Oleh: Musa Al
Azhar, Lc.
Saya terkadang heran, di berbagai
kesempatan setelah bercerita sana sini tentang al-Azhar dan keulamaan secara
umum, masih mendapat pertanyaan,”Apa bedanya sekolah di al-Azhar dengan di
tempat lain? Di Indonesia misalnya, juga ada beberapa sekolah agama?” Penanya
jelas tidak bisa disalahkan. Bagaimanapun umat (terutama di tanah air) dalam
pandangan saya saat ini mengalami ‘krisis pendidikan agama yang ideal’. Semangat
beragama tinggi, namun porsi yang didapat belum tentu seperti seharusnya.
Idealnya, setelah orang belajar
agama menjadi manusia yang tauhidi. Orientasi hidupnya adalah ridha
Allah, yang mana hal ini tercermin dalam perbuatannya sehari-hari yang selalu
menjunjung tinggi syariat. Perbuatan sehari-hari ini tentunya dipahami secara
luas. Manusia tidak hanya bangun tidur ku terus mandi, makan, sekolah atau
bekerja sampai tidur kembali. Manusia terkadang harus memimpin manusia lain.
Manusia terkadang harus mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam. Manusia
terkadang harus menjalankan roda ekonomi. Bahkan terkadang, ia harus
berbenturan dengan pemikiran yang diajukan manusia lain. Pemikiran ini dianggap
sebagai sebuah terobosan baru yang menjadi solusi permasalahan hidup manusia,
namun tidak semua sesuai syariat.
Intinya, belajar agama yang
ideal itu, haruslah menunjang tiga tugas besar manusia di muka bumi.
Pertama, beribadah kepada Allah. Kedua, memakmurkan bumi. Ketiga,
menyucikan diri. Setelah ketiganya berjalan sukses, berarti ia telah
menjadi hamba yang sukses.
Namun, kenyataan berkata lain.
Sekali lagi akibat krisis pendidikan agama yang ideal itulah, banyak dijumpai
kejanggalan. Mengapa orang belajar agama tugas memakmurkan buminya
terbengkalai? Ia justru menjadi beban bagi orang lain. Mengapa setelah
mempelajari Islam, justru muncul rasa ingin men-vonis sesat orang lain yang
ternyata sama-sama Islam? Mengapa terkesan yang diajarkan dalam agama ini
ritual ibadah khusus dan budi pekerti saja? Padahal manusia butuh menjalankan
roda ekonomi, mengelola bumi, bahkan di zaman sekarang ini ia sering dituntut berinteraksi
dengan orang lain yang tidak beriman, tapi menguasai sendi-sendi kehidupan.
Padahal bangunan keilmuan Islam
bisa dibilang sudah sempurna dengan pintu ijtihad yang tetap terbuka bagi
yang kompeten. Semua dimulai dari madrasah atau kajian yang diadakan oleh
Rasulullah Saw. Mengajarkan Islam kepada para sahabat yang melanjutkan estafet
pengajaran kepada tabi`in dan seterusnya. Dari madrasah-madrasah ini
lahirlah para ulama. Mereka yang mengawal umat untuk hidup sesuai dengan
tuntunan al-Quran dan Sunnah.
Madrasah ini berkembang dan
menyebar ke seluruh penjuru negeri Islam. Diawali dengan penyebaran sahabat
di masa Khalifah Utsman ke berbagai wilayah, mereka juga ikut menyebarkan
jaringan madrasah tersebut. Mulai dari jazirah Arab, Mesir, Irak, negeri Syam,
bahkan sampai ke asia tengah dan afrika. Sehingga kebenaran tidak singgah di
sekitar Ka`bah saja. Ajaran Islam bisa sampai ke berbagai belahan dunia.
Madrasah ini selanjutnya menjadi universitas-universitas. Seperti
al-Asyrafiyyah tempat Imam al-Ghazali mengajar, al-Nizhamiyyah tempat Ibnu
al-Shalah mengajar, dan sebagainya (yang bisa jadi sama bahkan lebih besar dari
Universitas al-Azhar). Tidak semua universitas bertahan sampai sekarang. Namun,
ada beberapa universitas yang masih ditakdirkan untuk bertahan menjaga
pengajaran Islam. Misalnya Qairawayn di Tunisa dan al-Azhar di Mesir.
Kembali ke pertanyaan tentang
keistimewaan al-Azhar. DR. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, seorang ulama muda
al-Azhar, doktor di bidang hadis, dan diamanahi untuk memimpin Maktab Risalah al-Azhar, semacam
lembaga dakwah al-Azhar, menghimpun delapan keistimewaan al-Azhar dalam bukunya
al-Ihyâ’ al-Kabîr li Ma`âlimi’l Manhaj al-Azharî al-Munîr.
Bukan berarti salah satu atau
semua keistimewaan ini eksklusif dimiliki al-Azhar. Mengklaim hanya al-Azhar
yang memiliki salah satu atau semua keistimewaan tersebut, sama saja mengklaim
bahwa hanya al-Azhar yang mengajarkan Islam secara benar. Para ulama al-Azhar
sendiri tidak pernah mengajarkan seperti itu, salah satu buktinya, mereka juga
menjalin banyak kerjasama dengan ulama lain di Afrika, Saudi Arabia,
negara-negara teluk, negeri Syam, Asia, bahkan Eropa dalam hal mengarahkan umat
untuk hidup dengan cara Islam.
Semoga
keistimewaan ini bisa jadi salah satu referensi atau minimal inspirasi untuk
menanggulangi krisis pendidikan agama yang ideal. Bagi yang haus
akan pendidikan agama yang ideal, silahkan cari dan terapkan hal-hal di bawah
ini.
1.Ketersambungan
Sanad
Apa itu sanad? Apa pentingnya? Sanad dalam ilmu hadis
artinya rangkaian para perawi hadis. Namun, filosofinya lebih luas. Ia
adalah proses pengajaran agama dari seorang guru kepada murid kemudian ada
pengakuan bahwa sang murid juga sudah layak untuk mengajarkan ilmu tertentu
dalam agama. Di dalam sanad juga ada sistem seleksi siapa saja yang berhak
menyampaikan agama atau diterima penyampaiannya tentang agama.
Masa sahabat, ketika tidak ada orang berdusta,
kehati-hatian dalam menerima hadis Rasulullah Saw. sudah ditegakkan. Barulah
pada masa Ibnu Sirin (110 H), mulai ada seleksi ketat siapa saja yang riwayat
hadisnya atau pengajarannya berhak diterima, karena sudah mulai banyak orang
yang lemah dari segi intelektual dan muncul berbagai penyimpangan. Puncaknya
adalah pembukuan seluruh hadis Rasulullah Saw. dan penulisan biografi para
pengajar agama. Dilanjutkan dengan perumusan ilmu-ilmu keislaman dan dibukukan
dalam kitab-kitab yang berjilid-jilid itu. Saat ini semua bisa diakses.
Pengajaran Islam tidak bisa dilepaskan dari rukun ilmu
yang lima: guru, murid, kitab, metode/manhaj, dan lingkungan ilmiah. Hal
ini sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah Saw. Bertindak sebagai guru adalah
Rasulullah Saw. dengan murid para sahabat untuk mengkaji al-Quran dibantu
dengan penjelasan Sunnah, ketika itu lingkungan ilmiah pun terjadi dengan
interaksi tanya jawab, bergantian hadir, sampai penulisan al-Quran dan hadis.
Kelima hal ini berlangsung terus menerus. Al-Azhar
sendiri juga melestarikan hal ini. Semua guru yang ada di al-Azhar pasti
punya guru juga yang menjalani proses di atas, apabila diurutkan akan sampai
kepada para ulama besar dalam bidangnya.
Ambil contoh: Mufti Mesir Ali Jum`ah pernah belajar hadis
dan menerima riwayat Shahih al-Bukhari dari gurunya, Abdullah Shiddiq
al-Ghumari, dari Abdul Hafizh al-Fasi, dari Syaikh Yusuf al-Suwaidi, dari Syekh
Murtadla al-Zabidi, dari Muhammad Abdul Khaliq bin Abu Bakar al-Muzjaji, dari
Sayyid Imaduddin Yahya bin Umar al-Husaini, dari Sayyid Abu Bakar al-Baththah,
dari pamannya, Sayyid Yusuf bin Muhammad al-Baththah, dari Sayyid Thahir bin
al-Husain al-Ahdal, dari Wajihuddin Abdurrahman bin Ali al-Syaibani, dari Syamsuddin
al-Sakhawi (ulama hadis terkenal, sezaman dengan Imam al-Suyuthi, penulis
kitab Fathu’l Mughits), dari Ibnu Hajar al-Asqalani (ulama
hadis terkenal, penulis syarah Shahih al-Bukhari Fathu’l Bâri,
Bulûghu’l Marâm, dan lain-lain), dari al-Burhan Ibrahim bin Ahmad
al-Tanukhi dari Abul Abbas Ahmad bin Abi Thalib, dari Abul Waqt Abdul Awwal bin
Isa al-Harawi, dari Abul Hasan al-Dawudi, dari Abu Muhammad al-Sarakhsi, dari
Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Firabri, dari Imam al-Bukhari yang
meriwayatkan hadis dari berbagai jalur sampai kepada Rasulullah Saw., misalnya
dari Adam bin Abi Iyas, dari Syu`bah bin al-Hajjaj, dari Muhammad bin Ziyad,
dari Abu Hurairah yang mendengar langsung dari Rasulullah Saw.
hadis Shûmû liru’yatihi...dan lain-lain.
Tidak hanya itu, para ulama al-Azhar juga banyak yang
pergi keluar Mesir untuk mencari ilmu. Misalnya Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim,
yang merupakan ulama hadis terhebat di dunia sekarang ini menurut beberapa
ulama seperti Syekh Ridha Zakaria (saya ngaji hadis sama beliau hari Sabtu) dan
Syekh Usamah al-Azhari. Syekh Ahmad Ma`bad, yang mengajar kami takhrij hadis
dan ilal hadis, pernah berguru kepada ulama hadis kebanggaan nusantara, Syekh
Yasin al-Faddani (Padang) di tanah haram dan menerima ijazah sanad dari beliau.
Demikianlah, tidak semua orang layak mengajarkan agama
juga tidak semua orang bisa kita minta untuk mengajar agama. Agama diajarkan
melalui bimbingan ulama, tidak asal download di internet, nonton tv,
berguru dari orang yang tidak punya latar belakang pendidikan agama atau
minimal pernah berguru kepada seorang ulama, sepintar apapun dia. Karena ilmu
agama tidak hanya sekedar pengetahuan yang tinggal dihafal dari satu dua buku
apalagi diterima dengan santai-santai, ia adalah satu bangunan keilmuan yang
utuh. Kita tidak mungkin berobat kepada orang yang hanya membaca satu dua
buku kesehatan kan?
Prakteknya tidak harus dengan meminta sertifikat ijazah
dari semua orang yang akan kita timba ilmunya. Cukup dengan mengetahui latar
belakang pengetahuan agama dari orang tersebut. Hikmahnya dapat dirangkum
dengan nasehat Imam Ahmad bin Hanbal,”Bertaqwalah kepada Allah, dan lihat
dari siapa anda belajar agama”.
2.Perhatian
Terhadap Ilmu Alat
Apa bedanya
generasi kita dengan generasi sahabat? Pertama, Generasi sahabat
adalah orang-orang Arab tulen yang bisa berbahasa Arab. Mereka paham bahasa
Arab dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Karena bahasa Arab tidak
hanya soal memahami kata per kata kemudian kalimat per kalimat, ada perkataan yang
sifatnya umum tapi yang dimaksud adalah hal yang khusus, ada perkataan yang
beruba majaz dan hakekat (makna sebenarnya), dan lain-lain. Ada perbedaan makna
ketika sebuah kalimat diawali dengan inna dengan yang tidak. Ada
perbedaan penekanan ketika sebuah kalimat menggunakan jumlah ismiyah dibanding
jumlah fi`liyah dan seterusnya. Kaidah-kaidah nahwu sharaf juga sudah tertanam
dalam otak mereka.
Kedua, para
sahabat semuanya `adil. Maksudnya beres urusan agamanya, tidak pernah
menyengaja melakukan dosa besar dan membiasakan dosa kecil. Dari sinilah
tidak ada kecurigaan sahabat pernah berdusta apalagi atas nama Rasulullah Saw.
Sehingga kita yakin ketika para sahabat mengatakan ia pernah mendengar hadis Rasulullah
Saw. tertentu berarti memang benar itu hadis Rasulullah Saw.
Ketiga, mereka
hidup di masa turun wahyu. Mereka mengetahui mana ayat/hadis yang turun
untuk kaum muslimin, mana yang ditujukan kepada orang kafir. Mana yang turun
sebelum atau sesudah hijrah, di musim apa, bahkan di siang bolong atau di malam
sunyi. Mana yang turun lebih dahulu, mana yang belakangan. Mana yang umum, mana
yang mengkhususkan. Selain itu, kalau ada pertanyaan mereka tinggal sowan
kepada Rasulullah Saw.
Pada masa
Khalifah Umar, banyak orang a`jam (non-Arab) yang masuk Islam, hal ini jelas
mempengaruhi proses pengajaran al-Quran dan hadis. Segala puji bagi Allah yang
telah menyiapkan para ulama yang dibekali kemurnian hati dan kecerdasan, mereka
luar biasa. Setelah melalukan istiqra’ alias menganalisa satu per satu ayat
maupun hadis, mereka berhasil merumuskan ilmu-ilmu yang awalnya hanya ada di
dalam otak para sahabat. Melalui proses talaqi turun-temurun (lihat
keistimewaan pertama), mereka berhasil merumuskan patokan-patokan tertentu
yang dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Sunnah kemudian menerapkannya
dalam kehidupan. Ini diperuntukkan bagi kita semua yang jelas tidak
memiliki keistimewaan sahabat di atas. Inilah yang dikenal dengan nama ilmu
alat.
Ilmu-ilmu
alat inilah yang harus dikuasai apabila seseorang ingin menempuh jalan sebagai
seorang ulama. Bagi yang sudah menguasai, orang non-Arab sekalipun bisa
menjadi ulama yang boleh menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah.
Sebaliknya, tanpa ilmu alat, mustahil. Bahkan apabila hanya mengandalkan bahasa
Arab.
Setelah
menganalisa perkata dan kalimat, proses masih berlanjut, karena sering terjadi
beberapa kasus dimana bahasa semata tidak mampu menyelesaikan. Terkadang
didapati bahwa sebuah ayat atau hadis terlihat bertentangan dengan hadis yang
lainnya. Padahal yang satu adalah hal yang umum, yang lain mengkhususkan. Atau
yang satu datang lebih awal, yang lain datang untuk menggantikan hukum
ayat/hadis yang datang lebih dahulu, yang dalam istilah usul fikih dikenal dengan
nama nâsikh-mansûkh. Kondisi semacam ini, dibutuhkan patokan tertentu
yang selanjutnya disebut ilmu usul fikih. Tercatat, Imam al-Syafi`i-lah
yang pertama kali merumuskan ilmu usul fikih dalam sebuah buku berjudul al-Risâlah.
Tidak semua
hadis berhak dijadikan dasar sebuah amal, ada pula yang tidak layak. Bisa jadi
karena ada keterputusan mata rantai informasi, perawinya ada yang lemah
hafalannya, atau ada kecacatan. Persoalan ini diselesaikan dengan ilmu
hadis.
Di al-Azhar,
penguasaan terhadap ilmu alat sangat ditekankan. Di fakultas ushuluddin
misalnya, anak tingkat satu yang oleh-oleh Indonesia-nya masih hangat di koper
sudah disuguhi Tadrîb al-Râwi, kitab ilmu hadis karya Imam al-Suyuthi
(911 H) meskipun cuma sampai pembahasan hadis hasan. Barulah misalnya ketika
mengambil s2 hadis dilanjutkan dengan al-Nukat `alâ Kitâb Ibn al-Shalâh
karya Ibnu Hajar (dua jilid) yang diajarkan beberapa bab, sisanya “Baca sendiri
kemudian bulan Juli kita ujian seluruh kitab”. Anak fakultas syariah hidupnya
di Mesir tidak bisa dilepaskan dari Nihâyat al-Sûl, kitab usul fikih
karya al-Isnawi. Di masjid al-Azhar dan sekitarnya, puluhan talaqi kitab
karangan para ulama diadakan, tergantung masing-masing penuntut ilmu, apakah
ingin menjadi pelajar yang bersyukur?
Hikmah dari
poin kedua, tentunya tidak semua orang menjadi ulama, belajar ilmu alat dan
sebagainya. Allah sendiri tidak pernah menyuruh kaum muslimin untuk langsung
merujuk kepada al-Quran atau hadis ketika ada masalah, namun menyerahkan
persoalan kepada orang yang ulama yang kompeten memahami al-Quran dan Sunah.
Simak Surah al-Nisa’ ayat 83 berikut:
وَإِذَا
جَآءَهُمۡ أَمۡرٌ۬ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ
رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنۡہُمۡ لَعَلِمَهُ
ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُ ۥ مِنۡہُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ
عَلَيۡڪُمۡ وَرَحۡمَتُهُ ۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَـٰنَ إِلَّا قَلِيلاً۬
Artinya: 83. dan apabila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Bagian
terpenting dari ayat di atas adalah, bertanya kepada mereka yang paham al-Quran
dan Sunnah, bukan mencari-cari sendiri.
3.Memahami
Maqashid Syariah (Tujuan Syariat)
Untuk apa kita
mempelajari dan mengamalkan syariat? Untuk apa kita berjuang? Untuk apa kita
membela kaum tertindas? Untuk apa kita memperbaiki sistem pemerintahan? Untuk
apa kita meminta pendapat ulama? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, dari mana
kita berasal? Untuk apa kita hidup? Kemana kita kembali? Petanyaan-pertanyaan
itu kadang perlu kita tanyakan kembali kepada diri masing-masing. Bisa juga
bentuk pertanyaannya, mengapa Islam memerintahkan saya untuk beribadah? Mengapa
harus amar makruf nahi munkar? Mengapa harus belajar? Dan lain-lain.
Berinteraksi
dengan para ulama yang alim lagi ikhlas dan menguasai ilmu alat membuahkan
pemahaman terhadap “Apa sih tujuan diturunkannya syariat?”. Agama
ini diturunkan oleh Allah untuk merealisasikan penyembahan kepada-Nya,
memakmurkan bumi-Nya, dan mensucikan diri manusia. Selain itu ada misi lain
seperti menyampaikan hidayah, mewarisi tugas Nabi, membangun peradaban manusia
yang Rabbani, dan orientasi hidup abadi di akhirat nanti. Juga menegakkan
akhlak mulia dan melakukan pencerahan terhadap peradaban manusia, sehingga
terwujudlah ISLAM RAHMATAN LI’L `ÂLAMÎN.
Orang yang
memahami tujuan-tujuan ini akan menjadi pribadi yang bijaksana dan lapang dada.
Ia menjadi ulama yang arahan-arahannya menjadi solusi bagi problem umat.
Tidak justru menjadi teror bagi umat, yang fatwa-fatwanya justru memecah
belah umat dan hanya memberikan beban sehingga Islam menjadi agama yang
mengerikan dan dianggap sebagai sumber kemunduran umat. Intinya, ia menjadi
orang yang mengarahkan untuk apa manusia hidup dan bagaimana seharusnya hidup.
Bukan sekedar menyuruh-nyuruh untuk melakukan ritual-ritual tertentu.
4.Memahami
Ayat al-Quran pada Tempatnya
Ketiga hal tersebut membuahkan pemahaman yang benar
terhadap pedoman hidup kaum muslimin, al-Quran. Ia akan menempatkan ayat yang
turun kepada orang kafir untuk orang kafir. Ayat yang turun bagi orang muslim
akan diarahkan kepada orang muslim.
Pernah dengan
cerita tentang khawarij? Termasuk firqoh/aliran pertama yang muncul. Bahkan di
masa Khalifah Ali Ra. Sekumpulan orang yang didominasi anak-anak muda yang
semangat dalam beragama/berjihad. Sayang, semangat mereka tidak diimbangi
kematangan berpikir. Karena menganggap Khalifah Ali tidak berhukum dengan
al-Quran ketika mengadakan perdamaian dengan Muawiyah. Akhirnya mereka
melakukan hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan sahabat manapun.
Mengkafirkan sesama muslim. Perlu diingat bahwa ketika itu sahabat seperti
Abu Musa al-Asy`ari, Amru bin Ash, Abdullah bin Abbas, dan lain-lain masih
hidup.
Golongan
khawarij justru menyempal dari jama`ah kaum muslimin ketika itu atas dasar
ijtihad yang hanya bermodal semangat. Mereka membuat bid`ah berupa mengkafirkan
pelaku dosa besar. Padahal dalam prinsip ahlus sunnah, pelaku dosa besar
tidaklah kafir, dosanya bisa diampuni dengan taubat nasuha, dan menjadi hak
Allah untuk memasukkan ia ke surga atau neraka.
5.Menghormati
Umat Nabi Muhammad Saw.
Pemahaman
poin-poin diatas membuahkan sikap penghormatan terhadap umat akhir
zaman, umat Nabi Muhammad Saw. Umat ini adalah umat ilmu, hidayah, kasih
sayang, dan bertugas menyampaikan hidayah kepada manusia. Ia juga memiliki
tugas untuk memakmurkan bumi. Umat yang mengarahkan manusia kepada Allah Swt.
dengan segala macam potensi yang dimilikinya seperti ilmu, keindahan/seni,
nilai-nilai, dan segala macam kemajuan di berbagai bidang.
Ia bukan umat
teror dan anti kemajuan. Ia juga bukan umat yang anti dengan pembangunan
peradaban. Karena ia menyadari betul apa tugasnya di muka bumi.
Syekh Usamah
al-Azhari, ketika mengkaji hadis arba`in-nya Imam al-Nawawi pernah menjelaskan
tentang keutamaan umat akhir zaman, umat Nabi Muhammad Saw. Umat ini adalah
umat yang sempurna secara akal manusianya. Ia berbeda dengan umat-umat
terdahulu (misalnya umat Nabi Musa As.) yang terpaku kepada materi, sehingga
bahasa al-Quran yang turun adalah, “Udzkurû ni`matalLâh `alaikum”.
(Ingatlah nikmat Allah kepada kalian). Berbeda dengan umat Muhammad yang lebih
tinggi levelnya. Sehingga cukup dengan lafaz, “Fa’dzkurûnî”(Ingatlah
Aku-Allah-ed).
Dalam pelajaran
tafsir yang pernah saya terima, dijelaskan betapa manusia adalah makhluk yang
luar biasa. Ia memiliki unsur bumi berupa tanah asal jasadnya diciptakan, dan
unsur ‘langit’ yaitu ruh. Sehingga manusia adalah makhluk yang seimbang. Ia
tidak seperti hewan yang hanya memiliki hawa nafsu, ia juga tidak seperti
malaikat yang tidak memiliki ambisi. Sudah menjadi kehendak Allah menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Karena
keunggulan umat ini, maka Al-Azhar tidak pernah mengajarkan untuk sembarang
menyesatkan, membid`ahkan, dan mengkafirkan orang apalagi dalam permasalah yang
belum disepakati atau bukan merupakan konsensus ulama. Yang sering diajarkan
oleh para guru adalah mengkritisi pendapat, bukan manusianya (mereka juga
jarang ‘nyebut merk’). Tidak sembarang orang boleh divonis sesat, urusan ini
Rasulullah Saw. pun mewanti-wanti.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ
قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Dari
Abdullah bin Umar Ra.”Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata,’Siapa saja yang
mengatakan kepada saudaranya ‘Hei kafir !’ maka (panggilan-red) itu akan
kembali kepada salah satunya.”
Hadis
ini sahih karena ada di Shahih al-Bukhari, di bagian Kitab al-Adab, Imam
al-Bukhari memberi judul Bab “Barangsiapa yang mengkafirkan saudaranya tanpa
takwil maka ia seperti yang ia panggil (kafir juga kan?-red)”.
Saat
ini umat terpecah belah dengan saling memanggil dengan panggilan sesat,
sekuler, kafir, fasiq, ahli bid`ah, dan sebagainya. Kalau memang vonis itu
jatuh dari hasil ijtihad, maka memang perlu diikuti. Tapi bagaimana kalau vonis
itu hanyalah opini yang disebarkan media? Karena mengangkat satu pendapat dari
seorang ulama yang kebetulan berbeda dengan pendapat yang dia dianut. Kemudian dicap
bertentangan dengan syariat, padahal masih berkutat pada masalah yang belum
disepakati ulama.
6.Antusias
dalam Membawa Hidayah
Di dunia ini,
ada orang beriman ada pula yang kafir. Pertanyaannya, bagaimana sikap kaum
muslimin terhadap orang kafir? Apakah selalu diperangi? Kenyataannya ada piagam
Madinah yang pernah ditandatangani bersama kaum Yahudi. Apakah dibiarkan saja?
Kenyataannya, mengapa ada perintah dakwah? Apakah dipaksa masuk Islam?
Kenyataannya ada Lâ Ikrâha fi al-Dîn. Ternyata, umat Islam adalah umat
hidayah. Hidayah yang berarti penjelasan, memberikan bukti, dan argumen atas
kebenaran Islam.
Dengan bekal
kelima hal di atas, maka akan tertanam tanggung jawab bahwa pelajar al-Azhar
haruslah menjadi penyampai hidayah kepada dunia. Dakwah al-Azhar jelas tidak
terbatas di Mesir atau di negeri-negeri Islam saja, namun juga menjelajah
Eropa, Amerika, dan belahan bumi lainnya. Al-Azhar juga mengirim duta-dutanya
ke berbagai negara. Baik penduduk asli Mesir, maupun orang-orang asing yang
dikirim ke al-Azhar, kemudian kembali lagi ke tanah air masing-masing untuk
memberi peringatan kepada kaumnya agar mereka mendapat peringatan.
Untuk menunjang
hal ini, maka satu hal yang wajib dimiliki oleh pelajar al-Azhar adalah
pemahaman kehidupan (kenyataan hidup). Simaklah nasehat Imam al-Syafi`i:
أَقَمْتُ عِشْرِيْنَ سَنَةً أطْلُبُ أيَّام النَّاسِ و أَسْتَعِيْنُ بِذلك على
الفِقْهِ
Artinya: “Selama
20 tahun, aku mempelajari kehidupan manusia, dan itu menolongku dalam memahami
fikih.”
Tidak mungkin
seorang ulama mampu mengarahkan manusia tanpa memahami manusia itu sendiri. Kongkretnya,
selama saya belajar di fakultas ushuluddin, banyak diajarkan bagaimana memahami
manusia. Hal ini tercermin dari berbagai pelajaran seperti Milal wa Nihal
(perbandingan agama) yang mengkaji kepercayaan manusia sejak zaman dahulu kala,
dimulai dari sebab kemunculannya kemudian inti alirannya, bahkan sampai ke
hal-hal yang detail. Ada juga pelajaran filsafat dan aliran-aliran seperti
sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya yang mengkaji bagaimana
manusia berpikir dan darimana ia menentukan standar kebenaran, sehingga
ulama dapat mencari celah darimana ia harus menjelaskan inti ajaran al-Quran
dan sunah, bukan malah terjerumus sendiri.
Ada juga
pelajaran kisah-kisah al-Quran. Ternyata, segala bentuk penyimpangan yang
terjadi di zaman ini sudah pernah ada di zaman dahulu. Melalui kisah-kisah
tersebut, ulama diajarkan bagaimana ia memahami dan menangani persoalan
penyimpangan yang ada di zamannya. Misalnya, sistem ekonomi yang hancur
sekarang ini ternyata pernah dilakukan oleh kaum Nabi Syu`aib.
Ada juga
pelajaran Manhaj Dakwah. Di dalamnya juga mempelajari berbagai karakter manusia
dalam menerima hidayah. Misalnya orang yang sama sekali tidak pernah mengenal
al-Quran, tentunya tidak akan mempan apabila langsung ditodong dengan ayat-ayat
perintah beriman. Terkadang ia harus diajak berpikir masalah penciptaan untuk
sampai kepada Sang Khaliq. Dan metode semacam ini juga banyak ditemukan dalam
al-Quran, misalnya dalam Surah Nuh ayat 14 dan sekitarnya.
7.Bangunan Keilmuan yang Lengkap
Dalam berbagai debat kusir, sering orang mengklaim
kebenaran sebuah teori hanya dengan mengatakan “Ini dalilnya!” Padahal, apakah
dalil tersebut cocok untuk membenarkan teori tersebut? Selain itu, apakah orang
tersebut kompeten untuk mengaitkan antara teori dan dalil? Contoh, kalau
sekedar menyebut dalil, bisa saja seseorang mengatakan bahwa minum khamr itu
boleh karena melihat ayat “Janganlah kamu mendekati solat dalam keadaan
mabuk”. Ayat ini memang ada dalam al-Quran, namun hukumnya sudah mansukh
dengan ayat pengharaman khamr. Hal ini tidak mungkin diketahui tanpa belajar
usul fikih.
Oleh karenanya, al-Azhar selalu mengajarkan bahwa ilmu
tidak hanya sekedar (1) dalil (al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas). Ia juga harus
mencakup, bagaimana (2) metode menyimpulan sebuah hukum dari dalil itu. Selain
itu, ada juga (3) standar kualifikasi orang yang berhak menyimpulkan hukum
tersebut. Sekali lagi, ilmu tersusun dari tiga hal: Dalil, Metode
menyimpulkan hukum dari dalil, dan Syarat orang yang berhak melakukan hal
tersebut. Dengan kata lain, seorang ulama tidak hanya sekedar hafal dalil
atau kitab, ia juga memahami metode bagaimana mengoptimalkan al-Quran dan
Sunnah menjadi sebuah hukum yang bisa diamalkan oleh manusia dalam kehidupan,
selain itu ia juga terlatih untuk hal tersebut.
8.Memanfaatkan Turats Secara Optimal
Turats (bacanya
TUROTS) adalah warisan peradaban. Para ulama yang mengarahkan masyarakat
sejak zaman sahabat sampai saat ini karya besarnya bukan sekedar bangunan
batu yang menjadi museum di daerah-daerah kekuasaan Islam. Ia adalah bangunan
keilmuan yang lengkap menjadi berbagai disiplin ilmu yang sangat mungkin
untuk dikuasai. Dari segi dalil al-Quran misalnya, berapa banyak ulama yang
menulis kitab tafsir yang membantu untuk memahami ayat, berapa banyak kitab tajwid
dan ulama yang mengajarkan bagaimana membaca al-Quran sesuai dengan bagaimana
ia diturunkan. Dalam hadis, urusan menghukumi hadis dengan sahih, hasan, dan
dhaif bisa dibilang sudah selesai. Seluruh hadis juga sudah dibukukan. Bahkan untuk
memahami hadis, dimudahkan dengan berbagai kitab syarah hadis.
Dari segi
metode misalnya, ada ilmu tafsir/ilmu al-Quran sebagai patokan untuk memahami
al-Quran. Untuk menyeleksi hadis dan para perawinya, sudah selesai dengan
perumusan ilmu hadis. Dan lain sebagainya.
Dari segi
kualifikasi ulama, rasanya proses pengkaderan yang ada di madrasah/universitas
Islam masih terus melahirkan ulama-ulama baru.
Kesemua hal
tadi bisa dibilang sudah sempurna. Sampai ada ungkapan,”Apa sih yang masih
belum dikerjakan ulama salaf?”. Umat Islam abad ke 15 Hijriyah/abad 21 Masehi
boleh dibilang tinggal memanfaatkan hasil karya para ulama (turats) tersebut,
untuk dipahami dan diterapkan sesuai dengan tuntutan di zamannya. Mujtahid
zaman sekarang tugasnya bukan lagi merumuskan metode penyimpulan hukum dari
al-Quran dan Sunnah karena hal itu sudah selesai oleh para ulama dahulu,
melainkan mencari hukum persoalan yang baru muncul di zaman ini, itupun
kaidahnya tetap menggunakan hasil rumusan ulama dahulu.
Dalam bidang
hadis misalnya, bisa dibilang tugas ulama hadis sekarang adalah memahami kitab.
Karena semua hadis dan daftar perawi hadis lengkap dengan penilaiannya sudah terdaftar
dalam kitab-kitab. Mungkin hanya memahami ulang kaidah ulama hadis klasik,
mentarjih pendapat ulama yang bertentangan, bukan merumuskan hal baru.
Itulah turats,
bangunan keilmuan Islam yang tidak bisa ditinggalkan siapapun yang ingin
memahami Islam. Kapan masa penyusunan turats terakhir? Banyak yang
bilang di abad ke-13, terakhir adalah Imam al-Syaukani (Mufti Mesir, Syekh Ali
Jum`ah mengatakan bahwa generasi turats terakhir adalah Syekh Bajuri yang
menulis Tuhfatul Murid Hasyiyah Jauharatut Tauhid). Setelah masa mereka, yang
ada adalah memanfaatkan karya orang lama, dengan sedikit penyesuaian dalam hal
penerapan dengan zaman yang ada. Tidak ada hal baru.
Hikmah dari
poin ini adalah: Kita semua ingin membangun peradaban/memakmurkan bumi dengan
cara Islam. Rasanya semua sepakat soal “kembali ke al-Quran dan Sunnah”. Tapi
untuk memahami al-Quran dan Sunnah, dibutuhkan ‘kitab-kitab’ di atas.
Simpelnya, ketika bermaksud mentadabburi al-Quran atau hadis, sangat ironis
apabila tidak membuka kitab-kitab tafsir atau syarah hadis. Ketika mencari
hukum persoalan tertentu, kitab fikih menyediakan semuanya.
Tidak ada
maksud merendahkan ulama mu`ashir (kontemporer), tapi kenyataannya yang selalu
mereka (ulama kontemporer) nasehatkan dan programkan adalah ‘memahami turats’
atau dengan bahasa yang lebih populer ‘memahami ajaran Islam sesuai pemahaman
salaf’. Nah, kedelapan hal inilah yang dimaksud dengan pemahaman cara salaf
itu. Dan menurut Syekh Ali Jum`ah, saat ini adalah masanya membangun pemahaman
bagi umat tentang ajaran agamanya.
No comments:
Post a Comment