أهلا و سهلا

Selamat Datang | Dua puluh tahun aku menyelami dunia, itu sangat membantuku dalam memahami apa yang Tuhanku inginkan dariku untuk kukerjakan (al-Syafi`i) | Sama-sama berbuat, hanya yang tanpa ilmu lebih banyak MERUSAK-nya daripada membangun-nya (Hasan Bashri)| Mohon masukan...

Monday, August 5, 2013

Pendidikan Agama Ideal


Oleh: Musa Al Azhar, Lc.
Saya terkadang heran, di berbagai kesempatan setelah bercerita sana sini tentang al-Azhar dan keulamaan secara umum, masih mendapat pertanyaan,”Apa bedanya sekolah di al-Azhar dengan di tempat lain? Di Indonesia misalnya, juga ada beberapa sekolah agama?” Penanya jelas tidak bisa disalahkan. Bagaimanapun umat (terutama di tanah air) dalam pandangan saya saat ini mengalami ‘krisis pendidikan agama yang ideal’. Semangat beragama tinggi, namun porsi yang didapat belum tentu seperti seharusnya.

Idealnya, setelah orang belajar agama menjadi manusia yang tauhidi. Orientasi hidupnya adalah ridha Allah, yang mana hal ini tercermin dalam perbuatannya sehari-hari yang selalu menjunjung tinggi syariat. Perbuatan sehari-hari ini tentunya dipahami secara luas. Manusia tidak hanya bangun tidur ku terus mandi, makan, sekolah atau bekerja sampai tidur kembali. Manusia terkadang harus memimpin manusia lain. Manusia terkadang harus mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam. Manusia terkadang harus menjalankan roda ekonomi. Bahkan terkadang, ia harus berbenturan dengan pemikiran yang diajukan manusia lain. Pemikiran ini dianggap sebagai sebuah terobosan baru yang menjadi solusi permasalahan hidup manusia, namun tidak semua sesuai syariat.

Intinya, belajar agama yang ideal itu, haruslah menunjang tiga tugas besar manusia di muka bumi. Pertama, beribadah kepada Allah. Kedua, memakmurkan bumi. Ketiga, menyucikan diri. Setelah ketiganya berjalan sukses, berarti ia telah menjadi hamba yang sukses.

Namun, kenyataan berkata lain. Sekali lagi akibat krisis pendidikan agama yang ideal itulah, banyak dijumpai kejanggalan. Mengapa orang belajar agama tugas memakmurkan buminya terbengkalai? Ia justru menjadi beban bagi orang lain. Mengapa setelah mempelajari Islam, justru muncul rasa ingin men-vonis sesat orang lain yang ternyata sama-sama Islam? Mengapa terkesan yang diajarkan dalam agama ini ritual ibadah khusus dan budi pekerti saja? Padahal manusia butuh menjalankan roda ekonomi, mengelola bumi, bahkan di zaman sekarang ini ia sering dituntut berinteraksi dengan orang lain yang tidak beriman, tapi menguasai sendi-sendi kehidupan.

Padahal bangunan keilmuan Islam bisa dibilang sudah sempurna dengan pintu ijtihad yang tetap terbuka bagi yang kompeten. Semua dimulai dari madrasah atau kajian yang diadakan oleh Rasulullah Saw. Mengajarkan Islam kepada para sahabat yang melanjutkan estafet pengajaran kepada tabi`in dan seterusnya. Dari madrasah-madrasah ini lahirlah para ulama. Mereka yang mengawal umat untuk hidup sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah. 

Madrasah ini berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru negeri Islam. Diawali dengan penyebaran sahabat di masa Khalifah Utsman ke berbagai wilayah, mereka juga ikut menyebarkan jaringan madrasah tersebut. Mulai dari jazirah Arab, Mesir, Irak, negeri Syam, bahkan sampai ke asia tengah dan afrika. Sehingga kebenaran tidak singgah di sekitar Ka`bah saja. Ajaran Islam bisa sampai ke berbagai belahan dunia. Madrasah ini selanjutnya menjadi universitas-universitas. Seperti al-Asyrafiyyah tempat Imam al-Ghazali mengajar, al-Nizhamiyyah tempat Ibnu al-Shalah mengajar, dan sebagainya (yang bisa jadi sama bahkan lebih besar dari Universitas al-Azhar). Tidak semua universitas bertahan sampai sekarang. Namun, ada beberapa universitas yang masih ditakdirkan untuk bertahan menjaga pengajaran Islam. Misalnya Qairawayn di Tunisa dan al-Azhar di Mesir.

Kembali ke pertanyaan tentang keistimewaan al-Azhar. DR. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, seorang ulama muda al-Azhar, doktor di bidang hadis, dan diamanahi untuk  memimpin Maktab Risalah al-Azhar, semacam lembaga dakwah al-Azhar, menghimpun delapan keistimewaan al-Azhar dalam bukunya al-Ihyâ’ al-Kabîr li Ma`âlimi’l Manhaj al-Azharî al-Munîr.
 
Bukan berarti salah satu atau semua keistimewaan ini eksklusif dimiliki al-Azhar. Mengklaim hanya al-Azhar yang memiliki salah satu atau semua keistimewaan tersebut, sama saja mengklaim bahwa hanya al-Azhar yang mengajarkan Islam secara benar. Para ulama al-Azhar sendiri tidak pernah mengajarkan seperti itu, salah satu buktinya, mereka juga menjalin banyak kerjasama dengan ulama lain di Afrika, Saudi Arabia, negara-negara teluk, negeri Syam, Asia, bahkan Eropa dalam hal mengarahkan umat untuk hidup dengan cara Islam.

Semoga keistimewaan ini bisa jadi salah satu referensi atau minimal inspirasi untuk menanggulangi krisis pendidikan agama yang ideal. Bagi yang haus akan pendidikan agama yang ideal, silahkan cari dan terapkan hal-hal di bawah ini.

1.Ketersambungan Sanad

Apa itu sanad? Apa pentingnya? Sanad dalam ilmu hadis artinya rangkaian para perawi hadis. Namun, filosofinya lebih luas. Ia adalah proses pengajaran agama dari seorang guru kepada murid kemudian ada pengakuan bahwa sang murid juga sudah layak untuk mengajarkan ilmu tertentu dalam agama. Di dalam sanad juga ada sistem seleksi siapa saja yang berhak menyampaikan agama atau diterima penyampaiannya tentang agama.

Masa sahabat, ketika tidak ada orang berdusta, kehati-hatian dalam menerima hadis Rasulullah Saw. sudah ditegakkan. Barulah pada masa Ibnu Sirin (110 H), mulai ada seleksi ketat siapa saja yang riwayat hadisnya atau pengajarannya berhak diterima, karena sudah mulai banyak orang yang lemah dari segi intelektual dan muncul berbagai penyimpangan. Puncaknya adalah pembukuan seluruh hadis Rasulullah Saw. dan penulisan biografi para pengajar agama. Dilanjutkan dengan perumusan ilmu-ilmu keislaman dan dibukukan dalam kitab-kitab yang berjilid-jilid itu. Saat ini semua bisa diakses.

Pengajaran Islam tidak bisa dilepaskan dari rukun ilmu yang lima: guru, murid, kitab, metode/manhaj, dan lingkungan ilmiah. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah Saw. Bertindak sebagai guru adalah Rasulullah Saw. dengan murid para sahabat untuk mengkaji al-Quran dibantu dengan penjelasan Sunnah, ketika itu lingkungan ilmiah pun terjadi dengan interaksi tanya jawab, bergantian hadir, sampai penulisan al-Quran dan hadis.

Kelima hal ini berlangsung terus menerus. Al-Azhar sendiri juga melestarikan hal ini. Semua guru yang ada di al-Azhar pasti punya guru juga yang menjalani proses di atas, apabila diurutkan akan sampai kepada para ulama besar dalam bidangnya.

Ambil contoh: Mufti Mesir Ali Jum`ah pernah belajar hadis dan menerima riwayat Shahih al-Bukhari dari gurunya, Abdullah Shiddiq al-Ghumari, dari Abdul Hafizh al-Fasi, dari Syaikh Yusuf al-Suwaidi, dari Syekh Murtadla al-Zabidi, dari Muhammad Abdul Khaliq bin Abu Bakar al-Muzjaji, dari Sayyid Imaduddin Yahya bin Umar al-Husaini, dari Sayyid Abu Bakar al-Baththah, dari pamannya, Sayyid Yusuf bin Muhammad al-Baththah, dari Sayyid Thahir bin al-Husain al-Ahdal, dari Wajihuddin Abdurrahman bin Ali al-Syaibani, dari Syamsuddin al-Sakhawi (ulama hadis terkenal, sezaman dengan Imam al-Suyuthi, penulis kitab Fathu’l Mughits), dari Ibnu Hajar al-Asqalani (ulama hadis terkenal, penulis syarah Shahih al-Bukhari Fathu’l Bâri, Bulûghu’l Marâm, dan lain-lain), dari al-Burhan Ibrahim bin Ahmad al-Tanukhi dari Abul Abbas Ahmad bin Abi Thalib, dari Abul Waqt Abdul Awwal bin Isa al-Harawi, dari Abul Hasan al-Dawudi, dari Abu Muhammad al-Sarakhsi, dari Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Firabri, dari Imam al-Bukhari yang meriwayatkan hadis dari berbagai jalur sampai kepada Rasulullah Saw., misalnya dari Adam bin Abi Iyas, dari Syu`bah bin al-Hajjaj, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Hurairah yang mendengar langsung dari Rasulullah Saw. hadis Shûmû liru’yatihi...dan lain-lain.

Tidak hanya itu, para ulama al-Azhar juga banyak yang pergi keluar Mesir untuk mencari ilmu. Misalnya Syekh Ahmad Ma`bad Abdul Karim, yang merupakan ulama hadis terhebat di dunia sekarang ini menurut beberapa ulama seperti Syekh Ridha Zakaria (saya ngaji hadis sama beliau hari Sabtu) dan Syekh Usamah al-Azhari. Syekh Ahmad Ma`bad, yang mengajar kami takhrij hadis dan ilal hadis, pernah berguru kepada ulama hadis kebanggaan nusantara, Syekh Yasin al-Faddani (Padang) di tanah haram dan menerima ijazah sanad dari beliau.

Demikianlah, tidak semua orang layak mengajarkan agama juga tidak semua orang bisa kita minta untuk mengajar agama. Agama diajarkan melalui bimbingan ulama, tidak asal download di internet, nonton tv, berguru dari orang yang tidak punya latar belakang pendidikan agama atau minimal pernah berguru kepada seorang ulama, sepintar apapun dia. Karena ilmu agama tidak hanya sekedar pengetahuan yang tinggal dihafal dari satu dua buku apalagi diterima dengan santai-santai, ia adalah satu bangunan keilmuan yang utuh. Kita tidak mungkin berobat kepada orang yang hanya membaca satu dua buku kesehatan kan?

Prakteknya tidak harus dengan meminta sertifikat ijazah dari semua orang yang akan kita timba ilmunya. Cukup dengan mengetahui latar belakang pengetahuan agama dari orang tersebut. Hikmahnya dapat dirangkum dengan nasehat Imam Ahmad bin Hanbal,”Bertaqwalah kepada Allah, dan lihat dari siapa anda belajar agama”.

2.Perhatian Terhadap Ilmu Alat

Apa bedanya generasi kita dengan generasi sahabat? Pertama, Generasi sahabat adalah orang-orang Arab tulen yang bisa berbahasa Arab. Mereka paham bahasa Arab dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Karena bahasa Arab tidak hanya soal memahami kata per kata kemudian kalimat per kalimat, ada perkataan yang sifatnya umum tapi yang dimaksud adalah hal yang khusus, ada perkataan yang beruba majaz dan hakekat (makna sebenarnya), dan lain-lain. Ada perbedaan makna ketika sebuah kalimat diawali dengan inna dengan yang tidak. Ada perbedaan penekanan ketika sebuah kalimat menggunakan jumlah ismiyah dibanding jumlah fi`liyah dan seterusnya. Kaidah-kaidah nahwu sharaf juga sudah tertanam dalam otak mereka.

Kedua, para sahabat semuanya `adil. Maksudnya beres urusan agamanya, tidak pernah menyengaja melakukan dosa besar dan membiasakan dosa kecil. Dari sinilah tidak ada kecurigaan sahabat pernah berdusta apalagi atas nama Rasulullah Saw. Sehingga kita yakin ketika para sahabat mengatakan ia pernah mendengar hadis Rasulullah Saw. tertentu berarti memang benar itu hadis Rasulullah Saw.

Ketiga, mereka hidup di masa turun wahyu. Mereka mengetahui mana ayat/hadis yang turun untuk kaum muslimin, mana yang ditujukan kepada orang kafir. Mana yang turun sebelum atau sesudah hijrah, di musim apa, bahkan di siang bolong atau di malam sunyi. Mana yang turun lebih dahulu, mana yang belakangan. Mana yang umum, mana yang mengkhususkan. Selain itu, kalau ada pertanyaan mereka tinggal sowan kepada Rasulullah Saw.

Pada masa Khalifah Umar, banyak orang a`jam (non-Arab) yang masuk Islam, hal ini jelas mempengaruhi proses pengajaran al-Quran dan hadis. Segala puji bagi Allah yang telah menyiapkan para ulama yang dibekali kemurnian hati dan kecerdasan, mereka luar biasa. Setelah melalukan istiqra’ alias menganalisa satu per satu ayat maupun hadis, mereka berhasil merumuskan ilmu-ilmu yang awalnya hanya ada di dalam otak para sahabat. Melalui proses talaqi turun-temurun (lihat keistimewaan pertama), mereka berhasil merumuskan patokan-patokan tertentu yang dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Sunnah kemudian menerapkannya dalam kehidupan. Ini diperuntukkan bagi kita semua yang jelas tidak memiliki keistimewaan sahabat di atas. Inilah yang dikenal dengan nama ilmu alat.

Ilmu-ilmu alat inilah yang harus dikuasai apabila seseorang ingin menempuh jalan sebagai seorang ulama. Bagi yang sudah menguasai, orang non-Arab sekalipun bisa menjadi ulama yang boleh menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah. Sebaliknya, tanpa ilmu alat, mustahil. Bahkan apabila hanya mengandalkan bahasa Arab.

Setelah menganalisa perkata dan kalimat, proses masih berlanjut, karena sering terjadi beberapa kasus dimana bahasa semata tidak mampu menyelesaikan. Terkadang didapati bahwa sebuah ayat atau hadis terlihat bertentangan dengan hadis yang lainnya. Padahal yang satu adalah hal yang umum, yang lain mengkhususkan. Atau yang satu datang lebih awal, yang lain datang untuk menggantikan hukum ayat/hadis yang datang lebih dahulu, yang dalam istilah usul fikih dikenal dengan nama nâsikh-mansûkh. Kondisi semacam ini, dibutuhkan patokan tertentu yang selanjutnya disebut ilmu usul fikih. Tercatat, Imam al-Syafi`i-lah yang pertama kali merumuskan ilmu usul fikih dalam sebuah buku berjudul al-Risâlah.

Tidak semua hadis berhak dijadikan dasar sebuah amal, ada pula yang tidak layak. Bisa jadi karena ada keterputusan mata rantai informasi, perawinya ada yang lemah hafalannya, atau ada kecacatan. Persoalan ini diselesaikan dengan ilmu hadis.

Di al-Azhar, penguasaan terhadap ilmu alat sangat ditekankan. Di fakultas ushuluddin misalnya, anak tingkat satu yang oleh-oleh Indonesia-nya masih hangat di koper sudah disuguhi Tadrîb al-Râwi, kitab ilmu hadis karya Imam al-Suyuthi (911 H) meskipun cuma sampai pembahasan hadis hasan. Barulah misalnya ketika mengambil s2 hadis dilanjutkan dengan al-Nukat `alâ Kitâb Ibn al-Shalâh karya Ibnu Hajar (dua jilid) yang diajarkan beberapa bab, sisanya “Baca sendiri kemudian bulan Juli kita ujian seluruh kitab”. Anak fakultas syariah hidupnya di Mesir tidak bisa dilepaskan dari Nihâyat al-Sûl, kitab usul fikih karya al-Isnawi. Di masjid al-Azhar dan sekitarnya, puluhan talaqi kitab karangan para ulama diadakan, tergantung masing-masing penuntut ilmu, apakah ingin menjadi pelajar yang bersyukur?

Hikmah dari poin kedua, tentunya tidak semua orang menjadi ulama, belajar ilmu alat dan sebagainya. Allah sendiri tidak pernah menyuruh kaum muslimin untuk langsung merujuk kepada al-Quran atau hadis ketika ada masalah, namun menyerahkan persoalan kepada orang yang ulama yang kompeten memahami al-Quran dan Sunah. Simak Surah al-Nisa’ ayat 83 berikut:

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٌ۬ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦ‌ۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنۡہُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُ ۥ مِنۡہُمۡ‌ۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡڪُمۡ وَرَحۡمَتُهُ ۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَـٰنَ إِلَّا قَلِيلاً۬

Artinya: 83. dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Bagian terpenting dari ayat di atas adalah, bertanya kepada mereka yang paham al-Quran dan Sunnah, bukan mencari-cari sendiri.

3.Memahami Maqashid Syariah (Tujuan Syariat)

Untuk apa kita mempelajari dan mengamalkan syariat? Untuk apa kita berjuang? Untuk apa kita membela kaum tertindas? Untuk apa kita memperbaiki sistem pemerintahan? Untuk apa kita meminta pendapat ulama? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup? Kemana kita kembali? Petanyaan-pertanyaan itu kadang perlu kita tanyakan kembali kepada diri masing-masing. Bisa juga bentuk pertanyaannya, mengapa Islam memerintahkan saya untuk beribadah? Mengapa harus amar makruf nahi munkar? Mengapa harus belajar? Dan lain-lain.

Berinteraksi dengan para ulama yang alim lagi ikhlas dan menguasai ilmu alat membuahkan pemahaman terhadap “Apa sih tujuan diturunkannya syariat?”. Agama ini diturunkan oleh Allah untuk merealisasikan penyembahan kepada-Nya, memakmurkan bumi-Nya, dan mensucikan diri manusia. Selain itu ada misi lain seperti menyampaikan hidayah, mewarisi tugas Nabi, membangun peradaban manusia yang Rabbani, dan orientasi hidup abadi di akhirat nanti. Juga menegakkan akhlak mulia dan melakukan pencerahan terhadap peradaban manusia, sehingga terwujudlah ISLAM RAHMATAN LI’L `ÂLAMÎN.

Orang yang memahami tujuan-tujuan ini akan menjadi pribadi yang bijaksana dan lapang dada. Ia menjadi ulama yang arahan-arahannya menjadi solusi bagi problem umat. Tidak justru menjadi teror bagi umat, yang fatwa-fatwanya justru memecah belah umat dan hanya memberikan beban sehingga Islam menjadi agama yang mengerikan dan dianggap sebagai sumber kemunduran umat. Intinya, ia menjadi orang yang mengarahkan untuk apa manusia hidup dan bagaimana seharusnya hidup. Bukan sekedar menyuruh-nyuruh untuk melakukan ritual-ritual tertentu.

4.Memahami Ayat al-Quran pada Tempatnya

Ketiga hal tersebut membuahkan pemahaman yang benar terhadap pedoman hidup kaum muslimin, al-Quran. Ia akan menempatkan ayat yang turun kepada orang kafir untuk orang kafir. Ayat yang turun bagi orang muslim akan diarahkan kepada orang muslim. 

Pernah dengan cerita tentang khawarij? Termasuk firqoh/aliran pertama yang muncul. Bahkan di masa Khalifah Ali Ra. Sekumpulan orang yang didominasi anak-anak muda yang semangat dalam beragama/berjihad. Sayang, semangat mereka tidak diimbangi kematangan berpikir. Karena menganggap Khalifah Ali tidak berhukum dengan al-Quran ketika mengadakan perdamaian dengan Muawiyah. Akhirnya mereka melakukan hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan sahabat manapun. Mengkafirkan sesama muslim. Perlu diingat bahwa ketika itu sahabat seperti Abu Musa al-Asy`ari, Amru bin Ash, Abdullah bin Abbas, dan lain-lain masih hidup.

Golongan khawarij justru menyempal dari jama`ah kaum muslimin ketika itu atas dasar ijtihad yang hanya bermodal semangat. Mereka membuat bid`ah berupa mengkafirkan pelaku dosa besar. Padahal dalam prinsip ahlus sunnah, pelaku dosa besar tidaklah kafir, dosanya bisa diampuni dengan taubat nasuha, dan menjadi hak Allah untuk memasukkan ia ke surga atau neraka.

5.Menghormati Umat Nabi Muhammad Saw.

Pemahaman poin-poin diatas membuahkan sikap penghormatan terhadap umat akhir zaman, umat Nabi Muhammad Saw. Umat ini adalah umat ilmu, hidayah, kasih sayang, dan bertugas menyampaikan hidayah kepada manusia. Ia juga memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Umat yang mengarahkan manusia kepada Allah Swt. dengan segala macam potensi yang dimilikinya seperti ilmu, keindahan/seni, nilai-nilai, dan segala macam kemajuan di berbagai bidang.

Ia bukan umat teror dan anti kemajuan. Ia juga bukan umat yang anti dengan pembangunan peradaban. Karena ia menyadari betul apa tugasnya di muka bumi.

Syekh Usamah al-Azhari, ketika mengkaji hadis arba`in-nya Imam al-Nawawi pernah menjelaskan tentang keutamaan umat akhir zaman, umat Nabi Muhammad Saw. Umat ini adalah umat yang sempurna secara akal manusianya. Ia berbeda dengan umat-umat terdahulu (misalnya umat Nabi Musa As.) yang terpaku kepada materi, sehingga bahasa al-Quran yang turun adalah, “Udzkurû ni`matalLâh `alaikum”. (Ingatlah nikmat Allah kepada kalian). Berbeda dengan umat Muhammad yang lebih tinggi levelnya. Sehingga cukup dengan lafaz, “Fa’dzkurûnî”(Ingatlah Aku-Allah-ed).

Dalam pelajaran tafsir yang pernah saya terima, dijelaskan betapa manusia adalah makhluk yang luar biasa. Ia memiliki unsur bumi berupa tanah asal jasadnya diciptakan, dan unsur ‘langit’ yaitu ruh. Sehingga manusia adalah makhluk yang seimbang. Ia tidak seperti hewan yang hanya memiliki hawa nafsu, ia juga tidak seperti malaikat yang tidak memiliki ambisi. Sudah menjadi kehendak Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. 

Karena keunggulan umat ini, maka Al-Azhar tidak pernah mengajarkan untuk sembarang menyesatkan, membid`ahkan, dan mengkafirkan orang apalagi dalam permasalah yang belum disepakati atau bukan merupakan konsensus ulama. Yang sering diajarkan oleh para guru adalah mengkritisi pendapat, bukan manusianya (mereka juga jarang ‘nyebut merk’). Tidak sembarang orang boleh divonis sesat, urusan ini Rasulullah Saw. pun mewanti-wanti. 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Dari Abdullah bin Umar Ra.”Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata,’Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hei kafir !’ maka (panggilan-red) itu akan kembali kepada salah satunya.”
Hadis ini sahih karena ada di Shahih al-Bukhari, di bagian Kitab al-Adab, Imam al-Bukhari memberi judul Bab “Barangsiapa yang mengkafirkan saudaranya tanpa takwil maka ia seperti yang ia panggil (kafir juga kan?-red)”.
Saat ini umat terpecah belah dengan saling memanggil dengan panggilan sesat, sekuler, kafir, fasiq, ahli bid`ah, dan sebagainya. Kalau memang vonis itu jatuh dari hasil ijtihad, maka memang perlu diikuti. Tapi bagaimana kalau vonis itu hanyalah opini yang disebarkan media? Karena mengangkat satu pendapat dari seorang ulama yang kebetulan berbeda dengan pendapat yang dia dianut. Kemudian dicap bertentangan dengan syariat, padahal masih berkutat pada masalah yang belum disepakati ulama.
6.Antusias dalam Membawa Hidayah

Di dunia ini, ada orang beriman ada pula yang kafir. Pertanyaannya, bagaimana sikap kaum muslimin terhadap orang kafir? Apakah selalu diperangi? Kenyataannya ada piagam Madinah yang pernah ditandatangani bersama kaum Yahudi. Apakah dibiarkan saja? Kenyataannya, mengapa ada perintah dakwah? Apakah dipaksa masuk Islam? Kenyataannya ada Lâ Ikrâha fi al-Dîn. Ternyata, umat Islam adalah umat hidayah. Hidayah yang berarti penjelasan, memberikan bukti, dan argumen atas kebenaran Islam. 

Dengan bekal kelima hal di atas, maka akan tertanam tanggung jawab bahwa pelajar al-Azhar haruslah menjadi penyampai hidayah kepada dunia. Dakwah al-Azhar jelas tidak terbatas di Mesir atau di negeri-negeri Islam saja, namun juga menjelajah Eropa, Amerika, dan belahan bumi lainnya. Al-Azhar juga mengirim duta-dutanya ke berbagai negara. Baik penduduk asli Mesir, maupun orang-orang asing yang dikirim ke al-Azhar, kemudian kembali lagi ke tanah air masing-masing untuk memberi peringatan kepada kaumnya agar mereka mendapat peringatan.

Untuk menunjang hal ini, maka satu hal yang wajib dimiliki oleh pelajar al-Azhar adalah pemahaman kehidupan (kenyataan hidup). Simaklah nasehat Imam al-Syafi`i:

أَقَمْتُ عِشْرِيْنَ سَنَةً أطْلُبُ أيَّام النَّاسِ و أَسْتَعِيْنُ بِذلك على الفِقْهِ
Artinya: “Selama 20 tahun, aku mempelajari kehidupan manusia, dan itu menolongku dalam memahami fikih.”

Tidak mungkin seorang ulama mampu mengarahkan manusia tanpa memahami manusia itu sendiri. Kongkretnya, selama saya belajar di fakultas ushuluddin, banyak diajarkan bagaimana memahami manusia. Hal ini tercermin dari berbagai pelajaran seperti Milal wa Nihal (perbandingan agama) yang mengkaji kepercayaan manusia sejak zaman dahulu kala, dimulai dari sebab kemunculannya kemudian inti alirannya, bahkan sampai ke hal-hal yang detail. Ada juga pelajaran filsafat dan aliran-aliran seperti sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya yang mengkaji bagaimana manusia berpikir dan darimana ia menentukan standar kebenaran, sehingga ulama dapat mencari celah darimana ia harus menjelaskan inti ajaran al-Quran dan sunah, bukan malah terjerumus sendiri. 

Ada juga pelajaran kisah-kisah al-Quran. Ternyata, segala bentuk penyimpangan yang terjadi di zaman ini sudah pernah ada di zaman dahulu. Melalui kisah-kisah tersebut, ulama diajarkan bagaimana ia memahami dan menangani persoalan penyimpangan yang ada di zamannya. Misalnya, sistem ekonomi yang hancur sekarang ini ternyata pernah dilakukan oleh kaum Nabi Syu`aib. 

Ada juga pelajaran Manhaj Dakwah. Di dalamnya juga mempelajari berbagai karakter manusia dalam menerima hidayah. Misalnya orang yang sama sekali tidak pernah mengenal al-Quran, tentunya tidak akan mempan apabila langsung ditodong dengan ayat-ayat perintah beriman. Terkadang ia harus diajak berpikir masalah penciptaan untuk sampai kepada Sang Khaliq. Dan metode semacam ini juga banyak ditemukan dalam al-Quran, misalnya dalam Surah Nuh ayat 14 dan sekitarnya.

7.Bangunan Keilmuan yang Lengkap

Dalam berbagai debat kusir, sering orang mengklaim kebenaran sebuah teori hanya dengan mengatakan “Ini dalilnya!” Padahal, apakah dalil tersebut cocok untuk membenarkan teori tersebut? Selain itu, apakah orang tersebut kompeten untuk mengaitkan antara teori dan dalil? Contoh, kalau sekedar menyebut dalil, bisa saja seseorang mengatakan bahwa minum khamr itu boleh karena melihat ayat “Janganlah kamu mendekati solat dalam keadaan mabuk”. Ayat ini memang ada dalam al-Quran, namun hukumnya sudah mansukh dengan ayat pengharaman khamr. Hal ini tidak mungkin diketahui tanpa belajar usul fikih.

Oleh karenanya, al-Azhar selalu mengajarkan bahwa ilmu tidak hanya sekedar (1) dalil (al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas). Ia juga harus mencakup, bagaimana (2) metode menyimpulan sebuah hukum dari dalil itu. Selain itu, ada juga (3) standar kualifikasi orang yang berhak menyimpulkan hukum tersebut. Sekali lagi, ilmu tersusun dari tiga hal: Dalil, Metode menyimpulkan hukum dari dalil, dan Syarat orang yang berhak melakukan hal tersebut. Dengan kata lain, seorang ulama tidak hanya sekedar hafal dalil atau kitab, ia juga memahami metode bagaimana mengoptimalkan al-Quran dan Sunnah menjadi sebuah hukum yang bisa diamalkan oleh manusia dalam kehidupan, selain itu ia juga terlatih untuk hal tersebut.

8.Memanfaatkan Turats Secara Optimal

Turats (bacanya TUROTS) adalah warisan peradaban. Para ulama yang mengarahkan masyarakat sejak zaman sahabat sampai saat ini karya besarnya bukan sekedar bangunan batu yang menjadi museum di daerah-daerah kekuasaan Islam. Ia adalah bangunan keilmuan yang lengkap menjadi berbagai disiplin ilmu yang sangat mungkin untuk dikuasai. Dari segi dalil al-Quran misalnya, berapa banyak ulama yang menulis kitab tafsir yang membantu untuk memahami ayat, berapa banyak kitab tajwid dan ulama yang mengajarkan bagaimana membaca al-Quran sesuai dengan bagaimana ia diturunkan. Dalam hadis, urusan menghukumi hadis dengan sahih, hasan, dan dhaif bisa dibilang sudah selesai. Seluruh hadis juga sudah dibukukan. Bahkan untuk memahami hadis, dimudahkan dengan berbagai kitab syarah hadis.

Dari segi metode misalnya, ada ilmu tafsir/ilmu al-Quran sebagai patokan untuk memahami al-Quran. Untuk menyeleksi hadis dan para perawinya, sudah selesai dengan perumusan ilmu hadis. Dan lain sebagainya. 

Dari segi kualifikasi ulama, rasanya proses pengkaderan yang ada di madrasah/universitas Islam masih terus melahirkan ulama-ulama baru.

Kesemua hal tadi bisa dibilang sudah sempurna. Sampai ada ungkapan,”Apa sih yang masih belum dikerjakan ulama salaf?”. Umat Islam abad ke 15 Hijriyah/abad 21 Masehi boleh dibilang tinggal memanfaatkan hasil karya para ulama (turats) tersebut, untuk dipahami dan diterapkan sesuai dengan tuntutan di zamannya. Mujtahid zaman sekarang tugasnya bukan lagi merumuskan metode penyimpulan hukum dari al-Quran dan Sunnah karena hal itu sudah selesai oleh para ulama dahulu, melainkan mencari hukum persoalan yang baru muncul di zaman ini, itupun kaidahnya tetap menggunakan hasil rumusan ulama dahulu. 

Dalam bidang hadis misalnya, bisa dibilang tugas ulama hadis sekarang adalah memahami kitab. Karena semua hadis dan daftar perawi hadis lengkap dengan penilaiannya sudah terdaftar dalam kitab-kitab. Mungkin hanya memahami ulang kaidah ulama hadis klasik, mentarjih pendapat ulama yang bertentangan, bukan merumuskan hal baru.

Itulah turats, bangunan keilmuan Islam yang tidak bisa ditinggalkan siapapun yang ingin memahami Islam. Kapan masa penyusunan turats terakhir? Banyak yang bilang di abad ke-13, terakhir adalah Imam al-Syaukani (Mufti Mesir, Syekh Ali Jum`ah mengatakan bahwa generasi turats terakhir adalah Syekh Bajuri yang menulis Tuhfatul Murid Hasyiyah Jauharatut Tauhid). Setelah masa mereka, yang ada adalah memanfaatkan karya orang lama, dengan sedikit penyesuaian dalam hal penerapan dengan zaman yang ada. Tidak ada hal baru.

Hikmah dari poin ini adalah: Kita semua ingin membangun peradaban/memakmurkan bumi dengan cara Islam. Rasanya semua sepakat soal “kembali ke al-Quran dan Sunnah”. Tapi untuk memahami al-Quran dan Sunnah, dibutuhkan ‘kitab-kitab’ di atas. Simpelnya, ketika bermaksud mentadabburi al-Quran atau hadis, sangat ironis apabila tidak membuka kitab-kitab tafsir atau syarah hadis. Ketika mencari hukum persoalan tertentu, kitab fikih menyediakan semuanya. 

Tidak ada maksud merendahkan ulama mu`ashir (kontemporer), tapi kenyataannya yang selalu mereka (ulama kontemporer) nasehatkan dan programkan adalah ‘memahami turats’ atau dengan bahasa yang lebih populer ‘memahami ajaran Islam sesuai pemahaman salaf’. Nah, kedelapan hal inilah yang dimaksud dengan pemahaman cara salaf itu. Dan menurut Syekh Ali Jum`ah, saat ini adalah masanya membangun pemahaman bagi umat tentang ajaran agamanya.

No comments:

Post a Comment