetapi, ijtimak dapat
terjadi kapan saja, baik pagi, siang, sore, dan seterusnya. Maka, kita
membutuhkan kriteria tambahan.
Allah Swt. telah
mengatur waktu di alam semesta ini sedemikian rupa. Tidak mungkin terjadi malam
dan siang secara bersamaan dalam satu daerah. Salah satu faktornya adalah
perbedaan kecepatan pergerakan bulan dan matahari. Bulan bergerak mengelilingi
bumi 12° derajat perhari, sedangkan matahari bergerak semu mengelilingi bumi
hanya sebesar 1°. Keduanya pun memiliki orbit yang berbeda. Malam tidak dapat
mendahului siang, begitu juga sebaliknya. Dengan ini dapat dipahami bahwa
pergantian hari adalah saat pergantian antara malam dan siang. Sebagaimana
konsep para fukaha bahwa hari adalah jangka waktu antara terbenamnya matahari
dengan peristiwa terbenam selanjutnya. Apabila itu adalah pada hari terakhir
dalam satu bulan, maka terbenamnya matahari juga menandai selesainya bulan lama
dan masuk bulan baru.
Oleh karenanya, adalah logis bahwa kriteria kedua bulan
baru selain ijtimak adalah, ijtimak tersebut terjadi sebelum terbenamnya
matahari, yakni sebelum berakhirnya hari yang bersangkutan. Apabila bulan baru
dimulai dengan ijtimak sesudah terbenam matahari, itu artinya memulai bulan
baru sebelum bulan di langit menyempurnakan revolusinya.
Berbicara mengenai terbenamnya matahari, maka akan
berkaitan dengan ufuk. Oleh karena itu secara tersirat dipahami bahwa ufuk
tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari dengan hari berikutnya,
melainkan juga dengan pergantian bulan. Apabila saat matahari terbenam bulan
berada di atas ufuk, artinya telah masuk bulan baru. Apabila matahari terbenam
sedangkan bulan masih berada di bawah ufuk, maka belum masuk bulan baru.
Mempertimbangkan ufuk juga merupakan abstraksi dari perintah rukyat. Karena
hilal tidak akan mungkin terlihat apabila masih berada di bawah ufuk. Apabila
dilakukan istikmâl, dapat dipastikan bahwa pada sore hari ke-30, untuk
kawasan normal bulan sudah berada di atas ufuk.
Untuk menghitung awal bulan ada beberapa langkah yang
harus dilakukan setelah mempersiapkan data yang dibutuhkan. Pertama, menghitung
saat terjadinya ijtimak, kedua, menghitung saat terbenamnya matahari, ketiga,
posisi bulan saat terbenamnya matahari.[56]
F. Kesimpulan dan Penutup
Ilmu menjadi syarat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tanpa ilmu, manusia tidak akan sukses menjalani tugasnya sebagai pemakmur bumi.
Interkoneksi antara kitâbu’l manzhûr dan kitâbu’l masthûr
menghasilkan karya terbaik dari para pemakmur bumi.
Diskusi mengenai penentuan awal bulan akan menjadi
semakin rumit apabila kemasukan oknum yang hanya bermodal satu hadis Shûmû
li ru’yatihi atau semata berlandaskan “Kalau pakai teknologi jelas lebih
baik”. Sekali lagi, interkoneksi ! WalLâhu a`lamu bi al-Shawâb
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim
Ahmad, Abdul
Aziz Bakri, Mabâdi’ ‘Ilmi’l
Falak al-Hadîts, Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah li’l Kitâb, Kairo, Mesir, cet. I, 2010
al-Dalâl,
Syarqawi Muhammad Shâlih, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’
wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah, Mu’assasah al-Kuwait li al-Taqaddum al-‘Ilmi,
Kuwait, vol. II, t.t
al-Dimasyqi,
‘Imâduddîn Abu al-Fidâ’ Isma‘îl bin Katsîr, Tafsîru’l Qur’ân al-‘Adzîm,
ditahkik oleh ‘Ali Ahmad ‘Abdul Bâqi, dkk, Mu’assasah Qurthubah, Giza, Mesir,
vol. XI, cet. I, 1421 M/2000 M
al-Mukmin,
Abdul Amir, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi, Dâru’l
Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M
al-Nawawi,
Yahya bin Syaraf, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol.
VII, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t.
al-Qaradhawi
Yusuf, Kaifa Nata`âmal ma`a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dâr al-Syurûq,
Kairo, Mesir, cet. IV, 1427 H/2006 M
al-Râzi,
Muhammad Fakhruddin, Mafâtihu’l Ghaib, Mu’assasah al-Risâlah, Dâr
al-Fikr, Beirut, Lebanon, vol. 17, cet. I, 1401 H/1981 M
al-Shan`ani,
Muhammad bin Ismail, Subûl al-Salâm al-Muwashilah ilâ Bulûghi’l Marâm,
ditahkik oleh Muhammad Shubhi Hasan Hallaq, vol. IV, Dâr Ibn al-Jauzi, Damam,
Arab Saudi, cet. I, 1429 H
al-Suyuthi.
Jalaluddin, Asbâb al-Nuzûl, ditahkik oleh Hamid Ahmad al-Thahir, Dâru’l
Fajr li al-Turâts, Kairo, Mesir, cet. I, 1423 H/2002 M
al-Thabari, Abu
Ja‘far Muhammad bin Jarir, Jaâmi‘u’l Bayân ‘an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân,
ditahkik oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Markaz al-Buhûts wa
al-Dirâsât al-Islâmiyyah bi Dâr Hajar, Giza, Mesir, vol. 12, cet. I, 1422
H/2001 M
Azhari,
Susiknan, Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara
Muhammadiyah, Yogyakarta, cet. II, 2007
Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi, Pengantar Ilmu Falak,
Majelis Penerbitan PCIM, Kairo, Mesir, cet. I, 2008
Ibnu Mandzur,
Jamaludin Abu al-Fadhl Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali, Lisânu’l ‘Arab,
ditahkik oleh Abdullah ‘Ali al-Kabir dkk, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, Mesir, tanpa
tahun
Ibnu Taimiyyah,
Taqiyyuddîn Abu al-‘Abbâs, al-Tafsîr al-Kabîr, ditahkik oleh Dr. Abdul
Rahmân ‘Amîrah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, vol. IV,
t.t.
Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, MTT-PP
Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M
Qadhi, Adnan
Abdul Munim, al-Ahillah, Maktabah Kunûzu’l Ma`rifah, Jeddah, Arab Saudi,
cet. II, 1431 H/ 2010 M
[2] Mahasiswa
Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis.
Anggota kajian AFDA
[3] Lihat: Arwin Juli Rakhmadi
Butar-Butar, Pengantar Ilmu Falak, Majelis Penerbitan PCIM, Kairo,
Mesir, cet. I, 2008, hal. 3-9
[4] Susiknan Azhari, Ilmu Falak;
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta,
cet. II, 2007, hal. 94
[5] Solar calender adalah sistem
kalender yang mempertahankan panjang tahun sedekat mungkin dengan kala edar
bumi mengelilingi matahari (tahun tropis), contoh kalender jenis ini adalah
Kalender Miladiyah (Julian maupun Gregorian). Lihat; Susiknan Azhari, Ilmu
Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Ibid, hal. 94-95, lihat
juga, Syarqawi Muhammad Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l
Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah, Mu’assasah al-Kuwait li
al-Taqaddum al-‘Ilmi, Kuwait, vol. II, t.t, hal. 1757
[6] Lunar Calender adalah sistem
kalender yang acuan perhitungannya didasarkan atas peredaran bulan, contohnya adalah
Kalender Hijriyah. Lihat: Susiknan Azhari, Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah
Islam dan Sains Modern, op.cit., hal. 95, lihat juga: Syarqawi Muhammad
Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’
al-Falakiyyah, op.cit., hal. 1111
[7] Lunisolar Calender
(penggabungan antara sistem solar dengan sistem lunar) adalah sistem kalender
yang menggunakan periode bulan mengelilingi bumi untuk satuan bulan, namun
untuk penyesuaian musim dilakukan penambahan satu bulan atau beberapa hari
(interkalasi), setiap beberapa tahun. Kalender jenis ini diwakili oleh Kalender
Cina dan Kalender Yahudi. Lihat: Susiknan Azhari, Ilmu Falak; Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern, op.cit., hal. 95, lihat juga: Syarqawi Muhammad
Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’
al-Falakiyyah, op.cit., hal. 1111
[8] Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain
bin al-Hasan bin ‘Ali al-Taimi al Bakri al-Thabari al-Ashl Fakhr al-Dîn
al-Râzi. Seorang ahli tafsir, ahli fikih mazhab Syafi‘i, dan seorang mutakallim
bermazhab Asy‘ari. Salah satu karyanya dalam bidang tafsir adalah Tafsîr
al-Kabîr atau yang terkenal dengan nama Mafâtihu’l Ghaib.
Wafat pada tahun 604 H
[9] Lihat: Muhammad Fakhruddin al-Râzi,
Mafâtihu’l Ghaib, Mu’assasah al-Risâlah, Dâr al-Fikr, Beirut, Lebanon,
vol. 17, cet. I, 1401 H/1981 M, hal. 370, lihat juga: Abu Ja‘far
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jaâmi‘u’l Bayân ‘an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân,
ditahkik oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Markaz al-Buhûts wa
al-Dirâsât al-Islâmiyyah bi Dâr Hajar, Giza, Mesir, vol. 12, cet. I, 1422
H/2001 M, hal. 118-119
[10] Taqiyyudîn Abu al-‘Abbâs
Ahmad bin Abdul Halîm Ibnu Taimiyyah, seorang ahli kalam, fikih, hadis,
pejuang yang berani melawan penjajah Tartar. Di antara karya-karyanya adalah al-Risâlah
al-Shafâdiyyah, Minhâju al-Sunnah al-Nabawiyyah fî Naqdhi Kalâmi al-Syî‘ah wa’l
Qadariyyah, kumpulan fatwa-fatwa, dan lain-lain. Wafat pada tahun 728 H
[11] Dalam makalah ini penulis tidak
akan menjabarkan perbedaan antara al-dhiyâ’ dengan al-nûr,
mengingat tidak adanya keterkaitan antara hal ini dengan pembahasan penanggalan
[12] Taqiyyuddîn Abu al-‘Abbâs Ibnu
Taimiyyah, al-Tafsîr al-Kabîr, ditahkik oleh Dr. Abdul Rahmân
‘Amîrah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, vol. IV, t.t., hal. 391-392
[13] Sebagai bukti atas pernyataan ini
adalah Surah al-An‘âm: 77-78
[14] Muhammad Fakhruddin al-Râzi, Mafâtihu’l
Ghaib, op.cit.,hal. 370
[15] Abdul Aziz Bakri Ahmad, Mabâdi’ ‘Ilmi’l
Falak al-Hadîts,
Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah li’l Kitâb,
Kairo, Mesir, cet. I, 2010, hal. 539, lihat juga: Syarqawi Muhammad Shâlih
al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah,
op.cit., hal. 1741
[16] Abdul Aziz Bakri Ahmad, op.
cit., hal. 541, lihat juga: Syarqawi Muhammad Shâlih
al-Dalâl, op. cit., hal. 1903
[17] ‘Imâduddîn Abu al-Fidâ’ Isma‘îl bin
Katsîr al-Dimasyqi, Tafsîru’l Qur’ân al-‘Adzîm, ditahkik oleh
‘Ali Ahmad ‘Abdul Bâqi, dkk, Mu’assasah Qurthubah, Giza, Mesir, vol. XI, cet.
I, 1421 M/2000 M, hal. 363
[18] Lihat: Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, hal. 676, dikutip oleh Susiknan Azhari, Ilmu Falak;
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, op.cit., hal. 106
[19] Ada beberapa aliran yang menetapkan
awal bulan qamariyah dengan menggunakan hisab hakiki. Dalam aliran ini, paling
tidak, ada lagi dua aliran besar, yaitu aliran yang berpegang pada ijtimak
(konjungsi )semata dan aliran yang berpegang pada posisi hilal di atas
ufuk. Lihat: ibid
[20] Jamaludin Abu al-Fadhl Muhammad bin
Mukarram bin ‘Ali Ibnu Mandzur, Lisânu’l ‘Arab, ditahkik oleh Abdullah
‘Ali al-Kabir dkk, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, Mesir, t.t., hal. 4690
[21] Seorang ulama bahasa Arab dengan masterpiece-nya
Lisânu’l ‘Arab, wafat tahun 711 M/1311 M
[22] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin
Abu Bakr al-Qurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâmi’l Qur’ân, ditahkik oleh
DR. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut,
Lebanon, vol. III, cet. I, 1427 H/2006 M, hal. 228
[23] Abu Ja‘far Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jaâmi‘u’l Bayân ‘an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân, op.cit.,
vol. III, hal. 280-282
[24] Departemen Agama RI, al-Quran
dan Tafsirnya, dikutip oleh Susiknan Azhari, Ilmu Falak; Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern, op.cit., hal. 90
[25] Lihat: : Syarqawi Muhammad
Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’
al-Falakiyyah, op.cit., hal. 1319
[26] Bagi yang berpendapat demikian
[28] Adnan
Abdul Munim Qadhi, al-Ahillah, Maktabah Kunûzu’l Ma`rifah, Jeddah, Arab
Saudi, cet. II, 1431 H/ 2010 M, hal. 101
[29] QS.
Al-Kahf : 17
[31] QS. Al-Mujâdalah : 7
[33] QS. Al-Ma`ârij : 6-7
[35] HR.
Bukhari, Kitâb al-Shaum, Bâb Qaul al-Nabi Idzâ Ra’aitum al-Hilâl..., No. 1940
[36] HR.
Bukhari, Kitâb al-Shaum, Bâb Hal Yuqâl Shahr Ramadhân..., No. 1934
[39] Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, vol.
VII, al-Mathba`ah al-Mishriyyah, Mesir, t.t., hal. 189
[40]
Muhammad bin Ismail al-Shan`ani, Subûl al-Salâm al-Muwashilah ilâ Bulûghi’l
Marâm, ditahkik oleh Muhammad Shubhi Hasan Hallaq, vol. IV, Dâr Ibn
al-Jauzi, Damam, Arab Saudi, cet. I, 1429 H, hal. 89
[44] Arwin
Juli Rakhmadi Butar Butar, Op. Cit., hal. 60
[45] QS.
Al-Rahmân : 5
[46] QS.
Yûnus : 5
[47] HR.
Bukhari, Kitâb al-Shaum, Bâb Qaul al-Nabi Lâ Naktubu wa Lâ Nahsubu, No.
1947
[48]
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M, hal. 75
[49] Lihat
buku-buku sejarah ilmu falak Arab seperti: Abdul Amir al-Mukmin, Makânatu’l
Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi, Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I,
1418 H/1997 M
[51]
Jalaluddin al-Suyuthi, Asbâb al-Nuzûl, ditahkik oleh Hamid Ahmad
al-Thahir, Dâru’l Fajr li al-Turâts, Kairo, Mesir, cet. I, 1423 H/2002 M, hal.
1
[52] Lihat
analasa al-Qaradhawi dalam Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata`âmal ma`a
al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dâr al-Syurûq, Kairo, Mesir, cet. IV, 1427 H/2006
M, hal 165
No comments:
Post a Comment